Anda di halaman 1dari 95

ADAT SELINGKUNG DESA

PADA MASYARAKAT MELAYU

OLEH

LEMBAGA ADAT MELAYU PROVINSI JAMBI

JAMBI, PEBRUARI 2022

1
BAB I. PENDAHULUAN

A. Provinsi Jambi Selayang Pandang

Provinsi Jambi merupakan salah satu Provinsi dari 34 Provinsi dalam

Negara Republik Indonesia. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat

No.19 Tahun 1957 tentang pembentukan Daerah Tingkat 1 Sumatera Barat,

Jambi dan Riau. Kemudian menjadi Undang-Undang No.81 Tahun 1958.

Peraturan Daerah No.1 Tahun 1970, tanggal 17 Januari 1970 menetapkan hari

lahirnya Provinsi Jambi pada tangga 6 Januari 1957 yang diperingati setiap

tahunnya.

Provinsi Jambi dengan wilayah yang membujur dari Pantai Timur

kearah Barat terbentang antara 0˚. 45’ sampai 2˚. 45’ Lintang Selatan diantara

101˚.0’ dan 104˚.55’ Bujur Timur. Provinsi yang terletak di Sumatera Bagian

Tengah ini disebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau dan disebelah

Selatan dengan provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan dibelahan bagian barat

dibatasi oleh provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat, sebelah Timur oleh Selat

Berhala.

Luas wilayah Jambi seluruhnya 53.435.72 Km 2, dengan pembagian wilayah

administrasi dua Kota dan sembilan Kabupaten. Kabupaten masing-masing:

- Kota Jambi sebagai Ibukota Provinsi Jambi.

2
- Kabupaten Batanghari dengan Ibukota Muara Bulian.

- Kabupaten Muaro Jambi dengan Ibukota Sengeti.

- Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan Ibukota Kuala Tungkal.

- Kabupaten Tanjung Jabung Timur dengan Ibukota Muara Sabak.

- Kabupaten Merangin dengan Ibukota Bangko.

- Kabupaten Sarolangun dengan IbuJkota Sarolangun.

- Kabupaten Bungo dengan Ibukota Muaro Bungo.

- Kabupaten Tebo dengan Ibukota Muaro Tebo.

- Kota Sungai Sungai penuh dengan Ibukota Sungai Penuh.

- Kabupaten Kerinci dengan Ibukota Siulak

Sebagaimana dengan daerah Indonesia lainnya, wilayah Provinsi

Jambi beriklim tropik, suhu udara maksimum 31,6˚ C dan terendah 22,7˚C. Di

daerah pegunungan Kerinci relatif lebih sejuk dengan suhu udara maksimum

28˚C. Perbedaan suhu udara antara musim kemarau dan musim penghujan

relatif tidak banyak.

Topografi daerah provinsi Jambi terdiri dari daerah dataran rendah

dengan ketinggian 0-100 m dari permukaan laut, dataran tinggi antara 100-

500 m dan daerah pegunungan dengan ketinggian 500 m.

Daerah pegunungan di provinsi Jambi merupakan bagian dari

pegunungan Bukit Barisan dan terdapat di wilayah perbatasan dengan

provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat. Daerah pegunungan ini memiliki

ketinggian antara 500-3800 m diatas permukaan laut. Gunung yang terdapat

3
di daerah ini antara lain Gunung Kerinci (3.800m), Gunung Masurai

(2.900m), dan Gunung Sumbing (2.500m)

Sebagian besar wilayah provinsi Jambi masih merupakan hutan, dan

sebagian besar masih merupakan hutan lebat. Hutan di daerah Jambi

merupakan hutan tropik yang senantiasa basah karena menghijau sepanjang

tahun.

Provinsi Jambi banyak memiliki aliran sungai dan yang terbesar dan

terpanjang adalah sungai Batanghari. Umumnya sungai-sungai tersebut

dapat dilayari sampai jauh kehulu dan sejak dahulu telah dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai sarana penghubungan.

Di provinsi Jambi terdapat pula beberapa Danau yang telah dikenal

secara meluas adalah Danau Kerinci. Beberapa Danau lainnya adalah

Danau Tujuh, Danau Depati Empat, dan Danau Sipin. Yang disebut terakhir

terdapat di Kota Jambi. Beberapa diantara Danau-danau tersebut dapat

dikembangkan untuk kegiatan wisata tirta.

B. Sejarah.

Sejarah Jambi meliputi Abad IV Masehi sampai dengan kedatangan

bangsa Barat ke Nusantara, secara berturut-turut, masa kekuasaan kerajaan

Melayu, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Melayu Singosari, kerajaan

Darmasraya sampai Pra Kemerdekaan. Proses perkembangannya sampai

sekarang masih dalam pengkajian para ahli. Prasasti tertua yang pernah

ditemukan di Provinsi Jambi adalah Prasasti Karang Berahi yang dibuat

4
sekitar tahun 686 Masehi, bangunan candi-candi dan arca-arca yang banyak

ditemui di kawasan komplek percandian Muara Jambi, memberI petunjuk

bahwa Jambi pernah berdiri sebuah Kerajaan besar yaitu kerajaan Melayu

( Me-lo-yoe), pernah mengirimkan utusan ke negeri Cina tahun 644 dan

tahun 645.

Perkembangan sejarah selanjutnya tahun 1460-1907 Jambi berbentuk

kerajaan Islam yang disebut kerajaan melayu II. Sebagai Sultan pertama

adalah Datuk Paduko Berhalo dengan Permaisurinya Puteri Selaro Pinang

Masak. Salah seorang putranya adalah Orang Kayo HItam yang terkenal

dengan senjata utamanya “Keris Siginjai”, yang selanjutnya menjadi

pegangan dan perlambangan bagi para pemegang kekuasaan kerajaan

Melayu Jambi. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Kahar, sebuah misi

dagang Kompeni Belanda yang dipimpin oleh Abraham Strek mendrikan Loji

Dagang di Suak Kandis (Desa Gedung Terbakar), tetapi tidak mendapat izin

dari Sultan, dan kemudian dibubarkan.

Sultan Abdul Kahar digantikan oleh putranya yang bernama Sultan

Seri Ingologo. Pada masa pemerintahannya 1665-1690, seorang Kepala

Kantor Kompeni Belanda yang beranama Syubranlt terbunuh di desa

Gedung Terbakar, sehingga Sultan Seri Ingologo ditangkap Belanda dan

dibuang ke Pulau Banda.

Perlawanan terhadap Kompeni mencapai puncaknya pada masa

Sultan Thaha memegang tampuk kekuasaan tahun 1856-1904 dalam suatu

5
pertempuran di Betung Berdarah tanggal 27 April 1904 Sultan Thaha

Syaipuddin gugur dalam usia 88 tahun, dan Keris Siginjai sebagai lambang

kekuasaan Kerajaan Melayu Jambi dibawa oleh Belanda. Sejak saat itu

Belanda menduduki dan menguasai Jambi dan memasukkan Jambi dalam

wilayah Keresidenan Palembang, dengan status dua Asisten Residen, yaitu :

Asisten Residen Jambi Hulu dan Asisten Residen Jambi Hilir.

Pada tahun 1905 Jambi menjadi Keresidenan dengan mengganti

status dua asisten Residen menjadi tujuh Onder Afdeling yang masing-

masing dikepalai oleh seorang Controleur sebagai Hoold van Plaatselijk

Bestuur, yang salah satunya adalah Onder Afdeling Kerinci, yang

sebelumnya merupakan bagian dari Keresidenan Sumatera Barat. Tahun

1945-1950 Jambi sebagai keresidenan langsung di bawah pemerintahan

pusat. Dengan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 4 Tahun 1950

tentang pembentukan Provinsi Sumatera

Tengah menjadi tiga Provinsi, maka Jambi resmi menjadi Daerah Swantantra

Tingkat I.

NAMA-NAMA RAJA/KEPALA PEMERINTAHAN JAMBI 1460-1904

1. 1460 Datuk Paduko Berhalo/Putri Selaro Pinang Masak.

2. 1480 Orang Kayo Pingai,

3. 1490 Orang Kayo Pedataran.

4. 1500 Orang Kayo Hitam.

5. 1515 Pangeran Hilang Diair disebut Penembahan Rantau Kapas.

6. 1540 Panembahan Rengas Pandak

6
7. 1565 Panembahan Bawah Sawo

8. 1590 Panembahan Kota Baru

9. 1615 Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar

10. 1643 Pangeran Depati Anom gelar Sultan Abdul Djalfi, disebut Sultan

Agung

11. 1665 Raden Penulis gelar Sultan Abdul Mahji disebut Sultan

Ingologo

12. 1690 Raden Tjakra Negara (Pangeran Depati) gelar Sultan Kiyai

Gede

13. 1690 a). Kiyai Singo Patih gelar Abdul Rachman, berkedudukan di

Bangundjajo

14. 1690 b). Raden Tjulip (Djulat) gelar Sunan Ingologo, di Bukit Serpeh

Sumai

15. 1896 Sultan Mochammad Syah

16. 1740 Sultan Sri Ingologo

17. 1770 Pangeran Purbo Suto Widjoyo gelar Sultan Anom Seri Ingologo

disebut Sultan Zainuddin

18. 1790 Pangeran Ratu gelar Sultan Ratu Sri Ingologo disebut Mas’oed

Badaroeddin

19. 1812 Raden Danting gelar Sultan Agung Sri Ingologo disebut Sultan

Mohamad Mahidin

20. --- Raja Jambi ini beristri salah seorang Putri Raja Palembang

yang disebut Ratu Ibu ( Puteri Ayu )

7
21. 1833 Raden Muhamad (Pangeran Ratu) gelar Sultan Muhamad

Fahrudin disebut Sultan Keramat

22. 1841 R. A. Rachman (Pangeran Ratu) gelar Sultan Abdul Rachman

Nasaroedin

23. 1855 Pangeran Djajaningrat (Pangeran Ratu) gelar Sultan Thaha

Syaifuddin

24. 1858 Raden Achmad gelar Sultan Achmad Nasaroedin disebut

Sultan Bajang

25. 1881 Sultan Achmad Mahidin

26. 1885 Pemerintahan Kerajaan Jambi diserahkan kepada Comissie

27. 1886 Pangeran Soerio gelar Sultan Achmad Zainuddin

Selanjutnya oleh Kompeni terus dinobatkan Raja-Raja Jambi tetapi tidak

punya kekuasaan yang disebut Sultan Bayang, namun sejak 1856-1904

rakyat mengakui Sultan Thaha Ratu Syaifuddin sampai beliau meninggal

dalam pertempuran di Betung Berdarah pada tahun 1904 ( Somad, 2002).

8
BAB II. HUKUM ADAT DAN ADAT MELAYU

A. Istilah Hukum Adat

Istilah hukum adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “Huk’m” dan

“Adah” (jamaknya, Ahkam) yang artinya suruhan atau ketentuan. Di dalam

Hukum Islam dikenal misalnya “Hukum Syari’ah” yang berisi adanya lima

macam suruhan atau perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu:

fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makruh

(celaan) dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam

bahasa Arab disebut dengan arti “kebiasaan” yaitu perilaku masyarakat yang

selalu terjadi. Jadi “hukum adat” itu adalah “hukum kebiasaan”.

Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah

lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa

pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) istilah hukum adat ini telah

dipergunakan, ini ditemukan dalam kitab hukum diberi nama “Makuta Alam”

kemudian di dalam kitab hukum “Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam”

yang ditulis oleh Jalaluddin bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi

Baginda Khatib Negeri Trussan atas perintah Sultan Alaiddin Johan Syah

(1781-1895). Di dalam mukadimah kitab hukum acara tersebut dikatakan

bahwa dalam memeriksa perkara seorang Hakim haruslah memperhatikan

Hukum Syara, Hukum Adat, serta Adat dan Resam.

Kemudian istilah ini dicatat oleh Christian Snouck Hurgronje, Ketika ia

melakukan penelitian di Aceh pada tahun 1891-1892 untuk kepentingan

pemerintah penjajah Belanda, yang menerjemahkannya kedalam istilah

9
bahasa Belanda “Adat-Recht”, untuk membedakan antara kebiasaan atau

pendirian dengan adat yang memiliki sanksi hukum. Seperti diketahui, hasil

penelitian Hurgronje ini menghasilkan sebuah buku yang kemudian diberi

judul De Atjehers (Orang-orang Aceh) pada tahun 1894. Sejak itulah

Hurgronje disebut sebagai orang yang pertama menggunakan istilah “Adat-

Recht” yang kemudian diterjemahkan sebagai hukum adat. Istilah ini

kemudian menjadi terkenal sejak digunakan oleh Cornelis van Vollenhoven

dalam tiga jilid bukunya yang berjudul Het Adat-Recht van Nederlandsch

Indie (Hukum Adat Hindia Belanda).

Sebelum diperkenalkan istilah “Adat-Recht” yang kemudian

diterjemahkan menjadi “hukum adat” oleh Christian Snouck Hurgronje dan

Cornelis van Vollenhoven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan

tentang hukum adat telah dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Hal

ini dapat dikemukakan dalam peraturan perundang-undangan pemerintah

Hindia Belanda di bawah ini:

1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan

Umum perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah “Godsdienstige

Wetten, Volks Instellingen En Gebruiken” (Peraturan-peraturan

Keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).

2. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama

R.R 1854, digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Insteligen en

Gebruiken” (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan

Kebiasaan-kebiasaan).

10
3. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan Hukum Negara Belanda

semacam Undang-Undang dasar bagi pemerintah Hindia Belanda) Pasal

128 ayat (4) – sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b redaksi baru R.R

1854 yang mengganti Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854

dipergunakan istilah “Instellingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari

Rakyat).

4. Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2), sub b digunakan istilah “Met Hunne

Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Rechts Regelen” (aturan-

aturan hukum yang berhubungan dengan agama-agama dan kebiasaan-

kebiasaan mereka).

5. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2), digunakan istilah “Godsdientige

Wetten en Qude Herkomsten” (Peraturan-peraturan keagamaan dan

kebiasaan-kebiasaan Lama/Kuno). Godsdientige Wetten en Oude

Herkomsten ini oleh Ind.Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah

“Adat-Recht”.

Dengan demikian nyatalah disini bahwa untuk “hukum adat” ini

sebelum diperkenalkannya istilah “Adat-Recht” dipergunakan berbagai

istilah di dalam peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda

dengan sebutan Undang-undang Agama, Lembaga Rakyat, Kebiasaan-

kebiasaan, dan Lembaga Asli. Sedangkan istilah “adat recht” sebagaimana

dimaksudkan di atas baru dipergunakan secara resmi dalam undang-

undang pemerintah Belanda pada tahun 1920, yaitu untuk pertama kali

11
digunakan dalam undang-undang Belanda mengenai Perguruan Tinggi di

negeri Belanda, Nederlands) Stbl. 1920 nr. 105 dan dalam Academisch

Statuut.

Sebenarnya, sebelum digunakan dalam Peraturan Perundang-undangan

Pemerintah Belanda atau Hindia Belanda, istilah “adat recht” telah sering

dipergunakan dalam beberapa literatur asing tentang hukum adat, yang

ditulis para ahli asing pada permulaan abad ke-20. Hal ini terlihat dari

tulisan, I.A. Nederburg dalam bukunya berjudul Wet en Adat (1896),

kemudian Th.W.Juynboll dalam bukunya Handleiding tot de Kennis van de

Mohammedaansche Wet (1903) dan H.J. Scheuer dalam bukunya Het

Personenrecht voor Inlanders op Java en Madoera, Codificatieproeve

(1904).

B. Pengertian Hukum Adat

Dibawah ini dikemukakan tiga belas pengertian hukum adat

yang dikemukakan para ahli dan memberikan penjelasan hukum adat

sebagai berikut:

1. Menurut Cornelis van Vollenhoven

Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku

bagi orang pribumi dan Timur Asing pada satu pihak mempunyai sanksi

(karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak

dikodifikasikan (karena adat).

2. Menurut B. Ter Haar Bzn

12
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari

keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang memiliki

kewibawaan serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku serta

merta dan ditaati dengan sepenuh hati.

3. Menurut J.H.P Bellefroid

Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun tidak

diundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan

keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

4. Menurut Hardjito Notopuro

Hukum adat adalah hukum tak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri

khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan

tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan bersifat kekeluargaan.

5. Menurut Raden Soepomo

Hukum adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam

peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan

hukum Negara (Parlemen, Dewan Provinsi, dan sebagainya) hukum yang

hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan

hidup, baik di kota maupun di desa-desa.

6. Menurut Soekanto

13
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak

dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan memiliki sanksi (dari

hukum itu).

7. Menurut Hazairin

Hukum adat adalah hukum yang dijumpai dalam adat sebagai bagian

integralnya, sebagai bagian kelengkapannya. Adat selengkapnya ialah seluruh

kebudayaan yang berkaidah sebagaimana tumbuh dan dikenal dalam

masyarakat hukum adat seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, kuria di

Tapanuli, Wanua di Sulawesi dan sebagainya.

8. Menurut Bushar Muhammad

Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia

Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan

kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat

itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang

mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para

penguasa adat (mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa member

keputusan dalam masyarakat adat itu yaitu dalam keputusan lurah, penghulu,

wali tanah, kepala adat dan hakim.

9. Menurut M.M Djojodigoeno

Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-

peraturan seperti peraturan-peraturan desa dan peraturan-peraturan raja.

14
10. Menurut Soediman Kartohadiprodjo

Hukum adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis yang tertentu yang

memiliki dasar pemikiran yang khas yang prinsipil berbeda dari hukum tertulis

lainnya. Hukum adat bukan hukum adat karena bentuknya tidak tertulis,

melainkan hukum adat adalah hukum adat karena tersusun dengan dasar

pemikiran tertentu yang prinsipil berbeda dari dasar hukum pemikiran barat.

11. Menurut R.M Soeripto

Hukum adat adalah semua aturan-aturan/peraturan-peraturan adat

tingkah laku yang bersifat hukum di segala segi kehidupan orang Indonesia,

yang pada umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat dianggap patut dan

mengikat para anggota masyarakat yang bersifat hukum karena ada

kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/peraturan itu harus

dipertahankan oleh para petugas hukum dan petugas masyarakat dengan

upaya pemaksa atau ancaman hukuman (sanksi).

12. Menurut Soerjo Wignjodipoero

Hukum adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada

perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan

tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,

sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh rakyat,

karena memiliki akibat hukum (sanksi).

13. Menurut Soerjono Soekanto

15
Hukum adat pada hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya

kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai akibat hukum (sein-sollen). Berbeda

dengan kebiasaan belaka, kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah

perbuatan-perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama yang

menuju pada “rechtsvardigeordening der samenlebing”.

Menurut kesimpulan hasil “Seminar Hukum Adat dan

Pembangunan

Hukum Nasional” di Jogyakarta tanggal 15-17 Januari 1975 yaitu:

Hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam

bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini

mengandung unsur agama.

C. Hukum Adat dan Adat

Apabila hukum adat tidak dipelajari, sebagai suatu ilmu pengetahuan,

maka pada umumnya di kalangan masyarakat daerah dalam pembicaraan

sehari-hari atau dalam kerapatan-kerapatan adat orang tidak membedakan

antara hukum adat dengan adat. Jadi dengan mengatakan adat, berarti pula

meliputi hukum adat, baik adat tanpa sanksi maupun adat yang mempunyai

sanksi.

Akan tetapi apabila hukum adat ini ingin dipelajari sebagai suatu studi

disiplin ilmu pengetahuan tersendiri, maka haruslah dibedakan antara

keduanya, sebab agar jelas kemudian bidang telaahan yang akan dilakukan

16
terhadap ilmu pengetahuan ini dan eksistensinya sebagai salah satu bidang

disiplin ilmu pengetahuan.

Memang betapa sulitnya untuk membedakan antara hukum adat

dengan adat ini karena keduanya merupakan unsur yang membentuk suatu

mekanisme pengendalian social di dalam masyarakat adat. Walaupun

kesulitan-kesulitan itu timbul, akan tetapi pada intinya sebenarnya terletak

pada tujuan hukum adat . dengan mengetahui dan menghayati tujuan

tersebut, maka akan ditetapkan ciri-ciri hukum adat yang merupakan tanda

pengenal yang membedakan antara hukum adat dengan adat.

Sebagai perbandingan dapat pula diketengahkan pendapat para

sarjana antropologi yang dapat memberikan gambaran perbedaan antara

hukum adat dengan adat.

1. Menurut Bronislaw Malinowski

Perbedaan antara kebiasaan dengan hukum didasarkan pada dua kriteria

yaitu sumber sanksinya dan pelaksanaannya. Pada kebiasaan, sumber

sanksi dan pelaksanaannya adalah para warga masyarakat secara

individual dan kelompok. Pada hukum, sumber sanksi dan

pelaksanaannya adalah suatu kekuasaan terpusat atau badan-badan

tertentu di dalam masyarakat.

2. Menurut Paul Bohannan

Suatu Lembaga hukum merupakan sarana yang dipergunakan oleh

warga masyarakat untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dan

untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan aturan-aturan yang

17
terhimpun di dalam pelbagai Lembaga dalam masyarakat. Setiap

masyarakat mempunyai Lembaga-lembaga hukum dalam arti ini, dan

juga Lembaga-lembaga non hukum lainnya. Hukum terdiri dari aturan-

aturan atau kebiasaan yang telah mengalami proses pelembagaan

kembali (re-institutionalization). Lembaga-lembaga hukum berbeda

dengan Lembaga-lembaga lainnya atas dasar dua kriteria. Pertama-tama

hukum memberikan ketentuan tentang cara-cara menyelesaikan

perselisihan antar Lembaga dan aturan yang menyangkut aktivitas

Lembaga itu sendiri.

3. Menurut Lepold Pospisil

Untuk membedakan hukum dari kaidah-kaidah lainnya dikenal ada empat

tanda hukum, yaitu:

a. Wewenang (attribute of authority)

Wewenang (attribute otoritas) menentukan aktivitas kebudayaan

yang disebut hukum adalah putusan-putusan melalui suatu

mekanisme yang diberi kuasa dan pengaruh di dalam masyarakat.

Putusan-putusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan

social yang disebabkan oleh karena adanya, misalnya (i)

serangan-serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan

terhadap hak orang; (iii) serangan-serangan terhadap yang

berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.

b. Aplikasi secara universal (attribute of intension of universal

application)

18
Aplikasi secara universal menentukan bahwa putusan-putusan dari

pihak yang berkuasa dimaksudkan sebagai putusan-putusan yang

mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku

juga terhadap peristiwa-peristiwa yang serupa pada masa yang

akan dating.

c. Kewajiban (attribute of obligation)

Kewajiban ini menentukan bahwa putusan-putusan pemegang

kuasa harus mengandung rumusan-rumusan dari kewajiban pihak

kesatu. Dalam hal ini pihak kesatu dan pihak kedua harus terdiri

dari atas individu-individu yang masih hidup. Jika putusan itu tidak

mengandung kewajiban maupun hak tadi, maka putusan tidak

akan merupakan putusan hukum, dan jika pihak kedua misalnya

nenek moyang yang sudah meninggal, maka putusan hukum tadi

hanyalah suatu putusan yang merumuskan suatu kewajiban

keagamaan.

d. Sanksi (attribute of sanction)

Sanksi dalam hal ini menunjukkan bahwa putusan pihak yang

berkuasa harus dikuatkan dengan sanksi jasmaniah berupa

hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (misalnya amat penting

dalam sistem-sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga

berupa sanksi rohani, seperti misalnya menimbulkan rasa takut,

rasa malu, rasa benci, dan sebagainya.

19
Pendapat para ahli di atas memberikan gambaran bahwa ada

kecenderungan yang umum untuk menetapkan “sanksi atau akibat hukum”

sebagai atribut hukum adat, yang oleh Djaren Saragih disebutkan bahwa

untuk membedakan antara hukum dengan adat dapat digunakan kriteria

sebagai pedoman yaitu batasan dan atribut dari gejala hukum (adat) itu.

D. Hukum Adat Sebagai Aspek Kebudayaan

Kebudayaan adalah berasal dari kata budaya (budhayah), sedangkan kata

budaya adalah bentuk jamak dari kata “budi” atau “akal”. Jadi, budaya adalah

daya dari budi yang berupa cipta, karya, dan rasa; kebudayaan adalah hasil

dari karya, cipta, dan rasa manusia yang hidup bersama. Karya masyarakat

menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan dan

dipergunakan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya. Ciptaan

merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir dari manusia dan yang

antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Sedangkan rasa

yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah dan nilai-nilai

kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengatur masyarakat.

Dengan demikian, kebudayaan khususnya unsur rasa yang

menghasilkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai itu merupakan struktur normatif

yang merupakan “design for living” artinya kebudayaan merupakan pula

suatu “blue print of behavior” yang memberikan pedoman dan atau patokan

perikelakuan masyarakat.

Oleh karena itu tidak ada suatu masyarakat yang tanpa kebudayaan,

maka setiap masyarakat betapapun sederhananya masyarakat itu, secara

20
pasti memiliki nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah. Salah satu

norma yang ada dalam masyarakat yang terwujud dari perikelakuan

masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dalam pola sama, yang

disebut dengan norma adat dan hukum adat. Dengan demikian, norma

hukum adat merupakan bagian dari norma-norma masyarakat (norma

sosial).

Koentjaraningrat (1966) menyebutkan bahwa tiap-tiap masyarkat, baik

yang amat kompleks maupun yang amat kompleks maupun yang amat

sederhana bentuknya, tentunya mempunyai aktivitas-aktivitas yang berfungsi

dalam lapangan pengendalian masyarakat atau kontrol sosial.

Oleh karena itu Bushar Muhammad (1961) menyebutkan bahwa:

“Hukum yang terdapat di dalam tiap masyarakat manusia, betapa

sederhana dan kecil pun masyarakat itu menjadi cerminnya. Karena

tiap masyarakat, tiap rakyat mempunyai kebudayaan sendiri dengan corak

dan sifat sendiri, ‘geestesstructuur’ masyarakat yang bersangkutan,

mempunyai corak dan sifat sendiri yaitu hukum masing-masing masyarakat

itu berlain-lainan. Begitu pula halnya dengan hukum adat Indonesia seperti

halnyadengan semua sistem hukum lain di dunia ini, maka hukum adat

senantiasa tumbuh dari kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup, yang

keseluruhannya merupakan kebudayaan tempat hukum adat itu berlaku.

Dengan demikian, apabila kita melakukan studi terhadap hukum adat

Indonesia, maka berarti kita berusaha untuk mempelajari cara hidup dan

pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan refleksi dari cara

21
berpikir dan struktur kejiwaan bangsa Indonesia. Oleh karenanya struktur

kejiwaan dan cara berpikir akan mewujudkan corak-corak tertentu dalam pola

kehidupan, maka dari situasi ini, maksudnya dari struktur kejiwaan dan cara

berpikir suatu bangsa akan mewujudkan corak-corak tertentu terhadap

hukumnya. Demikian pula keadaan bagi hukum adat dari bangsa Indonesia.

Di dalam hukum adat Indonesia akan terlihat corak-corak tertentu yang

merupakan penjelmaan dari struktur kejiwaan dan cara berpikir dari bangsa

Indonesia. Artinya bahwa struktur kejiwaan dan cara berpikir bangsa

Indonesia akan tercermin lewat hukum adat, melalui corak-corak hukum adat

itu sendiri. Dari kenyataan ini jelaslah bahwa hukum adat merupakan bagian

dari kebudayaan bangsa Indonesia, dengan perkataan lain hukum adat

merupakan bagian dari aspek kebudayaan bangsa Indonesia.

BAB III. ADAT YANG DIADATKAN

A. Tradisional

Pada umumnya hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat

turun temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang

ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh

masyarakat adat yang bersangkutan, yaitu adat yang diadatkan.

Misalnya dalam hukum kekerabatan adat Batak yang menarik

garis keturunannya dari laki-laki sejak dahulu hingga sekarang masih

tetap berlaku atau dipertahankan. Demikian pula sebaliknya pada hukum

22
kekerabatan masyarakat Minangkabau yang menarik garis keturunan dari

perempuan dan masih tetepa dipertahankan hingga dewasa ini.

Contoh tradisional lainnya, seperti di Lampung bahwa dalam

hukum kewarisan berlaku sistem mayorat lelaki artinya anak tertua lelaki

menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus adik-

adiknya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. Harta peninggalan itu

tetap tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga bersama yang

kegunaannya untuk kepentingan anggota keluarga/kerabat bersama, di

bawah pengaturan anak lelaki tertua sebagai pengganti kedudukan

ayahnya. Misalnya yang masih nampak sekarang berupa “nuwow belak”

atau “lambing gedung” yaitu bangunan rumah panggung besar tempat

kedudukan anak tertua lelaki, atau “tanoh menyanak” (tanah kerabat yang

berisi tanah tumbuhan buah-buahan, atau tempat penangkapan ikan

bersama di daerah Tulangbawang).

B. Keagamaan

Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan (magis-

religius), artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukum berkaitan

dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan berdasarkan pada ajaran

Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia

bahwa di alam semesta ini benda-benda itu berjiwa (animisme), benda-

benda itu bergerak (dinamisme); di sekitar kehidupan manusia itu ada

roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (jin, malaikat, iblis,

23
dan sebagainya) dan alam sejagad ini ada karena ada yang mengadakan

yaitu Yang Maha Pencipta.

Alam berpikir yang demikian oleh Koentjaraningrat (1958) disebut

alam berpikir religio-magis yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut.

a. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-

hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus gejala-

gejala alam, tumbuhan-tumbuhan, binatang tubuh manusia dan

benda-benda.

b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam

semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang luar

biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, binatang yang luar biasa,

tubuh manusia yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa, dan

suara yang luar biasa.

c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif ini dipergunakan sebagai

“magische-kracht” dalam berbagai perbuatan ilmu gaib untuk

mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib.

d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan

keadaan krisis, menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib

yang hanya dapat dihindari dengan berbagai macam pantangan.

Orang Indonesia pada dasarnya berpikir dan merasa atau bertindak

selalu didorong oleh kepercayaan (religi) pada tenaga-tenaga gaib (magis)

yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta (dunia kosmos) dan yang

terdapat pada orang,binatang, tumbuhan-tumbuhan besar dan kecil, benda,

24
lebih-lebih benda yang berupa dan berbentuk luar biasa, dan semua tenaga-

tenaga itu membawa seluruh alam semesta dalam suatu keadaan

keseimbangan. Tiap tenaga gaib itu merupakan bagian dari kosmos, dan

rohani-participatie- dan keseimbangan itulah yang senantiasa harus ada dan

dijaga serta apabila terganggu harus dipulihkan. Memulihkan keadaan

keseimbangan itu berwujud dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus.

Corak keagamaan ini juga terlihat dari suatu kebiasaan di dalam

masyarakat Indonesia, apabila akan memutuskan menetapkan dan mengatur

suatu karya atau menyelesaikan sesuatu karya biasanya berdoa memohon

keridoan Yang Maha Pencipta, Yang Maha Gaib dengan harapan karya itu

akan berjalan sesuai dengan kehendak yang tidak melanggar pantangan

(pamali dalam bahasa Sunda) yang berakibat timbulnya kutukan dari Yang

Maha Kuasa.

Corak keagamaan dalam hukum adat ini terlihat pula dicantumkan

dalam pembukaan UUD 1945 alinea ketiga, yang berbunyi: “atas berkat

rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan

luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia

menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

C. Kebersamaan (Bercorak Komunal)

Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa di

dalam hukum adat lebih diutamakan kepentingan bersama, di mana

kepentingan pribadi diliput oleh kepentingan bersama. Satu untuk semua dan

25
semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat adat

didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekurangan, tolong menolong dan

gotong royong.

Kenyataan yang demikian ini masih terlihat dari adanya “rumah

gadang” di Minangkabau, “tanah pusaka” yang tidak dapat dibagi-bagi secara

individual melainkan menjadi milik bersama untuk kepentingan bersama. Di

pedesaan Jaw ajika ada tetangga menderita kesusahan atau kematian, maka

para tetangga berdatangan menyampaikan belasungkawa. Orang Jawa

mengatakan “duduk sanak duduk kadang ning yen mati melu kalangan”

(sanak bukan, saudara bukan, jika ada yang mati turut merasa kehilangan).

Bahkan corak dan sifat kebersamaan ini terangkat pula dalam Pasal

33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “perekonomian disusun

sebagai usaha besama berdasar atas asas kekeluargaan”. Di dalam

penjelasannya dikatakan bahwa, “dalam Pasal 33 tercantum dasar

demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah

pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran

masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab

itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”

D. Terbuka dan Sederhana

Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima

unsur-unsur yang datangnya dari luar asal saja tidak bertentangan dengan

jiwa hukum adat itu sendiri. Sedangkan corak hukum adat itu sederhana

26
artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya,

bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan

berdasarkan saling mempercayai.

Keterbukaan ini misalnya, dapat dilihat dari masuknya pengaruh

hukum Hindu dalam hukum perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”.

Jika suami wafat maka isteri kawin lagi dengan saudara suami. Atau

masuknya pengaruh Islam dalam hukum waris adat apa yang disebut bagian

“sepikul segendong”, bagian warisan bagi ahli waris laki-laki lebih banyak dari

perempuan, yaitu 2:1. Kesederhanaannya misalnya dapat di lihat dari

terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyurat, misalnya

dalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap, cukup

adanya kesepakatan dua pihak secara lisan tanpa surat menyurat dan

kesaksian kepala desa dan sebagainya. Begitu pula dalam transaksi yang

lain seperti gadai, sewa menyewa, hutang piutang, tukar menukar, sangat

sederhana karena tidak dengan bukti tertulis.

Dalam pembagian warisan menurut hukum adat jarang sekali

dibuatkan surat menyurat tanda pembagian dan banyaknya bagian para ahli

waris, tidak ada ketentuan seperti hukum Barat dalam KUHP Perdata atau

seperti hukum islam tentang ketentuan banyaknya bagian masing-masing

yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Al Hadist. Apalagi jika harta

peninggalan itu memang sifatnya tidak terbagi-bagi, melainkan milik besama.

27
28
BAB IV. ADAT YANG TERADAT

A. Dasar Yang Membentuk Masyarakat Hukum Adat

Mengenai masyarakat hukum adat, secara teoritis pembentukannya

disebabkan karena adanya factor ikatan yang mengikat masing-masing

anggota masyarakat hukum adat tersebut.

Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis

adalah:

1. Faktor Genealogis (keturunan)

2. Faktor Teritorial (wilayah)

B. Bentuk Masyarakat Hukum Adat

Berdasarkan kedua faktor ikatan di atas, kemudian terbentuklah

masyarakat hukum adat, yang dalam studi hukum adat disebut tiga tipe utama

persekutuan hukum adat yang dalam studi hukum adat disebut:

1. Persekutuan hukum genealogis.

2. Persekutuan hukum teritorial.

3. Persekutuan hukum genealogis-teritorial, yang merupakan penggabungan

dua persekutuan hukum . Kejelasan dari masing-masing bentuk masyarakat

hukum adat di atas adalah sebagai berikut:

1. Persekutuan Hukum Genealogis

Pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar

pengikat utama anggota kelompok adalah persamaan dalam keturunan,

29
artinya anggota-anggota kelompok itu terikat karena merasa berasal dari

nenek moyang yang sama. Menurut para ahli hukum adat di masa

Hindia Belanda masyarakat hukum genealogis ini dapat dibedakan

dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrilineal, matrilineal, dan bilateral

atau parental.

a. Masyarakat yang patrilineal

Pada masyarakat yang patrilineal ini susunan masyarakatnya ditarik

menurut garis keturunan dari (garis laki-laki), sedangkan garis

keturunan ibu disingkirkan. Yang termasuk ke dalam masyarakat

patrilinial ini misalnya “marga genealogis” orang batak yang mudah di

kenal dari marga-marga mereka seperti, Sinaga, Simatupang,

Situmorang, Pandiangan, Nainggolan, Pane, Aritonang, Siregar, dan

sebagainya. Masyarakat yang patrilinial ini terdapat juga di Nusa

Tenggara (Timor), Maluku, Irian.

b. Masyarakat yang matrilineal

Pada masyarakat yang matrilineal, dimana susunan masyarakatnya

ditarik menurut garis keturunan ibu (garis perempuan), sedangkan

garis keturunan bapak disingkirkan. Yang termasuk kedalam

masyarakat matrilineal ini adalah masyarakat Minangkabau.

Masyarakat matrilineal ini tidak mudah dikenal karena mereka jarang

sekali menggunakan nama-nama keturunan sukunya secara umum.

30
Suku dalam masyarakat Minangkabau sama dengan “marga” dalam

masyarakat batak dan Batin pada masyarakat Melayu Jambi. Oleh

karena itu suku di sini diartikan bukanlah dalam arti suku bangsa,

tetapi di sini diartikan sebagai golongan manusia yang berasal dari

satu turunan menurut “matriarchat” (matrilinial). Pada mulanya suku

pada masyarakat Minangkabau ada empat yaitu: Koto, Piliang, Bodi,

dan Chaniago. Kemudian suku Koto dan Piling digabungkan menjadi

“lareh Koto Piliang”, kemudian lagi suku Bodi dan Chaniago

digabugkan menjadi “lareh Bodi Chaniago”.

Karena penduduk bertambah terus dan banyak pula dari mereka

yang berpindah-pindah, maka diadakan cabang-cabang dari kedua

suku lareh Koto Piliang dan lareh Bodi Chaniago, akhirnya banyak

nama suku yang sekarang yang tidak jelas lagi asal usulnya.

Yang termasuk Koto Piliang antara lain ialah, Koto, Piliang, Pisang,

Tanjung, Melayu dan sebagainya. Cabang Bodi Chaniago antara lain

ialah Singkawang, Panjalai, Sumagek, dan lain-lain.

c. Masyarakat yang bilateral atau parental

Pada masyarakat yang bilateral atau parental, susunan

masyarakatnya ditarik dari garis keturunan orang tuanya yaitu Bapak

dan Ibu Bersama-sama sekaligus. Jadi hubungan kekerabatan antara

pihak Bapak dan pihak Ibu berjalan seimbang atau sejajar, masing-

masing anggota kelompok masuk ke dalam klen Bapak dan klen Ibu,

31
seperti terdapat di Mollo (Timor) dan banyak lagi Melanesia. Tetapi

kebanyakan sifatnya terbatas dalam beberapa generasi saja seperti

di kalangan masyarakat Aceh, Melayu, Kalimantan, Jawa dan

Sulawesi.

2. Persekutuan Hukum Teritorial

Mengenai persekutuan hukum territorial yang dimaksudkan di

atas, dasarnya adalah anggota kelompoknya adalah daerah kelahiran

dan menjalani kehidupan bersama ditempat yang sama. R.VAN Dijk

dalam Dewi Wulansari (2010), mengemukakan bahwa persekutuan

hukum territorial dibedakan ke dalam tiga macam yaitu:

a. Persekutuan Desa

b. Persekutuan Daerah

c. Perekutuan dari beberapa desa.

Menurut Undang-Undang Pemerintahan Desa pasal 1 tentang

desa dikatakan adalah sebagai berikut: Desa adalah satu wilayah

yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan

masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum, yang

mempunyai organisasi pemerintahan terendah dibawah camat yang

berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangakan dusun adalah

wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan

pemerintahan desa.

32
3. Persekutuan Hukum Genealogis Teritorial

Persekutuan Hukum Genealogis Teritorial dasar pengikat

utama anggota kelompoknya adalah dasar persekutuan hukum.

Menurut Hilman Hadikusuma dalam Dewi Wulansari (2010)

mengatakan masyarakat Genealogis Teritorial adalah masyarakat

dalam bentuknya yang asli (tradisional). Anggota masyarakat terikat

pada satu daerah dan terikat pula dalam satu Marga atau keturunan.

Dengan demikian di dalam suatu daerah di mana terdapat

masyarakat yang territorial genealogis, akan berlaku dualisme atau

pluralisme hukum yaitu hukum administrasi pemerintahan dan hukum

adat yang berlaku bagi masyarakat desa yang bersangkutan.

C. Wilayah Hukum Adat

Pembahasan kita mengenai masyarakat hukum adat akan

memberikan kesimpulan terdapatnya keragaman dalam dasar dan

susunan atau bentuk masyarakat hukum adat yang berlaku di

berbagai wilayah kepulauan Indonesia. Sehubungan dengan ini,

Cornelis van Vollenhoven dalam bukunya, Adat-Recht, membagi

seluruh wilayah Indonesia ke dalam sembilan belas lingkaran wilayah

hukum adat sebagai berikut:

1. Aceh (Aceh Besar, Panitia Barat Aceh, Singkel, Simeulue)

2. Daerah-daerah Gayo, Alas, dan Batak

33
a. Daerah-daerah Batak (Tapanuli)

(1) Tapanuli Utara

(a) Batak Pakpak (Barus)

(b) Batak Karo

(c) Batak Simelungun

(d) Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Sumban Julu)

(2) Tapanuli Selatan

(a) Padang Lawas (Tano Sapanjang)

(b) Angkola

(c) Mandailing (Sayurmatinggi)

2a. Nias dan Batu

3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanahdatar, Lima

Puluhkoto, Wilayah Kampar, Kerinci)

3a. Mentawai (orang-orang Pagai)

4. Sumatera Selatan

a. Bengkulu (Rejang)

b. Lampung (Abung, Peminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan,

Tulangbawang)

c. Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah,

Semendo)

d. Jambi (Penduduk Batin dan penduduk Penghulu)

4 . Enggano

34
5. Daerah Melayu (Lingga Riauw, Indragiri, Sumatera Timur, orang-

orang Banjar)

6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan

Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir (Daya Kenya, Daya Klemanten,

Daya Landak dan Daya Tayan, Daya Lawangan, Lepo Alim, Lepo

Timei, Long Glatt, Daya Maanyan Siung, Daya Ngaju, Daya Ot

Danum, Daya Penyabung Punan)

8. Minahasa (Menado)

9. Gorontalo (Bolaang Mongondouw, Boalemo dan Minahasa)

10. Daerah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja

Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang,

Kepulauan Banggai)

11. Sulawesi Selatan (orang-orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang,

Poure, Mandar, Makasar, Salaiar, Muna)

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau-

pulau Sula)

13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, pulau-pulau Uliaser,

Saparua, Buru, Seram, Pulau-pulau Kei, Pulau-pulau Aru dan

Kaisar)

14. Irian Barat

35
15. Kepulauan Timor (kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo,

Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada,

Rote, Savu, Bima)

16. Bali dan Lombok (Bali, Tenganan Pagringsingan, Kastala, Karang

Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)

17. Jawa Tengah dan Timur serta Madura (Jawa Tengah, Kedu,

Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)

18. Daerah-daerah Swaparaja di Jawa (Surakarta, Yogyakarta)

19. Jawa Barat (Priangan, daerah-daerah Sunda, Jakarta, Banten)

Lingkungan hukum adat di atas dengan bagian-bagian

lingkungan, suku bangsa, tempat kediaman dan daerahnya

sebagaimana diuraikan tersebut adalah berdasarkan kenyataan-

kenyataan yang diketemukan atau diperkirakan pada masa

sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk masa sekarang

agaknya pembagian serupa itu sudah tidak sesuai lagi

dikarenakan terjadinya perubahan dan perkembangan

masyarakat.

Dengan adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota, dari

suatu daerah ke daerah lain (transmigrasi), akibat pelaksanaan

pembangunan, percampuran penduduk dari berbagai suku

bangsa, dan sebagainya maka lingkungan hukum adat dan

masyarakat hukum adat sudah banyak mengalami perubahan.

36
Misalnya di daerah Provinsi Lampung, sekarang sudah terdapat

banyak orang Jawa, Bali dan sebagainya. Di Lampung tidak saja

berlaku hukum adat Lampung, tetapi juga berlaku hukum adat

Jawa, Bali, Minangkabau, Batak, dan sebagainya.

BAB V. ADAT YANG SEBENAR ADAT

A. Hal Keturunan

Yang dimaksud dengan hal keturunan dalam hukum kekeluargaan

adat ini adalah ketunggalan leluhur; artinya terdapat hubungan darah

antara orang seorang dengan orang lain, dua orang atau lebih yang

hubungan darah. Jadi yang tunggal leluhur di sini adalah keturun seorang

dari yang lain.” M.M. Djojodigoeno menggunakan istilah ketunggalan

leluhur ini dengan kata “kewangsaan".

Pada umumnya kita melihat terdapat hubungan hukum yang

didasarkan kepada hubungan kekeluargaan antara orangtua dengan

anak anaknya. Juga kita melihat bahwa pada umumnya ada akibat-akibat

hukum yang berhubungan dengan keturunan, bergandengan dengan

37
ketunggalan leluhur. Akibat-akibat hukum ini tidak semua daerah sama,

tetapi meskipun tidak sama, dalam kenyataannya masih terdapat satu

pandangan pokok yang sama terhadap masalah keturunan ini di seluruh

daerah, yaitu bahwa keturunan adalah merupakan unsur yang esensial

serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan

dirinya tidak punah yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya.

Oleh karena itu, apabila ada sesuatu klan, suku ataupun kerabat

yang khawatir akan menghadapi kepunahan klan, suku ataupun kerabat

ini, pada umumnya mereka melakukan adopsi (pengangkatan anak)

untuk menghindari kepunahannya. Berikutnya, individu sebagai

keturunan (anggota keluarga) memiliki hak dan kewajiban-kewajiban

tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga

bersangkutan, misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, boleh

ikut mengguna kan dan berhak atas bagian kekayaan keluarga, wajib

saling memelihara dan saling membantu, dapat saling mewakili dalam

melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.

Dalam hukum kekeluargaan adat ini dikenal adanya keturunan

yang bersifat lurus dan bersifat menyimpang. Keturunan yang bersifat

lurus, apabila seseorang merupakan keturunan langsung dari keturunan

keluarganya. Misalnya keturunan ini disebut keturunan lurus, hubungan

ni terjadi antara bapak dengan anak, antara kakek, bapak dan anak,

nubungan ini disebut keturunan yang bersifat lurus ke bawah. Apabila

rangkaian hubungan ini di lihat dari anak ke bapak terus ke kakek disebut

38
keturunan ini bersifat lurus ke atas. Sedangkan yang dimaksud keturunan

yang bersifat menyimpang atau bercabang dimaksudkan, apabila antara

kedua orang atau lebih terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya

bapak-ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek-nenek dan lain

sebagainya.

Selain keturunan ini dapat bersifat lurus atau menyimpang,

keturunan ini juga memiliki tingkatan-tingkalan atau derajat-derajat

hubungannya. Misalnya, seorang anak merupakan keturunan dari tingkat

pertama dari bapaknya dan cucu merupakan keturunan tingkat kedua

dari kakeknya, aku dengan saudaraku sekandung merupakan hubungan

kekeluargaan tingkat kedua dan lain sebagainya. Kenyataan yang

demikian ini menunjukkan bahwa setiap kelahiran memiliki tingkat atau

derajat keturunannya.

Tingkatan atau derajat seperti ini lazimnya dipergunakan atau

sering dipergunakan bagi kerabat-kerabat raja, misalnya

menggambarkan hubungan dekat atau jauhnya hubungan kekeluargaan

seseorang dengan rajanya, sehingga dalam suasana feodal dahulu

dikenal adanya bangsawan tingkat pertama atau derajat pertama

(=putera raja), dan bangsawan tingkat kedua (= cucu raja), serta

bangsawan tingkat ketiga (=cicit raja) dan seterusnya.

Di samping adanya keturunan seperti tersebut di atas, dikenal pula

dalam hukum kekeluargaan adat ini yang disebut keturunan garis bapak

(keturunan patrilineal) dan keturunan garis ibu (keturunan matrilineal).

39
Yang dimaksud dengan keturunan garis bapak atau yang disebut

keturunan patrilineal adalah pengakuan garis keturunan yang

mengutamakan garis hubungan darah dari pihak laki-laki atau bapaknya.

Garis keturunan yang berdasarkan laki-laki ini misalnya terdapat di

daerah Tapanuli. Sedangkan yang dimaksud dengan keturunan

perempuan atau ibu adalah pengakuan. garis keturunan yang mengakui

keutamaan garis hubungan daran a pihak perempuan atau ibu, seperti

terdapat di daerah masyar Minangkabau.

Oleh karena itu, dalam hukum kekeluargaan adat kemudian

adanya "unilateral" dan "bilateral". Yang dimaksud dengan adalah suatu

masyarakat yang dalam pergaulannya sehari-han mengakui keturunan

patrilineal atau matrilineal saja. Sedang yang dalam pergaulannya sehari-

hari mengakui keturunan dan belah pihak yang disebut bilateral. Akan

tetapi menurut M.M Djojodigoeno, dari hasil penyelidikannya ternyata

berkesimpulan bahwa pada kenyataannya tidak ada. Seperti di daerah

Minangkabau dan Tapanuli ternyata masyarakatnya juga mengakui

keturunan dari kedua belah pihak orangtuanya, yaitu ibu dan bapak.

Bahwasanya di daerah Minangkabau keturunan bukan garis ibu nyata-

nyata diakui juga, terbukti dari adanya larangan untuk nikah atau

bersuami istri antara dua orang saudara sebapak berlainan ibu. Di

daerah Tapanuli pun demikian, ternyata mereka mengakui juga

keturunan di luar marganya sendiri, yang berarti ini menunjukkan bahwa

mereka mengakui keturunan dari pihak ibu, meskipun berlainan marga.

40
Sedangkan mengapa terjadi perbedaan anutan hubungan antara

keturunan patrilineal dengan keturunan matrilineal ini terjadi karena di

dalam susunan persekutuan yang genealogis menurut garis keturunan

matrilineal di Minangkabau dan patrilineal di daerah Tapanuli, dibedakan

nilai hubungan kekeluargaan mereka secara tradisi dari kedua belah

pihak keturunan mereka.

Pada masyarakat yang susunannya matrilineal, keturunan garis

ibu dipandang lebih penting dari garis keturunan bapak. Sehingga

menimbulkan hubungan atau perbauran kekeluargaan yang jauh lebih

dekat atau rapat meresap di antara para warganya. Hal ini menyebabkan

tumbuhnya konsekuensi-konsekuensi, misalnya dalam masalah warisan,

yang membedakan jauh lebih banyak dan lebih penting daripada pihak

bapaknya. Begitu pula sebaliknya dalam masyarakat yang susunannya

mengakui garis keturunan bapak, keturunan pihak bapak penilaiannya

lebih tinggi serta hak-haknya pun juga lebih banyak.

Lazimnya untuk kepentingan keturunan ini dibuat “silsilah”, yaitu

suatu bagan dimana digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan

dari seorang atau suami/isteri, baik yang lurus ke atas, lurus ke bawah

maupun yang menyimpang. Dari silsilah ini terlihat dengan jelas

mengenai hubungan-hubungan kekeluargaan yang ada di antara para

warga keluarga mereka. Hubungan kekeluargaan ini merupakan faktor

yang sangat penting di kemudian hari dalam hal-hal berikut:

41
1. Masalah perkawinan; yaitu untuk meyakinkan apakah terdapat

hubungan kekeluargaan yang merupakan larangan untuk menjadi

suami isteri, misalnya terlalu dekat, adik-kakak, sekandung, dan

sebagainya.

2. Masalah waris; dalam hal ini hubungan kekeluargaan merupakan

dasar pembagian harta peninggalan.

B. Hubungan dengan Orang Tua

Hubungan anak dengan orangtua dalam hukum kekeluargaan

adat ini adalah sangat penting, karena dalam hukum adat anak

kandung memiliki kedudukan yang sangat penting dalam setiap

somah (gezin) dari suatu masyarakat adat. Oleh orangtua, anak

dianggap sebagai penerus generasinya dan dipandang sebagai

wadah dimana semua harapan orangtuanya kelak di kemudian hari di

pandang sebagai pelindung dari kedua orangtuanya apabila tidak

mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri atau dalam hal

lain mewakili kepentingan kedua orangtuanya.

Oleh karena itu ketika anak masih dalam kandungan ibunya

hingga ia dilahirkan, bahkan dalam pertumbuhannya, pada

masyarakat adat terdapat banyak upacara-upacara adat yang sifatnya

religio-magis dan penyelenggaraannya berurutan mengikuti

pertumbuhan fisik anak tersebut dan semuanya bertujuan untuk

melindungi anak beserta ibunya yang sedang mengandung, dari

segala macam bahaya dan gangguan-gangguan yang mungkin timbul

42
setelah anak dilahirkan, agar anak dimaksud dapat menjadi anak yang

dapat memenuhi harapan kedua orangtuanya.

Di setiap daerah upacara-upacara adat itu tidaklah sama,

misalnya di daerah Jawa Barat upacara-upacara adat secara

kronologis berlangsung sebagai berikut:

1. Anak masih dalam kandungan

Upacara adat dilangsungkan pada bulan ketiga, kelima, ketujuh,

dan kesembilan, tetapi yang lebih khusus diadakan pada bulan

ketujuh yang disebut “tingkep”

2. Pada saat anak lahir

Upacara adat yang berlangsung adalah upacara “bali” atau kalau

tidak di tanam,dilakukan upacara penghanyutan ke laut.

3. Pada saat tali ari anak putus

Upacara adat yang berlangsung adalah diadakannya

“sesajen”. Tali ari yang putus disimpan ibunya dalam

“gonggorekan”-nya (kantong obat) serta pada saat itu lazimnya

anak diberi nama.

4. Setelah anak berumur empat puluh hari

Upacara adat yang dilangsungkan adalah upacara “cukur”

yang diteruskan upacara “nurunkeun” (untuk pertama kalinya

kaki anak disentuh ke tanah).

43
Di samping upacara-upacara adat yang berhubungan

dengan pertumbuhan fisik anak seperti yang telah diuraikan di

atas, lazimnya pada hari-hari kelahiran si anak, misalnya anak

lahir pada hari Jum’at, maka setiap hari Jum’at diadakan pula

sesajen demi keselamatan anak tersebut.

Demikianlah perhatian orangtua terhadap anaknya di

dalam masyarakat adat dilembagakan dengan satu tujuan, yaitu

agar si anak senantiasa mendapatkan perlindungan dan berkah

dari Yang Maha Kuasa dan leluhurnya serta memperoleh

bantuan dari segala kekuatan gaib di sekelilingnya.

Perhatian yang sama diberikan orangtua kepada anaknya

di setiap daerah bertujuan dan alasan yang sama yaitu di

samping hal tersebut di atas, adalah sebagai penegak dan

penerus generasinya, kekerabatannya, dan sukunya. Sedangkan

mengenai hubungan antara si anak dengan kedua orangtuanya

yang lahir di luar perkawinan, anak yang lahir karena zinah dan

anak yang lahir setelah perceraian kedua orangtuanya dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Anak yang lahir di luar perkawinan

Hal ini di setiap daerah tidak sama pandangannya. Di

Mentawai, Timor, Minahasa, dan Ambon, beranggapan bahwa

anak yang lahir di luar perkawinan tetap saja ibu yang melahirkan

44
anak itu sebagai ibunya. Jadi tidak ada yang dipermasalahkan

anak tetap diakui sebagai anak dari ibu yang melahirkannya.

Tetapi di daerah lainnya ada pendapat yang mencela

keras ibu anak ini, bahkan semula lazimnya si ibu dibuang dari

persekutuan keluarga tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan.

Kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya zaman

kerajaan dahulu mereka dipersembahkan kepada raja sebagai

budak.

Kekhawatiran yang demikian erat hubungannya dengan

adat yang mengharuskan adanya perkawinan beserta upacara-

upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan dalam

perkawinan. Untuk mencegah nasib si ibu beserta anaknya yang

demikian, terdapat suatu tindakan adat yang memaksa si laki-laki

untuk kawin dengan perempuan yang telah melahirkan anak tadi.

Tindakan yang demikian diambil misalnya di daerah Sumatera

Selatan dalam satu rapat warga. Demikian juga di Bali, bahkan jika

laki-laki yang dimaksud tidak mau mengawini sang perempuan ia

dapat dijatuhi hukuman.

Disamping kawin paksa, adat juga mengenal usaha yang

lain, yaitu dengan cara mengawinkan perempuan yang sedang

hamil misalnya, dengan salah seorang laki-laki lain. Maksudnya

adalah agar si anak dapat lahir dalam masa perkawinan yang sah,

sehingga anak itu nantinya menjadi anak yang sah. Cara yang

45
demikian banyak ditemui di daerah-daerah Jawa disebut nikah

“tambelan”, dan di Bugis disebut nikah “pattongkog sirik”

Walaupun telah dilakukan upaya-upaya adat di atas

namun tetap saja citra menghilangkan perasaan dan pandangan

masyarakat terhadap anak ini tidak hilang, karena itu dibeberapa

daerah memberi sebutan kepada anak ini, misalnya di Jawa

disebut sebagai “anak haram jadah”, di Bali disebut “astra”.

Kadang-kadang diperlukan adanya permbayaran ataupun

sumbangan adat agar diperbolehkan tetap hidup di lingkungan

persektuan adatnya.

Di Minahasa ada sedikit perbedaan mengenai hal tersebut

di atas, hubungan anak dengan laki-laki yang belum kawin dengan

ibu anak ini biasa saja seperti hubungan antara bapak dengan

anak dalam perkawinan yang sah untuk menghilangkan keraguan

bahwa dialah bapak dari anak tadi. Lazimnya si bapak

memberikan satu hadiah yang disebut “ilikur” kepada ibu dan anak

yang bersangkutan apabila perempuan ini tidak berdiam serumah

dengannya.

Di daerah lain, anak yang lahir di luar perkawinan secara

adat tidak mempunyai bapaknya. Sedangkan masyarakat yang

beragama Kristen misalnya di Ambon, anak yang lahir di luar

perkawinan seperti itu, tetapi kemudian perempuan dan laki-laki

46
yang bersangkutan kawin, maka anak tersebut disahkan, di

Ambon disebut “di-erken” atau diakui.

2. Anak yang lahir karena zinah

Apabila seorang isteri melahirkan anak karena hubungan

gelap yang terjadi dengan seorang laki-laki bukan suaminya,

maka menurut hukum adat suaminya sendiri menjadi bapak anak

yang dilahirkan, kecuali sang suami menolak berdasarkan

alasan-alasan tertentu yang dapat diterima untuk menolak anak

yang dilahirkan oleh isterinya karena perbuatan zinah tersebut.

Dalam hukum adat tidak ada kebiasaan seperti halnya

dalam hukum Islam yang menetapkan waktu lebih dari enam

bulan setelah nikah sebagai syarat kelahiran anak agar diakui

sebagai anak yang sah. Ketentuan hukum Islam ini sama sekali

tidak mempengaruhi lembaga adat “kawin paksa”, “kawin

darurat”, “nikah tabelan” atau “pattongkog sirik”.

3. Anak yang lahir setelah perceraian

Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat

mempunyai bapak bekas suami perempuan yang melahirkan

anak itu, apabila kelahirannya terjadi masih dalam batas-batas

waktu mengandung.

Mengenai hubungan yang terjadi antara anak dari selir

dengan bapaknya, secara adat hubungan ini diakui sebagaimana

kedudukannya dengan anak sah dalam perkawinan resmi,

47
kenyataan ini terjadi pada masa-masa yang lalu. Akan tetapi

dalam adat diatur bahwa kedudukan anak selir tidak sama

dengan kedudukan anak sah dari isteri seorang laki-laki yang

memiliki istri resmi. Misalnya dalam hal warisan, anak dan istri

yang sah akan memiliki hak-haknya yang lebih banyak.

Akibat hukum yang timbul dari hubungan kedua orangtua

dengan anaknya dalam hukum kekeluargaan adat ini adalah:

1. Larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan

ibunya.

2. Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.

Menurut hukum adat di Jawa, kewajiban utuk memelihara

atau membiayai penghidupan dan pendidikan seorang anak

yang belum dewasa, tidak semata-mata dibebankan kepada

ayah anak tersebut saja, tetapi kewajiban ini juga diikuti ibunya.

Sebagai contoh, misalnya pernah terjadi dan telah diputuskan

oleh Mahkamah Agung, tanggal 3-9-1958 Reg. No. 216

K/Sip/1958 bahwa salah seorang dari orangtua si anak

diputuskan harus membiayai anaknya dalam kehidupan sehari-

hari hingga si anak menjadi dewasa. Kenyataan ini timbul

karena salah seorang dari orangtua si anak tidak menepati

janjinya, karena itu ia kena tuntutan sebagaimana yang

diputuskan oleh Mahkamah Agung tersebut.

48
Hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya

dalam berbagai lingkungan hukum adat secara formal dapat

ditiadakan atau lebih tepat dikorbankan dengan suatu

perbuatan hukum, misalnya dapat saja anak itu di-‘buang’ oleh

bapaknya (tidak diakui lagi sebagai anak oleh bapaknya oleh

karena sesuatu hal). Perbuatan ini di Bali disebut “pegat

mapianak”, sedangkan di Angkola (Tapanuli Selatan) disebut

“mengaliplip”.

Ada pula kebiasaan yang mempercayakan pemeliharaan

anaknya kepada orang lain, akan tetapi di setiap waktu dapat

diambil kembali oleh orangtuanya. Lazimnya terjadi di beberapa

daerah, misalnya di Jawa terjadi karena orangtua si anak

kurang mampu untuk memenuhi kewajibannya sebagai

orangtua hingga anaknya menjadi dewasa. Pengasuhan

dipercayakan kepada keluarga yang berbeda dari si orangtua

anak itu.

C. Memelihara Anak Piatu

Mengenai pemeliharaan anak piatu dalam susunan

keturunan yang parental, maka orangtua yang masih hidup

yang memelihara anak-anak mereka seterusnya hingga

dewasa. Jika kedua orangtuanya tidak ada lagi, maka yang

memelihara anak-anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari

49
keluarga pihak bapak atau ibunya yang terdekat dan

keadaannya memungkinkan untuk keperluan memelihara si

anak ini.

Di Minangkabau (matrilineal), jika bapak si anak

meninggal dunia maka ibunya meneruskan kekuasaannya

terhadap anak-anaknya yang masih belum dewasa. Jika ibunya

yang meninggal dunia, maka anak-anak tersebut tetap berada

pada kerabat ibunya serta dipelihara seterusnya oleh keluarga

pihak ibu, sedangkan hubungan antara bapak dengan keluarga

si ibu anak-anak tersebut dapat terus dipelihara oleh si bapak.

Di Tapanuli (patrilineal) lain lagi, jika bapaknya

meninggal dunia, ibunya yang meneruskan memelihara anak-

anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika janda itu

ingin pulang ke lingkungannya sendiri atau ingin kawin lagi,

maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum

suaminya, tetapi anak-anaknya tetap tinggal bersama dalam

kekuasaan keluarga almarhum suaminya.

D. Mengangkat Anak (Adopsi)

Mengangkat anak pada hakikatnya adalah suatu

perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga

sendiri, sehingga antara orang yang memungut anak dengan

anak yang dipungut timbul suatu hubungan kekeluargaan yang

50
sama seperti antara orangtua dengan anak kandung.

Mengangkat anak merupakan hal umum di Indonesia.

Dilihat dari sudut anak pungut, maka dapat dicatat adanya

pengangkatan anak sebagai berikut:

1. Mengangkat anak bukan dari warga keluarga

Anak itu diambil dari lingkungan asalnya dan

dimasukkan ke dalam keluarga orang yang mengangkat

menjadi anak angkat. Lazimnya tindakan ini disertai dengan

penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kepada

keluarga anak tersebut. Alasan adopsi anak pada umumnya

adalah “takut tidak memiliki keturunan”. Kedudukan anak yang

demikian adalah sama dengan kedudukan anak kandung biasa,

sedangkan hubungan kekeluargaan dengan orangtua si anak

sendirinya putus secara adat. Adopsi yang demikian harus

terang (jelas), artinya wajib dilakukan dengan upacara adat

serta dengan bantuan kepala adat. Adopsi demikian terdapat di

daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan.

2. Mengangkat anak dari kalangan keluarga

Di Bali perbuatan yang demikian disebut

“nyentanayang”. Anak lazimnya diambil dari salah satu klan

yang ada hubungannya secara tradisional yang disebut

“purusa”, tetapi akhir-akhir ini dapat pula anak diambil dari luar

klannya. Bahkan di beberapa desa anak dapat pula diambil dari

51
lingkungan keluarga istri yang disebut pradana. Dapat pula

terjadi jika dalam satu perkawinan si istri tidak mempunyai

anak, sementara suaminya mempunyai gundik-gundik atau

selir, keadaan ini terjadi pada masa dahulu, maka biasanya

anak dari selir-selir ini di angkat menjadi anak dari istrinya yang

resmi (sah).

Prosedur mengangkat anak ini sebagai contoh di Bali

dilakukan hal-hal sebagai berikut:

- Laki-laki dari satu keluarga wajib terlebih dahulu

membicarakan keinginannya itu dengan keluarganya secara

matang

- Anak yang akan diangkat hubungan kekeluargaan

dengan ibunya dan dengan keluarganya secara adat harus

diputuskan, yaitu dengan jalan membakar benang (hubungan

anak dengan keluarganya putus) dan menurut adat membayar

seribu kepeng disertai pakaian Wanita lengkap (hubungan anak

dengan ibu menjadi putus)

- Anak kemudian dimasukkan ke dalam hubungan

kekeluargaan dari keluarga yang memungutnya, istilah disebut

“diperas”.

- Pengumuman kepada warga desa (siar)

dilakukan oleh mereka yang mengangkat anak. Untuk siar ini

pada jaman kerajaan dahulu dibutuhkan izin raja, sebab

52
sebagai pegawai kerajaan untuk keperluan adopsi ini membuat

“surat peras” sebagai akta. Alasan adopsi yang demikian juga

masih dalam alasan kekhawatiran terhadap tidak adanya

keturunan.

3. Mengangkat anak dari kalangan keponakan

Perbuatan semacam ini banyak terdapat di Jawa, Sulawesi, dan

beberapa daerah lainnya. Mengangkat keponakan menjadi anak

sesungguhnya merupakan pergeseran hubungan kekeluargaan dalam

pengertian yang luas dalam lingkungan keluarga. Lazimnya

pengangkatan keponakan ini tanpa disertai dengan pembayaran uang

ataupun penyerahan suatu barang kepada orangtua si anak yang

bersangkutan, yang pada hakikatnya masih saudara sendiri dari keluarga

yang memungutnya. Tetapi di Jawa Timur sekedar tanpa putus (pedot)-

nya hubungan antara anak dengan kedua orangtuanya di serahkan

sebagai syarat (magis) uang sejumlah “rongwang segobang” (17,5 sen).

Jika di Minahasa, ada kebiasaan kepada anak yang diangkat diberikan

tanda kelihatan yang disebut “parade” sebagai pengakuan telah

memungut keponakan yang bersangkutan sebagai anaknya.

Sebab-sebab mengangkat anak adalah:

- Karena tidak memiliki anak sendiri, lalu mengangkat keponakan

sendiri sebagai jalan untuk mendapatkan keturunan.

53
- Karena belum dikaruniai anak, sehingga dengan mengangkat

keponakan sebagai anak diharapkan dapat mempercepat

kemungkinan mendapatkan anak.

- Terdorong oleh rasa kasihan terhadap keponakan sendiri, misalnya,

karena hidup mereka kurang terurus dan lain sebagainya.

Selain pengangkatan anak seperti disebut di atas, masih dikenal juga

pengangkatan anak atau pemungutan anak yang maksudnya bukan

semata-mata untuk memperoleh keturunan, akan tetapi lebih

dimaksudkan untuk memberikan kedudukan hukum yang lebih tinggi

kepada anak tersebut. Perbuatan seperti ini misalnya:

- Mengangkat anak laki-laki dari seorang selir menjadi anak laki-laki dari

istrinya yang sah. Perbuatan ini sangat menguntungkan anak tersebut,

dengan pengangkatan ini dengan sendirinya si anak akan memperoleh

hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Ini ditemukan misalnya di

Bali dan Lampung.

- Mengangkat anak tiri (anak istrinya) menjadi anak sendiri karena tidak

mempunyai anak sendiri.

Perbuatan ini di daerah Bejang disebut “mulung jurai”, sedangkan

pada suku Mayan-Siung-Dayak disebut “ngungkup anak”. Mengangkat

anak tiri menjadi anak sendiri di Rejang tidak diperkenankan apabila

bapak dari anak itu masih hidup. Di daerah Minangkabau hal yang

serupa ditemui juga. Di samping itu, ditemukan pula tentang

54
pengangkatan anak ini dengan maksud untuk memungkinkan

dilangsungkannya perkawinan tertentu seperti yang terjadi di:

- Kepulauan Kei (masyarakat patrilineal lazimnya mengangkat anak laki-laki,

untuk dikawinkan dengan keponakan perempuannya; ada pula mengangkat

anak seorang perempuan untuk kemudian dinikahkan dengan keponakan

laki-laki. Hal yang sama juga akan terjadi di Sumba.

- Bali dan Maluku, hampir sama dengan Kepulauan Kei, mengangkat anak

laki-laki yang kemudian dinikahkan dengan anak perempuannya sendiri.

Pada umumnya pengangkatan ini terjadi pada anak-anak yang belum

kawin dan belum dewasa. Sedangkan yang mengangkat anak sendiri pada

umumnya juga sudah dewasa, sehingga anak yang diangkat itu pantas

menjadi anaknya.

Adopsi pada asasnya dapat digugurkan atau dicabut dalam hal-hal

yang dapat dijadikan alasan pencabutan itu, misalnya karena membuang

anak kandung sendiri dan lingkungan keluarganya. Masalah adopsi ini

sendiri tidak jarang juga dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, seperti yang

ditemui di daerah Jawa Barat, yaitu:

- Dalam menikah; anak tersebut tidak boleh memilih bapak angkat bertindak

sebagai wali nikahnya, di sini bapak angkat resminya berkedudukan hanya

sebagai mewakili wali nikah yang dianggap wali nikah sebenarnya adalah

tetap bapak kandung si anak angkat tersebut, atau penggantinya yang resmi

menurut ketentuan agama Islam

55
- Dalam perkawinan; jika semula tidak ada larangan perkawinan antara anak

angkat dengan anak kandungnya atau keturunan orangtua angkat dalam

garis lurus, maka setelah dipengaruhi oleh agama Islam maka kenyataan ini

tidak di perkenankan lagi terjadi.

BAB IV

BAB VI. FUNGSI LEMBAGA ADAT MELAYU JAMBI

A. PERAN LEMBAGA ADAT

Pembangunan daerah Jambi adalah merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari pembangunan Nasional untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spirituiil berdasarkan

Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Secara garis besarnya tujuan Pembangunan Daerah Jambi:

1. Untuk meningkatkan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan seluruh

rakyat yang semakin merata dan adil.

2. Meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan berikutnyan

dengan mengusahakan terwujudnya struktur ekonomi yang seimbang

antara sektor pertanian dan industri.

3. Merubah tatanan ekonomi masyarakat tradisional yang semakin besar

tergantung pada komoditas karet kepada bentuk pertanian yang maju dan

dinamis (Somad, 2002).

56
Kebijaksanaan pembangunan daerah tersebut dilandasi oleh trilogi

Pembangunan yaitu Pemerataan Pembangunan yaitu pemerataan

pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju terciptanya keadilan

sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi,

stabilitas nasional dan regional yang sehat dinamis.

Terwujudnya keadilan sosial yang makin merata melalui

pelaksanaan pembangunan dengan memperluas delapan jalur

pemerataan, harus didukung oleh laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Kebijaksanaan Pembangunan daerah Jambi akan diarahkan

kepada peningkatan pembangunan masyarakat pedesaan melalui

pengembangan kemampuan sumber daya manusia dalam rangka

menciptakan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya

masyarakat pedesaan, perlu meningkatkan kemampuan masyarakat

pedesaan untuk berproduksi serta mengolah dan memasarkan hasil

produksinya sehingga masyarakat desa makin mampu menggerakkan

dan memanfaatkan segala dana dan daya yang ada padanya untuk

meningkatkan taraf hidupnya. Program pembangunan yang telah

dilaksanakan oleh pemerintah daerah ini sejalan dengan prinsip otonomi

daerah yang telah diatur oleh Undang undang No. 5 tahun 1974, tentang

pokok pemerintahan di daerah yang menyatakan daerah berhak,

berwenang dan berkewajiban mengurus rumah tangganya sendiri.

Prinsip ekonomi yang demikian ini mengandung pengertian,

otonomi daerah yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab, demikian

57
juga Undang-undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa

menyatakan bahwa desa berhak menyelenggarakan rumah tangganya

senirir, dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, disamping itu

desa sebagai satuan pemerintahan terendah ternyata juga merupakan

sasaran berbagai pelaksanaan pemerintahan dan pemabgunan nasional

serta daerah, baik dalam rangka desentralisasi maupun tugas

pembantuan.

Tugas-tugas yang dibebankan kepada desa beserta aparatnya

menjadi sangat berat, kompleks dan sarat, yatu meliputi hampir semua

bidang kehidupan dan pembangunan.

Dalam kaitan ini maka perencanaan pembangunan dari bawah

akan lebih memberi arti yang lebih besar dalam melibatkan partisipasi

dan swadaya masyarakat. Dalam rangka ini maka kepada seluruh kepala

wilayah akan diberikan pelatihan penyegaran dibidang noemen

pembangunan masyarakat desa, dengan titik berat kepada pengelolaan

peran serta masyarakat desa dalam pembangunan, Timis pula

memantapkan sistem perencanaan dari bawah dalam arti sesungguhnya.

Sikap dan prilaku masyarakat pedesaan untuk menerima

pembaharuan karenanya pengorganisasian lembaga adat mestilah

dikembangkan sebagai suatu lembaga yang operasional bukan sekadar

ceremonial sampai ke daerah pedesaan. Kita memiliki potensi social

kemasyarakatan yang cukup tangguh, konsep “batin” dan konsep "suku

nan dua belas” perlu diangkat ke permukaan sebagai berpijak dari

58
program pembangunan pedesaan dalam konteks rekayasa social. Dalam

konteks rekayasa kebudayaan, bukan dalam konteks”mengangkat batu

dibencah” yang sudah usang, apalagi menata titian berakuk.

Dasar filosofis dari kebijaksanaan daerah tingkat I Jambi ini tidak

lain adalah pemberian perhatian yang lebih meningkat dalam

pembangunan pedesaan, program ini adalah bertitik tolak dari apa yang

paling dibutuhkan oleh rakyat, dalam kaitan ini menurut A Rahman Sayuti

sebagai salah satu instrumen teknis dalam mengoperasionalisasikan

program ini adalah melalui pengembangan kawasan terpadu (PKT)

sedangkan pola operasional bertitik sentral pada tugas dan fungsi Camat

Kepala Wilayah, dibantu oleh aparat dan perangkat desa termasuk dalam

hal ini adalah Lembaga Adat.

Kepala desa dan Kepala Kelurahan pada hakekatnya tumpuan

segala macam aspirasi dan keinginan yang datang dari bawah dan dari

atas seperti diketahui penyaluran aspirasi dari bawah yaitu dari warga

desa atau kelurahan.

Masyarakat pedesaan pada umumnya adalah masyarakat

tradisional yang masih sangat terikat dengan adat yang berlaku

dilingkungannya. Keterikatan mereka dengan lembaga-lembaga adat

masih sangat kuat sehingga partisipasi mereka dalam berbagai ragam

kegiatan sangat ditentukan oleh peranan lembaga-lembaga adat itu

sendiri.

59
Dalam menjalankan roda pemerintahan dan pelakon

pembangunan, lembaga-lembaga adat memegang peranan vano u

dalam menggerakkan partisipasi masyarakat, ini semua kan berini

dengan baik karena adanya keterikatan yang kuat antara warga

masyarakat dengan lembaga-lembaga adat, tua-tua pemangku adat

adalah merupakan panutan, karena mereka adalak symbol dan figure

yang dituakan yang memiliki gezah, kharisma seria mempunyai wibawa,

oleh karena sesuai dengan system perencanaan pembangunan yang

menampung kehendak dari bawah (bottom up) dan mencerminkan

keinginan dari atas (top down). Dilihat dari sini jelas sekali peranan

lembaga adat sangat besar dan stategis didalam mengisi dan ikut serta

di dalam pelaksanaan pembangunan daerah sesuai dengan apa yang

telah dikemukakan oleh Gubernur KDH Tk I Jambi yang menegaskan

tentang memantapkan system perencanaan dari bawah dalam artian

yang sesungguhnya, jhal ini sejalan dengan konsideran PERDA No. 11

Tahun 1991 yang berbunyi bahwa adat istiadat kebiasaan masyarakat

dan lembaga adat yang hidup ditengah tengah masyarakat memegang

peranan penting di dalam pergaulan dan dapat/mampu menggerakkan

partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang kegiatan, demikian juga

bila dihubungkan dengan pasal 3 ayat la PERDA Nomor 11 Tahun 1991

mengemukakan tentang fungsi lembaga adat “membantu mengusahakan

kelancaran pembangunan disegala bidang, terutama dalam dibidang

kemasyarakatan dan social budaya”.

60
Dari ungkapan yang telah dikemukakan tersebut diatas

ternyata memang sangat besar urgensinya antara lembaga adat dengan

kebijaksanaan daerah. Disamping itu ternyata lembaga adat telan dapat

melaksanakan fungsinya membantu pemerintah dalam menciptakan

ketenangan, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. Terciptanya

kondisi yang demikian ini berarti lembaga adat telah dapat memberi

bantuan kepada pemerintah untuk terlaksananya kelancaran dalam

pembangunan.

Tabel 1

KEGIATAN LEMBAGA ADAT PROVINSI JAMBI

DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJA 1991-1995

RESPONDEN

PENGURUS PENGURUS TOKOH


JENIS PROGRAM
MESJID/LANGGAR LEMBAGA ADAT MASYARAKAT

SUDAH BELUM SUDAH BELUM SUDAH BELUM

Bidang Kemasyarakatan

- Pengajian

dilanggar/rumah malam

hari

- Kegiatan seni 89% 11% 85% 15% 83% 17%

marhaban, Barzanji,

Brada dan acara

Perkawinan

61
Bidang Sosial

- Invetarisasi seloka adat

- Seni daerah
75% 25% 85% 15% 80% 20%
- Peninggalan kuno

Bidang Pemerintahan

- Pengukuhan gelar adat

- Sengketa adat
80% 20% 90% 10% 88% 12%
- Kekayaan milik adat

Sumber Data: data Primer .Laporan Pengurus Lembaga Adat dan Responden Tokoh Masyarakat.

(Somad, 2002)

Apabila diperhatikan Tabel 1 tentang pelaksanaan Program Kerja Lembaga

Adat Propinsi jambi ternyata telah dapat dilaksanakan secara baik, hal ini dapat

dilihat dari tanggapan responden, pengurus masjid/langgar dalam bidang kegiatan

kemasyarakatan yang meliputi menghidupkan dan melestarikan kegiatan pengajian

malam yaitu antara maghrib dengan isya memberikan pendidikan agama kepada

anak-anak baik di masjid maupun di rumah-rumah, mengaji Al qur'an Kegiatan seni

Marhaban, Barzanji, Zikir Bardah dan acara perkawinan telah terlaksana, yaitu 89

%.

Responden Pengurus Lembaga adat dan tokoh masyarakat dalam bidang social

meliputi inventarisasi seloka adat, menghidupkan kesenian daerah mendapat

jawaban sudah terlaksana 75 % dan yang belum terlaksana hanya 25 %.

Untuk bidang pemerintahan yang meliputi pengukuhan/pemberian gelar

sesepuh adat pada tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah, kekayaan milik

adat dari responden pengurus lembaga adat dan tokoh masyarakat telah menjawab

sudah terlaksana 85 %, ini berarti kegiatan bidang Pemerintahan telah dapat

62
berjalan secara baik dengan demikian secara keseluruhan pelaksanaan program

kerja Lembaga Adat Propinsi Jambi telah dapat terlaksana dan tidak banyak

mendapat hambatan.

Tabel 2

KEGIATAN LEMBAGA ADAT KABUPATEN DATI II SARKO

DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJA 1991-1995

RESPONDEN

PENGURUS PENGURUS TOKOH


JENIS PROGRAM
MESJID/LANGGAR LEMBAGA ADAT MASYARAKAT

SUDAH BELUM SUDAH BELUM SUDAH BELUM

Bidang Kemasyarakatan

- Pengajian

dilanggar/rumah malam

hari

- Kegiatan seni 91% 9% 96% 4% 90% 10%

marhaban, Barzanji,

63
Brada dan acara

Perkawinan

Bidang Sosial

- Invetarisasi seloka adat

- Seni daerah
80% 20% 83% 17% 85% 15%
- Peninggalan kuno

Bidang Pemerintahan

- Pengukuhan gelar adat

- Sengketa adat
90% 10% 93% 7% 90% 10%
- Kekayaan milik adat

Sumber Data: data Primer (Laporan Pengurus Lembaga Adat dan Responden Tokoh Masyarakat)

Apabila diperhatikan Tabel 2 tentang pelaksanaan Program Kerja Lembaga

Adat Kabupaten Dati II Sarolangun Bangko ternyata telah dapat dilaksanakan

secara baik, hal ini dapat dilihat dari tanggapan responden, pengurus

masjid/langgar, Lembaga Adat dan tokoh masyarakat dalam bidang kegiatan

kemasyarakatan yang meliputi menghidupkan dan melestarikan kegiatan pengajian

malam yaitu antara maghrib dengan isya memberikan pendidikan agama kepada

anak-anak baik di masjid maupun di rumah-rumah, mengaji Al qur'an Kegiatan seni

Marhaban, Barzanji, Zikir Bardah dan acara perkawinan telah terlaksana cukup

memuaskan, rata-rata 93 %. Responden Pengurus Lembaga adat dan tokoh

masyarakat dalam bidang social meliputi inventarisasi seloka adat, menghidupkan

kesenian daerah mendapat jawaban sudah terlaksana 80 % dan yang belum

terlaksana hanya 20 %.

Untuk bidang pemerintahan yang meliputi pengukuhan/pemberian gelar

sesepuh adat pada tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah, kekayaan milik

adat dari responden pengurus lembaga adat, tokoh masyarakat dan pengurus

64
Masjid/langgar telah menjawab sudah terlaksana 90 %, dan yang belum terlaksana

10 %, ini berarti kegiatan bidang Pemerintahan telah dapat berjalan secara baik, ini

berarti setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1991, telah

mendorong dan memberikan motivasi bagi masyarakat di daerah-daerah khususnya

Daerah Tingkat II Kabupaten Sarolangun Bangko untuk berpartisipasi secara

optimal terhadap program kerja Lemabga adat maupun atas seruan Pembina Adat

Propinsi Jambi.

Tabel 3

KEGIATAN LEMBAGA ADAT KABUPATEN DATI II BUNGO TEBO

DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJA 1991-1995

RESPONDEN

PENGURUS PENGURUS TOKOH


JENIS PROGRAM
MESJID/LANGGAR LEMBAGA ADAT MASYARAKAT

SUDAH BELUM SUDAH BELUM SUDAH BELUM

Bidang Kemasyarakatan

- Pengajian

dilanggar/rumah malam

65
hari 98% 2% 95% 5% 88% 12%

- Kegiatan seni

marhaban, Barzanji,

Brada dan acara

Perkawinan

Bidang Sosial

- Invetarisasi seloka adat

- Seni daerah
85% 15% 90% 10% 88% 12%
- Peninggalan kuno

Bidang Pemerintahan

- Pengukuhan gelar adat

- Sengketa adat
87% 13% 95% 5% 90% 10%
- Kekayaan milik adat

Sumber Data: data Primer (Laporan Pengurus Lembaga Adat dan Responden Tokoh Masyarakat)

Apabila diperhatikan Tabel 3 tentang pelaksanaan Program Kerja Lembaga Adat

Kabupaten Dati II Bungo Tebo, ternyata telah dapat dilaksanakan secara baik, hal

ini dapat dilihat dari tanggapan responden, pengurus masjid/langgar, Lembaga Adat

dan tokoh masyarakat dalam bidang kegiatan kemasyarakatan yang meliputi

menghidupkan dan melestarikan kegiatan pengajian malam yaitu antara maghrib

dengan isya memberikan pendidikan agama kepada anak-anak baik di masjid

maupun di rumah-rumah, mengaji Al qur'an Kegiatan seni Marhaban, Barzanji, Zikir

Bardah dan acara perkawinan telah terlaksana, rata-rata 90 %.

Dalam bidang sosial meliputi inventarisasi seloka adat, menghidupkan kesenian.

Demikian juga untuk bidang Pemerintahan yang meliputi pengukuhan/pemberian

gelar sesepuh adat pada tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah,

menyelesaikan sengketa adat serta menggali dan memanfaatkan sumber kekayaan

milik adat dari responden terlihat telah memberikan jawaban rata-rata berkisar 90%

66
yang telah dapat dilaksanakan, dengan demikian pelaksanaan program Lembaga

adat di Daerah Tingkat II kabupaten Bungo Tebo, telah mendapat sambutan yang

baik dari masyarakat dan berarti keberadaan Lembaga Adat itu telah mendapat

dukungan positip dari masyarakat.

Tabel 4

KEGIATAN LEMBAGA ADAT KABUPATEN DATI II BATANG HARI

DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJA 1991-1995

RESPONDEN

PENGURUS PENGURUS TOKOH


JENIS PROGRAM
MESJID/LANGGAR LEMBAGA ADAT MASYARAKAT

SUDAH BELUM SUDAH BELUM SUDAH BELUM

Bidang Kemasyarakatan

- Pengajian

67
dilanggar/rumah malam

hari
94% 6% 93% 7% 90% 10%
- Kegiatan seni

marhaban, Barzanji,

Brada dan acara

Perkawinan

Bidang Sosial

- Invetarisasi seloka adat

- Seni daerah
85% 15% 95% 5% 94% 6%
- Peninggalan kuno

Bidang Pemerintahan

- Pengukuhan gelar adat

- Sengketa adat
87% 13% 97% 3% 95% 5%
- Kekayaan milik adat

Sumber Data: data Primer (Laporan Pengurus Lembaga Adat dan Responden Tokoh Masyarakat)

Apabila diperhatikan Tabel 4 tentang pelaksanaan Program Kerja

Lembaga Adat Kabupaten Dati II Bungo Tebo, ternyata telah dapat dilaksanakan

secara optimal, hal ini dapat dilihat dari tanggapan responden, pengurus

masjid/langgar, Lembaga Adat dan tokoh masyarakat dalam bidang kegiatan

kemasyarakatan yang meliputi menghidupkan dan melestarikan kegiatan pengajian

malam yaitu antara maghrib dengan isya memberikan pendidikan agama kepada

anak-anak baik di masjid maupun di rumah-rumah, mengaji Al qur'an, kegiatan seni

Marhaban, Barzanji, Zikir Bardah dan acara perkawinan demikian juga dalam

bidang social meliputi inventarisasi seloka adat, menghidupkan kesenian daerah

dan penggalian peninggalan lama.

Untuk bidang Pemerintahan yang meliputi pengukuhan/pemberian gelar sesepuh

adat pada tokoh masyarakat baik nasional maupun daerah, menyelesaikan

68
sengketa adat serta menggali dan memanfaatkan sumber kekayaan milik adat dari

responden semua telah memberikan jawaban sudah dilaksanakan berkisar rata-rata

90% sudah dilaksanakan dan yang belum dilaksanakan dan yang belum

dilaksanakan kurang lebih 10 % ini berarti program Lembaga adat telah

dilaksanakan dengan baik dan mendapat dukungan dari masyarakat.

Tabel 5

KEGIATAN LEMBAGA ADAT KABUPATEN DATI II TANJUNG JABUNG

DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJA 1991-1995

RESPONDEN

PENGURUS PENGURUS TOKOH


JENIS PROGRAM
MESJID/LANGGAR LEMBAGA ADAT MASYARAKAT

SUDAH BELUM SUDAH BELUM SUDAH BELUM

69
Bidang Kemasyarakatan

- Pengajian

dilanggar/rumah malam

hari

- Kegiatan seni 92% 8% 90% 10% 93% 7%

marhaban, Barzanji,

Brada dan acara

Perkawinan

Bidang Sosial

- Invetarisasi seloka adat

- Seni daerah
83% 17% 85% 15% 85% 15%
- Peninggalan kuno

Bidang Pemerintahan

- Pengukuhan gelar adat

- Sengketa adat
90% 10% 95% 5% 95% 5%
- Kekayaan milik adat

Sumber Data: data Primer (Laporan Pengurus Lembaga Adat dan Responden Tokoh Masyarakat)

Apabila diperhatikan Tabel 5 tersebut diatas maka ternyata kegiatan

lembaga adat Kabupaten Tanjung Jabung dalam melaksanakan programn ya, di

Bidang kemasyarakatan, yang meliputi pelakasanaan pengajian di malam hari

antara maghrib dengan isya baik di Langgar/Masjid maupun di rumah-rumah,

Kegiatan seni Marhaban, Barzanji, Zikir Bardah dan Upacara perkawinan rata-rata

responden pengurus masjid/langgar, Lembaga Adat dan tokoh masyarakat

menyatakan telah terlaksana 90% yang menyatakan belum terlaksana kurang dari

10 % berarti kegiatan bedang kemasyarakatan ini telah berjalan dengan baik sesusi

dengan yang diprogramkan. Program bidang sosial meliputi inventarisasi seloka

adat, kesenian daerah,penggalian peninggalan kuno dan menyelenggarakan

perkawinan responden pengurus masjid/langgar, pengurus Adat dan tokoh

70
masyarakat yang menyatakan sudah dapat dilaksanakan 85%, ini berarti telah

dapat dilaksanakan dengan memadai, untuk bidang Pemerintahan yang meliputi

pengukuhan/pemberian gelar sesepuh adat dan pemanfaatan sumber kekayaan

milik adat. Responden pengurus masjid/langgar, pengurus Lembaga Adat dan tokoh

masyarakat adat secara keseluruhan yang menyatakan sudah dilaksanakan di atas

90%, ini berarti adanya pengaruh yang cukup positip dengan dikeluarkannya

Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1991 sehingga kegiatan dan penanganan di

bidang Pemerintahan ini sangat baik dengan demikian adanuya dukungan yang

besar oleh masyarakat terhadap program Lembaga adat dengan kata lain program

lembaga adat tersebut telah memasyarakat.

Tabel 6

KEGIATAN LEMBAGA ADAT KABUPATEN DATI II KERINCI

DALAM MELAKSANAKAN PROGRAM KERJA 1991-1995

RESPONDEN

PENGURUS PENGURUS TOKOH

71
JENIS PROGRAM MESJID/LANGGAR LEMBAGA ADAT MASYARAKAT

SUDAH BELUM SUDAH BELUM SUDAH BELUM

Bidang Kemasyarakatan

- Pengajian

dilanggar/rumah malam

hari

- Kegiatan seni 95% 5% 90% 10% 93% 7%

marhaban, Barzanji,

Brada dan acara

Perkawinan

Bidang Sosial

- Invetarisasi seloka adat

- Seni daerah
85% 15% 87% 13% 85% 15%
- Peninggalan kuno

Bidang Pemerintahan

- Pengukuhan gelar adat

- Sengketa adat
95% 5% 96% 4% 95% 5%
- Kekayaan milik adat

Sumber Data: data Primer (Laporan Pengurus Lembaga Adat dan Responden Tokoh Masyarakat)

Dengan diperhatikan Tabel 6 diatas terlihat tentang pelaksanaan

Program Kerja Lembaga Adat Kabupaten Dati Il Kerinci, telah memperlihatkan

pelaksanaan program bidang kemasyarakatan, yang meliputi pelaksanaan

pengajian di langgar/rumah diantara waktu maghrib dan isya’, pelaksanaan

mesjid/langgar yang menyatakan sudah melaksanakan 95 %, Pengurus Lembaga

adat 90 % dan table masyarakat menyatakan sudah dilaksanakan 93%. dengan

demikian pelaksanaan program bidang kemasyarakatan telah dapat terlaksanana

dengan baik, sedangkan yang menyatakan belum terlaksana rata rata 5 %.

72
Bidang sosial, yang terdiri dari kegiatan inventarisasi seloka adat, Pengembangan

seni daerah dan penggalian serta penyelamatan peninggalan kuno, responden

pengurus Mesjid/langgar menyatakan sudah dilaksanakan 80 %, Pengurus

Lembaga Adat menyatakan sudah dilaksanakan 85 %, sedangkan tokoh

masyarakat 87 %, sedangkan responden-responden tersebut yang menyatakan

bidang kemasyarakatan belum dilaksanakan berkisar 16 %, persentase yang cukup

besar, terutama dalam penggalian peninggalan kuno. Hal ini dapat dimaklumi,

mengingat kegiatan ini banyak memerlukan pembiayaan dan memerlukan tenaga

ahli, sedangkan tenaga ahli harus didatangkan dari luar, untuk bidang

Pemerintahan yang meliputi kegiatan pengukuhan gelar adat, sengketa adat dan

pemanfaatan kekayaan milik adat, para responden pengurus masjid/langgar,

pengurus Lembaga Adat dan tokoh masyarakat adat telah menyatakan sudah

dilaksanakan 95% sedangkan yang menyatakan belum dilaksanakan hanya 5 %,

hal ini dapat dimaklumi sebab apabila kita hubungkan dengan table 6 kegiatan

lembaga adat Propinsi Jambi ternyata memang frekuensi kegiatan pemberian gelar

setelah adanya PERDA Nomor 11 Tahun 1991 cukup menghikat demikian juga

dalam pengawasan Seloka Adat ( yang dilakukan oleh masyarakat) telajh dapat

diselesaikan oleh lembaga ada, ini berarti secara keseluruhan kegiatan lembaga

adat di kerinci telah menunjukkan bukti yang baik terutama setelah dikukuhkannya

lembaga adat melalui PERDA Nomor 11 Tahun 1991 dan berarti PERDA tersebut

telah dapat menampung aspirasi dan kehendak masyarakat.

B. KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT ADAT

1. Arti Pemimpinan Dalam Adat

73
Kepemimpinan dalam masyarakat adat apa yang disebut dengan

"Berjenjang naik, bertangga turun", mekanisme kepemimpinan dalam masyarakat

ini ada hubungannya. dengan jenjang/tata ousunan pemerintaban ibarat anak

tangga, tata urutannya dari bawah kentas dan dari atas kebawah secara teratur,

ketentuan ini merupakan mekanisme dalam menampung aspirasi dan keinginan

dari rakyat yang disimpaikan kepada atasan menurut alur seperti jenjang anak

tangga, secara bertingkat artinya setiap keputusan yang dibuat oleh pemimpin adat

itu adalah merupakan apa yang diinginkan dari bawah, kesepakatan yang telah

dibuat dari bawah, sedangkan pimpinan pada hakekatnya hanya memberikan

ketetapan/memutuskannya, kepemimpinan ini mencerminkan kepemimpinan ying

sangat demokratis, sehingga setiap keputusan yang dibuat dan ditetapkan dipatuhi

dan diikuti oleh masyarakat, pengaturan demikian ini juga tercermin dalam tata cara

penghidupan dan kehidupan, baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam

lingkungan masyarakat.

Untuk mendapatkan pimpinan yang diinginkan, diadakan pemilihan yang

diatur dengan syarat-syarat tertentu, adapun sebutan pimpinan dalam masyarakat

hukum adat:

a. Tengganai.

Tengganai adalah saudara laki-laki dari suami istri, tengganai ada dua bagian:

1. Tengganai dalam atau perboseso, yaitu saudara

laki-laki dari pihak istri

74
2. Tengganai luar atau perbuali yaitu saudara laki-laki dari pihak suami Tengganai

berhak dan berkewajiban menyusun yang silang, menyelesaikan yang kusut,

menjernihkan yang keruh segala hal-hal yang terjadi dalam keluarga yang

dipimpinnya. Tengganai juga berkewajiban membentengkan dado, berkatokan

betis, bertumpuh ditempat tajam, berdada ditempat hangat, mencincang putus,

memakin babis dan bertanggung jawab penuh dalam keluarga.

b. Tuo Tengganai

Tuo tengganai adalah orang tua-tua dari sekumpulan Tengganai Tengganai dari

keluarga atau kalbu dalam mata kampung/desa/dusun/kelurahan. Tuo tenganai

berkewajiban mengarah mengajum, tukang tarik dan jaju, menyelesaikan yang

kusut, mengajum anak dan pinak, cupak dengan gantang, kerak dengan kudung,

makan habis, mancung mutus dalam kalbu yang dipimpinnya. Dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya tuo tengganai selalu berpedoman kepada " adat nan lazim,

pusako nan kawi, adat nan bersendikan sarak, sarak bersendl kitabullah”.

c. Nenek mamak

Nenek mamak merupakan gabungan tuo-tuo tengganai dalam suatu wilayah, yang

terdapat dalam kampung/dusun/desa/kelurahan,, sedang kan untuk daerah

kabupaten Tanjung Jabung disebut "Datuk". Tugas dan kewajiban nenek mamak

adalah mengarah, mengajum, menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang

keruh, menarik menaju, memakan habis, memancung putus bagi setiap persoalan

yang tidak dapat diselesaikan oleh tuo-tuo tengganai. Dalam melaksanakan tugas

75
dan keputusan demi terciptanya kerukunan dan ketenangan dalam masyarakat

selalu diambil jalan musyawarah untuk

mufakat seperti kata adat "Bulat air dek pembuluh, bulat kato dek mufakat

"disamping itu nenek mamak juga berperan ." sebagai kayu gedang dalam negeri"

rimbun tempat berteduh, gedang tempat bersandar. pergitrempat bertanyo, balik

tempat berberito, menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat didalam desa

melalui “arah ajum, kusut menguasai, silang mematut, keruh menjernihkan".

Adapun kewenangannya dalam adat disebutkan "berkata dulu sepatah, berjalan

dulu selangkah memakan habis, memancung putus" kesemuanya yang tersebut

diatas selalu dilandasi dengan musyawarah mufakat, landasan pijak musyawarah

untuk mufakat yang selalu digunakan oleh nenek mamak ini dengan acuan seperti

kata bahasa adat "Bulat air dek pembuluh, bulat kato dek mufakat"

2. Hak dan kewajiban pimpinan dan yang dipimpin

Dalam pengaturan jenjang kepemimpinan, ditentukan kedudukan dari

pemimpin dengan yang dipimpin serta kewenangan yang ada padanya, seperti

yang adat dikatakan dalam bahasa adat:

1. Anak sekato bapak

(anak dipimpin oleh bapak)

2. Kemenakan sekato mamak

(keponakan dipimpin oleh mamak atau paman)

3. istri se kako suami

76
(istri dipimpin oleh suami)

4. Rumah sekato tengganui (rumah dipimpin oleh tengganai)

5. luuk sekalo penghulu

(luak/dusun dipimpin oleh penghulu)

6. Kampung sekato tuo

(kampung dipimpin oleh tuo-tuo kampung)

7. Negeri sekato batin

(negeri/wilayah dipimpin oleh Kepala Batin/ Pasirah)

8. Rantau sekatojenang

(Rantau/Kabupaten dipimpin oleh jenang/ bupati)

9. Alam sekato rajo

(Kerajaan/negara dipimpin oleh Rajo/Sultan/Presiden

a. Syarat-syarat larangan yang tidak boleh dimiliki pemimpin

Oleh karena, peran pemimpin dalam masyarakat adat mempunyai kedudukan yang

sangat penting menjadi panutan bagi masyarakat, berwibawa dan dipatuhi maka.

menurut ketentuan adat ada beberapa hal yang tidak boleh dimiliki dan dilarang

serta tidak boleh mempunyai watak buruk, sifat-sifat atau perangai atau prilaku yang

dilarang seperti yang dikatakan dalam bahasa adat:

77
1. Burung kecil, ciling mato (Orang yang selalu mencari kesalahan orang lain

dan diceritakan kemana mana)

2. Burung gedane dua suaro (Pemimpin yang lain kata dengan perbuatan, tidak

konsisten dalam perbuatannya)

3. Titian galing dalam negeri (Pemimpin yang tidak mempunyai pendirian,

sering mungkir janji)

4. Cincin tembago bersuaro, terletak di jari kiri, yang biaso hendak binaso, keris

dipinggang ngamuk diri (Orang yang dipercaya membuka rahasia)

5. Pagar makan tanaman (Orang yang dipercaya seharusnya memelihara

kepercayaan itu tetapi justru sebailknya merusak kepercayaan itu)

6. Piawang mecah timbo (Orang yang seharusnya memelihara malah merusak)

7. Teluk pengusut rantau (Nenek mamak membiarkan persoalan kecil lalu jadi

besar)

8. Orang tuo berlaku budak (Orang tua tetapi kelakuannya seperti anak-anak,

tidak ada malu)

9. Malin tidak sekitab (Kaum ulama berselisih paham)

10. Cerdik tidak seandiko (Cendikiawan berbeda pendapat akibatnya menjadi

rusak)

Adanya persyaratan untuk menjadi pemimpin dengan sepuluh larangan yang

harus dipegang oleh pimpinan masyarakat adat dengan harapan agar pimpinan itu

benar-benar dapat dipercaya, bersih dan tidak memiliki watak-watak yang buruk

oleh karena apabila pimpinan telah benar-benar dan memenuhi persyaratan

tersebut maka pimpinan itu akan dicintai, diikuti, berwibawa dan menjadi panutan

78
dalam kehidupan masyarakat demikian juga keputusannya. setiap hukuman atau

keputusan yang dijatuhkan haruslah hukum yang adil, hukum bagi rakyat adalah

neraca untuk alat menimbang atau mengukur tentang salah atau benar sesuatu

perbuatan dalam masyarakat, oleh karena itu rakyat melalui musyawarah Nenek

Mamak, Tuo-Tuo Tengganai, Alim Ulama dan Cerdik Pandai berhak untuk menolak

atau menerima sesuatu keputusan, terutama bagi keputusan yang bertentangan

dengan kepentingan rakyat yang dalam bahasa adat disebutkan "raja adil raja

disembah, raja zalim raja disanggah."

Oleh sebab itu persyaratan tentang pimpinan dalam masyarakat adat sangat ketat,

apalagi pimpinan tersebut harus tumbuh dari bawah seperti kata babasa adat.

"Tumbuh kareno ditanam, tinagi kareno dianjung, gedang kareno dilambuk, mulio

kareno dihormati, bukan cucur dari langir. tidak tumbuh dari bumi. Seorang

pimpinan itu. "Bercakap dulu sepatah, berjalan dulu selangkah, makan ngabisi,

mencincang mutus", oleh karenanya pimpinan itu harus memiliki watak "Kalau

berpikir tidak sekali sudah. Berunding tidak sekali putus, Cukup dengan sisik dan

siangnya, sebab seorang pimpinan seperti dikatakan orang "kayu gedang ditengah

padang, Daun rindang tempa tberteduh, Dahannya tempat bergantung, Batang

gedang tempat bersandar, akarnya kukuh tempat bersilo, kok pergi tempat

bertanyo, kok balik tempat berberito

C. Lembaga Adat Dalam Masyarakat

79
Sebelum berlakunya Undang-undang No 5 Tahun .1979 tentang

pemerintahan desa, dalam Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang dimaksud dengan

desa adalah, Marga, Mendapo dan Kampung. Marga terdapat dalam kabupaten

Sarolangun Bangko, Bungo Tebo dan Tanjung Jabung, Mendapo terdapat dalam

kabupaten Kerinci sedangkan Karnpungterdapat dalam kotamadya Jambi, dengan

berlakunya Undang-undang No 5 Tahun 1979 tentang pernerintahan desa maka

bentuk desa seperti tersebut diatas jadi berubah sesuai menurut katentuan Undang-

undang tersebut yaltu menjadi desa dan kalurahan. Desa, kebanyakan terdapat

dalain lingkungan daerah pedesaan, sedangkan kelurahan tardapat dalam

lingkungan perkotaan.

Menurut pasal 1 Undang-undang No 5 Tahun 1979 yang dimaksud dengan Desa

adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan

masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

organisasi pemerintahan terendah, langsung dibawah camat dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan republik

Indonesia.

Pada tempo dulu dalam melaksanakan pemerintahan adanya kerjasama yang erat

antara Tiga Penguasa di desa, yang disebut dengan Tali Tigo Sepilin atau Tungku

Tigo Sejerang" terdiri dari

a. Pejabat pemerintah desa

b. Pemangku adat

C. Pegawai syarak/alim ulama

80
Ketiga orang ini adalah orang adat, tatapi dengan berlakunya Undang-undang No 5

Tahun 1979 Pejabat pemerintah desa, tidak lagi herasal dari orang adat, jadi orang

adat hanya tinggal pemangku adat dan pegawai syarak. Pemangku adat berupa

"Depati, Nenek mamak, Rio. Penghulu, Ngabei, Mangku, Datuk, Orang tuo, Cerdik

pandai dan Tengganai", sedangkan pegawai syarak adalah "Kadhi, Imam, Khatib,

dan bilal", yang berasal dari alim ulama.

Sedangkan yang dimaksud dengan pemerintahan desa adalah kepala desa,

sekretaris desa, kepala urusan, kepala-kepala dusun termasuk juga anggota LMD.

Pemerintahan dusun dipegang oleh kerapatan dusun yang dipimpin oleh kepala

dusun, peran dari kerapatan dusun adalah memilih kepala dusun, memilih dan

menunjuk nenek mamak, pengurus masjid, juru tulis dusun, hulubalang, alingan dan

tukang canang.

DIAGRAM 1

Susunan Organisasi Pemerintahan Dusun

KERAPATAN
DUSUN

KEPALA DUSUN

NENEK MAMAK MEMERITAH


JURU TULIS DUSUN HULUBALA-NG ALINGAN TUKANG CANANG KAHDI IMAN

81
Kepala dusun kedudukannya dalam dusun sangat penting sekali sehingga ia

memainkan peranan yang sangat luas, Dia adalah kepala pemerintahan dusun

sehari-hari dan melaksanakan keputusan kerapatan dusun Dia adalah wakil

masyarakat hukum adat. Yaitu sebagai penyambung lidah terhadap dunia luar.

Dalam pemerintahan yang lebih tinggi yaitu Marga dan Mendapo Kepala dusun

menjadi anggota kerapatan Marga/Mendapo, sebagai wakil dari dusunnya

disamping itu kepala dusun menerima instruksi-instruksi, peraturan-peraturan

perintah-perintah dari pemerintah yang lebih tinggi tersebut. Oleh kepala dusun

instruksi atasan tersebut disampaikan pada warga dusun yang dalam kedudukan

seperti ini kepala dusun disebut sebagai polong asap dari Marga/Mendapo dalam

melaksanakan kewajiban atasan. Kepala dusun melakukannya bersama dengan

kerapatan dusun, nenek mamak-, juru tulis, dusun hulubalang, alingan tukang

canang bahkan bersama-sama dengan pegawai syarak bila diperlukan. Juru tulis

dusun mencatat segala perintah dan membuat surat-suratnya, Alingan

menyampalkan surat-surat kepada yang bersangkutan dan tukang Canang

mengumumkan segala perintah dan peraturan yang perlu disampaikan kepada

rakyat, hulubalang mengawasi dilapangan pelaksanaan perintah. Itu.

Disini nampak dengan jelas peranan, partisipasi dan kerjasama dari "iali tigo sepilin

atau tungku tigo sejerang" dalam pernerintahan dusun itu. Dengan berlakunya

Undang-undang No 5 Tabun 1979 dari bentuk dan susunan pemerintahan desa

nampaklah orang adat tidak lagi dimasukkan dalarn pemerintahan desa.

82
DIAGRAM 2

Susunan Organisasi Pemerintahan Desa dan Perangkat Desa

PEMBINA LEMBAGA ADAT


KEPALA DESA
PERDA NO.11/1991

LEMBAGA SEKRETARIS
MUSYAWARAH DESA

KEPALA KEPALA
DUSUN URUSAN

Pemerintahan Desa dalam pelaksanaan tugasnya terdiri dari kepala desa,

sekretaris desa dan kepala dusun (Pasal 3 ayat 2 dan 3) Kepala desa dipilih secara

langsung, umum bebas dan rahasia leh penduduk desa. Kepala desa diangkat oleh

Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat 11 atas nama Gubernur dengan

masa jabatannya 8 Tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kall masa jabatan

berikutnya (Pasal 6 dan 7) dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa

menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa yaitu

menyelenggarakan rumah tangga sendiri dan sebagai penenggung jawab dibidang

83
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan didalam desanya, Kepala Desa

bertanggung jawab kepada Bupati Kepala daerah Tingkat II melalui Camat Kepala

Wilayah selaku atasannya. Dalam hal pemerintahan Desa ini menurut ketentuan

Undang-undang pemerintahan Desa dipisahkan dengan kekuasaan pemerintahan

orang-orang adat/Lembaga adat.

Namun demikian orang-orang adat/Lembaga adat tetap aktif mengurus

kepentingan-kepentingan masyarakat yang bersifat sosial dan kepentingan

masyarakat dibidang keperdataan, perkawinan, waris dan lain-lain. orang adat

menjadi pemimpin informal sedangkan yang formal adalah kepala desa dengan

keluarnya PerMendagri No 11 Tahun 1984 tentang pembinaan dan pengembangan

adat istiadat ditingkat desa/kelurahan. Serta dengan keluarnya, Peraturan Daerah

Propinsi daerah tingkat I Jambi No 11 tahun 1991 tentang pembinaan dan

pengembangan adat istiadat kebiasaan- kebiasaan masyarakat dan lembaga adat

didesa/kelurahan dalam propinsi daerah tingkat I Jambi telah memberikan peran

bagi lembaga adat, ini berarti sekarang terdapat jalinan hubungan kembali antara

pemerintah desa dengan orang-orang adat sebab kepala desa adalah pembina adat

dalam desanya dan orang adat harus membuat lembaga adat desa/kelurahan.

Seperti diketahui bahwa adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai

kaedah-kaedah dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang sejak semula

bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat, desa, telah

dikenal, dihayati dan diamalkan oleh warga masyarakat desa yang bersangkutan

secara berulang-ulang dan terus menerus sepanjang sejarah, adat istiadat yang

tumbuh dan berkembang sepanjang masa tersebut telah memberikan ciri khas bagi

84
suatu daerah. Dalam perjalanan sejarah telah membuktikan bahwa adat istiadat

yang tumbuh dan berkembang tersebut ternyata telah banyak memberikan andil

terhadap, kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam

pelaksanaaa bidang pembangunan yang saat sekarang ini sedang gial-giatnya

dilaksanakan oleh pemerintah daerah, apalagi bila. Kita hubungkan dengan sistim

perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dacian Jambi yaitu sistim

perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up) akan lebih memberi arti yang

besar dalam melibatkan partisipasi var swadava masyarakat, peran tersebut tidak

saja dalam perencanaan tetapi juga dalam bidang pengendalian dan pengawasan.

Adanya peran dan fungsi yang sedemikian besar mi menunjukan adanya

kerjasama yang baik antara pemerintah daerah dengan lembaga. adat, apalagi

kedudukan tuo-luo Tengganai/Pemangku adat disamping berada dalam

kepengurusan lembaga adat juga duduk dalam LMD dan LKMD dalam

kapasitasnya sebagal pemangku adat. Adanya sikap kegotong royongan dalam

bentuk kerja sama saling isi mengisi seperi yang dikatakan dalam bahasa adat

"Berat sama dipikul ringan sama dijinjing" sebab "tidak bangkit rakit sebuah karena

buluh (bambu) sebatang" sedangkan tugas ini adalah untuk membangkitkan batang

terendam. Hal ini adalah karena keberhasilan pembangunan itu dengan adanya

keharmonisan hubungan antara pemerintah yang tela:b memberikan peran dan

fungsi bagi lembaga adat untuk ikut serta dalam menggerakan partisipasi

masyarakat ini semua dengan mempedomani kenyataan yang sudah berjalan lebih

dahulu sebagai pegangan, seperti kata bahasa adat “baju bejahit yang dipakai, jalan

85
berambah yang ditempuh, mengaji diutus kitab, meratab diatas bangkai, memahat

diaras tiro"

Adapun peran dan fungsi lembaga adat Jambi adalah:

1. Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pembangunan disegala

bidang.terutama dibidang

kemasyarakatan dan dibidang sosial budaya.

2. Memberi kedudukan hukum, menurut hukum adat terhadap hal-hal yang

menyangkut harta kekayaan masyarakat hukum adat ditiap-tiap tingkat lembaga

adat guna kepentingan hubungan keperdataan adat, juga dalam hal adanya

persengketaan atau perkara-perkara perdata adat.

3. Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat istiadat dalam

rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional,

pada umumnya dan kebudayaan daerah Jambi pada khususnya.

4. Menjaga, memelihara, dan memanfatkan ketentuan-ketentuan adat istiadat yang

hidup dalam masyarakat untuk kesejahteraan masyarakat

Tabel 8

KEGIATAN LEMBAGA ADAT PROPINSI JAMBI

N Frekuensi kegiatan pengukuhan pemberian gelar adat

O Lembaga Adat

Sebelum Perda No. 11 Sesudah Perda No.11

Tahun 1991 Tahun 1991

86
1 Provinsi Jambi 1 6

2 Kodya, Jambi - 2

3 Batang Hari - 1

4 Bungo Tebo - 4

5 Sarolangun Bangko - 3

6 Tanjung Jabung - 4

7 Kerinci 1 3

JUMLAH 2 24

Sumber Data: Laporan Ketua, Lembaga Adat Jambi Pada Musda IV LA 1996

Dari tabel tersebut diatas terlihat bahwa frekuensi kegiatan antara sebelum

adanya, Perda dengan sesudah adanya, Perda terdapat peningkatan yang

sangat tinggi dalam hal kegiatan pengukuhan/pembefian gelar adat ini

menunjukan efektifnya kegiatan lembaga adat dalam memberikan gelar gelar

kepada seseorang atau pejabat di Jambi.

Frekuensi kegiatan Lembaga Adat Jambi setelah dikukuhkan melalui

Peraturan Daerab Nomor 11 Tahun 1991 dalam kegiatan upacara

pengukuhan/pemberian gelar adat sangat tinggi, hal ini menunjukkan

adannya pengaruh yang cukup besar bagi aktivitas Lembaga Adat Jambi

dalam kegiatan kegiatamya. Kendati yang demikian ini bila dibandingkan

dengan aktivitas-aktivitas Lembaga Adat Jambi, baik pada lingkungan

Lembaga Adat Propinsi maupun lingkup Lembaga Adat Kabupaten dalam

Propinsi Jambi, ini berarti Lembaga Adat Jambi telah dapat melaksanakan

fungsinya tetapi dengan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 11

Tahun 1991 yaitu inenyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-

87
nilai adat istiadat di Jambi dalarn rangka mengembangkan, melestarikan dan

mewujudkan kebudayaan nasional pada umumnya kebudaryaan daerah

pada, khususnya.

Dalam pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1991

disamping telah banyak menunjukan hasil-hasil yang positip ternyata, juga

ada. hambatan-hambatannya walauptm relatif kecil, misalnya sesuai dengan

Pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahtm 1979 untak pemerintahan

kelurahan, Kepala Kelurahan adalah penyelenggara, dan penanggung jawab

utama. dibidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, Kepala

kelurahan adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh bupati/walikota atas

nama gubernur. Terhadap Kepala, Kelurahan yang diangkat/Pegawai Negeri

kadang-kadang orangnya tidak cocok bahkan ada yang tidak mengerti adat

istiadat setempat padahal ia adalah sebagai pembina, Lembaga. Adat

dilingkungan kelurahannya, hal ini dapat menimbulkan hambatan antara

pemerintahan kelurahan dengan lembaga adat sebaikmya dalam

penunjukkan kepala. Kelurahan hendaknya, terlebih dahulu dikonsultasikan

dengan pengurus Adat setempat.

Tabel 9
Penyelesaian/Penanganan Problems Masyarakat oleh Lembaga Adat
Lembaga adat jambi

Sebelum Perda No.11 Sesudah Perda no.11


N Jenis Kegiatan
Tahun 1991 Tahun 1991
o

1 Penyelesaian perkara adat Dilaksanakan melalui Lembaga Adat

88
Kades/Pengadila Negeri

2 Penyampaian aspirasi keluhan masyarakat Camat dan DPRD Lembaga Adat

3 Perkawinan Perorangan/tokoh Lembaga Adat

masyarakat

4 Pembagian harta warisan Perorangan/tokoh Lembaga Adat

masyarakat

5 Sengketa/perkara warga Pengadilan Lembaga Adat

Negeri/Kepala Desa

Sumber Data: Data Primer pengurus Lembaga Adat dan Tokoh Masyarakat.

Dari tabel ini nampak bahwa berbagai permasalahan yang timbul didalam,

masyarakat, sebelum adanya PERDA Nomor 11 Tabun 1991 yang telah

melegetimasi keberadaan Lembaga Adat Jambi, penanganan dalam penyelesaian

persoalan-persoalan yang dapat menimbulkan gejolak dalam masyarakat,

diselesaikan melalui lembaga formal, kepala desa, Pengadilan Negeri, Camat,

DPRD dan perorangan yang mungkin saja persoalannya dapat diselesaikan secara

formal tetapi masih mengandung akibat moral yang belum terselesaikan, masih

belum menyelesaikan persoalan secara utuh dan belum mengembalikan

ketentraman dalam masyarakat. Penyelesalan formal yang sedemikian ini hanya

menyelesaikan pada permukaannya saja tetapi inti persoalan masih belum

terselesaikan seperti kata bahasa adat "Elok perkara selesai dibawah. Buruk

perkara selesai di alas"

Lain halnya setelah adanya Lembaga Adat, penyaluran aspirasi maupun

problema/sengketa dalam masyarakat disalurkan dan ditangani oleh lembaga adat,

maka penyelesaiannya dilakukan dengan jalan musyawarah mufakat dengan

mekanisme yang telah diatur di dalam masyarakat adat dengan melibatkan semua
89
kelompok, baik kelompok bersangkutan (yang bersengketa) maupun semua unsur

kepemimpinan dalam masyarakat, sehingga penyelesaian akhir adalah mempererat

hubungan kekeluargaan antara kedua belah pihak yang pada gilirannya benar-

benar telah menimbulkan ketenangan dan kesenangan dari semua pihak.

Keputusan hukum adat yang dilaksanakan dan diselesaikan oleh lembaga

adat dipatuhi oleh semua pihak (masyarakat), dengan proses peradilan menurut

ketentuan adat, setiap keputusan dengan mudah dapat dipabami dan diterima oleh

pihak-pihak yang bersengketa, oleh karena itu persengketaan huhum tersebut

dengan mudah dapat menghabiskan segala dendam kesumat bagi yang

bersengketa, seperti yang dikemukakan dalam bahasa adat "Rumah sudah, pahat

tidak berbunyi, Api padam puntung tidak berasap, yang tercecer sudah tinggal yang

terpijak sudah luluh" Untuk menguatkan keputusan yang diselesaikan oleh hukum

adat, dalam hal perkara-perkara yang berat dibuat juga janji setia (setih setio)

antara pihak yang berdamai dimuka sidang nenek mamak dimana kepada pihak-

pihak akan mematuhi semua ketentuan yang telah diputuskan dalam peradilan

adat. Dalam pembagian harta waris, upacara perkawinan dan penyampaian

aspirasi/keluhan masyarakat setelah adanya perda dilakukan disalurkan melalui

lembaga adat, tentunya dengan pertimbangan, akan dapat menyelesaikan

keinginannya dengan jalan kekeluargaan dan memberikan jalan kemudahan,

ketenangan lahir batin, ini berarti keberadaan lembaga adat telah dapat

menampung aspirasi masyarakat, disamping itu lembaga adat sendiri berarti telah

dapat melaksanakan fungsinya seperti yang terkandung dalam isi Perda tersebut.

TABEL 10

90
Tanggapan responden masyarakat tentang Lembaga adat. Untuk 60
responden
TANGGAPAN RESPONDEN

NO DAERAH TINGKAT II Baik Baik Sedang Rendah Rendah


Sekali Sekali
1 Kodya Jambi 10 -

2 Batang Hari 8 2

3 Bungo Tebo 7 1 2

4 Sarolangun 8 1 1

5 Tanjung Jabung 5 2 2 1

6 Kerinci 10 - - -

JUMLAH 49 4 7 1

Sumber Data : Hasil quetioner yang diedarkan untuk 6 daerah tingkat II, dengan jumlah
responden sebanyak 60 orang. (Somad, 2002).

Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat tanggapan masyarakat terhadap

keberadaan lembaga adat sangat-positif. Hal ini dapat dilihat dan ditunjukan dengan

jawaban dari responden yang menjawab baik sekali berjumlah 48 orang (71%)

sedangkan yang memberi jawaban atau penilaian rendah hanya, 2 orang (0.99%).

Berdasarkan kepada, data tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa

keberadaan lembaga adat propinsi Jambi sangat dibutuhkan oleh masyarakat

sebagai suatu sarana untuk pencapaian aspirasi didalam k.ehidupan sehari-hari

guna dapat berpartisipasi didalam pembangunan daerah, disamping itu ternyata

Lembaga adat telah dapat metaksanakan fungsinya membantu pernerintah dalam.

menciptakan ketenangan, keamanan, ketentraman dalam masyarakat, terciptanya

91
kondisi yang demikian ini, berarti Lembaga Adat telah dapat memberi bantuan

kepada pemerintah untuk terlaksanarnya kelancaran dalam pembangunan.

D. Tugas dan Kewajiban Lembaga Adat Jambi

Masyarakat Jambi yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia memiliki

kepribadian dan kebudayaan yang tinggi bersumber dari nilai-nilai luhur bangsa

Indonesia yang memiliki adat istiadat yang erat hubungannya dengan sila

Ketuhanan yang maha Esa yang dalarn pelaksanaannya dilingkungan masyarakat

adat Jambi "adat bersendikan ayarak, syarak bersendikan Kitabullah" hal ini telah

membuat masyarakat hidup damai penuh toleransi kasih sayang, tahu tugas dan

kewajiban, menempatkan sesuatu pada tempatnya yang benar, nilai-nilai luhur yang

dernikian telah diwarisi serta dikembangkan sebagai "titian teras bertangga batu".

Lembaga adat Jambi merupakan satu-satunya lembaga yang kegiatannya

difokuskan dalam adat istiadat, sebenarnya apabila kita simak Peraturan Daerah

Nomor 11 Tahun 1991 hanyalah merupakan justifikasi dari susunan dan sistim

hukum adat yang telah ada sebelumnya, sehingga dengan adanya PERDA tersebut

lembaga dat Jambi lebih dimantapkan keberadaannya. seperti diketabui adat

Istiadat kebiasaan masyarakat dan lembaga adat yang hidup ditengah-tengah

masyarakat memegang peranan penting didalam pergaulan dan dapat atau mampu

menggerakan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang kegiatan oleh

karenanya wajarlah dilakukan pembinaan dan dikembangkan sehingga secara

nyata dapat berdaya guna untuk kelancaran pemerintahan pembangunan dan

kemasyarakatan sejalan dengan apa yang telah dikemukakan diatas maka sebagai

tugas dan kewajiban lembaga adat Jambi adalah sebagai berikut:

92
1. Menggali dan mengembangkan adat istiadat dalam upaya melestarikan

kebudayaan daerah Jambi guna memperkaya khasanah kebudayaan nasional

2. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan adat

istiadat didaerah Jambi.

3. Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat istiadat didaerah Jambi sepanjang

tidak bertentangan dengan, perundang-undangan yang berlaku.

4. Menginventarisir, mengamankan, memelihara dan serta memanfaatkan sumber-

sumber kekayaan yang dimiliki oleh lembaga adat untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

93
DAFAR PUSTAKA

Anonim, 1991. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI (1945 – 1949) DI


PROVINSI JAMBI. Cetakan pertama. Penerbit CV. Majlis Raya
Offset Jambi.

Dewi Wulandari, 2018. Hukum Adat di Indonesia Suatu Pengantar.


Penerbit PT Refika Aditama Bandung.

Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, 1993. Sejarah


Nasional Indonesia II. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Penerbit Balai Pustaka.

Kemas Arsyad Somad, 2002. Mengenal adat Jambi Dalam Persepektif


Modern. Penerbit Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.

94
95

Anda mungkin juga menyukai