Pada siang itu, cuaca sangat panas. Mama melarangku untuk pergi bermain sepeda, namun aku
tetap berisi keras untuk pergi bermain sepeda, karena pada siang ini, anak - anak sedang ramai bermain
sepeda. Mama sudah mencoba untuk terus melaragku, namun pada akhirnya mamaku mengizinkn
dengan berat hati, karena tidak tega melihat raut mukaku yang merengut sejak tadi.
" Jangan main jauh - jauh, nanti sore mama rasa baka turun hujan " Mama.
Dengan semangat mengeluarkan sepeda dari rumah aku sambil berteriak " Iya ma, assalamua'laikum
"
dan langsung bergegas menuju rumah temanku Vina, Vina langsung keluar dari rumahnya setelah
mendengar bel sepedaku.
" Dari mana saja sih? " ujar Vina.
aku hanya mmejawab dengan tawa kecil. Kami pun langsung bergegas pergi ke lapangan tempat biasa
kami bermain bersama anak - anak lain.
Hari pun sudah semakin gelap, ditambah lagi cuaca yang mendung. Benar kata mama. Kami
pun segera pulang kerumah masing - masing. Karna tadi telalu kelelahan bermain, aku meminta Vina
utuk menggoncengku kali inni. Vina menyetujuinya dan langsung mengambil alih sepeda. Di tengah
jalan, gerimis pun turun, Vina pun memercepat gerakan kakinya. Tak beraap lama hujan turun dengan
sangat lebat.
" Vin, kit berteduh ke mesjid dulu aja yok? " Dila.
" Sebentar lagi sampai Dil, nanggung " ujar Vina.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Enam rumah lagi adalah rumah Vina, namun aku merasa ban
sepeda kami bocor, namun aku menghiraukannya karna sebentar lagi samai. Tiba - tiba saja Vina
kehilangan kendalil. Aku langsung panik dan mencoba menahan sepeda dengan kakiku. Tapi sia - sia,
kami terjatuh. Aku menangis bukan hanya karna menahan sakit, namun juga karna melilhat darah
dikakiku yang mengalir - ngalir terbawa air hujan. Begitu juga dengan Vina, lututnya terluka.
Tanpa berpikir panjang, aku pun segera berjalan cepat dengan kaki terpincang - pincang menuju
rumahku. Bahkan aku menghiraukan keadaan Vina, apalagi sepedaku. Dengan baju basah kuyup, aku
memanggil mamaku sambil menaangi. Mama pun bergegas mengambil repanol, betadine dan kapas
setelah melihat kakiku yang terluka. Mama membantuku pergi kekamar mandi untuk membersikan
luka dan darah. Saat itu juga Vina datang membawa sepedaku sambil menangis. Mama pun langsung
menyuruh Vina untuk membersihkan lukanya juga. Mama pun mengobati kaki kami. Setelah selesai
mengobati lukaku, aku meminta maaf pada mamaku karna tidak mendegarkan perkataanya dan
menceritakan apa yang terjadi.
Unsur Intrinsik
Tema : Penyesalan
Latar tempat : Rumah, lapangan, rumah Vina
Latar waktu : Siang hari, sore hari
Latar suasana : Marah, senang, menyesal
Penokohan
- Dila / aku : Keras kepala
- Mama : Perhatian
- Vina : Keras kepala
Alur : maju
Sudut pandang : sudut pandang pertama, karna " aku " pelaku utama
Gaya bahasa : menggunakan bahasa baku
Amanat : Jangan menghiraukan perkataan orang tua
BUKAN SEKEDAR TEMAN
UNSUR INTRINSIK :
Tema: Persahabatan
Tokoh: Utama-Rani
Pembantu-Tia,Ibu Rani,Pak Cahyadi
Watak: Rani penakut dan baik hati,Tia baik hati dan dermawan
Alur: Maju
Latar: Tempat- Rumah Rani,Sekolah,Toilet Sekolah
Waktu-Pagi
Suasana-Mengharukan
Sudut Pandang: Orang Pertama
Amanat: Sahabat sejati akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kita dan selalu setia disamping
kita.
Cerpen Singkat Persahabatan
Hari ini hujan deras datang seharian lamanya. Aku melihat keluar jendela dan menyaksikan genangan
air mulai terbentuk dengan cukup tinggi. Kulihat Ayah dan Ibu sudah mulai membereskan barang-
baran dan mengangkatnya satu sama lain dengan posisi menumpuk. Hal ini sudah biasa terjadi di
lingkungan tempat tinggalku. Setiap hujan datang, kami sudah tahu untuk mempersiapkan diri dari
datangnya banjir. Sesekali Ayah juga ikut memeriksa ketinggian air di luar rumah melalui jendela.
Kemudian ayah berkata “Bahaya ini. Jika hujan masih terus deras seperti ini, sebentar lagi pasti air
masuk ke dalam rumah." Aku melihat wajah Ayah yang lebih khawatir dari biasanya. Perasaanku
menjadi tidak tenang. Aku memutuskan untuk ikut membantu Ibu membereskan barang-barang untuk
menghindari resiko terendam banjir.
Setengah jam kemudian, aku mulai merasakan air mulau menggenang di lantai rumah. “Air sudah
masuk, Bu" ucapku pada Ibu. Ibu memandangku dengan sorot mata yang sama khawatirnya.
Sepertinya banjir kali ini akan lebih parah dari biasanya. Tentu alasannya tidak lepas dari kebiasaan
buruk membuang sampah sembarang ke kali dekat rumah yang masih dilakukan oleh banyak warga.
Ibu pun memanggil Ayah karena air yang masuk ke dalam rumah sudah semakin tinggi dan telah
mencapai setinggi lututku. “Ayah airnya semakin cepat masuk. Lebih baik kita segera mengungsi,"
saran Ibu. Kemudian Ayah pun mengangguk setuju, “Iya Bu, lebih baik kita segera mengungsi dan
membawa beberapa barang penting terlebih dahulu."
Ayah, Ibu, dan aku pun kembali bersiap-siap memilih beberapa barang penting untuk di bawa ke
tempat pengungsian yang biasanya sudah disediakan di musim-musim banjir seperti ini. Kami pun
akhirnya meninggalkan rumah kami yang semakin lama terus semakin tinggi air masuk ke dalamnya.
Sesampainya di pengungsian, ternyata sudah banyak keluarga lain yang juga memutuskan
meninggalkan rumahnya karena banjir kali ini sepertinya akan lebih parah ketinggian airnya
dibandingkan sebelumnya. Selama di pengungsian hujan pun tidak kunjung berhenti. Aku pun diminta
meliburkan diri dari sekolah oleh Ayah dan Ibu karena sebagian besar buku dan pakaian seragam pun
tidak ada yang kami bawa ke pengungsian. Tidak ada yang menyangka hujan deras terus mengguyur
daerah rumah kami hingga 3 hari setelahnya.
Hari keempat setelah hujan berhenti, kami kembali ke rumah. Kondisi rumah sudah sangat berantakan
dan banyak dari barang-barang kami yang rusak serta hanyut terbawa air. Ayah memandang ke arah
aku dan Ibu lalu mengatakan “Hujan sudah berhenti, sekarang saatnya kita kembali membersihkan
rumah kita. Kalian mau membantu Ayah bersih-bersih kan?" Aku dan Ibu serentak menjawab dengan
anggukan. Saat kami sedang bersih-bersih terdengar salam dari luar rumah “Assalamualaikum." Aku
pergi ke depan rumah dan menemukan sahabat-sahabatku di sekolah. Ternyata mereka datang untuk
menanyakan kenapa aku tidak masuk sekolah selama 3 hari terakhir. Aku pun menjelaskan mengenai
banjir mendadak yang melanda lingkungan tempat tinggalku. Melihat aku, Ibu, dan Ayah yang sedang
bersih-bersih mereka pun menawarkan diri untuk membantu kami. Teman-teman sekolahku membantu
hingga rumah kembali bersih dan kemudian menghabiskan waktu bersamaku untuk menginformasikan
pelajaran-pelajaran yang aku lewatkan selama tidak masuk. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat
seperti mereka. Sahabat yang ada di kala aku susah dan tidak ragu mengulurkan bantuan di masa
sulitku.
Suatu hari Ali dan Indra sedang berbincang-bincang di pinggir lapangan saat istirahat sedang
berlangsung. Ali dan Indra berada di satu kelas yang sama yaitu kelas 12. Sudah satu minggu teman
mereka Andi tidak kunjung masuk. Kabarnya Andi sedang sakit dan dirawat. Indra yang merupakan
tetangga sebelah rumah Andi pun sering ditanyakan bagaimana kabar Andi.
Ali pun ikut menanyakan pada Indra, “Ndra, keadaan Andi bagaimana? Sudah kembali dari rumah
sakit belum?"
Indra yang sudah sering mendapatkan pertanyaan ini pun menjawab dengan nada lemas dan malas.
“Indra sudah meninggal, Li" kira-kira seperti itulah bunyi jawaban yang didengar oleh Ali.
Karena suara di pinggir lapangan terlalu kencang ternyata Ali salah mendengar. “Apa Andi sudah
meninggal Ndra?" Lalu Indra menjawab dengan suara yang lebih kencang, “Sembarang kamu Ali.
Maksud aku Andi sudah mendingan bukan meninggal."
“Oh." Jawab Ali sambil tertawa karena terkejut setelah salah mendengar kabar kondisi Andi.