Anda di halaman 1dari 6

TENTANG

Oleh: Anesa Dewi Fibrian

Sabtu pagi di pertengahan bulan November yang basah, bulir hujan kali ini
sangat besar. Bergemuruh disertai kilat yang menyambar, hawa dingin menyusup
tubuhku yang tak berselimut. Aku perlahan membuka mata dan mengambil
ponselku yang berada di pinggir kasur.
“Selamat pagi, Bee.” Seperti rutinitasku di pagi hari, aku selalu memberi selamat
kepada kekasihku yang bernama Rony.
“Pagi ini hujan deras sekali ya, Bee.” lanjutku mengirim pesan.
Aku pun beranjak dari kasur dan melihat tetes rinyai hujan di jendela.
Senyum simpul terpatri di bibirku tanpa alasan, tanpa sadar mulutku
menghembuskan uap di kaca jendela dan menuliskan nama Rony.
Dering bunyi pesan masuk membuyarkan ruangan yang hening. Aku
membuka balasan pesan dari kekasihku.
“Halo Bee, Selamat pagi juga. Besok kita cari sunrise, yuk.” ajaknya padaku tiba-
tiba.
“Waa….Mau Bee. Cari sunrise kemana?” jawabku penasaran.
“Rahasia. Pokoknya besok siapin baju yang tebal, ya. Inget!” tegasnya.
“Oke, Bee.” Balasku singkat.
****
Jam 4 subuh dini hari aku sudah mematut diri di kaca, dengan kaos tebal
berlapis jaket aku benar-benar tak sabar melihat sunrise berdua dengan kekasihku.
Sesuai janji yang telah kita sepakati, kita akan pergi jam 4 subuh karena
perjalanan menuju tempat sunrise memakan waktu kurang lebih satu jam.
Panggilan telepon dari kekasihku kemudian membuyarkan imajinasiku
akan perjalanan yang menyenangkan ini.
“Bee, aku sudah di depan gerbang.” ucapnya di ujung telepon.
“Sebentar, Bee. Aku belum pasang kaos kaki.” jawabku terburu-buru karena
ternyata kekasihku sudah datang lebih cepat di luar perkiraanku.
Aku pun dengan tas ransel bertengger di punggung dan helm di kepala bergegas
berlari menemui kekasihku.
“Naik cepetan, Bee. Takut ketinggalan waktunya.” teriaknya setelah dia melihatku
membuka gerbang rumah.
***
Sepanjang perjalanan dingin menusuk pori-pori kulit, kurapatkan jaket
yang ku kenakan beraharap dingin lebih membelai hangat tubuhku. Setengah jam
perjalanan, mataku terbelalak melihat pemandangan sekitar. Jalanan yang mulai
menanjak, membuatku dapat melihat gemerlap lampu kota yang berpendar.
Lembayung fajar pun mulai memudar seiring waktu yang kian menunjukan jam
lima subuh.
Dinginnya pagi yang berpayung kabut dan alam yang sunyi menemani
perjalanan sepasang manusia menuju Bukit Mimpi. Rony, kekasihku kemudian
berteriak kegirangan memanggil namaku ketika dia melihat sekumpulan orang-
orang yang juga sedang menunggu sunrise.
“Bee, udah sampai.” Ucapnya penuh antusias.
Aku masih membeku selepas turun dari motor, udara di bukit sungguh
membuatku menggigil kedinginan. Dari pantulan ponsel, aku dapat melihat
bibirku yang sudah memucat dan hidung yang terus mengeluarkan cairan.
Satu jam kita abadikan sunrise yang begitu sempurna. Kabut seakan
bersepakat membuka tirainya agar aku dan Rony dapat menyaksikan matahari
hidup yang keluar dari peraduannya dari Bukit Mimpi. Sungguh aku tak tahu kata
yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat ini.
***
Jam menunjukan pukul tujuh pagi, matahari semakin meninggi dari tempat
kemunculannya. Aku dan Rony kembali menaiki sepeda motor untuk kembali
pulang.
“Bee, Kamu seneng gak tadi?” tanyanya memecah deru suara knalpot motor.
“Seneng banget, Bee.” jawabku dengan lantang sambil memberikan isyarat jari
kelingking, jari telunjuk, dan jempol terangakat di udara.
“Ha…Ha…Ha… Love you too, Bee.” Balasnya sambil terkekeh.
***
Matahari pagi yang menyusup ke celah ventilasi kamar membuatku
menggeliat silau terkena pantulan cahaya mentari. Aku pun mengerjapkan mata
berusaha menerima cahaya yang menyilaukan mata ini. Perlahan aku membuka
mata dan berusaha mencari ponselku. Kulirik jam di ponsel menunjukan pukul
enam pagi. Tidak terlambat, pikirku.
Bergegas aku meraih handuk yang tersampir di kursi belajar untuk segera
mandi. Selepas mandi dan mematut diri, aku keluar mengambil kunci motor yang
tergantung di pintu lemari hias. Motor berwarna hitam milikkumkemudian melaju
ke warung bubur ayam tempat Rony dan aku akan sarapan.
“Bee…” panggil Rony di tempat duduk paling ujung.
Aku yang daritadi celingukan mencarinya tersenyum menghampirinya dan
Rony membalas senyumanku dengan begitu manis. Lima belas menit kita
menunggu, akhirnya dua piring bubur ayam penuh tersaji di hadapan aku dan
Rony.
“Sudah lama ya, Bee kita gak sarapan bareng.” katanya memulai pembicaraan.
“Iya, Bee. Kamu makin sibuk.” godaku sambil menoyor lengannya.
Dering telepon masuk membuat obrolan terpotong. Ternyata Rina, temanku
menelepon.
“Apa, Rin?” jawabku.
“Kamu dimana?” tanyanya dengan cemas.
“Lagi sarapan, Rin. Ini sama Rony.”
“Tyas…” lrihnya dengan suara bergetar.
“Kenapa kamu, Rin.” jawabku penuh kebingungan mendengar suaranya yang
bergetar menahan tangis.
“Cepet pulang, ya. Bapak Ibu kamu kebingungan cari kamu.”
“Ah, ya.” jawabku seketika tak bergairah.
Entah kenapa beberapa hari ini orang-orang terdekatku begitu prihatin melihatku.
Aneh sekali, batinku.
***
Di beda tempat oarng tua Tyas dan orang tua Rony sedang bertemu
membahas mengenai masalah Tyas.
“Saya semakin prihatin dengan kondisi Tyas yang seperti itu Pak, Bu.” ucap
Bapak Tyas dengan mata yang mensiratkan kekhawatiran.
“Apa sebaiknya kita beri tahu lagi Pak, Bu.” jawab bapak Rony yang tak kalah
cemas juga.
“Berulang kali saya selalu memberi tahu Tyas tetapi, tetap dia selalu masih
percaya Rony masih ada. Berulang kali saya buntuti ketika dia berkata keluar
menemui Rony, dia hanya berjalan-jalan sendirian. Pernah suatu ketika dia
menunjukkan ruang pesannya dengan Rony, dia berkata Rony memberi salam
kepada kami. Namun, pesan itu dituliskan sendiri oleh Tyas, Bu. Dia
mengirimkan pesan yang tak pernah di balas oleh orangnya lagi.” ucap ibu dengan
air mata yang tak bisa di bendung lagi.
“Kalau ibu berkenan kita paksa Tyas ke orang profesional bagaimana bu? Karena
Tyas sudah tahap sangat mengkhawatirkan psikologisnya.” lanjut Bapak Rony
kemudian.
“Apapun saya lakukan, Pak, Bu asal Tyas kembali normal lagi.” jawab Bapak
Tyas penuh harap.
***
Sepulangnya Tyas berjalan-jalan ke luar, Tyas di kejutkan teman-teman
sepermainannya waktu kecil sedang berkumpul di teras rumahnya.
“Eh, Ada acara apa nih.” Tanyaku penuh ingin tahu.
“Maaf ya, aku abis aja jalan-jalan sama Rony.” lanjutku.
Mereka terlihat penuh menyimpan sebuah jawaban.
“Eh, kalian kenapa? Lihatnya biasa aja dong.” candakau ditatap penuh sorotan
yang membuatku tak nyaman.
“Gak apa-apa, kita bertiga mau nemenin kamu.” ucap Rara.
“Kita mau temu kangen sama kamu, yas.” SambungTitin disambut anggukan
Rani.
***
Sebuah kebenaran sekali lagi akan terungkap. Keesokan harinya datang
sebuah mobil sedan berwaran hitam.
“Ibu sama Bapak ada acara apa nih dateng ke rumah. Ronynya kok gak ikut Bu?”
tanyaku melihat orang tua Rony datang tiba-tiba ke rumah.
Ibu Rony hanya mengenggam tanganku dengan erat dan menatapku penuh rasa
iba.
Waktu kembali berjalan mundur saat Rony dan Tyas pulang menuju
rumah.
“Bee, aku ngantuk.” ucapnya pelan sambil menunggu lampu merah menjadi hijau.
“Mampir dulu, Bee. Istirahat.” jawabku memaksa.
“Ah, kayaknya bisa ditahan, Bee. Tiga puluh menit lagi kan.” jawabnya kembali.
“Kalau udah gak kuat mampir, ya.” geruruku karena tak jadi beristirahat.
Rony hanya mengangguk menjawabnya.
Setelah itu, dunia seketika menjadi gelap. Rasanya seperti mimpi. Tak
kuharapkan kejadian ini menimpa aku dan Rony. Sesaat setelah lampu hijau dan
Rony berucap “Kata ngantuk” tragedi itu terjadi, sepeda motor yang di kendarai
Rony menabrak Bus yang berhenti di pinggir jalan. Kecelakaan yang begitu
memilukan memmbuatku harus kehilangan Rony. Kepala Ronyyang terantuk
keras pada bagian belakang bus harus mengorbankan nyawanya untuk
meninggalkan dunia.
Pandanganku ketika terbuka di penuhi tanda tanya. Sebuah ruangan
dengan tirai menjuntai dan infus terpasang di tangan membuatku bingung.
Bukankah aku sedang di perjalanan menuju pulang? Pikiranku berkecambuk
mengingat kejadian yang telah aku lakukan.
“Sayangku, Kamu sudah sadar. Gak apa-apa , nduk, ini Ibu.”
Aku memandangi wajah Ibu dan Bapak di samping. Raut muka mereka
penuh dengan ketakutan dan pertama kalinya aku lihat Bapak menangis dalam
diam. Dalam keadaan yang masih bingung sekelebat kejadian naas itu muncul di
kepalaku. Aku berteriak histeris.
“Ibu….. Rony mana, Bu.” Tangisku pecah mengetahui kejadian yang terjadi
menimpa kami berdua.
“Nduk yang ikhlas, ya. Rony meninggal di tempat.”
Seketika aku berteriak histeris membuat suster ikut datang
menenangkanku. Aku merasa ini mimpi. Sungguh.
Waktu kembali ketika diriku selesai mendengar cerita dari Ibunya Rony.
Kosong. Aku berteriak, menyangkal bahwa Rony belum meninggalkan dunia.
Seketika ibu memelukku erat dan berkata ini adalah sebuah kebenaran. Ibu Rony
kemudian mendekatiku dan membelai halus rambutku penuh kasih.
“Kita ketemu Rony, ya.” ucapnya dengan suara yang parau.
Aku yang masih kalut dan sakit hati atas kebenaran terjadi terpaku lemas.
Aku tak mampu menopang badanku, aku ambruk ke tanah. Dadaku terasa amat
sakit, tatakala ketika aku dipertemukan dengan tempat peristirahatannya Rony.
Ya, nama itu terpampang nyata ku lihat. Aku mengingat semuanya. Aku berteriak
histeris dan seketika memeluk pusara orang yang ku kasihi. Ternyata ini bukan
mimpi, aku benar-benar ditinggalkan oleh orang yang ku kasihi. Aku tak kuasa
memulai kehidupanku lagi tanpanya.

Anda mungkin juga menyukai