Anda di halaman 1dari 15

TAKDIR HIDUP YANG AKU BENCI

Hujan diluar sana sudah reda sejak beberapa menit lalu. Rasa sendu
yang diiringi oleh hujan masih saja bernyanyi tanpa iringan. Sudah
delapan jam aku berbaring di kasur ini. Tidak berselera makan dan
minum. Bahkan beranjak dari posisiku saat ini pun enggan.
Perasaanku masih dibelai oleh tangan kelabu. Coba tebak, hal apa
yang bisa membuat seorang cewek tomboi sampai berkelakuan
seperti ini?

Aku tidak habis pikir dengan efek dari sendu. Betapa hebatnya,
hingga aku tidak yakin apakah ini efeknya atau malah bakat yang
terpendam. Coretan bolpoin merah sudah memenuhi setiap sudut
kertas yang tergeletak di depanku. Sejak kapan aku pandai
merangkai kata? Tidak bersisa lagi ruang kosong dalam media itu,
aku memutuskan untuk mengistirahatkan tanganku yang mulai
kram. Dan otakku yang sedari tadi mendidih.

Aku, Fiyonika, seorang anak bungsu dari lima bersaudara.


Kakakku laki-laki semua. Dan menjadi kenyataan yang paling
ingin aku hapus, aku yang paling diperhatikan alias dikekang--mau
seperti ini dilarang, seperti itu dilarang. Alasan apa lagi coba,
hanya aku perempuan disini. Alasan klasik untuk membuatku
menuruti mereka.

Entah berapa lama aku berdebat dengan unek-unek di kepala.


Kelopak mataku mulai lengket. Tidak tahu dan tidak mau tahu
pukul berapa sekarang, sekitarku sudah gelap. Dan kosong.

Berkas demi berkas cahaya mengganggu kenyamanan kelopak


mataku dalam menyelimuti lensanya. Aku terbangun dengan
pandangan setengah memicing. Silau. Aku yakin, ini bukan di
kamarku. Karena penerangan di sana tidak seterang ini. Dan lagi,
tidak segaduh ini. Lalu, aku dimana sekarang?

Beberapa menit mencerna situasi, bersandar pada dinding putih


dengan ekspresi bodoh. Sungguh, aku merutuk pada sistem kerja
otak yang mendadak menolak segala informasi masuk. Sebuah titik
di kepala bagian kanan berdenyut. Tengkukku tegang, aku tertekan
dengan situasi seperti ini. Tiba-tiba aku tersentak oleh sebuah suara
yang begitu dekat dengan telingaku.

"Kamu kenapa Yon, diem aja dari tadi?"


Aku menoleh, menyadari ada namaku yang diselipkan dalam
kalimat tadi. Wajah oval dibalut khimar hijau menutupi sebagian
arah pandangku. Fokusku teralih pada apa yang ada dibelakang
gadis ini. Jendela besar dengan tirai yang belum ditutup
menampilkan semburat oranye dari luar. Astaga, aku di kamar
asrama ternyata. Mengapa aku menjadi sebodoh ini sih? Padahal
kejadian mengurung diri sudah terlewat 4 hari dibelakang. Masih
saja hal itu membebani pikiran.
"Fiyonika, kamu baik-baik aja kan?"
Tanya Nihya, teman satu kamar yang kebetulan masih berada di
kamar bersamaku dan beberapa teman lainnya.
"Agak pusing sih, Ya"
Jawabku sedikit meringis saat rasa berdenyut itu datang kembali.
"Kamu sih, udah dijelasin juga dalam hadist dilarang tidur abis
ashar ntar bisa gila, malah tidur. Untung ya aku belum ke masjid.
Kalo udah, siapa yang bangunin kamu ntar buat sholat?" Omel
Nihya. Sepertinya dia mulai bosan menasehatiku yang memang
akhir-akhir ini sering tidur selepas ashar. Padahal saat ini pun
mataku menangkap beberapa teman masih tiduran dengan sebuah
novel tebal di depannya. Berprasangka baik, mungkin mereka lagi
udhzur.
"Lah, malah bengong. Ayo cepet benerin khimarmu lalu pergi ke
masjid!" Tegurnya lagi. Aku menurut, beranjak bangkit dari
ranjang bertingkat dengan tangan yang sudah sibuk membenahi
posisi khimar.

Masjid besar masih 10 menit lagi jauhnya. Letaknya di tengah


kompleks pesantren, jauh dari kompleks asramaku yang terletak di
ujung barat. Mungkin ini salah satu penyebab rasa malas yang
kadang menggerogoti niatku untuk fastabikul khoirot. Sambil jalan,
Nihya memintaku untuk menyimak dia muroja'ah surah Al-
Baqoroh beberapa ayat. Aku yang kelasnya beberapa tingkat lebih
tinggi dari Nihya mengiyakan. Setidaknya dia tidak salah meminta
orang untuk menyimaknya.

Aku membenarkan satu ayat yang dua huruf terlupakan oleh Nihya,
saat kaki kanan kami menginjak pelataran masjid. Jajaran
santriwati yang bersila dengan mukenah lengkap menempel di
tubuh membuatku meringis. Sebuah Al Quran berada nyaman
dalam pangkuan mereka sepanjang mataku memandang. Rutinitas
harian yang sering aku sepelekan kalau sudah terkena masalah
batin. Seperti sore ini, aku berjalan pelan menuju tempat wudu
dengan berharap-harap cemas agar tidak ada pembimbing yang
memergoki keterlambatanku dengan Nihya.

Suara kucuran air dari kran sedikit merilekkan rasa cemas. Di


sampingku, Nihya sudah membasuh wajahnya dengan khusyuk.
Aku menyusulnya, menampung air dalam tadahan telapak
tanganku. Subhanallah 'sejuk', satu kata yang muncul saat air
wudhu mengenai kulit wajahku. Aku merampungkan wudhu lalu
menyusul langkah kaki Nihya yang bergegas masuk ke jajaran
santriwati. Sedikit celingukan, mencari kerumunan teman-teman
satu asrama kami. Untungnya salah satu dari mereka mengenali
kami yang masih berdiri, segera melambaikan tangan ke arah kami.
Aku dan Nihya berjalan membelah dengan sopan barisan santriwati
dari asrama lain. Wajah asing mereka setidaknya menjadi alasan
kuat untuk tidak membuang-buang senyumku percuma. Aku
mengekori Nihya, kemudian duduk canggung diantara teman-
teman seasrama yang melirikku sinis.

"Itu tatapan mereka kenapa sinis gitu ya?" Bisik Nihya tiba-tiba,
ternyata dia pindah duduk di sebelahku.
"Udah biarin saja lah, Nihya" Balasku cuek, lebih memilih
memedulikan Al Quran putih di tanganku. Jujur, dari tadi aku tidak
bisa fokus membaca ayat-ayat suci ini karena pikiranku sedang
berantakan. Kata-kata Ibu masih saja terngiang di telinga. Seperti
ada Ibu di depanku yang menutur ulang kalimat-kalimat itu.

"Dirumah aja, nggak usah ikut temenmu ndaki. Tuh, dengar


diberita. Ada anak SMP yang hilang saat ndaki. Pergi berempat,
balik-balik tinggal bertiga."
"Kan Abangmu sudah pernah ndaki ke Ijen, kata Abangmu yang
diliat ya gitu-gitu aja. San apa itu sanset? Ya itulah pokoknya.
Kamu kan bisa liat itu tiap sore di depan rumah."
"Kenapa kamu jadi ngekeh begitu sih Fiyon? Nggak pernah loh
kamu seperti ini ke Ibu. Biasanya kamu nurut. Jangan-jangan kamu
menyembunyikan sesuatu dari Ibu!"
"Ya jelas Ibu curiga, kamu anak perempuan satu-satunya. Pake
acara pergi ndaki, ngotot begini."
"Pokoknya Ibu bilang tidak boleh ya tidak."
"Fiyonika, dengerin Ibu!"

Aku segera tersadar dari lamunan, ketika sebuah tangan menyentuh


pundakku pelan.
"Kamu ada masalah, Yon?"
"Eh, nggak kok" jawabku lirih. Nihya menarik kembali tangannya
dari pundakku. Kembali melanjutkan bacaannya yang terpotong.
Sempat heran, tapi urung. Ternyata air mata yang tidak disuruh
pergi keluar inilah penyebab Nihya menanyaiku barusan. Aku
mengusap pipiku lembut, berusaha agar gerakanku tidak
mengundang keingintahuan teman-teman di samping dan
belakangku. Aku mendekatkan mushaf putih ini perlahan ke wajah,
menciumnya. Selarik doa aku selipkan dalam detik-detik aku
mencium mushaf.

"Ibu, aku juga ingin merasakan yang teman-teman Fiyon rasa'in.


Fiyon ingin bebas ngelakuin keinginan Fiyon kayak Abang. Salah
ya, Bu?"
Batinku bertanya, lelah dengan segala protes yang terus aku putar
dalam benak.

Adzan maghrib berkumandang, seperti diberi aba-aba, suara yang


mengalunkan ayat alquran dengan indah mendadak hilang. Suasana
senyap sangat mendukungku untuk memaknai satu persatu kalimat
adzan yang dilantunkan.
"Ah, Ibu. Sekali ini saja ya Fiyon nggak nurutin Ibu. Semoga Fiyon
bukan termasuk anak yang durhaka ya, Bu." bisikku, mengambil
keputusan.

Pengajian malam selesai lebih cepat dari biasanya. Aku, Nihya, dan
beberapa teman seasrama berjalan beriringan menuju kompleks
asrama. Sesekali celoteh Nihya membuat yang lain menyahuti
dengan candaan. Jahil menggoda Nihya yang memang dari sananya
bawel, sedikit menghibur rasa bosan mereka. Aku berjalan bersama
mereka, diantara gelak tawa, dan seruan lepas yang tanpa bisa
mereka tahan. Aku melewati jalan kompleks bersama keseruan
percakapan mereka, terus diam memblokir seluruh ekspresi. Tapi
memang, rencana tetaplah rencana. Kehendak Allah tidak ada yang
tahu. Seperti saat ini, rencanaku untuk menampilkan ekspresi datar
digagalkan oleh sebuah pertanyaan dari salah satu diantara mereka-
-yang aku tahu namanya Laili.

"Kamu gimana Fiyon, ikut kan ke ijen?" Tanyanya riang, terbawa


suasana karena topik percakapan sebelumnya.
"Oh iya, Nanti ada abangku yang ikut ndaki loh. Jadi ga perlu takut
deh. Gimana, Yon?" Tambah Ginaya, berusaha meyakinkan aku
yang masih memasang wajah datar.
Seulas senyuman tipis tercetak di wajahku. Diluar rencanaku, aku
tersenyum lebih cepat dari yang aku kira.
"Iya, aku ikut. Tapi, aku balik dari sini nebeng kerumahmu
langsung ya Nihya!" Ucapku, mati-matian kubuat seriang mungkin.
"Wah, oke oke. Seru nih ada Fiyon. Jadi fix nih ya kita berlima
yang ndaki?" tanya Nihya, kelewat senang.
"Berlima, ini kita... satu, dua, tiga, empat. Berempat gini, Ya."
Ginaya merespon pertanyaan Nihya dengan bingung.
"Kan ditambah sama abangmu, satu. Lah kan pas lima" jawab
Nihya enteng.
"Eh, iya sih." Jawab Ginaya kikuk.
Laili dan Nihya tertawa, menertawai ekspresi Ginaya yang kurang
bisa ditolerir. Aku hanya menggelengkan kepala dengan sebuah
senyuman yang enggan dihapus.
"Tuhan, izinkan aku ya... please!"
Pintaku diam-diam dalam batin.

Dua minggu sudah terlewat tanpa disingkat. Aku sudah tidak


sempat lagi menghitung mundur kapan akan pulang dari kompleks
pesantren ini. Kepalaku terus dipenuhi oleh rencana-rencana yang
akan aku lakukan selama mendaki--yang tentunya salah satu aksi
pelarianku dari rumah. Rumus matematika, aljabar dan logaritma
sudah lewat begitu saja, ujian kali ini tidak seberat ujian semester
lalu. Bukan karena aku yang semakin giat belajar di semester ini.
Malah sebaliknya. Ujian terasa ringan karena aku tidak ambil
pusing kalau aku tidak tahu bagaimana mengerjakan soal nomor
satu, dua, sampai 25. Masalah batin ini ternyata berdampak besar
terhadap kesehatan mentalku. Aku semakin sering melamun dan
diam. Satu sih yang dampaknya sangat aku unggulkan, berpura-
pura bahagia, semakin mahir saja aku di bidang ini.

Senja ke-14 semenjak Ibu melarangku pergi mendaki. 14 hari pula


aku bersikap aneh, sikap yang aku tidak tahu milik siapa. Gampang
tersenyum saat ditanya, ikut tertawa saat yang lain tertawa, bahkan
bersikap seakan tidak ada apa-apa di hadapan Nihya. Sungguh,
semua ini bukan sikap yang aku punya. Mungkin hanya Nihya
yang menyadari perubahan pada diriku beberapa minggu ini.
Seorang Fiyonika yang tomboi, cuek dan suka menyibukkan diri
dengan buku tebal, sekarang malah sering melamun dan membaur
dengan kejahilan teman-teman seasrama. Dua hal kontras yang
tidak ada satupun dari mereka sadar itu, tentu saja kecuali Nihya.

"Kamu ada apa sih, lagi ada masalah sama Ibu kamu?" Tanya
Nihya, di suatu sore saat yang lain sedang asyik mengepak barang
kedalam koper.
"Eh, kamu nggak packing apa, Ya?" Aku balik bertanya,
mengalihkan topik.
"Udah dari tadi kali, kamu sih bengong mulu. Mana aku liat belum
ada satu barang pun yang masuk ke backpackmu lagi. Ada apa
sih?" Aku hanya meringis, membenarkan perkataan Nihya yang
sekaligus membenarkan tingkah bodohku.
"Ya udah kalo masih nggak mau cerita setelah dua minggu nunggu
kamu cerita. Tahu nggak sih sejak awal kamu balik kesini, kamu
bener-bener kacau, Yon. Semoga aja nggak ada sangkut pautnya
sama rencana ke Ijen kita ini" Aku tersentak, perkataan Nihya
sempurna menampar wajah penuh kepura-puraan ini agar segera
menyingkir.
"Ntar kalau udah sampek di puncak, kamu cerita semuanya ya ke
aku, Fiyon" setelah mengucapkan itu, Nihya beranjak kembali ke
ranjangnya yang terletak di tingkat atas. Aku tidak mengangguk,
tidak juga menggelang. Hanya meneguk salivaku paksa. Lalu
kenapa kalau ada sangkut pautnya dengan rencana mendaki, salah
aku?

Pikiranku masih gelap. Belum menemukan jalan terang. Begitu


juga malam yang semakin larut. Langit di luar sana pastinya tidak
segelap pikiranku saat ini. Menyerah, aku membiarkan unek-unek
tidak berujung ini membawaku berlayar ke pulau mimpi.
Setidaknya masih ada satu tempat yang tidak mengekangku seperti
takdir ini.

Mobil jeb menggerung. Tanjakan yang kami lewati lumayan


curam. Aku tidak terlalu menggubris pekikan panik Ginaya dengan
Abangnya yang sibuk menenangkan adiknya. Aku mengurus diri
sendiri yang masih merasa halu dengan situasi ini. Aku seberani
ini, sebuah rekor yang tidak pernah aku bayangkan bisa
mencapainya.

Suara bising mesin mobil berhenti. Mobil hitam yang kami


tumpangi sudah terparkir rapi diantara barisan mobil yang sama.
Hanya berbeda warna dan nomor plat. Aku bergegas turun,
menggendong tas backpack army, lalu melangkah mengekori
Ginaya. Di posisi paling depan ada Nihya yang memimpin
rombongan. Sedangkan abangnya Ginaya berjalan dipaling
belakang, memastikan dari kami tidak ada yang tertinggal. Aku
tidak takut jika Nihya yang memimpin rombongan, karena aku tahu
prestasi gadis berkhimar oranye ini dalam menaklukkan gunung-
gunung di jawa bersama tim mapala semasa smpnya dulu.

Pukul 12.00. Banyuwangi, mulai memperlihatkan awan-awan yang


ia miliki pada ketinggian yang entah aku tidak tahu berapa. Meski
siang sudah memasuki puncaknya, aku tidak merasakan panas yang
berarti. Jaket woll putih masih terkancing membalut tubuhku. Kami
memutuskan berhenti disebuah tempat lapang. Cukup lapang untuk
beristirahat dari rasa lelah setelah berjalan beberapa mil jauhnya.
Untuk orang yang tidak pernah mendaki sebelumnya, aku bisa
dikatakan lumayan tangguh menghadapi situasi ini. Meski aku
tidak bisa memungkiri rasa nyut-nyut di tumit dan paha.

"Berapa jam lagi kita nyampek puncak, Bang?" Tanya Ginaya pada
abangnya.
"Kenapa kamu, udah nyerah nih Nay?" Celetuk Laili jahil.
"Idih, siapa yang nyerah. Cuma tanya doang, salah?" Jawab Ginaya
membela diri. Laili dan Nihya serempak tertawa. Abangnya Ginaya
hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan mereka yang
sejak tadi ribut. Aku, hanya tersenyum tipis. Kembali mengalihkan
perhatian pada hamparan awan di sebelah sana.
"Ayok lanjut Bang Jo, biar pas sunset kita udah nyampek pos" Ajak
Nihya semangat.
"Kamu udah pernah kesini, Ya?" Tanya Abangnya Ginaya yang
baru aku tahu namanya adalah Jonathan.
"Pernah Bang, tapi udah lama. Dan lumayan banyak yang berubah
sih lingkungannya."
"Yuk, berangkat!" Pekik Ginaya tiba-tiba setelah menepuk-nepuk
bajunya yang sedikit kotor oleh tanah.
"Lah, kamu beneran kuat Nay? Ntar pingsan di jalan aku gamau
gotong loh!" Goda Laili yang disambut dengan pelototan dari
Ginaya.
Perjalanan kami berlanjut dengan gelak tawa, menertawakan
Ginaya dan Laili yang lagi-lagi berbuat ulah. Nihya masih
memimpin rombongan, sesekali berjongkok untuk meneguk air
mineral di tangan kanannya. Aku tidak merasakan apapun, entah
itu senang, entah itu khawatir. Yang ada hanya perasaan semakin
kosong. Ada yang salah, tapi aku takut mengakuinya.

Masih lengkap dengan nafas tersenggal, akhirnya kami mencapai


puncak. Aku mengundurkan diri dari keramaian yang disuguhkan.
Memilih duduk menyendiri, bercakap tanpa ucap pada senja.
"Kamu ada masalah ya?" Tanya Nihya, bersiap duduk di
sebelahku.
"Hm" aku menunduk, menetralkan ekspresi terkejutku.
"Nihya, sebenernya aku nggak dibolehin sama Ibu buat ikutan
kalian ndaki kesini" ucapku ragu, mataku memandang lekat wajah
Nihya. Ingin tahu bagaimana ekspresi sahabatku satu ini. Nihya
hanya memalingkan wajahnya dariku. Menghembuskan nafas
pelan.
"Seperti yang aku duga sebelumnya." Ucap Nihya tanpa melihat
kearahku.
"Lalu, sekarang Ibumu juga belum tahu kamu disini?" Aku
mengangguk, meski tidak tahu apakah Nihya melihat anggukanku.
"Udah berusaha nelpon rumah?" Tanyanya lagi, kali ini aku tidak
mengangguk.
Nihya tiba-tiba bangkit dari duduknya. Dia berdiri tanpa sepatah
kata yang terucap lagi. Kemudian berbalik badan dan pergi.
Menyisakan aku bersama hembusan angin senja dan rasa bersalah.

Matahari yang sangat mencolok warnanya mulai ditelan awan.


Cuaca sedikit mendung, membuat sunset di senja ini berbeda dari
senja biasanya. Aku berulang kali berdecak kagum. Sungguh
kebesaran Allah yang amat langka untuk aku nikmati. Dan yang
terakhir kalinya aku pandangi, mungkin.

"Ayo balik." ajak Bang Jo merusak keheningan diantara kami yang


masih merasakan euforia sunset.
"Lah, Blue fire-nya sayang nggak diliatin" protes Ginaya tidak
terima dengan ajakan Abangnya.
"Mukamu udah pucat gitu, Gin. Balik yuk, nggak bawa obat juga
kan kamu?" Aku menoleh, mengabaikan sunset karena perkataan
pelan dari Bang Jo.
"Ginaya kuat kok. Ish nyebelin!"
Sahut Ginaya kesal.
"Ya udah ayo balik semuanya!" Seru Bang Jo memenangkan
perdebatan itu.

Beberapa orang mulai bersiap turun. Malam sudah menyelimuti


puncak gunung ijen. Langit tidak terlalu suram, satu dua bintang
terlihat berkerlipan disana. Satu persatu orang yang ikut
berpartisipasi dalam keramaian tadi menghilang. Aku tidak pernah
menebak sebelumnya, yang menghilang ternyata kebahagianku
juga.

Aku tidak mau penasaran terlalu jauh tentang itu. Udara dingin
menusuk tengkuk. Aku merutuk dalam hati, karena tiba-tiba saja
alergi dinginku kambuh. Rasa gatal mulai menjalar dari punggung
hingga lengan. Merasa tersiksa dan tidak nyaman. Aku segera
mencari toilet, Berjalan cepat mengabaikan sekitar. Beberapa menit
di dalam toilet, tubuhku kembali menghangat, hasil kerja minyak
kayu putih yang aku oleskan.

Rasa gatal ini berangsur-angsur menghilang. Aku mengurangi


intensitas tanganku dalam mengusap-usap lengan yang gatal. Jaket
wolku yang tebal benar-benar memaksaku untuk tidak
menggaruknya. Sebuah ingatan menghilangkan seketika rasa gatal
ini, aku tersadar oleh tingkah cerobohku.
"Ya Tuhan, Mereka mana tau aku ke toilet? Aku lupa gak bilang.
Gimana ini, aku harus cepat nemuin mereka!"
Berjalan tergopoh, berniat menyusul rombongan yang aku pikir
masih beberapa langkah didepanku. Ternyata semuanya diluar
perkiraan. Jalan setapak didepanku lenggang. Tidak menyisakan
satu orang pun diantara mereka berempat. Rasa panik mulai
menjalar, merebut logika untuk berfikir jernih. Hendak berlari
menyusul rombongan dengan mengikuti jalur di jalan setapak itu,
sama saja dengan bunuh diri. Bagaimana mungkin aku berlari
dalam gelap seperti ini sendirian. Aku tidak cukup berani untuk
melakukan itu. Tidak ada cara lain selain menunggu hingga fajar
datang. Aku belum bisa tenang. Satu yang membuat pikiranku
terusik, bagaimana kalau Nihya dan yang lainnya mencariku? Pasti
mereka akan berfikiran macam-macam tentang sesuatu terjadi
padaku.

"Argh, aku harus bagaimana?" Desisku putus asa.

Hawa dingin semakin menyergap tubuh. Seperti menemukan


sasaran empuk untuk diterjang. Aku merapatkan jaket woll,
berharap bisa mengurangi rasa dingin ini. Kehangatan menjalar
dari pundak sampai ke punggung. Bukan karena jaket woll ku ini
berhasil mengusir hawa dingin. Lebih tepatnya karena sebuah jaket
kulit berwarna coklat sudah bertengger di pundakku. Aku terkejut,
rasa takut mulai merayapi sisa mental yang aku punya. Dengan
cepat aku menoleh, mencari pelaku yang membuat aku ketakutan.
Tepat saat aku menolehkan wajah ke kiri. kepulan asap dari gelas
alumunium tersodorkan di depan hidungku. Otot wajah yang sejak
tadi membeku perlahan rileks, menemukan kehangatan yang
diidam-idamkan. Aku masih berada pada sikap siaga satu. Siapa
tahu orang dibalik gelas ini ada maunya?

"Ini ambil aja." Suara berat itu menambah level siagaku. Aku
semakin was-was, siapa pula yang tidak takut mendadak didekati
laki-laki tidak dikenal, dalam keadaan sendiri lagi.
"Kenapa muka kamu kayak takut gitu, jangan bilang kamu lupa
siapa aku?"
Tunggu, apa aku pernah melihat wajah orang di depan ini? Kapan
dan siapa?
"Tuh kan lupa pasti!"
Dia berucap lagi, entah apa ini benar, aku melihat senyum kecewa
pada wajah itu.
"Maaf, siapa ya? Bisa lebih jelas?" Ucapku akhirnya, rasa cemas
ini mulai aku kuasai kembali.
"Kamu Fiyoni kan? Anak perempuan pendek yang rambutnya
selalu dikepang dua tinggi banget, alasannya kalau diukur biar
tinggi. Karena Fiyoni paling nggak suka kalau diejek pendek sama
bocah laki-laki berkacamata."
Aku kaget sekaligus tidak percaya, bagaimana bisa orang di
depanku ini bisa tau masa kecilku. Masih terdiam dengan sebuah
gelas di tangan kanan. Belum genap aku memanggil ingatanku
tentang siapakah gerangan orang ini, laki-laki itu memasang
kacamatanya kemudian menatapku.
"Begini, sudah ingat?"
"Ya Tuhan, Gilang kan ya, iya kan?"
Seruku, kelewat kaget mengetahui perubahan pada wajah laki-laki
di berkacamata ini yang dulunya adalah teman bermainku.

Rasa khawatirku berangsur-angsur hilang. Beberapa menit bertukar


kabar, aku kembali di ingakan pada sebuah masalah. Aku terpisah
dengan teman-temanku, dan pastinya mereka bakal panik kalau
tidak segera melihat batang hidungku. Melihat raut cemasku,
Gilang entah sejak kapan, menyodorkan handphone kearahku.

"Aku tebak, kamu kepisah sama rombonganmu. Ini, hubungin


mereka"
Ide bagus, sayangnya aku tidak tahu nomor telpon Bang Jo ataupun
Nihya yang saat ini membawa handphone.
"Kenapa?"
Gilang bertanya bingung, aku masih mengacuhkan keberadaan
handphone ditangannya.
"Aku gatau nomor mereka" aku meringis miris, betapa bodohnya
aku.
"Fiks, udah gue duga. Makanya kalau mau kemana-mana izin dulu
ke orangtua. Ini nih peringatan buat kamu." Suara berat itu sedikit
membuat logikaku terhenyak. Dia tahu.

Aku memandanginya, berharap menemukan sebuah keyakinan jika


ucapan dia barusan sekedar bercanda ataupun kebetulan sama
seperti yang aku alami. Nihil, raut mukanya terlihat serius dan
sedikit kecewa. Ibu jarinya mengusap layar handphone. Menscroll
ke bawah, entah mencari apa. Aku memalingkan wajah ke arah
lain.
"Bagaimana kamu tau?"
Tanyaku lirih, rasa penasaranku tidak bisa dicegah untuk tidak
bertanya.
Tidak ada satu katapun yang terdengar dari suara berat itu. Aku
menoleh, heran. Sebelum aku melontarkan pertanyaan
pengulangan, Gilang sudah menyerahkan handphonenya kepadaku.
Balon percakapan terlihat di layar, pesan dari Ibu Hayani.

"Ibu mu tau kalau kamu ndaki ke Ijen, dan bakal nekat pergi.
Makanya dia mintatolong ke aku buat nyusul kamu. Ngawasin
kamu dari jauh." Jelasnya singkat, aku termenung. Speechless.

Jari-jariku gemetar, aku membaca pesan-pesan dari Ibu di layar


handphone Gilang. Suara Ibu yang melarangku pergi kembali
terngiang. Tanpa sadar, satu bulir air mata jatuh.

"Mau balik sekarang, Fi?"


Tawarnya, setelah kebisuan seperkian menit. Aku menghela nafas
pelan, berdiri, kemudian mengangguk mengiyakan tawarannya.

Detik ini, ketika gugusan bintang bima sakti sedang berkedip


menatap kebodohanku yang masih menyalahkan takdir. Aku
mensyukuri sebuah hal, takdir yang aku benci ini menyadarkanku
lebih awal. Tidak seharusnya aku membenci takdir yang sudah
tergaris untukku.

Anda mungkin juga menyukai