Anda di halaman 1dari 109

Rasa

y a n g t e r t i n g g a l

Anelein Eva | Bennisa DS | Dwi Hertyanto Santoso |


jake the sun | Ledy Nur Kharisma | Nawangwulan Rizqi andriani |
Pande Novi | Tris Surya | Tri Budi Astuti | Iwan Pramana |


y a n g
Rasa t e r t i n g g a l

Anelein Eva | Bennisa DS | Dwi Hertyanto Santoso |


jake the sun | Ledy Nur Kharisma | Nawangwulan Rizqi andriani |
Pande Novi | Tris Surya | Tri Budi Astuti | Iwan Pramana |


Rasa Yang Tertinggal
Penulis: Anelein Eva, bennisa DS, Dwi Hertyanto Santoso, Jake The Sun, Ledy
Nur Kharisma, Nawangwulan RA, Tris Surya, Tri Budi Astuti, Pande Novi, Iwan
Pramana

Cover: Photo by Debby Hudson on Unsplash

Nomor ISBN: 978-623-93948-6-8

Penerbit:
PT Insan Mandiri Cendekia
Redaksi:
World Trade Centre 5, Level 3A
Jl. Jendral Sudirman Kav 29-31
Jakarta Selatan 12920
Telp : (021) 2598 5122
www.quickstart.co.id
www.quickstart-Indonesia.com

Cetakan I Oktober 2020

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara
apa pun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Ada rasa dari masa lalu yang kadang
menyeruak di waktu-waktu yang kini kita lewati.
Sebagian menyenangkan, sebagian tidak. Apa lagi
jika berhubungan dengan kisah dua anak manusia
yang kandas di tengah jalan. Ada yang dapat
melupakannya, sementara yang lain menyisakannya
sebagai sebuah rasa yang tertinggal dari sebuah
kenangan.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari
kisah-kisah ini. Selamat membaca, semoga Anda
menemukan apa yang dicari disini.

Jakarta, Oktober 2020


Daftar Isi
Hati Yang Terkunci 1
The Feeling, The Fact & The Lesson 12
Julia 23
Singapura 31
Rasa Yang TerDitinggal 42
Ketika Takdir mengambil Alih 52
Kamu Dan Kenangan 63
Dia 74
Selaksa Rasa Untuknya 82
Terajana 91
Hati yang Terkunci
Aku hanyalah seorang wanita biasa yang
bekerja dari pukul 09.00 hingga 17.00. Tak ada yang
istimewa dari diriku karena aku memang tidak
menganggap diriku luar biasa. Aku menjalani
kehidupanku karena itulah yang diminta dariku.
Bangun, kerja, makan, kerja, pulang, tidur, bangun lagi.
Itulah yang kulakukan selama 10 tahun terakhir dari 1
Senin hingga Sabtu sejak aku lulus kuliah.
Setiap orang yang mengetahui rutinitasku
menyuruhku untuk mencari pasangan hidup karena
apalagi yang ingin kucari di usiaku sekarang. Pekerjaan
sudah, rumah ada, tabungan cukuplah, impian tercapai
semua. Lalu apa lagi?
Bukannya aku tak ingin mencari, tapi ada
sesuatu yang masih mengganjal di dalam sana.
Sesuatu yang harus kuhilangkan, tapi enggan
kulepaskan.
Gubrak!
“Ooops maaf!“ Ucap seorang wanita yang
menabrakku. Aku terpental mundur karena tak
memperhatikan sekelilingku saat berjalan. Ya, aku
2 cenderung menunduk saat berjalan. Entah apa yang
kupikirkan saat berjalan. Pokoknya aku hanya ingin
lekas tiba di rumah, karena badanku ini sudah remuk
berjuang memasuki kereta yang penuh sesak di jam
pulang kerja ini.
“Kamu gak apa˗apa?“ suara yang tak asing di
telingaku membuatku mengangkat kepalaku. Aku
melihat sebuah wajah yang membuat mulutku kaku.
Bulu kudukku merinding, dan darahku berdesir.
Wajah itu. Wajah yang tersimpan rapi di alam
bawah sadarku. Wajah yang membawaku ke 15 tahun
silam.
***
“Dil, hari Minggu nanti jangan lupa datang
reuni SD ya. Sayang udah bayar.“ Pipit, teman masa
kecil yang sudah bersamaku sejak TK hingga SMP
mengingatkanku.
”Ya.“ Aku membalas pesan singkatnya dengan 3
betul˗betul singkat. Sebenarnya aku malas menghadiri
acara reuni seperti ini. Aku lebih memilih tidur untuk
menghabiskan waktu luangku, karena sebagai murid
SMA tahun terakhir, kegiatanku banyak dihabiskan di
sekolah dan tempat bimbingan belajar. Tak jauh beda
dengan kehidupanku 15 tahun kemudian. Selain itu,
alasan lainnya adalah aku mulai lupa dengan wajah
teman sekelasku. Jangankan wajah, namanya saja aku
sudah lupa.
Aku mulai membuka Buku Kenangan Sekolah
yang dibuat untuk acara pelepasan murid kelas enam.
Aku kembali mengingat nama dan wajah
masing˗masing dari mereka. Aku ingat ada Firman,
sahabat pria yang senang ribut denganku. Kudengar
dia pindah ke Bandung. Dewi sainganku dalam
memperebutkan posisi juara kelas. Dewi juga sudah
pindah, tapi Pipit mengatakan Dewi akan hadir. Penti
4 dan Oni teman sekelas sekaligus tetangga di samping
kanan kiri rumahku yang juga sudah pindah ke luar
kota.
Kemudian, ada satu wajah manis yang telah
menarik perhatianku sejak awal ia menjadi murid baru
saat kami kelas lima. Itulah satu alasan yang
membuatku tiba˗tiba tertarik untuk mengikuti acara
reuni ini. Aku penasaran dengan kabarnya.
Hari Minggu pun tiba, aku datang bersama
Pipit sebelum acara dimulai. Aku membantu panitia
menyiapkan kursi dan konsumsi. Satu per satu, para
mantan teman sekelasku berdatangan. Meski samar,
ternyata wajah mereka tak banyak berubah. Hanya
tampak lebih gemuk, tinggi, dan berjerawat. Sepertinya
ini kumpulan hormon stres yang diderita oleh murid
SMA angkatan akhir.
“Hei, Dila. Apa kabar?“ seseorang menyapaku. 5
Aku terkejut menatapnya. Kames, pria yang enam
tahun lalu lebih pendek dari aku, sekarang terlihat 20
cm lebih tinggi. Badannya yang dulu kurus kering,
sekarang tampak atletis. Hanya satu yang tak berubah
darinya. Senyumannya yang manis, yang selalu
menyita perhatianku.
Orang bilang ini yang disebut cinta monyet.
Kupikir monyetku itu sudah lepas sejalannya waktu, tapi
ternyata monyetku kembali dengan pesonanya yang
lembut dan suaranya yang dalam. Kames mengambil
posisi duduk di sebelahku. Aku berusaha tenang meski
badanku keringat dingin. Aku tak ingin terlihat grogi,
tapi aku tak bisa mengendalikan senyuman di wajahku.
Aku berusaha berbaur mengobrol dengan yang
6 lain, tapi mataku tak bisa berhenti menatapnya. Bahkan
sesekali, aku bisa merasakan bahwa mata Kames sering
tertuju padaku. Hari semakin larut, acara reuni pun
berakhir. Sebelum pulang, ia mencegatku dan
menawarkan diri untuk mengantarku. Sayang, aku
sudah dijemput oleh Kak Dewa, kakak laki˗lakiku. Aku
bisa melihat matanya kecewa, walau bibirnya
tersenyum. Ia menanyakan nomor hapeku dan kami
pun bertukar nomor.
Dua bulan sejak reuni itu, kami selalu bertukar
pesan siang dan malam. Gayung pun bersambut,
ternyata Kames memiliki perasaan yang sama
denganku. Perasaanku bahagia setiap saat dan
badanku terasa ringan. Aku merasa paling cantik saat
itu. Wajahku selalu berbinar dan senyum selalu
mengembang di wajahku.
Aku selalu menantikan pesan teks yang
dikirimnya, menunggu suaranya dari ujung telepon 7
sana. Menghabiskan banyak waktu untuk berbincang
dan menatap layar hape. Tak ada yang salah dengan
semua ini, kecuali waktu yang tidak mendukung, atau
di usia belia ini, aku tak pandai mengatur waktu. Tapi,
siapakah yang bisa mengatur waktu di saat hati
sedang berbunga˗bunga menantikan kabar darinya?
Mama diam˗diam menyadari perubahanku ini.
Mama mengingatkanku betapa pentingnya masa˗masa ini.
Masa Ujian Akhir yang pada masanya diyakini sebagai
faktor penentu masa depan seseorang membuatku galau.
Aku tak boleh lengah dan bermalas˗malasan. Terlebih
dengan adanya Batas Nilai Kelulusan yang dibuat
pemerintah memberi kesan kuat bahwa murid yang gagal
harus mengulang satu tahun. Hal ini semakin membuat
8 stres orang tua, guru, dan murid.
Mama memperingatkanku seandainya aku tidak
lulus dalam ujian ini. Ia akan menikahkanku apalagi setelah
tahu aku memiliki tambatan hati. Sebagai seorang remaja
yang masih ingin melakukan banyak hal, menikah bukan
sesuatu yang kuinginkan.
Galau dan bimbang, itu yang kurasa. Haruskah aku
mengeringkan bunga yang sedang bersemi di hatiku
untuk alasan ini? Atau membiarkan ia mekar tetapi
mengorbankan masa depanku?
Sebagai gadis muda labil yang tertutup dan selalu
menyimpan masalah sendiri, aku tak punya teman untuk
berdiskusi. Diriku yang pengecut pun hanya memikirkan
skenario terburuk atas ucapan Mama.
Apakah aku bisa fokus belajar jika mempertahankan
hubungan ini atau nilaiku malah menurun dan membuatku
harus menikahi pria ini? Kemudian aku harus
mengorbankan masa depanku dan hidup bersama
seseorang yang baru kukenal dua bulan ini? 9
Atau jika kuhentikan hubungan ini, malah akan
terjadi drama baru lainnya, rasa bersalah karena melukai
seseorang, yang membuatku semakin tak fokus dan malah
semakin membuatku harus mengorbankan cita˗citaku?
Bayangan˗bayangan negatif berkecamuk di pikiranku
membuatku memutuskan untuk menghindar. Menghindar
dari kenyataan. Tidak mempertahankan atau mengakhiri,
tetapi menutupnya rapat˗rapat. Menutup hatiku.
Meyakini diriku sendiri bahwa tidak ada yang
berubah. Hatiku tetap bahagia karena tak ada yang
tersakiti. Aku ataupun dia.
Namun pilihan ini ternyata membuat hatiku
berhenti. Berhenti di masa itu. Membuatku hidup
dalam satu kenangan selama 15 tahun. Tak bisa
kubuka walau banyak orang mengetuknya. Aku
kehilangan kunciku. Kunci hatiku.
10 ***
Cekreeeek… perlahan kudengar derit pintu yang
mulai terbuka dari bawah sana, mengeluarkan kelopak
bunga yang berguguran dari hatiku saat kutatap
wanita hamil yang menabrakku dan pria di
sampingnya itu.
11
The Feeling, The Fact & The Lesson

No matter how much suffering I went through,


I never wanted to let go of those memories…

12
The Feeling
The 1st time we met, dia tolong aku di Airport,
sampai akhirnya aku bisa pulang dengan selamat. He
gave me his number, and I saved it.
The next time we met again, it was for a music
experience. I came home late.
“Bye. See you when I see you. Thanks for
tonight!” Aku berterima kasih dia sudah mengantarku
pulang. Dia tersenyum dan berkata “Bye. Take care. ”
Entah mengapa, sesaat aku merasa there was
still a lot to say, but…
“Hellooow, ini baru aja kenal lhooo!” Suara di
kepalaku tiba-tiba muncul.
“Well, I just hope to see him again next time.”
Aku berkata di dalam hati.
I think I made the right decision to get to know him
more and I won’t regret it.
*** 13
Time goes by. Kami semakin sering berkabar.
Setiap kali, sebelum dia datang ke kota tempat
tinggalku, dia akan menghubungiku dan kami sama-
sama menyiapkan waktu untuk bisa bertemu dan aku
selalu menikmati setiap kesempatan dimana aku bisa
bertemu dengannya. Even though we’ve only hanged
out at public places, when we were together, we were
in our own world.
I do like him a lot! Pembawaannya yang tenang
membuatku nyaman. Dia hanya berbicara seperlunya
saja dan aku suka saat-saat dimana hanya mata kami
yang berbicara. Whenever our eyes met, my heart
knows exactly that he cares!
I don’t know how to explain it, but the time
when I was with him, those moments are
unforgettable. At that time, he was my favorite person!
14 Amazing how we were just friends.
One day, I decided to tell him bahwa ada
seseorang yang mencoba mendekatiku, kedua orang
tua kami sudah saling mengenal, dan seseorang itu
bermaksud mengajak aku menikah. Aku ingin tahu
responnya, berharap dia akan cemburu dan mungkin
mengungkapkan perasaannya. Tetapi tidak ada respon
darinya.
Aku menguatkan hatiku, mencoba berpikir
positif. Still no response at all!
Dan waktu pun berlalu tanpa menghiraukan aku
dengan perasaanku.
I realized that I was not ‘special’ as I thought I
was to him. So many time I’ve tried to delete his
phone number, but the numbers keep playing around
in my head! The minutes later, his name was already in
my phone book. Again. 15
God, I hate this feeling!
***
“Hey, I’ve got mail from him.” I saw my inbox.
Aku mulai membaca, dan harapanku hilang ketika
membaca emailnya.
“Wah, congratulations! I am so happy for you!”
sampai disitu aku tidak sanggup membaca lagi, karena
sesuatu yang tiba-tiba mengalir deras dari mataku dan
lalu menutup penglihatanku.
I was so sad. Dia tidak cemburu sama sekali,
dia bahkan gembira aku akan menikah! NO WAY!
Aku terpaku di depan layar komputer. Aku
bingung. Aku marah. I thought, he cares about me!
Tapi mengapa rela jika aku harus menikah dengan
orang lain? Dan dia berharap suatu saat nanti aku
akan mengerti mengapa dia bersikap seperti itu. Wait.
16 What?
What am I doing here?
“I was a fool thinking that he wanted me too.
There is no point to read this email!” Aku berbicara
kepada diriku. Dan dengan segera aku memutuskan
untuk menghapus email itu tanpa benar-benar
membaca sampai selesai. My heart breaks.

.
Tiba-tiba suara di kepalaku berbicara: “Why
mad? I told you not to fall for him! You don’t really
know him yet!”
Well, the truth is, ever since our eyes first met, I knew
I’d fall for him.
”Ohh, c’moonn!” Suara di kepalaku protes.
Aku menangis tersedu-sedu. Rasanya aku
belum pernah merasakan hal yang menyesakkan
seperti itu sebelumnya. Aku bahkan tidak berani 17
menyimpulkan perasaan macam apa itu. Bahkan di
saat aku tau bahwa aku sudah bertepuk sebelah
tangan, aku tetap ingin bertemu dengannya. Is it
Love?

If I knew what love is, it is because of him.


I love him not because of who he is, but because of who I am
when I am with him.
Waktu terus berlalu and not a day goes by
without thinking about him.
Him, I would like to give my whole heart to. And a hug
from him? Oh, I need it every time!
I asked God: “Why is this hurting me so bad?” And the
answer was: “Be strong!”
***

18

I have to learn to live the life that I have got.


Let me let you go…

The Fact
“Hey, beneran kamu akan segera menikah?”
sahabatku bertanya setelah mendengar kabar aku
akan menikah. Lalu di melanjutkan bicara.
“Bukan hanya aku. Teman-teman yang lain pun
sama sekali tidak menyangka kamu akan menikah
secepat ini. Bagi kami, kamu adalah tipe wanita yang
tidak mungkin menikah di usia 25 tahun! Are you
serious?” dia terdengar sewot.
Aku tertawa tanpa berbicara apapun. Dia memang
sahabat baikku. Dan kami sangat dekat.
“Well, I think I am ready for a marriage life.”
Aku lalu bersuara. 19
Sahabatku kemudian berkata sambil menatapku
penuh harap “I really wish you luck and happy, dear!”
Dalam hati aku mengaminkan harapannya.
***
Malam sudah datang lagi. Dan Aku pun berdoa:
“Tuhanku, aku tidak tau apa yang akan terjadi di
depan, tetapi aku yakin Engkau selalu bersamaku dan
menuntunku menjalani hidup ini.
Aku percaya semua yang terbaik hanya dari
pada-Mu. Amin.”
Aku lalu tersenyum memandang wedding
dress yang belum pernah terlihat seindah itu
sebelumnya. Besok adalah hari pernikahanku, dan aku
harus cantik! Air mataku menetes lagi. Tetapi kali ini
adalah air mata pengharapan bahwa besok pasti lebih
baik. Pasti!
20 ***

Inhale the future.


Exhale the past.

The Lesson
Memang tidak mudah menjalani perasaan
yang bertahun-tahun tidak pernah hilang. But, feelings
are not facts. The fact is life must go on!
Semakin kita hanya mengikuti perasaan kita
tanpa berpikir panjang, semakin kita lari dari
kenyataan hidup yang ada. Kita lupa bahwa hidup ini
tidak melulu tentang kita dan perasaan kita.
Pray & Be Strong!

21
22

www.goodhousekeeping.com
Julia
Pada waktu itu.. dikalahkan aku oleh CINTA. Ya
C-I-N-T-A. Cinta yang bertepuk sebelah tangan. Cinta
masa – masa muda. Dia cantik. Dia cahaya. Dia irama
– irama gitar. Aku terlena oleh dirinya.

Mainkan gitarmu wahai wanita. Buat aku


mabuk cinta. Julia namanya. Ia mempunyai senyuman 23

yang manis bagai madu. Matanya jelita. Kulitnya putih.


Lantas aku berkaca pada diriku.. sepertinya jauh diri ini
jika ingin mempunyai hubungan dengan Julia.

Banyak lelaki yang mengagumi kecantikanmu.


Sekali – sekali mereka menatap.. sekali – sekali mereka
berbicara padamu. Aku hanya menjadi keanehan
untuk diri dan orang lain.
Namun.. beberapa waktu kedepan. Kita
berbicara. Ntah dirimu Julia, kurasakan adanya gejolak.
Kita mulai saling tegur – menegur. Tapi aku tetap
rendah diri! Tidak percaya diri!
Merasa kita hanyalah kita. Bukan KITA.
Aku ragu. Aku resah.
Kamu cantik. Kamu rindu.
24
Saat ku jauh dari mu.. engkau hadir dalam jiwa.
Seakan kita pasangan yang saling mengerti tanpa
berbicara. Tapi apa buktinya? Apa tandanya? Apa itu
rasa yang kita punya?

Kita terus saling bertemu dan bertemu. Kadang


ada gesekan di antara kita. Namun aku tetap tidak
mengenalmu dalam kesadaran.
Kita ini apa sering aku bertanya? Apakah kita
pasangan yang paling romantis ? Apakah kita
pasangan yang paling tulus? Tanpa berucap “I love
you”.

Engkau wanita.. aku lelaki.. aku yang harus


bicara tapi aku suka. Tidak yakin pada impian. Jauh –
jauh lah. Kamu berkata kepada ku sekarang tidak suka
kepada ku. Aku mengerti dan percaya bahwa engkau 25
Julia memang tidak suka kepada ku.

Ku jalani lembaran hari baru demi hidupku. Aku


hanya aku. Dan engkau hanya engkau Julia. Kini kita
sama – sama menjalani hidup untuk diri kita, masing –
masing. Mari berdewasa diri kata anak kecil yang
ingusan ini.

.
Sekolah terasa sedikit membosankan. Pada
saat engkau lewat didepanku, ada rasa yang
memanggil kembali. Julia.. Julia.. Julia.. engkau cinta
pertamaku.

Ku duduk, dikejauhan. Aku seperti merasakan


gejolak itu lagi pada diriku. Ku tatap engkau. Engkau
mempunyai raut muka yang sulit ditebak. Cinta?
26 Cinta? Rasa – rasa bercampur pada ruang diri.
Ruang – ruangmu juga sepertinya.

Kita tidak dekat. Kita jauh. Melebihi jauhnya


mata memandang. Hanya memberi rasa pada suratan
angan. Melebihi cinta yang lain pada ruang – ruang
cinta. Aku tidak tahan kali ini aku sampaikan secara
verbal kepada mu “I love you”. Dengan tegas kau
menjawab “Tidak. Aku tidak suka dengan mu!”
Pada saat itu aku menghindar dari mu. Aku
mematikan angan. Selamat tinggal impian. Sekitar
membenci karena aku egois. Aku menjadi berbeda.
Menempuh waktu yang panjang dalam kegelapan dan
kesedihan. Aku lemah.. aku lemah..

Aku pun belajar untuk melihat realita. Untuk


menyadari semua ilusi itu tidak benar. Ku buang resah 27
sedikit demi sedikit. Semua membenci, aku menerima
dengan pasrah. Untukku dan untukku semua itu. Untuk
menuju kepada yang lebih baik, yaitu pendewasaan.
Wahai diri yang lemah, mungkin Allah tidak ingin
engkau menempuh jalan cinta yang tidak Ia sukai. Mari
diri kita membenahi diri perlahan – lahan. Ada ganjalan
sedikit pada jiwa, ada yang terganggu.
Setelah bertahun – tahun aku masih dalam
bayangannya. Tidak lepas aku masih berharap. Sangat
bodoh memang sangat – sangat bodoh. Setelah itu…

Setelah itu aku melamar diri kepada waktu,


untuk menafsirkan diri. Untuk merenung dan berbicara
kepada diri bahwa aku mulai menambahkan
28 kehambaan ku kepada Allah. Ibadah ku tidak hanya
dzahir, namun juga ibadah batin. Ibadah batin yang
dulu ku lakukan hanya sedikit, sedikit sekali. Dari sana
pengembaraan hati berjalan, pengembaraan diri
berjalan. Mulai ku benar – benar menata hidup. Alon –
alon asal kelakon. Daripada berlari kencang
tersandung kaki terkilir?
Pengalaman cinta itu membuat ku banyak
belajar. Bahwa Allah sangat cemburu kepada hamba
Nya. Aku menafsirkan Allah cemburu kepada ku pada
saat aku menyukai Julia dan menginginkan untuk
menjadi pacar nya. Terimakasih Allah aku mengerti dan
menjadi lebih dewasa berkat rahmat Mu.

29
Do you know what the
music is saying?
Come follow me and you
will find the way.
30 Your mistakes can also
lead you to the Truth.
When you ask, the
answer will be given.

– Rumi

Background photo created by rawpixel.com - www.freepik.com


Singapura
Ini ungkapan hati dari sebuah rasa yang
sampai detik ini masih membekas di hatiku. Kejadian
yang menimbulkan rasa ini berlangsung cukup singkat.
Tidak lama. Namun memberi ruang dan bersit
memori tersendiri di hati.
***
Aku dikirim ke sebuah pelatihan Program 31

Pengembangan Eksekutif di Singapura selama 2


minggu. Sebelum kursus mulai, ada acara untuk para
peserta kursus saling berkenalan. Ada yang dari India,
Jepang, Filipina, Malaysia, Taiwan, Hongkong dan tuan
rumah, Singapura. Di antara mereka, ada yang
menarik perhatianku. Potongan badannya tidak terlalu
tinggi, rambutnya hitam tebal dan agak ikal. Ada
semburat uban di sana-sini.
Bagiku pria matang yang menunjukkan uban
memutih di kepalanya, sangatlah menawan. Uban di
kepala seorang pria, merupakan tanda kematangan,
ranum, lambang bahwa ia pun sudah berada di
kedudukan dan kematangan pribadi yang cukup
mapan. Namun wajahnya sedikit berbeda dari wajah-
wajah pria Asia lain. Ada yang unik dari wajah Jepang
pria ini. Seperti ada campuran darah kaukasia barat di
32 keseluruhan penampilan Jepangnya.
Hari pertama pelatihan dimulai. Baru di saat
rehat aku berkesempatan berkenalan dengannya. Ia
berkebangsaan Jepang dari ibu orang Jepang namun
ayahnya berdarah Portugis yang tinggal di Jepang.
Rupanya ia juga tertarik sekali untuk
berkenalan denganku. Entah ada proses kimiawi apa,
yang jelas kami saling tertarik.
Selama dua minggu pelatihan, kami selalu
menjaga jarak di kelas. Jangan sampai ketertarikan
diantara kami tercium orang lain. Tetapi, setiap malam
kami selalu makan berdua.
Yang paling menawan adalah bahwa di
tengah-tengah masa pelatihan aku ulang tahun. Sore
itu, saat turun dari bis, tiba-tiba ia menghilang. Waktu
itu belum ada telpon genggam, jadi aku tidak tahu apa
pasalnya. Dan ketika aku bersiap untuk makan malam, 33
ia datang dengan bungkusan indah berisi mawar
berwarna peach atau salmon pink. Alangkah
senangnya mendapat perhatian begitu istimewa dari
seorang pria. Yang mengejutkan, jumlah mawarnya
sejumlah umurku, dengan warna kesayanganku.
Tersanjung sekali aku rasanya. Belum pernah
ada pria memberi perhatian begitu besar bagiku
sebelumnya. Hari itu adalah hari ulang tahun yang
paling bermakna bagiku. Tidak mungkin kulupakan.
Setelah pelatihan selesai, kami berjanji untuk
tetap menjalin hubungan, sekalipun jarak jauh.
Hampir setiap malam dia menelponku dan kami bicara
berjam-jam lamanya. Sedangkan aku sebisa mungkin
34 mengirimkan pesan fax ke dia, untuk mengabari
keadaanku. Namun kabar dalam pesan fax harus
ditulis sedemikian rupa hingga seolah ini merupakan
tindak lanjut dari kursus manajemen yang kami ikuti di
Singapura. Padahal inti dari beritanya adalah
ungkapan rindu. Kami berdua jadi kreatif dan lihai
mengarang laporan kerja fiktif sebuah proyek. Semua
demi kerinduan hati.
Ketika ia akan bertugas di Singapura, jauh-jauh
hari ia mengirim kabar kepadaku. Maka aku mengatur
cutiku dari kantor agar cocok dengan tanggal saat ia
dinas di Singapura. Sejuta rasanya bisa bertemu
kembali. Perjumpaan sepasang kekasih di Singapura.
Kami menikmati sekali jalan-jalan di Chinatown dan
bagian-bagian kota itu yang masih memelihara
bangunan-bangunan tua dari jaman penjajahan
Portugis dulu. Kota itu yang bagiku tidak ada daya 35
tariknya selain kebersihannya, berubah menjadi tempat
penuh memori yang indahnya tiada bandingnya.
Aaahhh… ungkapan ‘dunia milik kita’ memang betul,
bukan bohong. Itu yang kurasakan.
Alam semesta rupanya tidak memperkenankan
jalinan asmara ini berlangsung abadi. Suatu saat
setelah aku pindah pekerjaan, aku mengajukan cuti
untuk dapat bertemu dengannya saat ia bertugas di
Singapura. Di kantor baru ini ritme kerjanya jauh lebih
cepat, menuntut kesigapan yang kadang cukup
melelahkan. Tapi kesibukan membuatku bisa
mengalihkan diri dari kerinduan untuk berbicara dan
36 bertukar kabar dengannya. Sudah merupakan
perjuangan besar bahwa cutiku disetujui. Namun aku
harus memimpin satu rapat besar dengan Direksi di
pagi hari, sebelum berangkat untuk bertemu dengan
idaman hati di tempat rendevouz kami, Singapura. Ia
pun akan mengosongkan jadwal kerjanya sore itu saat
aku tiba.
Setelah meeting rampung, bergegas aku ke
bandara. Hati sudah berdebar-debar dak-dik-duk.
Sampai di bandara aku segera ke tempat check in.
Dan setelah menunjukkan tiketku, petugas meminta
passportku.
Astaga – passportku ketinggalan! Aku sama
sekali lupa dengan passport karena terlalu sibuk
menyiapkan rapat tadi pagi! Aduh! Betapa tololnya
aku! Aku harus pulang dulu ambil passportku di 37
rumah. Minta ampun, bagaimana bisa aku sampai lupa
sama sekali menyiapkan passport! Penyesalan tidak
ada gunanya. Tapi masih bisa segera cari tiket untuk
berangkat besok.
Begitu sampai di rumah, aku menelpon dia di
kamar hotelnya di Singapura. Ternyata ia belum
sampai di kamar hotelnya. Jadi kutinggalkan pesan
melalui resepsionis hotel, mengabari bahwa aku baru
bisa datang besok. Aku menelpon biro perjalanan dan
mencari tiket untuk terbang ke Singapura besok
sepagi mungkin. Akhirnya dapat. Segera aku telpon
lagi hotelnya. Saat minta disambungkan ke nomor
kamarnya, sang resepsionis mengabari bahwa tamu
atas nama Portugis itu, baru saja check out setengah
jam yang lalu. Waduh!

38 Runtuh rasanya duniaku !

Mungkin ia begitu kecewa hingga ia tidak


menunggu lama. Langsung angkat kaki setelah
menerima pesan bahwa penerbanganku diganti ke
esok hari. Berarti ganti rencana penerbangan ia
terjemahkan sebagai pertanda untuk berpisah. Untuk
menyudahi jalinan asmara ini. Celaka!
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku
membayangkan betapa kecewanya dia. Semua
pekerjaannya di Singapura dirampungkannya agar ia
bisa menyisihkan 2 malam yang rencananya untuk
bersantai berdua denganku, sebelum terbang ke
Eropa. Ternyata, pertemuan yang sudah kami
rencanakan dan jadwalkan dengan rapih sampai ke
detil yang paling kecil, waktu, tanggal dan jamnya,
semua batal. Ambyar! 39
Tidak bisa kulukiskan penyesalanku hari tu.
Yang jelas, ada gumpalan besar sekali terasa
ditenggorokanku. Gumpalan penyelasalan yang
begitu dalam.
Satu dua hari berlalu, minggu, bulan berlalu,
tidak ada kabar darinya. Surat, kartu pos atau kabar
apapun dari kantornya tidak kuterima.
Setelah beberapa minggu kucoba mengirim
kabar dengan ungkapan maaf atas kesalahanku,
melalui fax ke kantornya. Namun tidak ada balasan.
Sejak itu aku sadar, bahwa asmara ini sudah
selesai. Kandas di tempat yang sama dengan
dimulainya. Dengan kehilangan jejaknya, aku pun
kehilangan cintanya.
Perasaanku padanya tetap – kenangan yang
40 kumiliki tentangnya, hanya kenangan indah yang tak
terlupakan.
Kubayangkan ia mungkin kembali ke
kehidupannya di mana pun ia berada. Ah, sudahlah….
Rasa cintaku padanya tidak berubah.
Doaku ia sehat di hari tua dan tetap bahagia. Ia
tetap satu-satunya pria yang membuatku merasa
istimewa - dicintai. Biarlah aku tetap mencintainya, di
manapun ia berada.
Isn’t a matter
41
of milestones,
but of

- Rose Kennedy

Background vector created by Harryarts - www.freepik.com


Rasa Yang TerDitinggal
Halo, namaku Adi. Sebagai mahasiswa di
fakultas yang belajar ilmu politik, aku sebetulnya
masuk poros tengah saja sih, nggak ke kanan nggak
ke kiri. Ups .. maksudnya bukan aktivis akademis (alias
library minded) atau organisasi mahasiswa, tapi bukan
juga aktivis kantin yang jauh lebih sering di kantin
42 daripada di ruang kuliah wkkkwkkk.
Sebagai pengusung poros tengah, kegiatanku
hanya antara ruang kuliah, perpustakaan, dan seminar
saja. Dan .. di sela-sela itu biasanya kongkow-kongkow
di lobi jurusan bersama teman teman satu poros.
Hitung hitung penyegaran pandangan lah lihat kakak
kelas yang lucu lucu.. He..he..he..
Begitu saja terus keseharianku di kampus,
sampai nggak kerasa sudah menginjak tahun ke 4.
Lalu, tibalah kegiatan studi banding ke
berbagai lembaga politik dan media di Jakarta oleh
angkatanku yang merupakan agenda tahunan kampus.
Setiap angkatan yang sudah mau skripsi pasti
melakukannya. Panitianya? Dipilih dari angkatan yang
akan studi banding. Singkat cerita terpilihlah Adit
sebagai ketua yang memang aktivis top kampus.
Tapi kemudian ngaconya, Adit yang dengan
kekuasaannya memilih langsung untuk posisi 43
sekretaris, bendahara, dan bagian lain. Ketika Adit
sudah akan ketok palu keputusan, tiba-tiba ia ingat
sesuatu.
“Maaf, saya baru ingat kita perlu posisi wakil
ketua, maklum saya juga cukup sibuk di senat.” Sambil
matanya menoleh kanan kiri mencari siapa yang akan
dijadikan “korban”. Tapi semua diam, boro-boro tunjuk
tangan 😂
Akhirnya Adit berkata, “Saya tunjuk ya, saya
pilih yang namanya hampir sama dengan saya, Adi.”
Duaarr, aku yang lagi mengantuk di belakang,
mendadak kaget dan langsung protes ... Tapi protes
ditolak, dan didukung oleh semua teman angkatan
yang tidak terpilih menjadi panitia ... Dasar pada
punya kepentingan pribadi buat bebas tugas .. huhh ...
Singkat cerita kami langsung gerak cepat.
44 Beneran kan, karena Adit sibuk akhirnya aku yang jadi
PLT (pelaksana tugas) ketua umum. Untung
sekretarisnya cekatan dan teliti sehingga aku sangat
terbantu, secara dia memang aktivis kampus juga sih..
Di antara panitia yang lain, kami berdua yang
paling sering kerja bareng. Sering di kampus, kadang
di tempat kostnya. Karena aku itu orang baik ...uhuk..
ya aku suka antar dia kesana kemari juga.
Eh iya, aku belum kenalin sekretaris ku ya,
namanya Indri. Perempuan? Ya iyalah, kalau Indro
baru laki laki.
Alhamdulillah semua kegiatan berjalan lancar
sesuai rencana. Panitia pun dibubarkan. Tapi memang
ada yang berubah, termasuk aku yang sudah lebih
akrab dengan ex panitia lain khususnya Indri.
Sekarang, kalo pulang kuliah aku jadi sering
nganterin dia pulang, secara kostnya dekat dengan 45
kampus.
Mulanya begitu saja, kemudian Indri mulai
ngajak aku di kegiatannya. Misalnya main ke rumah
temannya yang cukup jauh dari kostnya. Karena
semester itu semua mata kuliah sudah lulus dan
tinggal persiapan skripsi, jadi lebih banyak waktu
luang. Jadi oke saja sih diajak Indri di acaranya.
Namun, aku mulai curiga. Jangan-jangan dia...
Ah, bukan. Tapi…kecurigaanku mulai ‘terbukti’ ketika
pada suatu ketika kami sedang mengobrol berdua saja
di kampus, Indri berkata, “Mas Adi, nanti kalau papa
dan mamaku datang buat nengokin aku, aku kenalin
ya. Mereka kan perlu kenal juga dengan calon
menantunya.” Deg ... walau itu diucapkannya sambil
tertawa dan bercanda, aku bisa menangkap ada
46 maksud serius nih. Kayaknya aku harus segera
mengklarifikasi. Kalau dibiarkan terus, keburu papa
mama nya datang, piye jal?
Setelah berfikir sejenak aku putuskan untuk
mengajaknya ke tempat wisata pegunungan yang
hanya setengah jam perjalanan dari kampus. Akhirnya
dengan alasan mengajaknya makan siang di tempat
yang nggak biasa, aku mengajaknya pergi.
Setelah ngobrol sejenak sambil menikmati
gorengan dan minuman hangat, ketika waktunya aku
rasa pas, sambil menatap wajahnya dengan
pandangan serius, aku berkata, “Indri, aku jadi
penasaran sama kata-kata kamu tadi soal mau kenalin
aku sama papa mama kamu?”
Sambil tertawa kecil, Indri segera menjawab,
“Lha iya lah Mas Adi, wajar kan kalau orang tua
pengen kenal sama orang yang dekat dengan putri 47
kesayangannya.” Deg, beneran ini Indri salah tanggap
dengan tindakanku selama ini. Waahh.. ini harus cepat
diluruskan..
Setelah menghela nafas panjang, sambil
menatap wajahnya aku berkata, “Memang aku
perhatian sama Indri, mungkin sedikit lebih dari ke
teman teman yang lain...” aku menghentikan
perkataanku.
Aku lihat Indri pun menatap wajahku dengan
ekspresi bingung dan terlihat agak cemas, Aku pun
melanjutkan perkataanku, “...karena kita kan juga
cukup dekat sejak acara kemarin. Itu karena saya
sayang kamu sebagai sahabat ...aku nilai kamu orang
yang sangat baik dan aku nyaman ngobrol sama kamu.
Dan sebagai sahabat aku pun wajib untuk menjaga
kamu juga...”
48 Aku selesaikan perkataanku dengan perasaan
berat... Tidak tega sebenarnya mengucapkan itu.
Dengan suara tersendat, Indri berkata, “Berarti Mas Adi
bukan sayang Indri dalam artian cinta ya, Mas?”
Aku hanya bisa menggeleng kecil saja. Selepas
mengatakan itu, Indri langsung menuangkan
kesedihannya dalam tangisan kecil, kadang sambil
terisak .. cukup lama juga, mungkin sekitar 20 menit
kami terdiam dengan diiringi Isak tangis Indri.
“Setelah Isak tangisnya terdengar mereda, aku
berkata pelan, “Indri nggak apa apa? Maafkan Mas Adi
ya jika Indri merasa Mas Adi yang salah.”
Sambil mengusap air mata dengan sapu
tangan yang dibawanya, Indri menjawab, “Nggak apa
apa Mas.. Mas Adi nggak salah kok, aku yang salah
mengerti arti kebaikan Mas Adi selama ini. Mungkin
karena aku sangat berharap sekali Mas Adi bisa dekat
dengan aku.” 49
“Benar Indri nggak apa apa?” aku tegaskan lagi
perkataanku.
”Benar Mas, maaf ya tadi Mas Adi harus
dengarkan tangisan ku lama, tapi aku sekarang sudah
lega kok Mas,” sambung Indri dengan suara yang
sudah tidak diiring isak tangis lagi.
Aku juga sudah lega Indri, kataku dalam hati...
Kemudian kami melanjutkan pembicaraan
kembali dalam suasana yang sudah cair dan lebih baik
lagi. Cukup lama, mungkin baru 1 jam kemudian kami
beranjak pergi.
Setelah hari itu, hubungan kami tetap berjalan
baik dan hampir seperti biasanya. Tapi aku juga
merasa dalam hati Indri pasti ada rasa yang sudah
berbeda. Ya mau bagaimana lagi..
50
“Ada 2 alasan
kenapa orang
diam saat kita
bertanya.
Dia tidak tahu 51
jawabannya
atau dia tidak
ingin menyakiti
kita dengan
jawabannya."

Abstract vector created by starline - www.freepik.com


Ketika Takdir Mengambil Alih

Sudah hampir tiga tahun aku berpisah


dengannya. Dan tak satupun kabar yang kudengar
darinya setelah kami memilih jalan masing-masing.
Setelah tiga kali gagal mencoba kencan karena
dipaksa Yaya, sahabatku sejak SMA, kali keempat ini
adalah usaha terakhirnya.
52
“Gue nyerah deh sama sifat picky lo. Tiga
orang lo bikin patah hatinya. Padahal gue udah nyari
laki-laki yang sesuai tipe lo, cerdas dan ada unsur
humoris. Tapi gagal semua. Hadeeh.. Udah mau tiga
tahun ta, masa lo masih mikirin si Mas Reza juga sih?
Ayoklah, please¸ kali ini lo buka hati lo beneran buat
Izzat. Pilihan terakhir yang bisa gue kenalin ke lo. Kalo
ngga cocok juga, gue mundur..”, ucap Yaya kesal.
Aku menghela nafas panjang. Aku tahu dia
bersikap seperti itu karena sayang kepadaku. Saat aku
putus dari Mas Reza, kondisiku benar-benar kacau.
Makan tak mau, kuliah dan proker terbengkalai, diajak
jalan keluar pun juga tak mau. Kemudian aku bangkit
dan mencoba kuat tanpa sosok Mas Reza di hidupku.
“Iyaaa, oke Yaya manisku. Gue udah ngga
mikirin Mas Reza kok. Cuman laki-laki yang lo kenalin
ke gue emang belom ada yang cocok aja. Iya, gue 53
bakal berusaha sama Izzat ini. Semoga cocoklah”,
jawabku sedikit berharap.
“Bagus, besok di Starbucks GI jam tujuh malem,
detailnya udah gue kirim Whatsapp. Jangan telat, awas
lo! Jaga image, buat first impression yang baik. Jangan
langsung matahin hatinya”, ancam Yaya.
“Iyaa bawel ah”, jawabku mencibir yang
langsung dibalas cubitan kecil Yaya.
“Oh iya, ngomong-ngomong bulan depan
nanti lo jadi start kuliah S2 kan, Ta? Udah ada
grupnya?”, tanya Yaya yang lalu menyeruput Ice Latte
Starbucks kesukaannya.
“He eh. Belom nih. Kan masih bulan depan, still
need to wait for another four weeks, honey. Tapi, deg-
degan juga gue siapa aja ya orang-orangnya?”,
tanyaku penasaran.
54 “Moga ajaaa ada yang cakep nanti lo kenalin
ke gue hehehehe,” jawab Yaya sambil berpose sok
imut. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
Tepat pukul tujuh aku memasuki resto Amerika
tersebut. Sesuai dengan deskripsi yang diberi tahu
Yaya, aku langsung bisa menemukan Izzat. Kaos hitam
yang dibalut dengan jaket jeans cokelat muda. Ia
melambaikan tangan. Pasti Yaya juga sudah memberi
tahunya pakaian apa yang akan ku kenakan.
“Renata, kan?”, tanyanya canggung.
“Iya, dan lo.. Izzat, kan?”, balasku sama-sama
canggung. Kemudian kami memesan minuman.
Sembari menunggu, Izzat mulai membuka percakapan.
Perkenalan yang awalnya lumayan canggung, berakhir
menjadi lebih santai. Ternyata ia lebih tua dari ku satu
tahun, tapi tidak ingin dianggap begitu.
“Santai, cukup panggil nama aja”, katanya.
*** 55
Sudah tiga minggu aku dan Izzat melanjutkan
komunikasi kami dan ini kali keenam kita bertemu. Aku
sangat menghargai Izzat yang jika kita sedang intense
ngobrol, ia tidak memegang hpnya. “I’m enjoying my
quality time talking with you”, begitu katanya saat aku
angkat bicara mengenai hal ini di pertemuan kedua
kami. Mirip Mas Reza. Langsung ku tepis pikiranku saat
itu.
Ketika kami sedang seru-serunya membahas
topik travelling, hpku bergetar berkali-kali. Sepertinya
banyak pesan yang masuk, mungkin grup kantor,
pikirku. Tak lama, Izzat izin ke kamar kecil. Ternyata
grup Whatsapp baru S2-ku. Aku baru di-invite.
Member yang duluan masuk sudah memperkenalkan
diri. Lalu aku mulai mengetik. Aku ikuti formatnya.
Send.
56 Tak berapa lama, jantungku rasanya mau
copot saat membaca notifikasi Whatsapp yang masuk.
Ada nomor baru yang mengirimiku pesan, “Halo, ini
Renata yang dulunya Sastra Inggris UB kan? Ini gue
Reza”, tulisnya. Deg. Aku gemetar.
Aku yakin raut wajahku langsung kaku bak
disiram air es. Aku hanya bisa menatap layar hpku
dengan pandangan kosong. Ketika Izzat datang, ia
kaget melihat sikapku yang berubah 180 derajat.
Dengan hati-hati ia bertanya kepadaku.
“Ta, ada apa? Did something bad happen?”
tanyanya. Aku hanya diam mematung. Tidak
memberikan respon apapun. Hanya saja raut wajahku
berubah seperti bendungan yang sebentar lagi
meluap. “Mau gue anter ke Yaya sekarang?”
Akhirnya aku mengangguk lemah. Sekuat
tenaga aku menahan tangis. Aku sungguh tidak mau
nangis di hadapannya sekarang. Izzat segera menelfon 57
Yaya dan memberi tahu kondisiku. Aku bisa
mendengar suara Yaya yang setengah berteriak
menyuruh Izzat segera mengantarku.
Saat sampai di lokasi Yaya berada, aku segera
berlari ke arah Yaya dan memeluknya. Sepertinya ia
sudah menduga apa yang terjadi. Bersamaan dengan
tangan kanan Yaya yang bergerak melambai ke atas,
aku mendengar deru suara motor Izzat yang menjauh.
***
Hari ini adalah hari pertamaku masuk kelas
untuk studi Master Degree. Rasanya aku ingin
mengundurkan diri saja. Ugh! Aku belum siap
bertemu. Tapi aku teringat ini demi masa depanku
sendiri. Atas keingingan kedua orang tuaku dan juga
aku yang pada akhirnya memutuskan untuk
melanjutkan S2. Biaya masuk dan kuliah yang sudah
kubayar tidaklah murah.
58 Baiklah. Ayo lo kuat, Ta!, batinku menguatkan
diri sendiri.
Sesampainya di kampus, aku langsung mencari
tempat informasi. Setelah itu aku menuju kelasku. Aku
tidak melihat Mas Reza. Baguslah. Namun, saat aku
melangkahkan kakiku masuk ke kelas, kedua mataku
menagkap sosok yang tidak asing. Mas Reza.
Ugh! Rasanya aku ingin muntah.
Tahan, Ta. Tahan, Ta!, pikiranku bergelut
dengan saraf di perutku yang mulai membuat perutku
bergejolak. Mas Reza lalu melambaikan tangan dan
dengan entengnya mengajakku duduk di sampingnya.
Aku yang awalnya enggan duduk di
sebelahnya, akhirnya duduk juga di situ. Antara tak
enak hati menolaknya juga karena kelas sudah penuh.
Dengan senyuman manis palsu yang ku buat
aku melangkah dan duduk bangku samping Mas Reza. 59
Sambil mencoba menenangkan hatiku yang semakin
berdebar tak karuan. Aku perhatikan di sebelah
kanannya duduklah seorang wanita. Cantik. Ia dan Mas
Reza berbincang seru dan cukup mesra.
Setelah kelas selesai, yang rencananya aku
ingin berbicara empat mata dengan Mas Reza,
ternyata ia mengajakku berbicara duluan. Setelah
ngobrol kesana kemari…
… “Eh btw, ini kenalin, tunangan gue. Kita
sama-sama kuliah bareng di jurusan yang sama. Tapi
di kelas ini gue sama dia cuman ambil seminggu
sekali. Jadi ketemu sama lo juga seminggu sekali
nih…”, ujarnya enteng.
Aku tak lagi bisa mendengar ucapannya. Aku
hanya bisa mendengar hatiku yang pecah berkeping-
keping setelah ia mengenalkan wanita di sampingnya
60 sebagai tunangannya.
Dengan kekuatan yang tersisa aku kembali
menahan tangis.
“Riri”, sapanya ramah sambil tersenyum lebar
dan mengulurkan tangan.
“Renata”, balasku. Aku menyambut tangannya,
berusaha untuk tidak bergetar baik suara dan
badanku. Setelah itu, mereka pergi sambil
bergandengan tangan. Mesra sekali.
Aku tidak tahu lagi harus mendeskripsikan diriku
seperti apa sekarang. Tepat di saat air mataku akan
tumpah, hpku bergetar. Nama Izzat tertera di layar.
***
Aku tidak tahu sudah berapa menit aku
menangis di kelas ini. Dinginnya ruangan kelas yang
cukup membuat aku sedikit mengigil seperti sengaja
menambah buruknya suasana luka hati yang terbuka
kembali. Saat tangisanku sedikit mereda, aku bisa 61
mendengar langkah kaki memasuki ruang kelas ini
yang perlahan mendekat, lalu behenti tepat di
depanku. Kemudian ia menutup punggungku dengan
semacam jaket jeans yang memiliki wangi parfum khas
yang ku kenal. Izzat.
62

Ketika kita dijauhkan dengan hal yang sangat kita


inginkan tapi malah didekatkan dengan hal yang
tidak pernah kita pikirkan, saat itulah takdir
mengambil alih perasaan manusia.
n.w.a
Kamu dan Kenangan
Bandara Adjisucipto.
Gadis itu berlari menyusuri lorong-lorong
bandara menerobos celah kerumunan banyak orang
yang berlalu lalang.
“Terminal A.” Katanya sambil melihat layar
ponselnya, takut-takut salah baca. Ia mulai cemas,
mukanya pucat pasi. 63
“Tempat chek in.” Ucapnya lagi. Untunglah
laki-laki itu masih menunggunya. Ia berlari
menghampiri laki-laki yang sedang tidak kalah cemas
menunggu kedatangannya. Laki-laki itu langsung
memeluknya erat, mengecup keningnya yang basah.
Seperti halnya hatinya yang dibasahi rasa bersalah.
“Aku pikir kamu tidak akan datang.” Ucapnya
lirih.
“Mana mungkin.” Jawab gadis itu, yang masih
menangis dalam pelukannya.
“Jangan menangis, jaga diri baik-baik ya... Mas
harus pergi.” Bisik laki-laki itu. Air matanya ikut
menetes sembari mengecup ubun-ubun perempuan
yang teramat ia cintai itu.
***
Sore itu jalanan masih lengang, belum tampak
64 orang-orang pulang dari sawah atau kebun mereka.
Dari ujung jalan itu, terlihat dua anak kecil
berboncengan naik sepeda. Yang diboncengkan
sepertinya masih kelas tiga SD dan anak laki-laki itu
tiga tahun lebih tua darinya.
Kerikil-kerikil di jalan bercampur tanah dan
batu aspal mengganggu laju sepeda, membuat anak
laki-laki itu belok kanan kiri mengayuh sepedanya.
Takut gadis di belakangnya itu jatuh.
Anak laki-laki itu menghentikan sepedanya lalu
memarkirkannya di bawah pohon. Mereka duduk di
pinggir jalan yang teduh di bawah pohon nangka.
Saling memandang hamparan sawah yang luas itu.
“Lihatlah Ara bagus sawahnya, kaya ombak laut
padinya kena angin.” Teriak Malik, berharap gadis kecil
itu ikut senang melihatnya.
“Iya bagus...” Teriak Ara takjub sambil
menganguk-angukkan kepalanya. 65
Mereka sering menghabiskan waktu di sini,
entah mengapa mereka menyukai sawah. Kadang
mereka mencari belut atau jangkrik. Bagi mereka itu
sangat menyenangkan.
Waktu, seperti halnya angin, cepat berlalu. Dan
mereka tumbuh menjadi dua remaja yang manis.
Sepulang sekolah sesekali mereka akan ada di tempat
ini. Menyempatkan berbagi cerita atau menikmati
senja di pematangan sawah yang indah.
Seindah cinta kasih keduanya. Ara sering
bercerita ia ingin melihat salju dan bunga sakura.
Sementara Malik akan bercerita dengan semangat
betapa ia ingin menjadi seorang perwira.
“Wahh ... Mas hebat mau jadi Perwira. Tapi
lama nanti Mas Malik gak pulang, gimana nanti kalau
Ara kangen?” Tanya Ara memotong cerita Malik.
“Nanti Mas pulanglah, ambil cuti kalau Ara
66 kangen.” Malik tersenyum mengelus ubun- ubun gadis
yang amat ia sayangi itu.
“Mas janji ya.”
“Janji.” Senyum Malik memperlihatkan rentetan
giginya yang putih.
Mereka sepertinya belum mengerti bahwa
waktu sering menyimpan banyak rahasia yang tak
pernah terduga.
***
Malam itu hujan turun membasahi kota. Orang-
orang berlarian mencari tempat berteduh. Duduk-
duduk di tangga emperan toko berbincang akrab satu
sama lain. Tertawa lepas entah apa yang mereka
ceritakan, sepertinya sangat menyenangkan.
Sementara itu, di kafe seberang jalan, meja-
mejanya masih banyak yang kosong. Hanya ada satu
dua pasang orang di sana. Di meja deretan sebelah
kanan ujung ruangan, tampak seorang gadis dan 67
pemuda yang sedari tadi bingung ingin memulai
percakapannya dari mana. Di hadapan mereka ada
secangkir kopi dan segelas milkshake. Pemuda itu
seperti sedang memikirkan sesuatu sambil
memandangi uap kopi dari cangkirnya.
Mungkin bagi gadis itu serasa ganjil, setelah
sepekan ini mereka menghabiskan waktu bersama,
tidak ada yang salah sepertinya. Duduk bersama
bercerita tentang hari-hari yang telah mereka lalui.
Menikmati udara segar di pantai. Menikmati senja
yang indah setelah beberapa tahun mereka tidak
bertemu. Rindu-rindu masa itu seperti terbayarkan.
Gadis itu masih menunggu apa yang akan
68 dikatakan laki-laki itu, sambil membenarkan jilbabnya
yang merosot, menyampirkannya di kedua
pundaknya.
“Ra, Mas mau ngomong sesuatu.” Malik diam
sebentar memandang mata Ara. “Cuma kamu Ra yang
tau keluargaku, seperti apa bapak dan ibuku, juga
tentangku.” Lanjut Malik dengan nada bicaranya yang
berat.
“Iya, terus kenapa Mas?” Ara menatapnya
bingung.
“Mas sudah dibaptis.” Tuturnya pelan.
“Sejak kapan?” Matanya mulai berkaca kaca
mendengarnya.
“Seminggu yang lalu,” ucapnya lirih.
“Mas sudah yakin dengan pilihan Mas?” kedua
pipinya kini basah. Malik hanya memandangi kopinya,
kemudian menatap dalam mata gadis yang sangat ia
cintai itu.
“Sudah.” Ujarnya sambil mengangguk pelan. 69
“Kenapa? kenapa Mas baru bilang?” Ara
menyeka pipinya yang kian basah.
“Aku tau Ra kamu pasti kecewa, aku juga tau
semua agama itu baik. Tapi ini keyakinan Ra, apa yang
ada dalam hati seseorang. Di mana kamu menemukan
kedamaian, menemukan rumah Tuhan yang sejati.”
Mata itu berkaca kaca, kembali menemukan kata
katanya.
“Keluargaku akhirnya menjadi satu, Ra. Setelah
belasan tahun keluarga kami pecah, akhirnya hanya
ada satu Tuhan dalam satu rumah kami. Itu yang
selalu kami inginkan sejak dulu. Ini bukan paksaan
siapapun percayalah. Aku menemukan jalannya sendiri
menemukan keyakinanku pada Tuhan. Mas merasa
bersalah atas semuanya, seharusnya perasaan itu tidak
pernah ada.” Tangannya menggenggam ujung jari
70 jemari Ara.
“Mas percaya, kelak kamu akan menemukan
seseorang yang lebih, lebih dari apa yang pernah Mas
berikan sebelumnya, Ra.” Ara hanya mengangguk, ia
paham sekali perjalanan hidup Malik. Ia juga paham
cinta memang selalu datang tanpa rencana dan tak
dapat memilih untuk siapa.
“ Lusa, Mas berangkat pesiar ke Surabaya.”
“Akan aku antar untuk yang terakhir kalinya,” Ara
tersenyum, tidak tau apalagi yang harus ia katakan
sejujurnya, di balik matanya yang masih basah.
***
Setelah tiga bulan berlalu. Cuaca hari ini cerah
sekali, langit berwarna biru tanpa awan. Bel istirahat
berbunyi dari tiap-tiap kelas. Seorang gadis berkaca
mata dengan jilbabnya yang diikat di belakang 71
lehernya, berjalan keluar kelas menuju parkiran
kampus. Mengambil sepedanya kemudian pergi.
Ia mengayuh sepedanya pelan, kemudian
tersenyum memandang sekelilingnya. Kali ini bukan
hamparan sawah atau pohon di sepanjang jalan yang
ia lihat, bukan. Melainkan hilir mudik orang-orang,
yang membuat kota ini semakin ramai dan
menyenangkan.
Ara terus mengayuh sepedanya menikmati
hari yang cerah ini. Melewati gang menuju rumahnya.
Ia menepi memberi jalan untuk anak-anak yang
sedang berlarian tak beraturan menerbangkan layang-
layang. Memberi salam pada tetangga yang ia kenal.
Mereka tersenyum mengangguk pelan.
Ia kemudian tersenyum mengingat kembali
sebuah kata-kata seorang penulis.
72 Cinta sejati itu seperti layaknya sebuah musik, ia akan
terus membuatmu menari meskipun musiknya telah
lama berhenti.
Di jalan gang yang mulai lengang itu ia berjanji
untuk tidak lagi menangis karena ia harus percaya, ada
seseorang yang memang sudah ditulis ditakdirkan
Tuhan hanya untukmu saja.
73

Logo vector created by vextok - www.freepik.com


Dia
Dia datang di kala aku masih ingusan. Aku
masih SD ketika dia datang mendekatiku. Waktu itu
dia sudah SMP. Namun saat itu ia kuabaikan.
Perjalanan masih panjang, janganlah mengenal cinta
dulu. Aku pun mikirnya main, main dan main bersama
temen sebayaku.
74 Kala itu aku dapat dibilang seorang yang agak
tomboy karena aku suka main bola, pemberani, punya
ketekatan yang kuat. Meskipun anak bungsu, namun
aku tidak manja. Dari sinilah ayah dan ibuku selalu
percaya padaku disetiap kepergianku dalam bermain
maupun aktivitas lainnya.
Hal itu didukung juga karena aku menjadi
murid yang rajin ikut kegiatan sekolah, baik kegiatan
pramuka, berkemah, lomba-lomba yang diadakan oleh
sekolahan. Walau saat itu aku dan dia beda letak
sekolah, namun dalam seminggu sekali dia pasti
kerumahku, bisa dikatakan apel. Dengan berjalannya
waktu, Alhamdulillah kuselesaikan masa SD ku.
Ketika aku duduk di bangku SMP, dia duduk di
bangku SMA. Dan ternyata dia masih tetap setia
padaku. Dia selalu datang kerumahku di malam
minggu. Namun lama kelamaan orangtuaku
melarangnya untuk datang ke rumah dengan alasan 75
khawatir menganggu sekolahku.
Dia lalu hijrah ke kota Pahlawan dan meneruskan
SMA di sana. Namun dia tetap menyatakan tetap cinta
padaku hingga aku lulus SMP. Dan tanpa diketahui
oleh orangtuaku, hubungan kami masih berlanjut
hingga aku lulus SMA, walau itu hubungan jarak jauh.
Selepas lulus SMA aku melanjutkan kuliah di
Jakarta, tinggal bersama kakak lelaki yang telah
berkeluarga dan mempunyai 3 orang anak. Setelah
beberapa bulan aku di Jakarta dia menemuiku. Baru
kali itulah kami bertemu lagi setelah 4 tahun berpisah.
Dia berpesan padaku untuk baik-baik kuliah dan ia
bilang tetap mencintaiku.
***
76 Ketika libur kuliah aku pulang kampung.
“Sudah punya pacar, Nduk?” ibuku bertanya.
Aku bilang aku masih berhubungan dengan dia.
“Apa?! Apakah kamu belum dengar tentang
dia?!” Ibuku terkejut ketika ia tahu aku belum
mengetahui hal itu.
“Dia sudah mau menikah..!” Ibuku melanjutkan.
Dhuar! Aku terkejut. Seperti ada suara petir
yang menggelegar di dekatku.
Aku terhentak. Aku terdiam. Aku tak bisa bicara
lagi. Kenapa dia tidak bilang langsung? kenapa dia
begitu tega dan jahat kepadaku?! Padahal dia yang
selalu mencariku dan mengejarku! Dia begitu sayang
dan perhatian padaku, tanyaku dalam hati.
Perasaanku campur aduk antara marah, benci,
tidak percaya.. campur aduk menjadi satu.
Aku mencoba untuk tenang dan bertanya
kepada omku yang rumahnya dekat dengan 77
orangtuanya.
“Om, apa benar dia mau menikah?” tanyaku.
Sambil menarik nafas berat, Omku mengangguk pelan.
Meski aku sudah bersiap akan jawaban ini, namun
rasanya duniaku berhenti. Hampa. Berarti … berarti
hanya sampai disini. Aku mencoba menghibur diriku
sendiri dengan mengatakan bahwa dia bukan lelaki
yang Allah jodohkan untukku.
Dalam keadaan hati yang tercabik-cabik, aku
kembali ke Jakarta. Sesampainya disana, aku langsung
berkirim surat. Aku mau mendapat jawaban langsung
darinya (saat itu belum ada HP). Tak berapa lama,
surat balasannya datang. Dia mengatakan bahwa dia
dipaksa meski dia tidak mencintai wanita itu.
Sedih, geram, pilu, kembali menguasai pikiran
dan perasaanku. Hati yang sudah mulai kutata
78 terguncang lagi. Saat itu orangtuaku sakit. Ayahku
berkirim surat padaku untuk pulang kampung dan
pindah kuliah di Jawa sekaligus menjaga mereka.
Namun dengan beberapa pertimbangan yang
kusampaikan kepada orangtuaku aku diizinkan untuk
meneruskan kuliahku di Jakarta.
Meski dalam kesedihan, aku tidak boleh larut
di dalamnya. Aku mengingat kembali tujuanku
merantau ke Jakarta. Harus semangat!
Kubawa diriku untuk mendekatkan diri padaNYA.
Aku juga tetap menjaga agar tetap semangat dalam
kuliah. Bahkan aku ingin meraih yang terbaik dengan
tujuan mendapatkan beasiswa agar selama di Jakarta
tidak terlalu membebani kakakku.
Selain kuliah aku juga bekerja untuk mencari
pengalaman agar selesai kuliah nanti akan lebih
mudah mendapatkan pekerjaan yang sesuai cita-
citaku. 79
Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku. Aku
mendapatkan beasiswa kampus hingga bebas biaya
kuliah selama 3 semester dan lulus dengan peringkat
tertinggi.
***
Pada suatu ketika, setelah aku dan dia sudah
sama-sama berkeluarga, kami bertemu saat mudik di
kampung. Dia menemuiku. Dengan hati yang campur
aduk, namun tetap saling menjaga perasaan aku
kenalkan dengan suami dan anak-anakku. Singkat
cerita silaturahmi terus berjalan.
Suatu ketika dia menemuiku di Jakarta. Dia
menceritakan keadaan keluarganya dengan dalih ingin
80 kembali padaku.
“Tidak mungkin!” jawabku. Lalu dia berniat
menjodohkan putranya dengan putriku.
“Tidak!” jawabku lagi.
“Apa jadinya nanti? Sudahlah, lupakan masa
lalu. Kita sekarang sudah sama-sama tua. Lebih baik
kita saling menjaga silaturahmi yang baik dan saling
memaafkan kesalahan dan kekhilafan masa lalu kita.”
- Jessica N.S. Yourko
81

/wave">Wave
.com</a>
Selaksa Rasa Untuknya
Agustus 2020
Angin malam mencengkram tubuhku. Jarum
jam tepat menunjukkan angka satu dini hari. Seperti
biasa dengan malam – malamku sebelumnya, mata ini
belum bisa terpejam. Padahal raga ini telah lelah
seharian beraktivitas. Pikiran ini masih terbayang
82 padanya. Entah kenapa dua bulan belakangan ini, aku
selalu merasakan ini. Rasa yang tidak terdefinisikan
dalam hatiku.
Rasa yang sepertinya tertinggal, namun sangat
rindu ingin kurasakan kembali. Rasa yang selalu
mencengkram ragaku. Menusuk namun nyaris seperti
membelai diriku. Membelai hingga ingatanku kembali
pada kenangan indah itu. Kenangan empat belas
tahun yang lalu…
Februari 2006
Bulan Februari benar – benar menjadi Bulan
Cinta untukku. Bulan ini ada lelaki yang merupakan
kakak tingkat yang akhirnya “menembak” menyatakan
cinta padaku! Lelaki yang memang kudambakan bisa
menjadi Kekasih Hatiku.
Kak Ray begitu awalnya kupanggil, dengan
kegigihannya mampu meluluhkan hatiku dalam waktu
5 bulan PedeKate. Dia mampu membuat diriku merasa 83
menjadi perempuan yang paling dicintainya se-dunia.
Apa mungkin karena ini baru di awal pacaran kami,
entahlah. Tai Kucing Rasa Coklat, Hehehe. Namun aku
bahagiiiiiiaaaa…
Walaupun sebenarnya aku tau bahwa mungkin
saja dia tidak bisa menjadi Pasangan “Future”ku. Tapi
untuk saat ini dia mampu menjadi Pasangan
“Present”ku.
Artinya Pasangan Hidupku kelak sudah
dipersiapkan. Aku menyebutnya Pasangan “Future”
(dalam bahasa inggris artinya waktu pada masa
depan/akan datang). Kak Ray, otomatis hanya bisa
menjadi pasanganku saat ini saja alias tidak bisa
dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Namun hal ini tidak
aku sampaikan pada Kak Ray, biarkanlah aku jalani
dulu hari – hari indah bersamanya. Aku hanya ingin
84 merasa bahagia, bahagia dengan pilihan hatiku bukan
pilihan orangtuaku.

Agustus 2008
Bulan ini menjadi bulan momentum dalam hidupku,
karena aku akan diwisuda setelah menempuh
program diploma III. Bersyukur sekali aku hingga hari
ini masih menjalin cinta dengan Kak Ray, yang artinya
sudah hampir dua tahun kami berpacaran, mengenal
satu dengan yang lain.
Kak Ray selalu mampu membuatku jatuh cinta
dan jatuh cinta lagi. Kak Ray yang mampu
memperlakukanku secara istimewa, rasa di dalam
hatiku tak bisa dipungkiri sebenarnya sangat ingin
menjadi labuhan terakhir Kak Ray. Dadaku selalu terasa
hangat dan berdebar tiap kali Kak Ray bersikap
romantis terhadapku, dan itu konsisten dia lakukan
sejak awal kami berpacaran. Kak Ray yang bisa tiba–
tiba memberikanku hadiah kecil padahal tidak ada hari 85
istimewa. Kak Ray yang selalu bisa memberikanku
nasihat jika aku ada masalah. Kak Ray yang selalu bisa
membuat aku tersenyum saat bad mood. Aaahh.. I love
u so much Kak Ray!
Namun tiap kali aku teringat Pasangan “Future”
untukku, perutku seketika mules. Rasanya aku ingin lari
dari dunia ini, pergi bersama Kak Ray ke dunia yang
hanya ada kami berdua.
Aku ingin menolak tapi tidak bisa berbuat
banyak dan hal ini untuk sekarang sudah diketahui
oleh Kak Ray. Lalu Kak Ray bilang apa? Dia bilang
chayangku (panggilan manjanya untukku) yakin sama
kakak ya? Yang penting chayang yakin dulu untuk kita
bisa berjuang bersama, I love u my soulmate! Ouuhh
kalimat yang sukses meluluhlantakkan sanubariku.
Selalu dan selalu Kak Ray menyampaikan itu tiap kali
86 aku mengingatkan dan mengeluh tentang keadaanku
tentang pasangan “Future” itu.
Hari wisuda pun tiba, tak disangka dan tak
diduga ternyata orangtuaku datang bersama
pasangan “Future” ku itu. Oh God.. ini menjadi
masalah karena Kak Ray juga memaksa untuk hadir ke
acara wisudaku. Selama acara wisuda aku selalu jaga
jarak dengannya dan mengatakan pada orangtuaku
bahwa dia adalah kakak tingkatku yang telah lulus.
Namun naluri orangtua tak bisa dibohongi.
Sepertinya orangtuaku merasa bahwa Kak Ray adalah
orang yang bisa menggagalkan rencana pernikahan,
yang katanya bahagia, sudah disiapkan untukku.

Desember 2008
Bulan keduabelas yang membuatku merasa
mendapatkan sial ketigabelas. Akhir tahun yang
menjadi mimpi buruk untukku. Ya, bulan ini 87
orangtuaku akan melangsungkan acara pernikahan
yang katanya bisa membuatku bahagia serta demi
kelangsungan keturunan keluarga. Pernikahan yang
akhirnya aku disandingkan dengan Pasangan
“Future”ku, yang merupakan kakak sepupuku juga, Kak
Yuda. Adakah cinta saat ini? Belum! Atau Tidak?
Entahlah. Kalau bukan aku yang membuat orangtuaku
bahagia siapa lagi?
Lalu bagaimana dengan Kak Ray? Apakah aku
dan Kak Ray tidak berjuang? Jelas! Apalagi Kak Ray
yang sudah berulang kali sebenarnya mengajakku
untuk kawin lari. Namun aku selalu menolaknya,
dengan alasan orangtuaku.
Entah kenapa saat ini perasaanku menjadi
datar pada Kak Ray, aku seperti sudah tidak peduli
pada Kak Ray. Padahal aku tahu dari teman –
88 temannya bahwa Kak Ray sekarang jadi peminum,
sangat frustasi bahkan mungkin depresi dengan
keputusanku. Tapi aku terkesan tidak peduli.

September 2020
Satu bulan sudah berlalu sejak aku teringat kembali
kenangan indah empat belas tahun yang lalu bersama
Kak Ray. Kenangan yang bangkit dari rasa rinduku
yang membuncah kepadanya.
Rindu yang ternyata menyadarkanku bahwa
ternyata rasa ini masih untuknya. Kenapa baru
sekarang aku memikirkan bagaimana perasaan Kak
Ray saat itu? Bagaimana remuk redamnya dia,
depresinya dia akibat keputusanku menikah tidak
dengannya?
Rasa yang sangat kuat selalu menemani hampir
tiap malamku. Rasa yang sepertinya salah waktu untuk
hadir, di saat aku sudah berkeluarga dan memiliki dua 89
orang anak. Di saat Kak Ray yang aku tau saat ini
sudah menikah dan memiliki tiga orang anak. Namun
rasa ini tak bisa kutepis, aku sangat ingin minta maaf
padanya atas kejadian dua belas tahun itu. Sangat
ingin bertemu dan sebenarnya sangat ingin kembali
kurasakan euphoria perasaan perempuan yang dicintai
begitu dahsyat oleh lelaki yang sangat didambanya.
Pertemuan yang bukan merusak hubungan
dengan pasangan masing – masing, namun
pertemuan yang bisa menepis rasa yang tertinggal
ini…

Oktober 2020
Ibuku mengakui bahwa dua belas tahun silam
orangtuaku mencarikan “sesuatu” yang bersifat mistis
90 ke “orang pintar” untuk bisa memisahkan aku dan Kak
Ray. Sehingga saat itu aku menjadi tak peduli pada
Kak Ray, bahkan tidak ada rasa. Namun rasa ini baru
kurasakan lagi karena efek dari “sesuatu” tersebut
hilang setelah dua belas tahun. Setelah aku dan Kak
Ray memiliki kehidupan masing–masing. Akhirnya pun
di bulan ini aku berhasil menghubungi Kak Ray untuk
meminta maaf dan menyampaikan rasaku yang
tertinggal ini.
Walaupun awalnya aku agak kagok dan bingung
harus berbuat apa, namun rasa itu seperti menuntunku
untuk diutarakan. Biarkanlah rasa yang tertinggal
tersebut kami simpan dan tutup rapat dalam hati kami
masing – masing untuk menjadi rasa yang tiada. Kami
harus ikhlas dan sadar bahwa segala konsekuensi
kehidupan saat ini harus kami jalani sesuai dengan
keputusan yang kami ambil saat itu.
Namun satu hal yang aku tanamkan pada anak – 91
anakku bahwa mereka berhak bahagia dengan pilihan
hatinya masing–masing kelak dan aku tidak akan
memaksakan keinginanku demi kebahagiaanku di
masa depan. Sehingga tidak ada episode “Selaksa rasa
untuknya” yang lain lagi tercipta…
90

Background vector created by Creative_hat - www.freepik.com


Terajana
Ini pertama kali lelaki itu pergi ke rumahnya
tanpa ada embel-embel tugas kuliah. Sebelumnya
pernah si, tapi karena ada kerja kelompok. Salah satu
penghuni rumah itu adalah teman seangkatannya
yang beberapa waktu belakangan suka berseliweran di
pelupuk matanya tanpa SIM P, Surat Ijin Masuk
Pikiran. Untung tidak ada polisi hati yang mengawasi. 91
Bahkan, di beberapa pagi, gadis itu suka
memanggil-manggil namanya dari langit biru, untuk
sekedar menyapanya. Seperti pagi ini.
“Pagi Narji…!” sapanya dari langit atas, kiri.
“Pagi Chloe…!” Narji membalas.
Halukah ia? Atau ia memang lelaki bodoh yang
sedang kasmaran?
***
“Ji, ngobrol yuk. Ada yang pingin aku
omongin.”
“Boleh. Dimana?”
“Yuk.” ajak Chloe sambil menuju ke mobilnya.
“Kemana kita?” tanya Narji setelah di mobil.
“Bosen ngobrol di kampus,” jawab Chloe tanpa
memberi tahu kemana mereka akan pergi sambil
menyalakan mesin mobil.
92 Sebenarnya, Nanang bertanya-tanya dalam
hati. Kenapa Chloe ngajak aku ya? Kan aku gak begitu
dekat, kecuali belakangan saja pas kerja kelompok.
Tapi, ah, peduli setan, paling juga diajakin ngobrol soal
Coelogyne pandurate, secara nama Chloe artinya
mekar, berbunga, bersemi, kata orang Yunani.
Sesampainya di tempat makan, ternyata Chloe
curhat tentang calon suaminya. Hmm.. curhat beginian
ke aku? Serius? Gak cocok? Pingin putus?
Karena memang dasarnya gak banyak omong,
Narji jadi pendengar yang baik. Dan Chloe curhatnya
lamaa… menjelang sore baru mereka balik lagi ke
kampus.
Sekali curhat, dua kali tambah dekat,.. lama-lama
seperti pepatah Jawa: witing tresno jalaran saka kulino,
cinta tumbuh karena terbiasa. Ada chemistry yang
terbangun. Narji + Chloe = Na+ + Cl- = NaCl. Ada
setrum. Ada alternating current, arus AC yang bisa 93
menghidupkan hatinya yang matisuri.
Narji paham ‘bahaya.’ Ia mulai menyukai Chloe.
Mulai menyukai warna suaranya. Mulai menyukai
rambutnya yang menari-nari saat terhembus angin.
Tapi.. disudut hatinya yang lain… Dia wanitamu, kejar.
Kan dia duluan yang datang ke kamu. Kurang enak apa
lagi.. Goblok kamu kalo diam saja. Dia sudah kasi sinyal
itu…! CHLOE, BUKAN YANG LAIN, tulisnya besar-besar
di pintu kamar.
“Chloe, sabtu pagi kosong?”
“Kosong. Kenapa?”
“Di deket sini ada tempat makan di danau.”
Maka di pagi itu mereka melewatkan waktu.
Tidak berdua. Tapi bertiga sama abang yang jaga
resto, berempat sama sekuriti. Eh, berlima ding sama
yang nganter makanan. Maap.
Sambil makan di atas danau, di lingkungan
94 yang hijau asri, angin berhembus tak henti-henti. Narji
melihat rambut Chloe… menari-nari… Betapa
keindahan ini… mengingatkannya pada lagu dangdut
favoritnya. Seandainya ada idolanya, Bang Haji
(Rhoma Irama) lewat sini, pasti ia akan request lagu itu
untuk dinyanyikan.
“Terajanaaaaa… terajanaaaaa… “
Ah, betapa sebuah pagi yang sempurna untuk
berjoget ria bersama Chloe!
***
“Masuk mas. Mba Chloe lagi di dalam,” ujar si mba
ramah ketika membukakan pintu pagar.
Narji duduk di kursi teras. Ia mengingat-ingat lagi saat
Chloe pertama kali mengajaknya.
Hmm.. Sudah cukup lama juga hingga sampai di
hari ini. Ia berencana mengutarakan isi hatinya, tapi
bukan hari ini.
Akhirnya Chloe muncul. Tapi bukan Chloe yang
tadi menyapanya dari langit biru. Ini Chloe yang 95
wajahnya serius. Gak ada manis-manisnya. Aneh.. Ada
apa ya?
Mereka duduk diam. Berhadapan. Si mba yang
tadi membuka pintu untuknya keluar lagi sambil
membawa dua gelas air putih. Ketika si mba sudah
pergi, Chloe menarik nafas panjang sambil berkata,
“Ji … bulan depan aku menikah.”
Gedebug! Narji seperti mendengar Rhoma Irama
terjatuh dari panggung dangdut spektakuler!
Ia terkejut luar biasa oleh ucapan Chloe. Ia
seperti terkena salah tembak stun gun di game UFO
yang biasa dimainkannya. Ia tidak bisa bergerak.
Beku.
Kosong..
Pupus…
Hancur berkeping…..!
PRAAAAANGGGG…!!!!
96 Badannya tiba-tiba terasa panas. Ia ambil gelas
yang tadi disajikan si mba. Glek glek glek.. Dalam
sekejap habis airnya. Ia menarik nafas panjang.. sesak!
“Kamu gak papa Ji?” Chloe cemas.
“Gpp..”
“Mau air lagi?”
“Iya.”
Chloe mengangsurkan gelas air minumnya.
Segera Narji meminumnya. Glek glek glek..
Habis!
“Bibiiiiii….” Chloe berteriak. “Air lagiiii…”
Si mba yang panggil Bibi datang tergopoh-
gopoh membawa dua gelas air putih. Narji minum lagi.
Gelas ketiga, habis. Gelas keempat, habis! Kali ini Chloe
yang bergegas ke dalam. Ia keluar sambil membawa
dua gelas air lagi. Gelas kelima, habis. Gelas keenam,
habis…!
Setelah menghabiskan enam gelas air, Narji
merasa panas di tubuhnya mulai menghilang. 97
Nafasnya mulai normal. Rhoma Irama sudah naik
panggung kembali.
“Aku pulang dulu ya..” ujarnya kepada Chloe.
“Iya..” Chloe pun tak hendak menghalanginya
pulang.
Selama tiga hari berikutnya badannya demam
tinggi. Dirahasiakannya sakit itu dari Chloe, sampai hari
ini. Ia tak mau membuatnya cemas. Biarlah rasa itu ia
pendam dalam-dalam.
Kau yang mulai
98
kau yang
mengakhiri
- Rhoma Irama
Profil Penulis
Iwan Pramana. Selain hujan, ia penyuka makanan
rumahan. Kini hobinya bertambah satu: memberi makan
kucing-kucing yang berkeliaran di depan rumah yang
datang minta makan, entah milik siapa gerangan.
Dwi Hertyanto Santoso. Setelah menemukan hobi baru
yaitu menulis apa-apa yang selama ini hanya dikerjakan
saja sebagai tukang marketing, kini ditambah dengan
berimajinasi menulis karya fiksi, IG@dwih_santoso
Ledy Nur Kharisma, pembelajar dan petualang yang ingin
meninggalkan karya di hidupnya, karena hidup adalah
perjalanan dan tulisan adalah pengalaman berupa karya.
Terima kasih 2020 yang membuka potensi penulis. Ig
@lediculus
Anelein Eva. She is living her best life now and she
enjoys every single part of it! IG@anelein_eva
Tris Surya, Selain menyukai jalan-jalan, hujan dan bunga
sakura, Ia sangat menyukai sastra. baginya sastra adalah
obat bagi jiwa-jiwa yang sakit. Ia dapat dihubungi melalui
IG @Tris_surya
Bennisa DS, seorang pensiunan trainer dari dunia swasta
perminyakan dan perbankan; Ia tinggal dengan anak mantu
dan kedua cucunya. Pencinta tanaman hias, musik funky jazz
dan makanan Itali, ia menghabiskan waktunya mendampingi
cucu-cucu belajar jarak jauh.
Naw, panggilan akrab dari nama asli penulis Nawangwulan
Rizqi Andriani yang merupakan pemilik lima anabul manis dan
penggemar berat lagu Rossa sejak sekolah menengah
pertama. IG @nawulra

Tri Budi Astuti, Selalu belajar pada suatu kejadian, dengan


bermodalkan rasa syukur, sabar dan ikhlas agar segala
sesuatu menjadi ringan. Sabar adalah pelajaran yang tak ada
ujungnya, maka teruslah untuk bersabar. IG@tribudiastuti67
Pande Novi, lahir di Denpasar, 18 November 1987,
menamatkan Pendidikan Formal terakhir di Program Studi
Magister Kebidanan. Memiliki hobi menulis yang mulai
“ditemukan” kembali dalam masa pandemi ini. IG
@vanthey_novee.
Jake the sun, hobi main teater dan memainkan alat musik
Darbuka
Ada rasa dari masa lalu yang kadang menyeruak di waktu-
waktu yang kini kita lewati. Sebagian menyenangkan, sebagian tidak.
Apa lagi jika berhubungan dengan kisah dua anak manusia yang
kandas di tengah jalan. Ada yang dapat melupakannya, sementara
yang lain menyisakannya sebagai sebuah rasa yang tertinggal dari
sebuah perjalanan.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah-kisah ini.
Selamat membaca, semoga Anda menemukan apa yang dicari disini.

Anda mungkin juga menyukai