Anda di halaman 1dari 8

CINTA DI AMBANG KELABU

Sebuah ungkapan yang tak dapat tergantikan oleh apapun. Rasa ini
selalu terpendam dalam kalbu, meski hatiku rapuh. Hanya aku, beliau, dan
Tuhan yang tahu semuanya. Meski seringkali diriku salah untuk
menghilangkan semuanya hanya demi egoku yang sedang mengganas.

Rendra dan Salwa. Sebuah nama indah yang diberikan oleh mereka
kepadaku dan adik. Kami hidup di sebuah hunian sederhana di pelosok kota,
dimana kenyamanan hati dapat dirasakan tanpa batas. Tanpa ada hirup pikuk
kota yang menyengat pandanganku. Suara kicauan burung masih bisa
terdengar. Menikmati keramahan di lingkungan sekitar.

Segelas teh disertai beberapa menu sarapan menghiasi meja makan.


Aku bersemangat menikmati hidangan tersebut. Ibu menatapku diiringi
senyuman manisnya. Setelah selesai, aku bersiap untuk menimba ilmu.

“Bu, aku berangkat ke sekolah dulu ya,” ucapku sambil mencium


telapak tangannya.

“Iya, Kak. Hati-hati di jalan. Ini untuk bekalmu di sekolah”

Petualangan kali ini ditempuh dengan berjalan kaki, diiringi


keindahan ciptaan-Nya, menikmati sejuknya setiap rimbunan pohon. Lalu
lalang para pengendara turut mengiringi perjalananku. Hanya butuh waktu
lima belas menit untuk tiba di sekolah.

Betapa semangatnya aku menuntut ilmu di sini. Tentunya,


pembelajaran hari ini sangat menyenangkan. Kali ini aku pulang bersama
Rudi dan Cahyo, kawanku. Saat di perjalanan, Rudi mentraktir kami untuk
makan siang. Setelah menyantap hidangan, kami pulang ke rumah masing-
masing.
Sudah seminggu terlaksana aktivitas keseharian. Kini waktu yang
tepat untuk melepas lelah. Seperti biasa, aku membantu orang tua di rumah,
mengisi hari penuh nikmatnya. Setelah itu, aku bercengkrama dengan ibu,
membicarakan banyak hal. Kisah indah yang pernah dialami di masa lalu
kami ungkap dan diskusikan di sini. Hingga satu hal yang tak disadari setelah
beberapa lama.

"Ayo cepat, mau ikut jalan-jalan nggak nih?" ucap ayahku sambil
menyiapkan kendaraan yang akan ditunggangi.

Ya, sebuah bentuk hiburan sederhana. Menuju sebuah tempat paling


cocok untuk melepas lelah. Kini aku bersiap dengan riang gembira. Setelah
selesai, kami berangkat bersama menuju tempat itu. Kemacetan pun tak luput
dalam ekspedisi kali ini. Setibanya di sana, kami mencari tempat untuk
menikmati panorama yang ada.

“Nih, dulu Ayah sering nongkrong bareng di sini. Rasanya nyaman


sekali. Bahkan pohon itu jadi saksi bisu cinta pada ibumu. Jadi, Ayah
mengajakmu ke sini untuk merasakan hal yang serupa, supaya keeratan kita
takkan pernah pudar,” ucap Ayah sambil menunjuk salah satu pohon.

“Wah, enak sekali, Ayah. Suasananya menyenangkan.”

Kami melanjutkan pembicaraan yang diiringi keindahan taman yang


ada. Sesekali adikku mencoba untuk mengganggunya. Tanpa disadari langit
telah menimbun teriknya matahari. Oleh karena itu, kami mengakhiri
perbincangan dan memutuskan kembali ke rumah.

Sebuah tontonan menarik ditayangkan malam ini. Salah satu acara


yang paling disukai. Ketika aku sedang asyik menonton televisi dan hendak
mengganti channel, tiba-tiba saja remote tersebut menghilang. Ternyata
adikku mengambil benda itu dan mengganti tampilan yang sedang disimak.
"Dik, sini remotenya! Kakak lagi lihat acara itu. Jangan ganggu
dong!"

“Nggak mau ah, dari tadi kakak terus yang nonton TV” ucap adikku
sambil berusaha melindungi dengan segenap tenaga.

Akhirnya aku berhasil mendapatkannya. Adikku menangis dengan


kerasnya. Tak lama kemudian, terdengar langkahan kaki dan suara dari
kejauhan.

“Kak, kasihkan remotenya!. Sekali-kali mengalah ke adikmu. Dia


juga butuh hiburan” seru ibuku.

Terpaksa kini harus mengalah dan memberikannya ke adikku.


Kemudian diriku langsung beranjak ke kamar tidur dengan menutup pintu
rapat-rapat serta segera memeluk bantal sambil meneteskan air mata.

Setiap hari terkadang harus begitu, selalu mengalah dan sulit


mendapat apa yang aku inginkan. Hingga suatu hari terjadi sebuah insiden
yang membuat diriku mengambil haluan yang keliru. Saat dimana perjalanan
hidupku menjauh dari harapanku dan keluargaku.

“Hmm... Sepertinya menarik,” benakku sambil melihat tampilan layar


ponsel -sebenarnya milik adikku-. Tak lama kemudian, adikku muncul dan
memarahiku.

“Kenapa HPku diambil? Kakak tuh juga punya, kenapa justru pakai
yang orang lain?”

“Ya biarin, kali-kali lah meminjam punyamu.”

“Kalau nggak mau ngasihin, aku banting nih HP kakak!”

Ku abaikan omongan kosong itu. Beberapa waktu kemudian, adikku


kembali menangis untuk kesekian kalinya dan lagi-lagi, ibuku selalu saja
berpihak kepada adikku.
"Berikan HP adikmu. Kamu itu udah dibeliin khusus buat sendiri,
masih aja pinjam yang lain. Buat apa punya kalau tidak digunakan?"

Hatiku hancur bagai menerjang karang. Tertekan dan sulit untuk


pulih. Luapan emosi tak tertahankan. Betapa tak kuasanya diriku menghadapi
semua ini. Lalu, sesegera mungkin aku mengurung diri di kamar. Merenung
apa yang terjadi sebenarnya. Seakan ketulusan hati yang dulu tercurah
padaku, kini musnah bak diterkam api. Hilang dengan cepat dan hanya
menyisakan kesedihan.

"Mengapa semua ini terjadi? Padahal dulu mereka sayang kepadaku.


Tapi apa yang terjadi sekarang? Semua hilang dalam sekejap. Kini, mereka
lebih sayang kepada adik. Semua ini tak adil. Mereka sudah tak peduli
kepadaku! Percuma saja kalau terlalu lama disini jika hanya membuat hatiku
remuk! Aku harus bisa menyimpan rasa ini hingga menunggu waktu yang
tepat untuk mengungkapkannya."

Seketika terlintas sebuah cara yang dapat menyelamatkan hatiku.


Terbebas dari jurang kehancuran dan emosi.

***

Tak terasa sudah hampir sebulan menuju Ujian Nasional. Berbagai


informasi tentang lembaga pendidikan terbaik di lain kota coba kutelusuri.
Ya, keputusanku yaitu melanjutkan studi di luar kota. Setelah mendapatkan
pilihan yang cocok, ku segera meminta izin kepada orangtuaku. Meski hati
kecil ini sedang dirundung pilu, namun restu dari mereka sangatlah penting.
Akhirnya aku diizinkan untuk melanjutkannya di tempat pilihanku.

Mereka dengan senang hati membantuku untuk mengurusi segala


keperluan yang dibutuhkan. Berbagai usaha terus dilakukan, salah satunya
mencoba untuk mendaftarkan diri. Saat hasil seleksi telah diumumkan,
secepat mungkin melihat pengumuman tersebut. Ternyata, aku diterima di
tempat studi pilihanku. Rasa senang dan bangga mencampuri hatiku.

Beberapa hari kemudian, aku bersama ayahku berusaha mencari


tempat tinggal sementara di sekitar wilayah itu. Hingga menjelang masuk
tahun ajaran baru, persiapan masih terus dilakukan.

Seminggu menjelang tahun ajaran baru, diriku mempersiapkan


barang-barang yang diperlukan. Tak lupa, kedua orang tuaku turut membantu.
Setelah persiapan selesai, aku beranjak tidur. Diam-diam, ibuku menyelinap
ke dalam kamar dan membawa sesuatu.

"Semoga kau betah di lingkungan barumu, Nak. Jangan pernah


melupakan kami" benak ibu sambil menyelipkan sesuatu ke dalam berkas
yang kubawa.

Hari yang ditunggu pun tiba, dimana kebebasan pun datang menanti.
Orang tuaku rela mengantarkanku ke tempat tujuan. Beberapa hari disini
masih terasa sulit lepas dari jangkauan mereka. Hari-hari tak bisa lepas dan
larut dalam kesedihan.

Tak terasa besok aku akan melanjutkan studi di tempat baru. Sebab
itu, aku mempersiapkan berkas yang akan dibawa besok. Saat mengecek isi
berkas tersebut, ternyata ada sebuah amplop kecil tanpa nama. Jantung
berpacu dengan cepat ketika membuka amplop tersebut dan mengambil
isinya. Sebuah surat dan foto! Perasaan yang berbeda tampak saat akan
membaca surat itu.
Dear my son.

Apa kabar, Nak? Semoga selalu diberikan kesehatan dan lindungan dari
Allah SWT.

Bagaimana rasanya menetap di lingkungan barumu? Semoga kamu


betah di sana. Oh iya, lihatlah foto yang terselip di amplop itu. Sebenarnya
adikmu juga menyayangimu. Ibu tahu akhir-akhir ini kamu seringkali
mengurung diri karena kami, khususnya adikmu. Kami marah bukan karena
rasa benci, tetapi itu sebagai cara untuk melatih seberapa besar kekuatan
cintamu kepada sesama, terutama kepingan keluarga ini.

“Daun yang jatuh takkan pernah membenci angin”. Apapun yang


dilakukan kepadamu, janganlah membuatmu kecewa kepada kami. Hingga
kamu memutuskan untuk pergi karena tak kuasa tinggal bersama.
Sebenarnya kami sedih akan hal itu. Apa yang akan terasa setelahnya?
Sepertinya keluarga ini akan terasa sepi karena salah satu kepingannya
memilih untuk pergi.

Semoga kamu bisa meraih kesuksesan di sana. Jaga diri baik-baik


dan buat kami bangga. Kami sayang dan rindu kepadamu dan jangan pernah
lupakan sosok penting dalam kehidupanmu.

Tertanda

Your lovely mom

Setelah itu, dibukalah sebuah foto yang ada di dalam amplop itu. Foto
yang mengingatanku pada masa lalu. Momen dimana semua kenangan indah
bersama adikku. Tanpa ada saling memarahi dan bersenang-senang bersama.
Di balik foto itu ternyata ada sebuah tulisan yang menyayat hatiku.

“Maaf kak, aku belum bisa menjadi adik yang baik.”


Aku hanya bisa melakukan satu hal. Termenung, hening dalam
kegelapan, meratapi takdir yang sudah menjadi arang.

“Mengapa semua ini terjadi? Tidak kusangka mereka masih sayang


kepadaku. Ternyata keputusan yang kuambil salah. Salah total! Semua ini
salahku! Semua hal yang kutetapkan hanyalah debu semata. Sepertinya
sekarang aku harus meminta maaf kepada keluargaku, karena diriku lah kini
mereka bersedih dan membuat hati mereka terluka,” benakku.

Malam harinya diriku segera mengambil handphone dan


menghubungi mereka melalui video call.

“Assalamu’alaikum, Bu. Bagaimana kabarnya hari ini?”

“Wa’alaikum salam, nak. Alhamdulillah baik. Bagaimana kabarmu


juga?” tanya ibu begitu khawatir.

“Alhamdulillah baik juga. Oh iya Bu, bolehkah aku mengungkapkan


perasaan yang sesungguhnya? Sebelumnya maafkan diriku terhadap apa yang
kulakukan selama ini. Aku tahu, hal itu tentu membuat kalian kesal dan
kecewa. Khusus adikku tercinta, maaf jika belum bisa menjadi kakak yang
baik. Semoga kita menjadi keluarga yang utuh, bahagia, dan tentunya saling
memberi kasih sayang disaat suka maupun duka. Doakan aku semoga
menjadi anak yang berbakti dan dapat meraih apa yang selama ini aku cita-
citakan.”

“Iya Nak, kami sudah memaafkanmu. Semoga kamu bisa sukses di masa yang
akan datang. Aamiin.”

Mulai saat itu aku berjanji akan menjadi sosok yang lebih baik.
Menyelesaikan masalah dengan kejernihan hati, tanpa harus larut dalam
emosi. Aku berusaha untuk membuat orang tuaku bangga.
TENTANG PENULIS

Namaku Yahya Putra Pradana. Lahir di Kebumen 16 tahun silam


sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Bermain laptop, mendengarkan
lagu, dan travelling merupakan hobi utamaku. Dua hal yang membuatku
senang adalah ketika berhasil memecahkan masalah matematika dan
mengamati kondisi lingkungan sekitar, karena keinginanku bukanlah hanya
sekedar menjadi dokter, tetapi bagaimana dapat merubah kondisi negeri ini
menjadi lebih baik. Motto hidupku yaitu “Maju, Semangat, dan Gapailah
Bintang, serta Jadilah Diri Sendiri”.

Anda mungkin juga menyukai