Anda di halaman 1dari 5

HUJAN YANG MENJADI KENANGAN

Karya: Titik Damayanti

Seperti hari-hari sebelumnya, setiap malam Desa Melati selalu diguyur hujan deras hingga berjam-jam.
Rani yang saat itu sedang duduk di pelataran rumah merasa kedinginan karena udara yang begitu
menusuk tubuh kurusnya. Perempuan 17 tahun berambut ikal dengan tubuh mungil itu sangat
menyukai hujan. Ketika hujan turun, pada saat itulah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh Rani.
Karena saat itulah tirai hujan membasahi sekujur tubuhnya, dan hanya hujan yang menemaninya ketika
sepi mengundangnya.

"Asyikk hujan turun, rintiknya indah banget, pengen banget bisa main hujan". Gumam Rani

Saat turun hujan suasana hati Rani menjadi lebih cerah dan berwarna. Ya begitulah hujan seakan
menjadi obat penawar bagi Rani. Saat sedang asyik menikmati hujan, tiba-tiba ibu Rani memanggilnya
dari dapur.

"Rani kemari nak, tolong ibu sebentar" panggil ibunya Rani

"Iya bu, sebentar aku segera kesana"

Karena mendengar panggilan dari ibunya, Rani segera bergegas menuju dapur dan menemui ibunya.
Setelah sampai di dapur dia segera menanyakan apa yang bisa ia lakukan untuk membantu ibunya.

"Bu tadi kan ibu manggil Rani, ada apa bu?"

"Begini Ran, ini ibu mau minta bantuan ke kamu buat nganterin kue pesanan ayahnya Rendi, tapi
sebelumnya kamu mandi dulu gih"

"Siap bu, langsung aku anterin. Ya sudah aku mandi dulu ya bu"

Lalu Rani beranjak dari tempatnya terpaku mendengarkan omongan ibunya tadi dan bergegas menuju
kamar mandi. Tak lama kemudian sekitar 10 menit Rani sudah Rapi dengan jubahnya yang berwarna
biru dan balutan kerudung syar'i navy yang ia kenakan.

"Bu aku sudah siap, mana kuenya biar aku anterin mumpung hujannya udah reda. Entar kalo hujan lagi
kan jadi ndak bisa berangkat"

"Itu Ran di atas meja makan, cepetan kamu anter gih"

Setelah sedikit berbicara dengan ibunya Rani langsung berjalan menuju pelataran rumah memutar
sepedanya dan segera berangkat ke rumah ayah Rendi untuk mengantar pesanannya. Oh ya Rendi itu
temanku sejak kecil dia lelaki yang baik, tak banyak gaya dan dia anaknya pintar juga penurut. Sekitar 25
menitlah aku sudah sampai di rumah Rendi. Kuketuk pintu rumahnya dengan perlahan sambil
memanggil manggil nama Rendi.

"Rendi ... Rendi ... Permisi ... Assalamu'alaikum"


"Waalaikumsalam. Eh ada Rani, silahkan masuk Ran. Ngomong-ngomong ada apa nih?"

"Ini aku mau nganterin pesanan ayahmu, nih kamu kasih ke ayah kamu dulu" sambil menyodorkan
barang pesanan ayah Rendi yang sudah terbungkus rapi dengan balutan pita cantik berwarna merah
muda.

"Ya udah kamu duduk dulu gih. Biar aku taruh barangnya ke dalam dulu"

"Oke. Aku tunggu"

Tak lama kemudian Rendi datang sambil membawa secangkir teh hangat dan kue kering. Dia duduk dan
menghidangkannya di hadapanku.

"Ran nih ada teh hangat sama kue kering buatan ibu. Silahkan dinikmati. Maaf cuma bisa
menghidangkan itu aja"

"Astaga ndak usah repot-repot gini lah Ren. Aku ke sini kan cuma mau nganterin pesanan ayahmu tadi"

"Tenang aja ndak ngerepotin kok. Udah sepantasnya ada tamu disuguhin makanan"

"Ya udah nih buruan diminum mumpung masih anget"

Rani menggapai teh hangat itu dan meminumnya dengan perlahan-lahan karena suhu kopi itu yang
cukup membuat lidahnya kepanasan. Setelah menimum teh itu Rani segera berpamitan dengan Rendi,
karena hari sudah semakin sore.

"Ren aku pamit sekarang ya udah sore nih"

"Ohh mau pamit sekarang, mari aku antar sampai depan"

Baru saja keluar rumah dan memutar sepedanya, hujan tetiba turun dengan derasnya, terpaksa Rani
harus menunggu hingga hujan reda. Rani merasa hujan kali ini sengaja turun untuk menjebaknya dalam
pertemuan ini. Dan memang sebenarnya Rendi dan Reni saling mencintai tapi keduanya tak mau
mengakuinya.

"Haduhhh hujannya turun lagi, gimana aku bisa pulang" gerutu Rani

"Udah di sini aja dulu, sekalian nunggu hujannya reda"

"Ya makasih"

"Ran kamu ngerasa ndak kalau hujan ini itu sengaja jebak kita biar bisa bicara lama"

"Ndak lah, hujan ini turun bukan karena itu tapi karena emang udah waktunya turun aja"

"Ran aku tau kamu sebenarnya juga ada rasa kan sama aku, tolong Ran kamu jangan bohongin hatimu
sendiri. Aku sayang kamu Ran"
"Emmmm ndak kok. Kamu jangan ge er deh" jawabnya gugup

"Udah ndak usah bohong aku tau kamu itu nyembunyiin rasa itu karena kamu tau Indah sahabatmu itu
suka sama aku, ya kan?"

"Oke ya aku ngaku aku suka sama kamu. Aku ndak bisa nyembunyiin ini semua terus menerus"

Di luar sana hujan turun semakin lebat sama seperti perasaan Rani dan Rendi yang semakin berkecamuk
dengan cinta. Hujan ini seakan menjebak mereka dalam pertemuan ini.

"Ran kamu mau kan jadi calon istriku"

"Kamu serius, kamu ndak bercanda?"

"Aku serius Ran sebenarnya aku jatuh cinta sama kamu sejak kita SMA. Tapi aku ndak berani ngomong
itu ke kamu, aku takut kamu nolak cintaku"

"Astaga jadi kamu juga suka sama aku sejak SMA. Sebenarnya aku juga suka sama kamu Ren"

"Ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Jadi ... kamu mau kan nerima lamaranku?"

"Iya Ren aku mau. Kita jalani semuanya bersama"

"Alhamdulillah. Makasih Ran. Aku ndak akan buat kamu menderita"

"Ya Ren"

Setelah cukup lama berbincang mengingat masa lalu dan saling mengungkapkan perasaan satu sama
lain, di luar sana hujan sudah berhenti. Jadi Rani memutuskan untuk segera pulang. Hatinya sangat
bahagia. Ternyata Rendi juga menyimpan perasaan yang sama dengannya.

"Ren aku pamit dulu. Kasihan Ayah sama Ibu pasti cemas karena aku ndak pulang-pulang. Apa lagi
sekarang udah mau adzan maghrib"

"Iya Ran. Hati-hati di jalan. Titip salan Buat Ayah sama Ibu ya"

"Iya nanti aku salamin"

Rani segera memutar sepedanya dan pulang ke rumah mumpung hujan sudah reda. Ternyata apa yang
Rani pikirkan benar, ketika ia sampai di rumah, hujan kembali turun dengan lebatnya bahkan
menenggelamkan suara pengumuman di masjid.

"Assalamu'alaikum Ibu ... ayah .. Rani pulang, Bu tadi ada pengumuman apa ya di masjid? Rani ndak
dengar"

"Wa'alaikumsalam Ran. Ibu juga ndak dengar, eh kamu tadi ke mana aja ndak pulang-pulang?"
"Ya sudah Bu nanti biar aku tanya ke tetangga. Aku tadi nunggu di rumah Randi sampai hujan reda. Maaf
ya Bu aku telat pulang"

"Ya ndak apa Ran, sudah sana kamu makan dulu, tadi Ayah sama Ibu sudah makan duluan"

"Baik Bu"

Setelah sedikit berbincang-bincang dengan ibunya, Rani langsung pergi ke ruang makan dan segera
makan malam. Tak lama kemudian terdengar suara teriakan nama Rani.

"Rani ... Rani ... Rani ... ada berita ndak enak di dengar" suara teriakan dari ibu Rani

"Ada apa Bu? berita ndak enak apa Bu, Ibu jangan buat Rani takut dong"

"Ya nak. Calon suamimu Rendi sudah meninggal, dia kecelakaan waktu pergi ke sawah barusan, dia
tertabrak mobil"

"Apa ... ibu serius aku baru aja ketemu dia tadi lho Bu dan dia tadi melamar Rani, tapu sekarang dia udah
ndak ada, rencananya malam ini dia mau ke sini melamar Rani sama orang tuanya" berbicara sambil
terisak

"Ya Nak, kamu yang tabah ya. Ibu juga ndak menyangka. Ibu tau semuanya dari Ibunya Rendi. Sudah
kamu jangan nangis terus. Sebaiknya sekarang kita pergi ke rumah Rendi untuk takziyah"

"Ayo Bu kita pergi sekarang" sambil mengusap air mata di pipinya

Setelah sampai di rumah Rendi, tangisan di mata Rani tidak bisa dibendung lagi. Rani menghanpiri
jenazah Rendi dan memeluknya untuk yang terakhir kalinya, dia masih tak percaya bahwa calon
suaminya itu telah tiada. Tapi apa boleh buat dia harus menerima kenyataan pahit ini. Rani dan
keluarganya ikut mengantar Rendi ke tempat peristirahatan terakhir. Di sana Rani terus menerus
menangis. Tangisannya pecah saat jenazah Rendi dimasukkan ke dalam liang lahat. Setelah proses
pemakaman selesai Rani masih saja meneteskan air mata. Karena tak tega dengan kondisi putrinya yang
wajahnya semakin pucat. Sehingga Ayah dan Ibunya Rani membawanya pulang ke rumah. Sesampainya
di rumah air mata di wajah Rani tak juga berhenti, tetapi semakin deras. Rani segera masuk ke kamarnya
dan menguncinya, seketika itu terdengar lantunan dering ponselnya

Tirai hujan basahi aku ...

Menemani sepi yang mengundang…

Andai waktu berhenti ...

Aku tetap takkan berubah ...

Aku selalu bahagia saat hujan turun

Karna aku dapat mengenangmu untukku sendiri


Untukku ...

Ya lantunan lagu dengan judul hujan itulah yang menjadi penenang Rani setelah Rendi sudah tiada. Dan
memang Rani juga sangat menyukai hujan. Sejak saat itu ketika hujan Rani selalu teringat dengan
kejadian memilukan yang dialami calon suaminya itu.

Tamat

Anda mungkin juga menyukai