Hujan diluar sana sudah reda sejak beberapa menit lalu. Rasa sendu
yang diiringi oleh hujan masih saja bernyanyi tanpa iringan. Sudah
delapan jam aku berbaring di kasur ini. Tidak berselera makan dan
minum. Bahkan beranjak dari posisiku saat ini pun enggan.
Perasaanku masih dibelai oleh tangan kelabu. Coba tebak, hal apa
yang bisa membuat seorang cewek tomboi sampai berkelakuan
seperti ini?
Aku tidak habis pikir dengan efek dari sendu. Betapa hebatnya,
hingga aku tidak yakin apakah ini efeknya atau malah bakat yang
terpendam. Coretan bolpoin merah sudah memenuhi setiap sudut
kertas yang tergeletak di depanku. Sejak kapan aku pandai
merangkai kata? Tidak bersisa lagi ruang kosong dalam media itu,
aku memutuskan untuk mengistirahatkan tanganku yang mulai
kram. Dan otakku yang sedari tadi mendidih.
Aku membenarkan satu ayat yang dua huruf terlupakan oleh Nihya,
saat kaki kanan kami menginjak pelataran masjid. Jajaran
santriwati yang bersila dengan mukenah lengkap menempel di
tubuh membuatku meringis. Sebuah Al Quran berada nyaman
dalam pangkuan mereka sepanjang mataku memandang. Rutinitas
harian yang sering aku sepelekan kalau sudah terkena masalah
batin. Seperti sore ini, aku berjalan pelan menuju tempat wudu
dengan berharap-harap cemas agar tidak ada pembimbing yang
memergoki keterlambatanku dengan Nihya.
"Itu tatapan mereka kenapa sinis gitu ya?" Bisik Nihya tiba-tiba,
ternyata dia pindah duduk di sebelahku.
"Udah biarin saja lah, Nihya" Balasku cuek, lebih memilih
memedulikan Al Quran putih di tanganku. Jujur, dari tadi aku tidak
bisa fokus membaca ayat-ayat suci ini karena pikiranku sedang
berantakan. Kata-kata Ibu masih saja terngiang di telinga. Seperti
ada Ibu di depanku yang menutur ulang kalimat-kalimat itu.
Pengajian malam selesai lebih cepat dari biasanya. Aku, Nihya, dan
beberapa teman seasrama berjalan beriringan menuju kompleks
asrama. Sesekali celoteh Nihya membuat yang lain menyahuti
dengan candaan. Jahil menggoda Nihya yang memang dari sananya
bawel, sedikit menghibur rasa bosan mereka. Aku berjalan bersama
mereka, diantara gelak tawa, dan seruan lepas yang tanpa bisa
mereka tahan. Aku melewati jalan kompleks bersama keseruan
percakapan mereka, terus diam memblokir seluruh ekspresi. Tapi
memang, rencana tetaplah rencana. Kehendak Allah tidak ada yang
tahu. Seperti saat ini, rencanaku untuk menampilkan ekspresi datar
digagalkan oleh sebuah pertanyaan dari salah satu diantara mereka-
-yang aku tahu namanya Laili.
"Kamu ada apa sih, lagi ada masalah sama Ibu kamu?" Tanya
Nihya, di suatu sore saat yang lain sedang asyik mengepak barang
kedalam koper.
"Eh, kamu nggak packing apa, Ya?" Aku balik bertanya,
mengalihkan topik.
"Udah dari tadi kali, kamu sih bengong mulu. Mana aku liat belum
ada satu barang pun yang masuk ke backpackmu lagi. Ada apa
sih?" Aku hanya meringis, membenarkan perkataan Nihya yang
sekaligus membenarkan tingkah bodohku.
"Ya udah kalo masih nggak mau cerita setelah dua minggu nunggu
kamu cerita. Tahu nggak sih sejak awal kamu balik kesini, kamu
bener-bener kacau, Yon. Semoga aja nggak ada sangkut pautnya
sama rencana ke Ijen kita ini" Aku tersentak, perkataan Nihya
sempurna menampar wajah penuh kepura-puraan ini agar segera
menyingkir.
"Ntar kalau udah sampek di puncak, kamu cerita semuanya ya ke
aku, Fiyon" setelah mengucapkan itu, Nihya beranjak kembali ke
ranjangnya yang terletak di tingkat atas. Aku tidak mengangguk,
tidak juga menggelang. Hanya meneguk salivaku paksa. Lalu
kenapa kalau ada sangkut pautnya dengan rencana mendaki, salah
aku?
"Berapa jam lagi kita nyampek puncak, Bang?" Tanya Ginaya pada
abangnya.
"Kenapa kamu, udah nyerah nih Nay?" Celetuk Laili jahil.
"Idih, siapa yang nyerah. Cuma tanya doang, salah?" Jawab Ginaya
membela diri. Laili dan Nihya serempak tertawa. Abangnya Ginaya
hanya menggelengkan kepala, heran dengan kelakuan mereka yang
sejak tadi ribut. Aku, hanya tersenyum tipis. Kembali mengalihkan
perhatian pada hamparan awan di sebelah sana.
"Ayok lanjut Bang Jo, biar pas sunset kita udah nyampek pos" Ajak
Nihya semangat.
"Kamu udah pernah kesini, Ya?" Tanya Abangnya Ginaya yang
baru aku tahu namanya adalah Jonathan.
"Pernah Bang, tapi udah lama. Dan lumayan banyak yang berubah
sih lingkungannya."
"Yuk, berangkat!" Pekik Ginaya tiba-tiba setelah menepuk-nepuk
bajunya yang sedikit kotor oleh tanah.
"Lah, kamu beneran kuat Nay? Ntar pingsan di jalan aku gamau
gotong loh!" Goda Laili yang disambut dengan pelototan dari
Ginaya.
Perjalanan kami berlanjut dengan gelak tawa, menertawakan
Ginaya dan Laili yang lagi-lagi berbuat ulah. Nihya masih
memimpin rombongan, sesekali berjongkok untuk meneguk air
mineral di tangan kanannya. Aku tidak merasakan apapun, entah
itu senang, entah itu khawatir. Yang ada hanya perasaan semakin
kosong. Ada yang salah, tapi aku takut mengakuinya.
Aku tidak mau penasaran terlalu jauh tentang itu. Udara dingin
menusuk tengkuk. Aku merutuk dalam hati, karena tiba-tiba saja
alergi dinginku kambuh. Rasa gatal mulai menjalar dari punggung
hingga lengan. Merasa tersiksa dan tidak nyaman. Aku segera
mencari toilet, Berjalan cepat mengabaikan sekitar. Beberapa menit
di dalam toilet, tubuhku kembali menghangat, hasil kerja minyak
kayu putih yang aku oleskan.
"Ini ambil aja." Suara berat itu menambah level siagaku. Aku
semakin was-was, siapa pula yang tidak takut mendadak didekati
laki-laki tidak dikenal, dalam keadaan sendiri lagi.
"Kenapa muka kamu kayak takut gitu, jangan bilang kamu lupa
siapa aku?"
Tunggu, apa aku pernah melihat wajah orang di depan ini? Kapan
dan siapa?
"Tuh kan lupa pasti!"
Dia berucap lagi, entah apa ini benar, aku melihat senyum kecewa
pada wajah itu.
"Maaf, siapa ya? Bisa lebih jelas?" Ucapku akhirnya, rasa cemas
ini mulai aku kuasai kembali.
"Kamu Fiyoni kan? Anak perempuan pendek yang rambutnya
selalu dikepang dua tinggi banget, alasannya kalau diukur biar
tinggi. Karena Fiyoni paling nggak suka kalau diejek pendek sama
bocah laki-laki berkacamata."
Aku kaget sekaligus tidak percaya, bagaimana bisa orang di
depanku ini bisa tau masa kecilku. Masih terdiam dengan sebuah
gelas di tangan kanan. Belum genap aku memanggil ingatanku
tentang siapakah gerangan orang ini, laki-laki itu memasang
kacamatanya kemudian menatapku.
"Begini, sudah ingat?"
"Ya Tuhan, Gilang kan ya, iya kan?"
Seruku, kelewat kaget mengetahui perubahan pada wajah laki-laki
di berkacamata ini yang dulunya adalah teman bermainku.
"Ibu mu tau kalau kamu ndaki ke Ijen, dan bakal nekat pergi.
Makanya dia mintatolong ke aku buat nyusul kamu. Ngawasin
kamu dari jauh." Jelasnya singkat, aku termenung. Speechless.