Anda di halaman 1dari 6

Cerita Pendek

Berjudul

“Sang Malaikat Kecil”

Karya Dibby Puri Dewanti


Kelas XE
Sang Malaikat Kecil
Oleh Dibby Puri Dewanti

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Badanku terasa kaku, terasa sulit untuk digerakkan.
Suasana sekitarku terasa sunyi senyap. Dan aku melihat ramai orang berlari lambat sekali
menuju tubuh mungil yang tergolek lemah tepat di depanku. Tapi, hiruk pikuk sekitarku
tidak terdengar sama sekali. Aku merasa semakin jauh dari keramaian itu. Jauh sekali.

Hingga akhirnya, aku tersadar dari renungan buruk itu berkat tepukan tangan seseorang
ke pundakku. Dan ternyata dia adalah Doni, tetangga yang ditakdirkan menjadi teman
sekelasku. “Heh, bangun! Jangan ngelamun aja ih!” tegurnya. “Hah, maaf-maaf.”
tanggapku dengan spontan. Kulihat tubuh mungil yang terkujur tadi menghilang.
“Din, anak yang tadi disini kemana?” tanyaku sambil menunjuk ke bawah bagian
depanku. “Daritadi kemana aja, Neng? Noh, udah dimasukkin ke ambulance.” jawab
Dino sambil menunjuk mobil ambulance yang akan melaju kencang. “Gak tau ya anak
tadi itu kenapa?” sahutnya. “Aku tau kok, Din. Aku juga liat jelas apa yang terjadi sama
anak itu.” jawabku. “Lah, terus bukannya bantuin malah ngelamun. Seenggaknya, minta
tolong atau apa gitu kek?” cetus Dino. Aku terdiam dan menunduk seakan sedang
mengheningkan cipta. Kulihat lumuran darah di trotoar tepat di depan sekarang posisiku
berdiri kaku. Cairan merah itu juga tampak meninggalkan jejaknya di sepatu dan sedikit
di rok abuku.

“Udahlah, ga usah diambil hati. Untung tadi masih ada orang yang sadar dan langsung
ngebantuin anak malang tadi itu buat manggil ambulance.” sahut Dino.
Aku mengabaikan apa yang Dino bicarakan tadi. Pandangan masih tetap menuju
sepatuku. Sejak tadi, aku masih terngiang oleh bayangan-bayangan yang selalu
mengulang kembali kejadian yang kulihat tadi. “Heh!” tegur Dino sambil menepuk
pundakku lagi. “Ayolah pulang! Capek nungguin ko ngelamun terus. Ngeri tau, ih!”
gebrakan Dino membuatku yang terhanyut dalam buaian lamunan, kembali sadar dan
segera menyetujui ajakannya untuk pulang dengan anggukan kepala.
Selama perjalanan pulang, mulutku masih terasa berat untuk terbuka. Mengucapkan
sepatah kata pun susah. Mungkin orang awam yang di kendaraan umum ini hanya
mengira aku mengidap sindrom kelelahan sepulang sekolah. Tidak seperti pelajar
biasanya yang sampai di rumah langsung mengganti baju dan makan, aku langsung
menenggelamkan diriku ke dekapan kasur berselimutkan sprei merah muda. Sampai
akhirnya berhasil lepas dari dekapan erat sang kasur dua jam kemudian. Sahutan alarm
dengan lafazh adzan terdengar kerasnya. Dengan mata yang masih sayu itu, ku tetap
niatkan diri untuk berwudhu. Basuhan air wudhu menyegarkan wajah kantukku dan
bergegas untuk beribadah kepada-Nya. Usainya, aku berdo’a memohon keselamatan
dunia akhirat untuk diriku, agamaku, dan keluargaku. Sejenak, aku teringat tentang anak
yang tadi siang itu. Bagaimana keadaannya sekarang, aku bahkan tidak tahu. Aku merasa
bertanggungjawab atas kejadian yang menerpa anak tersebut. Tak lupa kuselipkan sosok
anak itu dalam do’aku.

Ingin sekali aku ceritakan ini semua dengan ibu. Tapi, mulut ini tetap saja bungkam. Aku
tahu memendam sesuatu dalam hati itu tidak baik. Jadi, kuputuskan melukiskan semua
yang terpendam ke dalam buku harian merah mudaku.

Dear Diary,

Hari ini benar-benar hari paling mencekam untukku. Aku dihadapkan


dengan kejadian yang tidak kuingini dan ini pertama kalinya. Siang tadi, aku
berjalan di trotoar dekat sekolah. Lalu, ada anak perempuan manis berdiri di
bawah trotoar menyodoriku payung warna-warni. Dia ingin aku memakainya,
padahal cuacanya tidak panas dan tidak ada pertanda akan hujan. Tapi, anak itu
terus memaksaku untuk tetap memakai payung pelangi itu dengan tatapan mata
bagai mengharap sesuatu dariku. Aku tetap saja tidak mau memakainya dan
memberi apa yang dia harapkan.
Ku ambil satu lembaran lima ribu rupiah di sakuku. Sebenarnya aku ingin
menabung uang ini, tapi melihat muka anak yang manis itu membuat hatiku luluh
lantak. Belum sempat uang itu aku berikan, tiba-tiba truk biru besar melaju
dengan kencangnya dan spion truk tersebut menyenggol tangan anak itu. Anak
itu terjatuh di jalan. Ternyata di belakang truk masih ada mobil van putih yang
juga melaju kencang. Anak itu berusaha bangkit dengan badan yang mungkin
saja masih kesakitan. Tapi akhirnya, malapetaka itu tetap saja menimpanya.
Hingga akhirnya sosok anak itu terdampar ke dekat kakiku dengan lumuran
darahnya. Truk dan mobil van itu lepas tangan. Dengan bodohnya, aku hanya
seperti penonton saja tanpa tergerak untuk membantu. Orang seperti apa aku ini.
Sosok anak itu selalu membayangiku sampai sekarang. Aku merasa bersalah.
Coba saja tadi itu aku menerima tawaran untuk menyewa payung itu. Mungkin
semua ini tidak akan terjadi. Sekarang, aku hanya bisa menunggu kabar terbaru
tentang keadaan anak manis itu.

Tak sanggup mata menahan kantuk, kuhasratkan diri ini terbang ke alam mimpi
menembus bayang-bayang indah yang tidak dapat terjangkau oleh pikiran insan biasanya.
Tanpa kusadari, aku sudah terbuai kedalamnya. Tidak berselang lama, bayang-bayang
kelam tentang anak itu kembali menghantuiku. Aku bermimpi, anak itu tidak dapat
diselamatkan lagi dan menghembuskan nafas terakhirnya. Membuat tidurku yang tadi
lelap menjadi tidak nyenyak. Sekejap aku membuka mataku dan terbangun, lalu mencoba
tidur lagi. Bangun lagi dan tertidur lagi. Begitu seterusnya.

Sapaan mentari menerangi kamarku lewat celah-celah di atas jendela. Batinku tergerak
seakan-akan sapaan mentari itu memintaku untuk terlepas dari genggaman hangat kasur
itu. Segera kubergegas untuk bersiap berangkat ke sekolah. Mandi, memakai seragam,
sarapan, semua sudah kulakoni layaknya pelajar biasa. Tidak lupa pula kupinta izin dan
rupiah kepada orangtuaku. Izin berangkat sekolah pasti diberi, tapi untuk rupiah ini susah
kudapat. “Sudahlah, nak. Pakai saja uang yang kau tabung itu dulu.” kata ayahku. “Yah,
Ayah. Itu kan uang buat beli laptop baru.” jawabku. Ayahku tetap menggeleng tanda tidak
mau memberikanku apa yang kuharapkan. Seketika, terbangkitkan lagi ingatan akan
kejadian disaat anak itu meminta paksa diriku untuk memakai payung itu. Perasaanku
menjadi tidak enak.
Aku pergi ke sekolah dengan membawa perasaan tidak mengenakkan itu. Di perjalanan,
gelisah selalu menghampiriku. Aku berharap bisa cepat sampai sekolah yang jaraknya
cukup jauh dari rumahku. Sesampainya disekolah, aku langsung disergap oleh Dino yang
telah datang ke sekolah. Dari mimik wajah Dino, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia
sampaikan. “Ko mau denger kabar buruk dulu apa kabar baik dulu?” tanya Dino. Aku
benci kalau harus memilih dua pilihan seperti ini. Pasti serba salah kalau sudah memilih
salah satunya. “Lama banget mikirnya. Yaudah, aku kasih kabar ke ko yang buruk dulu
aja. Biasanya cewek-cewek suka yang happy ending.” tegur Dino kesal. “Aku gak tahu
ko udah denger kabar ini apa belum. Mau ngasih tau juga gak enak.”
“Emangnya, ko mau ngasih tau tentang apa, sih?” tanyaku penasaran.
“Ko belum baca koran, ya?” tanya Dino heran.
“Belum.” jawabku singkat.
“Baca ini deh.” Dino menyodorkan koran dan menyuruhku membaca halaman depan
koran tersebut.

Aku shock melihat gambar truk biru dan mobil van putih dengan jelas. Kulihat judul
berita di atas gambar tersebut, “Senggolan Berujung Maut”. Kutelaah lagi apa yang
terjadi dengan membaca berita tersebut. Kedua kendaraan itu disita sementara oleh aparat
polisi dan pemiliknya masih dimintai keterangan tentang kejadian tersebut dan berstatus
masih sebagai saksi. Paragraf demi paragraf kubaca dengan teliti. Hingga akhirnya, aku
menemukan satu paragraf bertuliskan, “Peristiwa ini menelan satu korban jiwa, anak
berusia sekitar 11 tahun yang diduga adalah pengojek payung sekitar wilayah tersebut.
Warga sekitar telah membantu membawa anak ini ke Rumah Sakit terdekat. Sayangnya,
anak tersebut menghembuskan nafasnya dalam perjalanan. Sampai saat ini, belum ada
satupun orang yang mengaku sebagai keluarganya.” Tidak terasa air mata sudah
membasahi pipiku. Aku tidak menyangka, mimpi burukku tadi malam itu benar-benar
terjadi.

Pulang sekolah, aku mengajak Dino pergi ke Rumah Sakit yang berjara 2 kilometer dari
sekolah kami. Tanpa berbekal nama dari anak tersebut, kami tetap meminta perawat yang
bertugas mempertemukan saya dengan jasad malaikat kecil itu. Perawat tersebut
menyuruh kami untuk mengikutinya menuju suatu ruangan. Ruangan itu cukup
mencekam dan mengerikan, juga penuh orang-orang yang tiada. Akhirnya kami sampai
di satu jasad yang masih tertutupi kain putih. Kubuka perlahan kain tersebut, dan ternyata
memang benar ini jasad anak itu. Tangis sudah tidak dapat kubendung lagi. Suasana
mencekam dan mengerikan di ruangan tersebut kini berubah menjadi haru. Dino dan
perawat yang mengantar kami juga turut sedih karena melihatku yang mengharu biru.

Tiba-tiba, perawat itu membongkar semua informasi tentang anak tak berdosa ini kepada
kami. Bahwa sebenarnya, nama anak ini adalah Putri Anis. Dia belum pernah melihat
sosok kedua orangtuanya dari kecil. Dan dia diasuh oleh orang yang salah. Orang yang
selalu menyalahgunakan dan memperbudak anak kecil. Dia disuruh mencari pekerjaan
dan menyetor duit hasil kerjanya kepada orangtua asuhnya itu. Dan yang diasuh bukan
hanya Anis saja, tapi masih banyak lagi anak pinggiran yang diasuh hanya demi
memperkaya diri. Berkat Anis, tertangkaplah orangtua asuh yang suka memanfaatkan
anak-anak di bawah umur ini.

Anis pergi dengan meninggalkan kebaikan untuk orang-orang sekitarnya. Termasuk juga
untukku. Aku belajar banyak dari pengalaman hidupnya. Selamat jalan, Anis. Kamu
memang tidak bisa merasakan betapa nikmatnya Surga Dunia. Tapi dirimu itu adalah
malaikat kecil tanpa dosa yang mungkin sekarang sedang menikmati indahnya Surga
Akhirat, yang lebih melebihi nikmatnya Surga Dunia yang fana ini. Semoga dirimu
tenang di sisi-Nya.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai