Anda di halaman 1dari 9

NAMA:PUTRI ORYZA CATUR SATIVA

KELAS:IX.D

Indahnya Persahabatan
Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua
tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil
mewah dengan supir pribadi.
Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah.
Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Tyas yang datang ke
rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah
kalau main di rumah Tyas.
Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya masih satu kelurahan
dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Dwi tidak main ke
rumah Tyas.
“Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu
datang.”
“Mungkin sakit!” jawab Mama.
“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya!” katanya
bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian
Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia mendapat keterangan bahwa Dwi sudah
dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK dari
pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan
kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa melanjutkan sekolah lagi.
“Oh, kasihan Dwi,” ucapnya dalam hati,
Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia
selalu murung.
“Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar
dan ceria!” Papa menegur
“Dwi, Pa.”
“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Tyas menggeleng.
“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.
“Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa.
Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja”.
Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Tyas.
“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah!” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku!” Tyas  memohon dengan agak mendesak.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu!” kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di desa. Ia merasa senang.
Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Dwi. Kemudian
Tyas bersama Papa datang ke rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa
di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Dwi dan Dwi
sendiri. Betapa gembira hati Dwi ketika bertemu dengan Tyas. Mereka berpelukan cukup lama
untuk melepas rasa rindu. Semula Dwi agak kaget dengan kedatangan Tyas secara mendadak.
Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di desa.
“Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”
“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali!”
Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua
Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Dwi
sendiri.
“Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Surabaya.
Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Wi, apakah kamu
mau?” Tanya Papa.
“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya
yang akan menanggung.”
“Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya bersedia. Saya
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya.” 
Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi. Tampak mata Tyas
berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata
mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan. Kini Dwi tinggal di rumah Tyas. Sementara
orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Dwi yang
sudah tua.
Unsur Instrinsik :
• Tema : Persahabatan
• Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan Mama Tyas
• Watak :
  Tyas : Suka Menolong
  Dwi : Tidak Mau Membebani Orang Lain
  Papa Tyas : Baik Hati
  Mama Tyas : Peduli
• Alur : Maju
• Latar :
Tempat
  Rumah Dwi (Lama)
   Rumah Tyas
   Rumah Dwi (Di Desa).
Waktu
  Siang Hari
Suasana : Mengharukan
• Sudut pandang : Orang Pertama
• Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan Berbagi kepada sesama
NAMA:FARROZ RAMZY
KELAS:IX.D

Persahabatan

Hari ini hujan deras datang seharian lamanya. Aku melihat keluar jendela dan menyaksikan
genangan air mulai terbentuk dengan cukup tinggi. Kulihat Ayah dan Ibu sudah mulai
membereskan barang-baran dan mengangkatnya satu sama lain dengan posisi menumpuk. Hal ini
sudah biasa terjadi di lingkungan tempat tinggalku. Setiap hujan datang, kami sudah tahu untuk
mempersiapkan diri dari datangnya banjir.

Sesekali Ayah juga ikut memeriksa ketinggian air di luar rumah melalui jendela. Kemudian ayah
berkata “Bahaya ini. Jika hujan masih terus deras seperti ini, sebentar lagi pasti air masuk ke
dalam rumah." Aku melihat wajah Ayah yang lebih khawatir dari biasanya. Perasaanku menjadi
tidak tenang. Aku memutuskan untuk ikut membantu Ibu membereskan barang-barang untuk
menghindari resiko terendam banjir.

Setengah jam kemudian, aku mulai merasakan air mulau menggenang di lantai rumah. “Air
sudah masuk, Bu" ucapku pada Ibu. Ibu memandangku dengan sorot mata yang sama
khawatirnya. Sepertinya banjir kali ini akan lebih parah dari biasanya. Tentu alasannya tidak
lepas dari kebiasaan buruk membuang sampah sembarang ke kali dekat rumah yang masih
dilakukan oleh banyak warga.
Ibu pun memanggil Ayah karena air yang masuk ke dalam rumah sudah semakin tinggi dan telah
mencapai setinggi lututku. “Ayah airnya semakin cepat masuk. Lebih baik kita segera
mengungsi," saran Ibu. Kemudian Ayah pun mengangguk setuju, “Iya Bu, lebih baik kita segera
mengungsi dan membawa beberapa barang penting terlebih dahulu."

Ayah, Ibu, dan aku pun kembali bersiap-siap memilih beberapa barang penting untuk di bawa ke
tempat pengungsian yang biasanya sudah disediakan di musim-musim banjir seperti ini. Kami
pun akhirnya meninggalkan rumah kami yang semakin lama terus semakin tinggi air masuk ke
dalamnya. Sesampainya di pengungsian, ternyata sudah banyak keluarga lain yang juga
memutuskan meninggalkan rumahnya karena banjir kali ini sepertinya akan lebih parah
ketinggian airnya dibandingkan sebelumnya.

Selama di pengungsian hujan pun tidak kunjung berhenti. Aku pun diminta meliburkan diri dari
sekolah oleh Ayah dan Ibu karena sebagian besar buku dan pakaian seragam pun tidak ada yang
kami bawa ke pengungsian. Tidak ada yang menyangka hujan deras terus mengguyur daerah
rumah kami hingga 3 hari setelahnya.

Hari keempat setelah hujan berhenti, kami kembali ke rumah. Kondisi rumah sudah sangat
berantakan dan banyak dari barang-barang kami yang rusak serta hanyut terbawa air. Ayah
memandang ke arah aku dan Ibu lalu mengatakan “Hujan sudah berhenti, sekarang saatnya kita
kembali membersihkan rumah kita. Kalian mau membantu Ayah bersih-bersih kan?" Aku dan
Ibu serentak menjawab dengan anggukan.

Saat kami sedang bersih-bersih terdengar salam dari luar rumah “Assalamualaikum." Aku pergi
ke depan rumah dan menemukan sahabat-sahabatku di sekolah. Ternyata mereka datang untuk
menanyakan kenapa aku tidak masuk sekolah selama 3 hari terakhir. Aku pun menjelaskan
mengenai banjir mendadak yang melanda lingkungan tempat tinggalku.

Melihat aku, Ibu, dan Ayah yang sedang bersih-bersih mereka pun menawarkan diri untuk
membantu kami. Teman-teman sekolahku membantu hingga rumah kembali bersih dan
kemudian menghabiskan waktu bersamaku untuk menginformasikan pelajaran-pelajaran yang
aku lewatkan selama tidak masuk. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti mereka.
Sahabat yang ada di kala aku susah dan tidak ragu mengulurkan bantuan di masa sulitku.
Unsur Intrinsik Cerpen Persahabatan

Unsur-unsut intrinsik pada contoh cerpen singkat tentang persahabatan di atas adalah sebagai
berikut:

Tema: Persahabatan

Amanat: Sahabat setia membantu di masa-masa sulit.

Alur: Alur Maju

Setting: Rumah

Penokohan:

 Aku: sabar, menurut pada orang tua, rajin membantu orang tua
 Ayah: sabar, tidak banyak mengeluh, dapat mengendalikan kekhawatiran
 Ibu: khawatir, dapat menyelesaikan masalah
 Sahabat Aku: senang menolong, perhatian, rajin
NAMA:HANIFA LUTHFI AZZAHWA

KELAS:IX.D

Untuk Sahabatku
Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung,
begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada
sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku
yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat.

Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama
pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir
lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi
kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan
sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah
persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga
tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.

Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya.


“May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Ria
pada sahabatku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’.
Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-
basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang
bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat.
Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak
punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap
sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal.

Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak
lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri.
Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat
selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang
kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka menjauhiku. “Faiy, lo kenapa sih ? kok
nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku
mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue
ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia
sukai.

Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada
yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala
dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy,
kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yang dulu
paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya,
dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah,
Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar,
Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau
kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja
mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah,
maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering
merasa sendiri.

Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup
sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan
selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia
akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba
memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin
gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo
shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa
menahan tangisnya. Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak.
Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu
aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang
membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga
papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan
persahabatan,” kataku tersenyum.

Akhir sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga
persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan
menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang
terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan,
innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.  
Unsur Instrinsik :
• Tema : Persahabatan
• Tokoh : Faiy, Maya, Ria, Silvy, Lara
• Watak :

 Faiy : Kurang percaya diri


   Maya : Tidak peduli
 Ria: Tidak peduli
 Lara : Acuh
 Silvy: Peduli

• Alur : Maju mundur


• Latar :
Tempat

 Asrama
 Perpustakaan
 Di kamar silvy

Waktu
Siang Hari
Suasana : Mengharukan
Sudut pandang : Orang Pertama
Amanat : Sebagai makluk hidup kita harus percaya adanya tuhan yang selalu menemani umatnya
dimana pun berada.

Anda mungkin juga menyukai