Anda di halaman 1dari 16

553

(Inspired by TXT - Blue Hour)

Tap...Tap...Tap...
Suara sepatu heels yang bersentuhan dengan lantai menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Dengan
ramah ia menyapa setiap rekan kerja sebaya maupun atasan yang berpapasan dengannya. Kedua tangannya
dengan erat mendekap beberapa map yang berisi laporan dan data pasien. Langkahnya pelan tapi pasti menuju
ke salah satu ruangan di lantai 5 ini,kamar nomor 554. Setelah tiba di depan kamar nomor 554,pintu kamar
sebelah yang terbuka mengalihkan perhatiannya. No. 553,begitulah yang tertera di pintu ruangan tersebut. ‘Kok
tiba-tiba pintu nya dibuka? Ini kan bukan jadwal membersihkan kamar itu’,batinnya merasa heran. Karena
selama ini kamar tersebut tak pernah lagi dibuka. Tidak dibenarkan bagi siapapun untuk memasuki ruangan
tersebut tanpa izin dari pihak rumah sakit. Karena rasa penasarannya,suster dengan name tag Ella itu pergi
memeriksa kamar tersebut. Tampak sosok remaja laki-laki—mungkin sekitar usia 18 tahun—yang sedang
mengamati seisi ruangan. Dari pakaiannya menandakan bahwa dia merupakan salah satu pasien di rumah sakit
tersebut.
“Hei” ”AAAKH!”,lelaki itu terkejut karena sapaan dari Suster Ella yang mendadak. “Eh,maaf. Aku nggak
bermaksud mengagetkan. Tapi,kenapa kamu bisa ada di sini? Peraturan rumah sakit ini kan tidak membenarkan
siapapun memasuki ruangan ini tanpa izin dari pihak rumah sakit”,tanya Ella. “Oh,i-itu... um,mohon maaf
sebelumnya,Suster. Awalnya tadi aku cuman melihat-lihat aja. Karena penasaran,ku coba lah membuka
pintunya,dan ternyata tidak dikunci. Jadi,ya, sekalian saja masuk ke sini...hehe”,jawab lelaki itu dengan
cengirannya. ”Wah,seorang pasien dengan jiwa kepo yang tinggi”,celetuk sang suster,dan si lelaki hanya bisa
cengengesan kecil.
Ella yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu pun akhirnya memutuskan untuk memasuki kamar
tersebut. ‘Gaada yang berubah dari kamar ini sejak kejadian itu’,batinnya. Sebenarnya kamar ini tidak ada
bedanya dengan kamar rawat lainnya. Ranjang pasien,lengkap dengan sprei berwarna putih—begitu juga
dengan bantal,selimut, cat dinding,hampir semuanya berwarna putih. Tidak ada yang tampak spesial. Kecuali
bagian origami hati nya. Di kamar itu terdapat banyak sekali origami berbentuk hati—dengan warna yang
berbeda-beda—memenuhi hampir seluruh sudut ruangan sepanjang mata memandang. Ada yang digantung
sebagai hiasan dinding hingga menutupi hampir semua permukaan dinding putih tersebut,ada yang digantung di
langit-langit kamar,hingga dengan hati-hati disebarkan di atas ranjang pasien. Melihat semua ini membuat
memori Ella memutar kembali peristiwa yang terjadi tujuh tahun lalu bagaikan kilas balik.
“Um,suster. Aku boleh nanyain sesuatu nggak?”,tanya si pasien memecah keheningan yang melanda sejak
tadi. “Oh,iya,silahkan. Lagipula kalimatmu itu sudah termasuk pertanyaan,kan?”,jawab Ella diselingi dengan
tawa. “I—iya sih. Tapi kan—bukan itu maksudku...”,sanggah si lelaki sembari menggaruk tengkuknya yang tidak
gatal. Sepertinya ini sudah menjadi kebiasaan apabila seseorang berada dalam situasi yang canggung atau tidak
bisa dimengerti. “Hahaha... Aku cuma bercanda,jangan dianggap serius. Ayo lanjutkan,kamu mau tanya tentang
apa?” “Aku memang baru dirawat di rumah sakit ini. Dan dari kabar yang aku dengar di rumah sakit ini ada satu
tradisi unik,dimana kita disuruh buat satu origami berbentuk hati untuk mereka yang sudah tiada,terus kita
letakkan di ruang duka. Apa tradisi itu ada hubungannya dengan kamar ini?” Keheningan kembali melanda. “Ya.
Tradisi itu sangat erat kaitannya dengan kamar ini”,Ella menghentikan kalimatnya sejenak. “Mau dengar satu
cerita nggak? Tentang bagaimana asal usul tradisi itu?”,lanjutnya. Si pasien pun mengangguk dengan semangat
sebagai tanda bahwa dia siap mendengarkan ceritanya. Ella pun membawa lelaki itu untuk duduk di sofa
ruangan tersebut—salah satu bagian dari kamar yang sengaja tidak dipenuhi dan ditaburi origami hati.
“Semua ini bermula dari peristiwa tujuh tahun yang lalu. Kamar ini pernah jadi saksi bisu kuatnya ikatan
persaudaraan antara sepasang saudara kembar. Setiap hari,si kakak laki-laki akan bikin origami hati ini dengan
harapan kalau suatu hari nanti si adik bakalan membuka matanya terus melihat kejutan yang sudah ia siapkan.
Tapi sungguh malang lelaki itu. Hari itu nggak pernah tiba dalam hidupnya.”

“Awas ya! Akan kutangkap Kakak!”,teriak seorang gadis berkuncir kuda yang sedang berusaha sekuat tenaga
untuk menangkap seorang anak laki-laki yang berlari di depannya.Dari sini terlihat bahwa mereka sedang
bermain kejar-kejaran. “Coba saja kalau bisa”,ucap si anak laki-laki seraya terus berlari. Tak lupa dujulurkannya
lidahnya untuk menggoda si gadis kecil. Karena tak terima dirinya direndahkan seperti itu,si gadis pun geram
dan makin mempercepat langkahnya. Anak laki-laki itu tertawa puas dan mempercepat langkahnya juga. Hingga
tibalah ia di dekat pohon maple yang menjadi ciri khas taman tersebut. Ia pun memanjat pohon tersebut
dengan lincah. Setelah sampai di dekat pohon,si gadis pun berhenti.
“Aah,selalu saja sepeti ini,tidak adil! Kakak kan bisa memanjat,sedangkan aku tidak!”. Bibir nya yang
dimanyunkan dan tangan yang dilipat di depan dada menandakan kalau dia sedang kesal. Si anak laki-laki yang
melihat itu dari atas pohon pun hanya bisa tekekeh. “Kan sudah berkali-kali Kakak bilang. Kakak akan
mengajarimu memanjat sampai bisa. Tapi kamu tidak mau”, jawab si anak laki-laki. “Ya kan aku takut pada
ketinggian”,ujar si anak perempuan. “Untuk apa kamu merasa takut? Kakak kan ada di sini. Sebagai kakak yang
baik,kakak akan memastikan tidak ada yang bisa melukai adik kecil yang cantik ini”,si anak laki-laki masih
mencoba meyakinkan.
“Jangan panggil aku adik kecil! Kita Cuma selisih 5 menit! Ayo cepat turun,ini curang namanya!”,tukas si anak
perempuan. Memang,ia tak suka jika dipanggil dengan sebutan adik kecil oleh kembarannya itu. Karena
menurutnya panggilan itu sangat menggelikan. Akan tetapi,dirinya memanggil kembaran laki-lakinya itu
menggunakan embel-embel kakak. Ya,ini adalah salah satu bukti bahwa ‘cewek itu selalu benar’.
Saat masih menduduki jenjang taman kanak-kanak,ada salah satu temannya yang selalu membangga-
banggakan dan memamerkan kehebatan kakak laki-lakinya. Kakaknya bisa ini,kakaknya bisa itu,semuanya ia
ceritakan. Karena merasa iri,suatu hari ia berkata di hadapan kedua orangtua dan kembarannya,’Mulai sekarang
aku akan memanggil Vino kakak,supaya aku juga bisa pamer ke teman-temanku’. Sejak itulah,panggilan ‘Kakak’
melekat pada anak laki-laki bernama Vino itu. Tentunya ia setuju dan merasa senang. Karena akhirnya dia tidak
lagi harus memaksa kembarannya untuk mengakuinya sebagai yang tertua di antara mereka.
“Astaga,adik kecil ini merajuk ternyata”,lagi-lagi Vino tak habis-habisnya menggoda sang adik. Menurutnya
wajah adiknya ketika marah itu menjadi kesenangan tersendiri baginya. Si gadis kecil pun memalingkan
mukanya. Saat itulah,ia menangkap pemandangan hamparan bunga Dandelion yang indah. Karena kagum,ia pun
berlari untuk mengamati bunga tersebut lebih dekat. “Hei,Vina! Kamu mau pergi kemana?”,yang dipanggil Vina
tersebut tidak menyahut. Justru ia semakin mempercepat langkahnya menuju ke hamparan bunga Dandelion
yang dilihatnya tadi. Dari atas pohon bisa Vino lihat sang kembaran sedang memetik salah satu bunga Dandelion
di sana. Tanpa berlama-lama ia pun menyusul kembarannya.
“Hei Vina. Aku memanggilmu dari tadi”,sahut Vino. Vina yang tadinya membelakangi Vino pun menghadap ke
arahnya dengan dua tangkai bunga Dandelion di genggamannya. Dengan semangat ia berkata,”Kak,ayo buat
permintaan!”
“Hah? Maksudnya?”,tanya Vino keheranan.Vina pun menjelaskan,”Kakak tidak tahu ya? Katanya kalau kita
membuat pemintaan dengan menggenggam bunga Dandelion ini,lalu bunganya kita tiup,maka permintaan kita
akan terwujud!”. Vino pun semakin merasa heran dan bertanya lagi,”Memang ada ya hal seperti itu?”
“Aku tidak tahu, tapi apa salahnya mencoba,ya kan? Ayolah,Kak. Kita coba!”,bujuk Vina sambil menyodorkan
setangkai bunga Dandelion. Vino sempat terdiam,namun akhirnya dia setuju untuk melakukannya. Ia pun
memejamkan mata dan berucap dalam hati,
”Kuharap kebahagiaan ini akan selalu menyertai keluargaku.”
Setelah ia membuka mata,hal pertama yang dilihatnya adalah Vina dengan mata berbinar nya. Sepertinya ia
sudah tidak sabar untuk meniup bunga Dandelion itu bersama. Vino pun terkekeh kecil dan berkata,”Dalam
hitungan 3 kita tiup bersama,oke?” Vina pun menjawab dengan anggukan.
“1... 2... 3!”
Biji-biji bunga Dandelion itu pun mulai beterbangan. Sebagian ada yang sudah jatuh ke tanah,dan tak lama
lagi akan menjadi bunga Dandelion baru. Sementara sebagian lainnya masih dibawa menari bersama semilir
angin. Vina pun berjingkrak dan memekik senang. Vino yang meliatnya pun tersenyum,ikut merasa senang. “Apa
keinginanmu,Vina?”,tanyanya.
“Eh,bukan seperti itu cara kerjanya. Kalau diberi tahu tidak akan bisa terkabulkan”,Vina si pakar pun kembali
menjelaskan. “Ya ampun,cara kerja yang sulit dipahami. Kenapa kamu sangat yakin bahwa keinginan kita akan
terwujud?”,tanya Vino yang dari tadi sama sekali tidak paham dan hanya mengikuti instruksi saudari kembarnya.
Dengan senyum yang lebar,Vina pun menjawab,”Aku tidak tahu. Rasa percaya ini ada begitu saja,dan semakin
kuat setelah aku mengucapkan keinginanku.”
“Oh iya,Kak. Aku... ingin minta maaf.”,kata Vina dengan raut menyesal sembari menundukkan kepala.
“Kenapa? Maaf untuk apa?”,begitu banyak hal yang membingungkan bagi Vino hari ini. Entah sudah berapa kali
dia dibuat bertanya-tanya oleh tingkah Vina. “Maafkan aku... karena... karena... Kena! Kakak yang jaga sekarang!
Wlee!”,setelah puas mengejek kakaknya,Vina pun melarikan diri. “Eh—Hei! Mana bisa seperti ini? Awas kamu
ya!”,Vino pun segera mengejar Vina.
Kaki-kaki itu terus berlarian tanpa kenal lelah. Menyusuri luasnya hamparan permadani hijau dengan pohon
maple yang setia berdiri kokoh di atasnya. Diselingi dengan gelak tawa dan pekikan khas anak-anak usia 9 tahun.
Sore itu,bahkan alam pun ikut merasakan kebahagiaan mereka. Langit dengan indahnya menampilkan gradasi
warna biru dan merah muda yang dipadukan dengan sihir cahaya berwarna jingga. Tenyata memang ada
keajaiban pada pukul 5:53. Seakan mengantarkan kita melihat dunia lain yang tersembunyi dibaliknya.

Aku tahu bahwa kita itu istimewa


Kau dan aku di bawah matahari yang terbenam
Pukul 5:53 dalam dunia lain itu terlihat sangat indah

“Selamat ulang tahun... Selamat ulang tahun... Selamat ulang tahun Vino dan Vina... Selamat ulang tahun!”
Tepat setelah nyanyian dari sepasang suami istri itu selesai,Vino dan Vina pun meniup lilin yang menyala terang
di atas kue tart tersebut bersamaan. Tepuk tangan yang meriah pun diberikan oleh kedua orangtua mereka
diiringi dengan sorakan bahagia. Sebenarnya,kemarin sempat ada rengekan dari Vina yang meminta untuk
mengadakan acara piknik kecil-kecilan di taman tempat mereka biasa bermain. Dan usaha Vina pun
membuahkan hasil. Setelah siang hari tadi puas bermain di wahana yang berada tak jauh dari taman tersebut,
mereka pun mengadakan piknik di bawah pohon maple yang rindang,tempat favorit Vino dan Vina. Semua ini
dilakukan karena hari ini si kembar resmi menginjak usia 14 tahun.
“Selamat ulang tahun jagoan dan cantiknya Ayah!”,ucap Sang Ayah sembari memeluk putra dan putrinya.
“Berapa usia kalian sekarang? 12? 13?”. Yah,hal seperti ini sangat sering terjadi di kalangan Ayah manapun. Vino
dan Vina pun hanya bisa merotasikan mata,sudah terbiasa dengan sifat Ayah mereka.
“Dasar Ayah. Umur anak sendiri pun tidak ingat. Mereka sudah beranjak remaja,usia mereka sudah 14 tahun.
Hitung saja lilinnya.”, ucap Sang Ibu mengingatkan. “Oh,benarkah? Hahaha... Maaf,Ayah lupa...”,kata Sang Ayah
sambil menggaruk tengkuknya. “Tidak masalah,Ayah. Makasih banyak karena mau merayakan ulang tahun kami
dan mengadakan piknik di sini!”,ucap Vina sambil memeluk Sang Ayah lagi. “Apapun untuk putri dan pangeran
Ayah.”
Sang Ayah pun membalas pelukan Vina. “Ayo,sekarang kita potong dan makan kuenya!”,seru Sang Ibu.
Setelah makan,mereka berempat pun berbaring di bawah pohon beralaskan tikar. Mereka sama-sama
menatap langit senja yang tiada hentinya memikat mata. Sesekali terlihat ada sekelompok burung yang terbang
bebas di atas sana. Di tengah keheningan Vina pun berkata,”Hah... langitnya indah banget. Rasanya aku pengen
tetap tinggal di suasana kayak gini selamanya. Sedih nggak sih kalau pemandangan secantik ini harus berakhir
terus digantikan kegelapan malam?” Vino pun menyahut,”Secinta apapun kita sama langit senja,kita gabisa
merubah fakta kalau momen ini bakalan berakhir. Jadi,ya,nikmati aja sebisa mungkin”
“Tapi kan,Kak. Dari yang aku dengar nih ya. Kata orang pukul 5:53 itu waktu yang ajaib. Soalnya kan senja itu
peralihan dari siang sama malam. Ibaratnya kayak... gerbang antara dua waktu gitu lho,Kak. Bisa aja ada hal
supranatural yang terjadi.”
“Ah,kamu ini. Gaada habis-habisnya percaya sama hal gituan. Zaman udah berubah,masa kamu nggak?”
Mendengar itu,Vina pun kesal,”Emang kenapa sih? Sewot amat jadi orang!”
“Eh,udah udah. Kok kalian malah bertengkar?”,Ayah berusaha melerai pertikaian kecil di antara si kembar.
“Ayah,liat Kakak nih!”
“Dih,ngadu aja sana. Dasar anak ayah.” Karena khawatir petikaian ini akan terus berlanjut,Sang Ibu pun
mencoba melerai,“Udah,hei. Kalian ini kalau tidak buat keributan satu hari aja kayaknya tidak puas ya.
Vina,kakakmu itu cuma mau mengingatkan,bukan berarti dia sewot kan? Dan Vino, kamu nggak boleh berkata
seperti itu. Saudarimu kan cuma bercerita apa yang dia dengar.”
“Lagipula Vina tidak sepenuhnya salah,kok. Waktu senja itu memang punya keajaiban tersendiri.” Vina yang
mendengar perkataan ibunya pun menjadi bersemangat,”Hah? Beneran,bu? Apa itu?”. Bahkan Vino yang
awalnya tidak tertarik pun terbesit rasa penasaran di hatinya. Memang masa remaja itu masa yang labil.
“Iya. Dulu Ibu juga percaya sama hal kayak gitu. Tapi setelah Ibu pikir-pikir,keajaibannya itu ada di senja itu
sendiri. Sadar nggak gimana kita selalu terpukau sama indahnya langit senja,seolah-olah kita itu ada di dunia
lain. Nah, itulah keajaiban yang dimaksud.” Si kembar pun ber ’oh’ ria setelah mendengar penjelasan Sang Ibu.
Ayah lalu menambahkan,“Ibu kalian benar. Satu lagi,kalian tau nggak kenapa senja itu waktunya sangat
singkat?”
“Memang ada alasan juga,Yah? Kan itu cuma fenomena alam biasa?” Kali ini Vino yang bertanya.
“Iya memang,tapi ada pelajaran yang bisa kita ambil darinya. Senja itu mengajarkan kita untuk ikhlas
merelakan yang harusnya pergi. Seperti senja yang jadi gerbang antara siang dan malam,sesudah terang pasti
akan ada gelap,setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan. Roda kehidupan terus berputar,begitulah
siklusnya. Tapi dibalik itu,senja juga mengajarkan kalau setiap akhir itu pasti akan jadi awal yang baru. Karena
itulah,seperti kata Vino tadi,kita harus nikmati setiap momennya sebaik mungkin.”

Kau dan aku yang berada pada pukul 5:53 itu sangat indah
Bisakah kau merasakan perasaan yang meluap?
Aku ingin tetap berada di sini

2 tahun kemudian...

Berita Terkini
KECELAKAAN MOBIL DI RUAS TOL VICTORIA,SEPASANG SUAMI ISTRI TEWAS
NYC,20xx Pagi ini,Kamis[03/04] telah terjadi tragedi kecelakaan maut antara sebuah mobil
sedan.....................

Semuanya terasa begitu mendadak. Terutama untuk si kembar. Vino yang mendapat telepon dari rumah sakit
perihal kecelakaan yang menimpa kedua orangtua nya lantas tak tinggal diam. Dia meminta kepada pihak yang
berwajib untuk mengusut tuntas kasus kecelakaan ini dan menghukum si tersangka seberat-beratnya. Setelah
penyidikan tadi siang,diduga penyebab kecelakaan ini adalah karena kelalaian si sopir truk yang mengemudi
dalam keadaan mabuk. Semua proses penyidikan dari awal hingga akhir disaksikan oleh Vino dan Vina. Si
tersangka pun sudah ditangkap. Sudah dipastikan dia akan dibuat babak belur oleh Vino,jika saja pihak
kepolisian tidak menahannya untuk menghajar orang yang telah menjadi penyebab kedua orangtua nya tiada.
Dan sore ini, proses pemakaman pun dilangsungkan. Suasana duka menyelimuti tempat peristirahatan terakhir
itu. Diiringi dengan isak tangis dari sanak saudara dan kerabat yang merasa terpukul dan kehilangan. Vina sedari
tadi tak henti-henti nya menangis pilu,membuat siapapun yang mendengar tangisannya akan merasa tersayat
hatinya. Vino? Dia berusaha untuk tetap tegar demi adiknya,meski hatinya juga sangat terluka. Batinnya
meronta untuk menumpahkan segala kesedihannya saat ini juga,tetapi pikirannya berkata lain. ‘Vino, kamu itu
nggak boleh lemah. Seenggaknya untuk sekarang aja,kamu harus kuat. Demi Vina. Demi Vina. Demi Vina.’
Kalimat-kalimat itu selalu ia tekankan di pikirannya. Bahkan alam pun seakan ikut merasakan kesedihan mereka.
Karena rintik hujan pun ikut menemani proses pemakaman itu.
Atas permintaan Vina,si kembar pun pergi ke taman dan menenangkan diri di bawah pohon maple favorit
mereka. Ya,bagaimana pun mereka hanyalah remaja 16 tahun yang sudah pasti akan merasa sangat terkejut dan
bingung dalam situasi seperti ini. Mereka butuh waktu untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan segala
perubahan yang terjadi secara tiba-tiba. Tidak ada yang berniat untuk membuka pembicaraan. Mereka berdua
terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Ditemani dengan rintik hujan yang sepertinya akan butuh waktu
lama untuk reda. Seakan langit pun tak kuasa membendung kesedihannya lagi. Setelah kesunyian selama
beberapa saat,Vina pun memberanikan diri untuk bicara.
”Kak...”
“Ya?”
Saat menatap mata Vina,yang Vino lihat hanyalah jurang kesedihan yang dalam. Sangat dalam. Sampai Vino
pun tak bisa melihat ujungnya. Tak ada binar keceriaan sama sekali,seperti yang biasa terpancar dari mata
saudari kembarnya itu. Vina pun menghela nafasnya sejenak. “Salah nggak sih,Kak? Kalau aku berharap semua
ini nggak terjadi? Kalau aku berharap semua ini cuma mimpi? Salah nggak sih? Jujur aku...aku...nggak siap.
Kenapa harus secepat ini? Kenapa...kenapa harus kita? Kenapa?” Tangisan Vina pun seketika pecah. Vino lantas
memeluk Vina untuk menenangkan adiknya itu.
“Sssttt...everything’s gonna be alright,sweety. Kita cuma butuh waktu untuk belajar menerima semua ini.
Tuhan sayang sama mereka,makanya Dia panggil Ayah sama Ibu untuk kembali ke pangkuan-Nya.”
“Tapi aku juga sayang sama mereka,Kak...”,sela Vina sambil masih sesegukan. Vino yang mendengar nya pun
tersenyum simpul dan berkata,
”Iya,Kakak tau. Kakak juga sayang sama mereka. Makanya kita harus relain mereka pergi. Ingat nggak? Ayah
pernah bilang kalau roda kehidupan itu terus berputar. Kadang kita ada di sisi terang,kadang kita juga ada di sisi
gelapnya. Tapi yang harus kamu inget nih ya,kegelapan ini nggak bertahan selamanya,kok. Masih ada hari-hari
cerah lain yang menanti untuk disambut. Karena itu,kita harus bisa bangkit sama-sama,oke?”
Vina yang mendengar kalimat kakaknya hanya bisa menangis dan semakin mempererat pelukannya sambil
berkata lirih,”Maaf,Kak... Aku...cuma terlalu takut”
“Nggak perlu minta maaf. It’s okay kalau kamu mau nangis. Nangis aja sepuasnya,Kakak ada di sini. Jangan
ditahan-tahan,oke? Nggak baik.”
Dan di situlah,kedua saudara kembar itu menumpahkan segala keluh kesahnya ditemani rintik hujan yang
perlahan mulai reda. Memang, terkadang senja tak seindah yang kita harapkan. Akan ada saatnya dimana senja
tersebut berubah menjadi mendung yang gelap dan mencekam. Namun,satu hal yang pasti. Mendung itu juga
tak akan menetap selamanya. Banyak senja indah di hari-hari lain,hanya butuh kesabaran serta keyakinan
bahwa hari itu akan datang.
Jadi beritahu apa yang harus aku lakukan
Sebuah petunjuk untuk menghentikan pergerakan matahari
Agar aku bisa melihatmu tersenyum kembali

Tepuk tangan dan sorak sorai para siswa siswi pun memenuhi auditorium sekolah menengah atas itu. Setelah
memberikan pidato kelulusan singkat,Vina pun kembali ke posisi duduk semula. Ya,hari ini si kembar resmi lulus
dari jenjang SMA. Dan Vina meraih penghargaan lulusan terbaik untuk angkatan tahun ini. Setelah semua
agenda acara kelulusan selesai,siswa-siswi pun segera membubarkan diri. Ada yang langsung pulang,ada pula
yang memiliki agenda khusus dengan teman-temannya,salah satunya Vino. Saat ini dia sedang berdebat dengan
Vina perihal pesta kelulusan yang diadakan oleh teman-teman Vino.
“Udahlah,Kak. Aku bisa pulang sendiri. Kakak pergi aja sana,liat tuh mereka udah pada nungguin.”
“Nggak! Pokoknya kamu harus ikut sama Kakak sekarang.”
“Dih,gamau. Mending aku tidur di kamar,kencan sama bantal guling dan kasur tercinta.”
“Tidur aja terus. Badan udah gendut gitu ntar nambah lagi berat badannya.” Baru saja Vina akan
melayangkan protes,Vino sudah menyahut kembali,”Kakak gamau tau! Pokoknya kamu ikut. Atau seenggaknya
Kakak antar sampai rumah dulu.” Namun yang namanya Vina tetaplah Vina,dia masih kukuh dengan
pendiriannya. “Kakakku sayang,kalau dianter terus nanti Kakak harus muter lagi dong. Aku nggak mau
ngerepotun siapapun. Lagian aku udah besar,Kak. Liat,adikmu ini udah berhasil dapat gelar lulusan terbaik. Jadi,
biar aku pulang sendiri. Boleh ya? Ya? Ya? Ya? Ya?” Vino pun menghela nafasnya lelah. “Hah... Emang gaada
gunanya debat sama kamu. Yaudah deh,kamu boleh pulang sendiri. Tapi hati-hati ya? Inget,kalau udah sampai
rumah kabarin. Ngerti?” Vina pun berjingkrak senang. “Siap,ngerti Kapten! Hehe,makasih Kak! Aku sayang
Kakak!”,ucapnya sembari mencium pipi kanan Vino. Setelah berpamitan,Vina pun berjalan riang menuju
rumahnya. “Dasar bocah.”,batin Vino sambil terkekeh melihat tingkah adiknya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5:53 sore. Di sepanjang perjalanan,Vina terus tersenyum dan
menggumamkan sedikit lirik lagu yang didengarkannya dari earphone yang dipakainya. Hari ini dia sangat
bahagia. Begitu banyak hal yang membuatnya merasa senang. Saking senangnya,tak terasa dia sudah tiba di
jalur penyeberangan. Tunggu... Apakah lampunya merah? Atau hijau? Entahlah,yang pasti Vina terus
melangkah. Sedikit lagi dia akan tiba di rumahnya. Sampai ia mendengar sayup-sayup suara teriakan orang di
sekitar sana beserta suara klakson mobil yang kian mendekat. Hal terakhir yang dapat Vina lihat adalah
sepasang lampu LED mobil yang menyala terang sedang melesat cepat kearahnya.
Semuanya terjadi begitu cepat. Terlalu mendadak bagi siapapun untuk menyadari seperti apa dampaknya
sampai kejadian itu berlalu. Rasanya Vina pun tak mampu lagi untuk berteriak. Mungkin variabel sekecil apapun
akan mencegah semuanya terjadi,tapi takdir berkata lain. Andai saja Vina melihat lampu lalu lintas sebelum
menyeberang. Andai saja earphone ini tidak dia pasang. Andai saja dia memperhatikan jalanan di sekelilingnya.
Andai saja dia setuju untuk ikut bersama Vino. Andai saja dia setuju membiarkan Vino mengantarnya pulang.
Andai saja...
Sementara itu di sisi lain,Vino sedari tadi bahkan tak bisa tenang semenjak pestanya dimulai. Dia sedang
cemas menunggu pesan masuk dari Vina. Tapi pesan itu tak pernah datang. Hingga akhirnya dering telepon
terdengar dari ponselnya. Tanpa pikir panjang Vino pun segera mengangkat telepon tersebut. “Vina,kok lama
banget ngabarinnya? Udah sampai rumah kan?” Dan perkataan orang di seberang sana mampu meruntuhkan
pertahanan Vino.

“Dokter! Dokter! Bagaimana keadaan adik saya? Dia tidak apa-apa kan? Iya kan,Dokter?”,deru napas Vino
yang tak beraturan menandakan kalau dia sedang dilanda kepanikan. Dia bahkan sudah tidak peduli dengan
penampilannya yang kacau balau saat ini. Karena pikiran dan perasaan nya tak kalah berantakan sejak
mendapat telepon dari pihak rumah sakit mengenai kecelakaan yang menimpa Vina. Segera setelah mendapat
panggilan itu,tanpa pikir panjang Vino pun melesat dengan motornya tanpa berpamitan, meninggalkan teman-
temannya yang bertanya-tanya.
“Wow wow... Tenangkan dirimu dulu,anak muda.” Setelah Vino cukup tenang,Sang Dokter pun melanjutkan
kalimatnya.
”Kamu ini saudara dari pasien,iya kan?”
“Benar,dokter.”
“Begini,kami harus melakukan operasi lanjutan karena kerusakan yang terjadi pada bagian kepala pasien
cukup parah. Karena itu, mohon tandatangani surat ini.” Suster yang berdiri di samping Sang Dokter pun
menyerahkan selembar kertas surat izin operasi kepada Vino. Dengan cekatan,ia pun menandatangani surat
tersebut.
“Dokter,tolong selamatkan adik saya.”
“Kami akan berusaha semaksimal mungkin. Mohon do’anya.oke?”
Setelah lebih dari 2 jam,lampu operasi pun akhirnya padam,menandakan kalau operasi nya telah selesai
dilakukan. Sang dokter pun keluar dari ruangan operasi. Vino yang melihatnya pun langsung bertanya,”Dokter,
bagaimana keadaan adik saya?” Dokter dan Suster itu sempat bertatapan selama beberapa saat,hingga Sang
Dokter pun membuka suara,“Begini,nak Vino. Pasien mengalami benturan yang keras tepat di kepala. Terdapat
kerusakan saraf parah pada korteks dan otak kecilnya. Saat ini hampir seluruh bagian otaknya tidak berfungsi,
tetapi kami mampu menyelamatkan bagian yang bertanggung jawab atas kesadarannya. Secara garis besar dia
hidup,dia masih bisa bernapas.” Vino menghela napas yang secara tak sadar telah ditahannya. Namun kelegaan
itu hanya berlangsung sesaat. Karena saat Sang Dokter kembali angkat bicara,napasnya kembali tercekat di
tenggorokan.
“Tetapi... Tubuhnya berada dalam keadaan vegetatif yang terus-menerus. Dia tak dapat bergerak,bicara,atau
melakukan apapun. Hanya ada sedikit,bahkan hampir tidak ada aktivitas otak,dan tidak ada rangsangan.
Kemungkinan pemulihannya sangat kecil. Tapi pendengarannya bisa diselamatkan,dia bisa mendengar. Dengan
kata lain... Saudarimu mengalami koma.” Vino pun merasa semua udara keluar dari paru-parunya. Bagaimana
ini semua bisa terjadi? Dalam waktu yang sesingkat itu,bagaimana bisa ia hampir kehilangan Vina? Dimana letak
kesalahan Vina sehingga takdir menghukumnya seperti ini?
Kemudian dia menyadari sesuatu,
Harusnya aku nggak pernah biarin dia pergi sendiri
Vino bisa saja ambruk jika Sang Suster tak cekatan menahannya. Sang Dokter pun pamit undur diri
menyisakan Vino dengan Sang Suster. Ia pun membawa Vino duduk di kursi tunggu di depan ruang rawat Vina.
Ketika Vino menatap Sang Suster,dia menyadari kalau suster ini adalah seorang gadis yang sepertinya baru
keluar dari masa remajanya. Dia terlihat masih muda layaknya siswi SMA. Matanya besar dan jernih. Bahkan di
tengah histerianya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya,’Gimana bisa cewek semuda ini udah jadi
suster?’ Sang Suster pun memberikan senyum simpatik,membuat Vino menyadari kalau gadis ini mempunyai
lesung pipit.
“Kamu udah makan belum? Biar aku belikan sesuatu,ya? Aku tahu,rasanya pasti sulit. Tapi aku yakin adikmu
pun mau supaya kamu jaga diri sendiri daripada nangis terus.” Vino pun merasa seperti dia bisa bernapas lebih
mudah sekarang. Paru-parunya sedikit lebih jernih. Ia pun bersandar ke kursi dengan anggukan lembut. Suster
muda itu kemudian menuju ke mesin penjual otomatis terdekat,lalu kembali dengan sandwich tuna dan sebotol
air minum. Vino menerima itu dengan gumaman terimakasih. “Sama-sama”,balas Sang Suster sambil duduk di
samping Vino.
“Oiya,kita belum kenalan. Vino,kan? Namaku Ella,kayaknya kita seumuran. Aku baru lulus SMA hari ini. Dan
kayak biasa,di sini aku ikut nolong Ayahku—beliau ahli bedah di sini.” “Jadi,dari SMA kamu udah jadi Suster
paruh waktu?” Ella pun mengangguk. ”Iya,dari kelas 10 SMA aku udah di sini. Aneh,emang. Tapi kalau
menurutku rasanya menyenangkan,kok. Kalau kamu gimana?”
“Ya,aku Vino. Sama kayak kamu,hari ini hari kelulusanku—“ Kemudian dia dengan susah payah menelan
potongan sandwich yang baru saja dimakannya,seperti baru saja mengingat sesuatu yang lebih. Dengan suara
rendah yang bergetar dia melanjutkan,”—hari kelulusan kami...” Ella pun menundukkan wajahnya. “Aku ikut
sedih mendengarnya.” Semuanya terasa seperti mimpi bagi Vino. Jika memang benar,Vino ingin segera bangun
dan pergi memeriksa kamar adiknya dan mendapati Vina yang sedang bersiap untuk hari pertamanya di
kampus. Apapun untuk menandakan bahwa ini hanyalah mimpi belaka. Namun,kekecewaannya tak terkira saat
dia mendongak,dan yang dilihatnya adalah pintu ruang rawat sang adik. ”Vino...” Suara lembut Ella menariknya
kembali ke kenyataan pahit,dan Vino tersentak dari lamunannya. ”Makan,terus istirahat. Habis ini kita bisa liat
Vina di dalam.” Keinginan untuk menemui Vina sudah cukup menjadi pendorong bagi Vino untuk melahap sisa
sandwich. Ella benar,Vina ingin dia menjaga dirinya sendiri. Karena itulah,dia akan melakukannya.
Sejak saat itulah,rutinitas Vino bertambah. Sepulang bekerja,ia akan langsung pergi ke rumah sakit untuk
mengunjungi adiknya. Saat membuka pintu ruang rawat,hal pertama yang dilihatnya adalah Ella yang sedang
sibuk mengurus Vina. Lalu Vino akan menyapa keduanya seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka.
“Gimana keadaannya?”,tanya Vino sambil berbisik. Fakta bahwa Vina masih bisa mendengar cukup untuk
menjadi penyemangat Vino dalam bekerja dan menjalani hidup.
Mungkin.
Ella sangat ingin menjawab ‘Udah banyak perkembangan’ atau ‘Nggak lama lagi dia akan sadar’,namun bukan
itu realitanya. Jadi yang bisa dia jawab hanyalah,”Dia masih bertahan,sama kayak biasa.” Masih ada secercah
harapan,dan Vino tidak akan menyia-nyiakannnya. Setelah itu Vino akan mulai berceloteh tentang pekerjaannya
sebagai guru les musik kepada Vina. Semua itu disaksikan oleh Ella. Bagaimana cerianya wajah Vino saat
menceritakan hal-hal konyol,sampai bagaimana Vino diam-diam menyeka sudut matanya yang berair. Dari sini
Ella menyimpulkan bahwa Vino itu orang yang sangat kuat.
“Vino,jangan lupa tugas harianmu”,kata Ella seraya memberikan selembar kertas origami dan spidol. “Oh iya!
Aku lupa! Hehe,makasih...” Ella hanya bisa terkekeh melihatnya. Vino pun mengambil kertas tersebut dan mulai
melipatnya menjadi bentuk hati. Mereka tidak ingin membicarakannya secara langsung di depan Vina,karena ini
adalah kejutan rahasia dari Vino untuk adiknya itu. Setelah melipat kertas itu dengan hati-hati,dia pun mulai
menulis di atasnya. Hari ke-365. Aku kangen kamu,Vina. Kemudian dia meletakkan origami hati tersebut di sisi
Vina. Sekarang ini Vina bagaikan berenang dalam lautan origami hati dengan berbagai warna. Mungkin Vino
harus mempertimbangkan untuk menggantungkan beberapa di dinding.
Seperti biasa,Vino akan mengunjungi adiknya di rumah sakit. Kali ini saat ia membuka pintu ruangan yang
sangat dikenalnya,yang mengejutkan,Ella tak ada di sana.Ini yang pertama kalinya. Dan entah mengapa
kurangnya kehadiran Ella membuatnya lebih cemas dari biasanya? Apakah berdua dengan Vina selalu
menegangkan? Tanpa berkata-kata dia menutup pintu di belakangnya,menatap satu-satunya orang lain di
ruangan tersebut—bahkan untuk memanggilnya ‘seseorang’ sekarang terasa berlebihan—tubuh tak bergerak
yang terbaring di tempat tidur yang tiba-tiba tampak begitu besar untuk tubuh mungilnya. Apakah dua tahun
belakangan ini dia menjadi semakin kurus? Ini pertama kalinya Vino membiarkan dirinya menerima kondisinya
tanpa optimisme yang mencemari perspektifnya. Selama ini dia membohongi dirinya sendiri,bersikap seolah-
olah semuanya akan baik-baik saja.
Saat dia melangkah lebih dekat,dia memerhatikan bagaimana kulit Vina sekarang hampir seputih pucat
seperti seprai di bawahnya. Jari-jarinya lebih tipis dari sebelumnya. Lekukan tulang selangkanya begitu
menonjol, setiap lekukan tergaris begitu jelas. Kantung matanya gelap. Tulang pipinya cekung. Bagaikan orang
yang tak
tidur selama berhari-hari—meskipun memang itu kenyataannya. Pipinya yang lembut berwarna persik sekarang
berubah menjadi lembayung pucat. Hati Vino seakan teriris. Vina terlalu sakit,terlalu pucat untuk tipe gadis
periang seperti biasanya. Seakan hidup terus menerus tekuras melalui tabung dan kabel yang menempel tak
terhitung jumlahnya di tubuhnya—padahal seharusnya alat-alat itu melakukan hal sebaliknya.
Vino biasanya akan berteriak girang saat tiba di ruang rawat itu untuk memberi tanda pada Vina tentang
kehadirannya. Tapi kali ini dia terdiam saat memegang tangan adiknya itu. Setiap hari,Vino selalu berkata pada
dirinya sendiri bahwa dia akan masuk sambil tersenyum. Bahwa dia hanya akan mengatakan hal-hal bahagian
dan bersikap senormal mungkin. Vino baru sadar bahwa tidak ada yang normal tentang semua ini. Sorot mata
Vino saat menatap adiknya dipenuhi dengan penderitaan dan keputusasaan. Baginya,bahkan untuk meihat Vina
saja rasanya sangat sakit.
“Kakak kangen...”,bisiknya lemah saat air mata pertama mengalir melewat tulang pipinya,yang tanpa sadar
ikut membasahi tangan Vina yang digenggamnya. “Ayolah. Berapa lama lagi kamu mau main,hah? Kakak ngaku
kalah deh,kamu yang menang. Sekarang bangun,ya?”
Nihil. Hanya keheningan yang menyapa. “Ya Tuhan,ini menyedihkan...”,erangnya. Tangannya yang bebas
terulur untuk menyeka air matanya. Genggamannya pada Vina masih erat,seolah-olah adiknya itu akan
menghilang begitu ia lepas.
“Banyak hal yang kamu lewatin di sini,Vina. Kakak bahkan belum sempat ngajarin kamu manjat pohon. Lagian
siapa suruh jadi penakut.” Vino pun tertawa renyah,tak mengharapkan respon dari lawan bicaranya. Vino pun
mengambil selembar kertas origami dan sebuah spidol,lalu mulai mengerjakan rutinitasnya. “Oh iya. Anyway,
untuk TMI hari ini. Ada perusahaan musik yang nawarin Kakak untuk debut, Dan coba tebak? Tawarannya Kakak
tolak. Kamu pasti marah kan? Ayo,bangun terus marahi Kakak sekarang. Bahkan Kakak bisa denger suara
omelanmu yang cempreng itu,hahaha.”
Kesunyian menyapa sejenak,sebelum Vino meneruskan kalimatnya,”Kakak gamau ngulang kesalahan yang
sama dua kali. Gimana kalau nanti ada sesuatu dan Kakak nggak ada di sini sama kamu? Gimana kalau kamu
bangun nanti tapi yang kamu lihat pertama kali bukan Kakak? Nggak,Kakak gabisa. Cukup sekali Kakak pernah
ninggalin dan biarin kamu pergi,sekarang nggak lagi.” Vino pun meletakkan origami hati yang telah jadi di atas
meja di samping ranjang Vina.
Tanpa disadari,Ella sedari tadi mendengar kalimat-kalimat yang Vino ucapkan. Air mata pun membanjiri
pipinya. Hatinya terenyuh mendengar pengakuan dari seorang Vino kepada adiknya. Seorang dokter pun
mendekat ke arahnya. “Ayah...” Ella pun memeluk dan menenggelamkan wajahnya di dada Sang Ayah. “Ada apa
sayang?” “Aku... Aku gabisa...” Mengerti dengan ucapan putrinya,Sang Dokter pun melihat ke dalam ruang
rawat Vina. “Ah... Dia sudah datang.Tak apa,biar Ayah yang bicara dengannya.”,ucap Sang Dokter sembari
membuka pintu ruang rawat tersebut.
“Nak Vino”,sapa Sang Dokter. Vino yang mendengarnya lantas menoleh,“Oh. Halo,Dokter. Dan... Ella” Dia
bisa melihat bekas air mata di wajah Ella. ‘Apa dia habis nangis? Tapi kenapa?’ Perasaan Vino entah mengapa
menjadi tidak enak. Sang Dokter mengajak Vino untuk berbicara di luar. “Begini,dengarkan aku baik-baik oke?
Jangan salah paham dulu” Vino pun hanya bisa mengangguk pelan tanda setuju. Sang Dokter menghela napas
sejenak. ”Um... Mempertimbangkan kondisi pasien yang kian hari bisa dibilang kian memburuk,maka,dengan
berat hati kami menyatakan bahwa...kami menyerah atas Vina.” Kesunyian meruntuhkan dinding kekuatan
terakhir yang Vino miliki. Jika ini hanyalah mimpi,Vino sangat ingin bangun sekarang. Namun ia sadar,ini
bukanlah mimpi. Sebaliknya,ini mulai terlihat seperti mimpi buruk yang mengerikan.
“M-maaf? Tapi,bagaimana bisa kalian mengambil keputusan seperti itu? Dia adikku! Dia akan segera bangun.
D-dia... Kondisinya lebih baik,iya kan Ella?” Yang ditanyai hanya bisa menunduk sambil menahan tangis. “Tapi...
Tapi kenapa? Jika ini masalah biaya aku masih bisa menanggungnya! Kalau perlu aku akan cari pekerjaan lain—“
“Dengarkan aku,Nak”,ucap Sang Dokter sambil memegang kedua bahu Vino. “Masalahnya bukan terletak
pada biayanya,tetapi pada kesehatan Vina itu sendiri. Menurutmu jika Vina diberikan hak,apakah ia akan tetap
meneruskan hidup dengan cara seperti ini? Jujurlah pada dirimu sendiri,Vino. Kamu mengenal Vina dengan
sangat baik. Jika dia bisa membuat pilihan,apakah ia akan memilih untuk memperpanjang penderitaannya,dan
melihat orang-orang di sekitarnya hancur karena tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menyerah kepada
takdir?”
Vino membeku. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia sangat ingin menyangkal perkataan pria
yang lebih tua itu,mengatakan bahwa dia masih ingin berjuang dan Vina akan baik-baik saja. Namun,harapan itu
tinggal percikan,atau mungkin hanya sisa kedipan yang sekarat. Selama ini Vino mengunci diri dalam fantasinya.
Setelah lama berdiam diri dalam suasana keheningan yang menyesakkan,Vino pun angkat bicara,”Ulang
tahun kami yang ke 21,biarkan kami merayakannya bersama...” Sang Dokter pun mengangguk dan beranjak dari
sana. Saat itu juga Vino membiarkan seluruh pertahanan dirinya runtuh. Vino pun jatuh terduduk bersandarkan
dinding ruang rawat Vina. Ella yang melihatnya pun hanya bisa memeluk Vino untuk menenangkannya—
walaupun ia tahu tak kan ada pengaruhnya. Tidak ada yang memperingatkan Vino bahwa menjadi usia 20 tahun
sesulit ini.

Sebelum sihir yang bersinar jingga di langit menghilang


Dalam waktu yang singkat itu
Hentikan waktunya sekarang
Dan harinya pun tiba. Hari terakhir Vino bersama dengan Vina. Bagi Vino,waktu terasa begitu cepat,tapi juga
terasa begitu lambat. Vino menyempatkan diri untuk melihat jam. Pukul 5:53. Sambil membawa kue ulang
tahun sederhana,dia pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruang rawat Vina. Bagaikan topeng,senyum
cerah tersungging di wajahnya—meski dia tahu adiknya tak akan bisa melihatnya.
“Hei,Vina. Hari ini ulang tahun kita. Kayak biasa,sore ini kita rayain dengan acara tiup lilin dan potong kue.
Kakak udah bawa kuenya,lho.” Setelah acara sederhana itu selesai,Ella yang memang sejak tadi menemani pun
memberikan hadiahnya. “Um... Hai Vina. Vino pernah bilang kalau pohon maple di taman itu salah satu favorit
kalian. Jadi,aku buat mahkota dari helai daun maple ini untuk kamu. Maaf cuma sederhana,aku harap kamu
suka.” Ella pun dengan hati-hati memasangkan mahkota itu di kepala Vina.
Saat ini,Vina terlihat seperti seorang putri dari negeri dongeng. Jangan lupakan origami hati yang memenuhi
sisinya beserta seisi ruangan tersebut. Vino meletakkan origami terakhir yang dibuatnya tepat di sisi kanan
ranjang Vina. Disana tertulis angka 1313. Sudah 3 tahun lebih,dan ini akan menjadi yang terakhir.
“Kakak nggak bawa hadiah apa-apa. Mau marah? Silahkan aja. Bukannya kehadiran seorang Kakak yang
ganteng ini udah jadi hadiah terbaik?”,ucap Vino dengan percaya dirinya. Tiba-tiba,ketakutan mulai meresap ke
dalam dirinya. Ini akan menjadi hari terakhir dia bisa melihat Vina.
“Selamat ulang tahun—“
Vino memberi jeda sejenak untuk menenangkan dirinya. “—Maaf... Kakak ini orangnya pengecut banget.
Kakak bilang nggak akan pernah lepasin kamu lagi,tapi lihat,siapa yang ingkar sama kata-kata sendiri.” “Kakak
nggak akan ngomong banyak. Intinya maaf,dan makasih. Kalau emang ini yang terbaik untuk kita,Kakak rela.
Walaupun mungkin bakalan sulit untuk bangkit lagi tetap akan Kakak coba.”
Air matanya tak kuasa untuk dibendung lagi. Bahkan Ella sudah menangis sejak tadi.
“Satu lagi,ini permintaan dari Kakak. Kalau surga itu memang ada,tolong,tunggu Kakak di gerbangnya. Kamu
bisa marahi Kakak sesudah kita kumpul bersama nanti. Ga peduli selama apapun itu,Kakak akan tunggu. Sampai
waktunya tiba nanti.”
Akhirnya,dia memeluk adik kecilnya untuk terakhir kali. Ruangan itu berubah menjadi sunyi senyap. Vino
sangat berharap bahwa sekarang ini Vina akan tersentak lalu bangun dari tidur panjangnya. Namun kenyataan
pahit kembali menyadarkannya. Vino bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa rupanya sekarang.
Pandangannya kabur karena air mata,napasnya tercekik hampir mencapai ujungnya. Dia tidak menyadari ketika
ruangan itu mulai dibanjiri banyak orang berjas putih. Tetapi hal berikutnya yang dia tahu,dia tiba-tiba ditarik.
Langkah kaki cepat dan panik saat para profesional medis keluar-masuk ruangan. Vino ingin berteriak,
menangis,apa saja untuk mengekspresikan penderitaan yang merobek tubuhnya. Saat dia melihat sekilas
terakhir dari ranjang rumah sakit terkutuk yang dibawa keluar dari penglihatannya,lutut Vino tiba-tiba
menyerah. Seberapa keras pun ia menangis,dia tak lagi bisa mendengar suara. Keheningan di dalam kepalanya
memekakkan telinga. Apakah itu keheningan? Ataukah suara monitor jantung yang menggelegar di kepalanya?
Satu hal yang tidak disadari oleh semua orang di ruangan itu. Setetes air mata mengalir melewati mata tertutup
Vina,sekejap sebelum kain putih menutup wajah cantiknya.

Mesin waktuku,senja berubah menjadi gelap


Sejujurnya aku tahu bahwa akhir pasti akan datang
Sebelum kau ditelan kegelapan malam,aku menyimpanmu dalam benakku
“Maaf,Ella. Aku gabisa datang.”,ucap Vino sembari mengakhiri sambungan telepon. Tak lama kemudian,ia
menghela napasnya kasar,meyakinkan dirinya kalau ini hal yang benar untuk dilakukan. Ia merogoh saku
mantelnya dan mengambil sebuah botol yang sengaja dibawa kesini. Dia telah melakukan penelitiannya.
Mencari obat yang tepat dan memastikan jumlah dosis yang tepat yang diperlukan untuk membuatnya
kewalahan. Diam-diam Vino mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ella setiap kali dia mengunjungi rumah
sakit. Ella akan selalu menatap Vino dengan tatapan aneh,tetapi untungnya tidak berniat mencari tahu lebih
jauh. Sore itu,langit terlihat begitu indah. Dengan gradasi biru,jingga dan merah muda—pemandangan yang
menakjubkan,apalagi dilihat dari taman yang tidak ada bangunan penghalang sama sekali.
‘Maaf,lagi-lagi aku masih jadi pengecut. Aku capek,gaada alasan lagi untuk bertahan sekarang.. Aku... Aku
nyerah.’
Vino melihat sekeliling. Area taman di dekat pohon maple ini sangat sepi. Hanya ada dia sendiri,tepat seperti
yang dia rencanakan. Yang dibutuhkan hanyalah beberapa pil dan satu tegukan. Kemudian,dia hanya perlu
berbaring dan memejamkan mata. Lalu semuanya akan berakhir,sisanya terserah semesta. Matanya melihat ke
arah menara jam. Entah kenapa tiba-tiba dia ingin memeriksa waktu. Saat itu pukul 5:53. Matahari mulai
terbenam,mewarnai segala sesuatu di jalurnya dengan warna emas yang luar biasa indah. Tepat saat akan
meminum pil mematikan itu,tangan Vino bergetar hebat,sehingga semua obatnya jatuh berserakan. Vino pun
mendecak kesal. Bahkan disaat terakhirnya,apakah Tuhan harus begitu kejam?
Vino pun turun ke bawah,tempat botolnya berada. Matahari bersinar merah padam sekarang,hampir
terbenam. Cahaya terang yang menyerang penglihatannya membuatnya tersentak dan melindungi matanya
dengan satu tangan. Namun di tengah cahaya yang bersinar terang itu,berdiri sesosok tubuh. Sulit bagi Vino
untuk mengetahui siapa orang itu. Pada awalnya,dia berusaha untuk mengabaikannya. Tapi kemudian, sosok itu
bergerak ke arahnya. Jantung Vino secara misterius mulai bedetak kencang. Begitu dia bisa melihat sosok itu
dengan jelas,Vino pun terkesiap. Itu adalah siluet dari sosok yang sangat dikenalnya. Sosok itu berpakaian
putih,tapi itu bukan pakaian rumah sakit seperti yang ia kenakan saat terakhir kali Vino melihatnya. Rambutnya
telah halus kembali,pipinya berwarna merah semu layaknya buah persik.
Nggak—nggak mungkin....
Vino tidak berani berkedip,takut ilusi yang sempurna ini akan hancur jika dia melakukannya. Kemudian Vina—
sosok tadi—berhenti di hadapan Vino dengan jarak hanya beberapa lengan. Vina pun tersenyum. Senyum yang
begitu tulus dan tenang. Itu adalah hal terindah yang pernah Vino saksikan. Anak perempuan di hadapannya
pun memecah kesunyian,”Kak...” Vino kali ini sangat mudah untuk dihancurkan. Karena yang diperlukan
hanyalah mendengar suara Vina lagi baginya untuk segera menangis. “Kakak kok sekarang jadi cengeng sih?
Jangan nangis”,Vina pun cekikikan melihat kakaknya dan melanglah lebih dekat. Vino hampir lupa bagaimana
cara bernapas ketika sebuah tangan terangkat untuk menyeka air matanya. “Aku denger semuanya,Kak. Apa
Kakak kira aku beneran ninggalin Kakak? Nggak,Kak. Aku selalu ada di sisi Kakak.” Vina menegur dengan nada
ringan. Kedua tangannya kini menangkup wajah Vino yang berkaca-kaca. Ibu jarinya dengan lembut membelai
tulang pipi kakaknya. “Dan Vina,akan selalu nungguin Kak Vino.selama apapun waktu yang diperlukan.” Senyum
kecil muncul di bibir Vino,membuat Vina merasa lega.
“Jadi sebelum itu,Kakak harus menuhin satu keinginanku. Tolong,jalani hidup Kakak semaksimal mungkin.
Demi diri Kakak sendiri,demi aku,demi Ayah dan Ibu,demi Ella juga. Pas waktunya tiba,aku akan nunggu Kakak di
pintu gerbang. Oke? Aku tau kakakku ini bukan pengecut. Kak Vino yang aku kenal itu pemberani!” Setelahnya,
Vina lantas memeluk Vino. Untuk pertama kalinya setelah waktu yang lama, kehangatan mekar di dada Vino. Dia
ingin membalas pelukan Vina,namun tubuhnya menolak untuk bergerak. Setelah beberapa saat,Vino akhirnya
bisa berkedip. Ketika ia mengulurkan tangan untuk menarik adiknya kembali,gadis itu sudah hilang. Di
depannya,matahari sudah terbenam,meninggalkan seluruh dunia dalam suram. Sekilas,dia melirik menara jam
yang menunjukkan pukul 5:54. Semua itu hanya satu menit. Vino menghela napas. Lututnya akhirnya menyerah,
dia membiarkan tubuhnya jatuh ke tanah. Namun,apa yang dia rasakan selanjutnya adalah sepasang lengan
yang melingkari pinggangnya,menangkapnya tepat saat kepalanya menyentuh kelembutan paha yang sudah
dikenalinya. Ketika Vino mendongak,dia bertemu dengan mata lebar dan penuh perhatian milik Ella yang panik.
“Vino, kamu ini kenapa sih?” Nada bicaranya tinggi,tapi tindakannya sangat lembut saat dia meletakkan
kepala Vino di pangkuannya. “Perasaanku nggak enak pas denger kamu nutup telepon tadi,terus aku langsung
nyariin kamu. Untung tempat ini jadi pilihan pertamaku.” Nada suara Ella melunak,dengan lembut dia membelai
rambut Vino. Vino hanya bisa melontarkan senyum lemah padanya. “Eh,kamu habis nangis ya? Waktu aku liat
kamu mampir ke apotek rumah sakit aku udah was-was. Ya Tuhan,ini kan Oxycodone dan Fentanyl? Ini kombo
yang mematikan,apalagi satu botol utuh! Vino,apa yang kamu pikirin?”
“Maaf...”
Tanpa sepatah kata pun,Ella membawa laki-laki itu ke dalam pelukan erat. Vino tanpa kata membenamkan
wajahnya ke bahu Ella,membalas pelukannya. “Ini gaakan terjadi lagi,aku janji.” Untuk pertama kalinya setelah 4
tahun,Vino kembali merasa nyaman. Vina benar. Sekaranglah saatnya untuk menjalani kehidupan,tidak hanya
untuk dirinya sendiri,atau hanya untuk Vina. Bagaimana bisa Vino melupakan sosok Suster hebat yang selalu
berada di sisinya selama beberapa tahun ini? Dia juga akan hidup demi Ella,jika itu satu-satunya cara untuk
membalas kebaikannya selama ini. Dalam bayang-bayang,tersembunyi di balik pohon maple,tubuh Vina berdiri
saat dia melihat pemandangan di depannya. Dia tersenyum lega. Ternyata memang benar adanya. Terdapat
sebuah keajaiban pada pukul 5:53.

Pada perbatasan antara kedua dunia ini


Aku ingin meninggalkan jejak kita
Biarkan aku terjebak dalam keajaiban ini

“Whoa. Aku—aku bahkan nggak pernah nyangka ternyata ada kisah hidup kayak gitu di sini. Mungkin kalau
aku ada di posisi Vino,aku udah nyerah duluan.”,ujar si pasien terkagum-kagum. Saat itu,senja hampir datang.
Langit di luar jendela mulai berangsur-angsur mengubah cahayanya menjadi gelap. “Ya,dia emang lelaki yang
sangat kuat.” Ella membenarkan perkataan pasiennya. Sejenak mereka menikmati kesunyian,sebelum si pasien
angkat bicara,”Suster...jatuh cinta sama Vino?“ Ella tak menjawab,namun semburat merah yang tiba-tiba
mewarnai wajahnya cukup untuk menjawab pertanyaan si pasien. Dia pun terkekeh kecil.
“Apa dia tau?”
“Ya. Dan tau nggak? Ternyata, aku nggak jatuh cinta sendirian.”
“Iyakah? Bagus dong. Sekarang dia ada dimana?”
Tak ada jawaban. Ella pun akhirnya bicara,”Dia sudah berkumpul lagi bersama keluarganya.” Sambil
mendongakkan kepala antara untuk membayangkan sesuatu atau untuk menahan air matanya. Si pasien yang
langsung paham arah pembicaraan pun terkejut.
“Kok bisa?”

‘Kok bisa?’
Ella sedari tadi menanyakan hal yang sama. Siang ini dia melihat berita utama yang menyiarkan kasus
kecelakaan beruntun yang terjadi di jalan raya. Yang membuatnya terkejut adalah dari kedelapan mobil di
sana,ada salah satu mobil yang sangat dia kenali pemiliknya. Dan yang semakin membuatnya terkejut adalah
suara sirine ambulans rumah sakit,pertanda bahwa akan ada beberapa pasien baru yang membutuhkan
pertolongan. Kabarnya semua pasien ini berasal dari tragedi tabrakan beruntun tadi.
‘Ya Tuhan,semoga firasatku tidak benar. Dia masih di jalan kan? Ya,dia masih di jalan. Nggak mungkin dia
ada di antara mereka.’ Ella membatin.
Dengan harap-harap cemas dia memerhatikan satu-persatu pasien di sana. Dan hal yang tidak dia inginkan
pun terjadi,karena Ella menemukan sosok Vino sedang dibawa menuju UGD. Dia pun mengejar brankar itu.
Setelah mendapatkan penanganan serius dan dinyatakan berhasil melewati masa kritis,Vino pun dibawa
menuju ruang rawat,ruangan yang sama dimana adiknya dulu pernah dirawat. Ella juga ada di sana,tertidur di
sisi Vino sembari menggenggam tangannya—menunggu si pemilik untuk membuka mata. Saat merasakan
pergerakan dari tangan Vino,Ella pun membuka matanya.
“Vino,kamu bisa dengar aku?” Vino pun berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk melalui retinanya. Yang
pertama dia lihat adalah sosok Ella yang menatapnya khawatir. “Ella...”,ucap Vino lirih dari balik masker
oksigennya. “Iya,ini aku. Syukurlah kamu udah sadar. Tau nggak sih? Aku panik banget pas liat berita kecelakaan
beruntun tadi siang. Padahal beberapa menit sebelumnya kita sempat teleponan. Aku shock pas liat mobil kamu
jadi salah satu korbannya.”
Ngomong-ngomong soal telepon,Vino jadi ingat bahwa dia dan Ella ada agenda untuk quality time—atau bisa
dibilang kencan—siang tadi. Naas,kecelakaan yang menimpanya membuat rencana nya gagal total.
“Maaf...” Ella yang mendengarnya bingung,
”Untuk apa?”
“Acara makan siang kita. Gara-gara aku,semuanya jadi kacau.”
Ella pun mengusap tangan Vino yang digenggamnya tadi. “Jangan terlalu dipikirin. Kita bisa bikin acara baru
kapanpun. Untuk sekarang,yang tepenting kamu harus pulih dulu.” ‘Pulih,ya?’,batin Vino.
“Ella...”
“Ya? Kamu butuh sesuatu?”
“Aku mau pulang.”
“Oke,kamu boleh pulang. Tapi kamu harus dirawat di sini dulu sampai pulih total.”
“Orangtuaku udah nungguin,Vina juga.”
Ella hanya bisa terdiam,tak mengerti dengan apa yang dikatakan Vino. “Mereka udah nunggu di sana.” Ella
yang menyadari arah pembicaraan pun terkejut. “A—apa?” Mendadak lidahnya kelu. Ia merasa terkejut,sedih,
dan tidak rela pada saat bersamaan.
‘Apa harus secepat ini?’
Vino pun sudah menduga reaksi Ella akan seperti ini. Sebenarnya dalam hati Vino pun merasa sedikit
keberatan. Tapi,ayolah. Ini kan hari yang dia tunggu-tunggu. Dia bisa melihat kedua orangtuanya beserta Vina
sedang menunggunya di pintu gerbang sana.
Lalu ia meyakinkan dirinya lagi,‘Kalau kamu mencintai seseorang,hal terbaik yang bisa kamu lakukan untuk
dia yaitu melepasnya’
“Ella,aku capek...”
“Kamu harus banyak-banyak istirahat. Nanti aku bangunin lagi kalau udah waktunya minum obat.”
“Aku mau pulang.”
“Sebagai sustermu,aku gabisa biarin kamu pulang sebelum pulih,Vino.”
“Mereka udah nungguin.”
“Y-ya,bilang ke mereka untuk nunggu lebih lama lagi.”
“Ella...”
“Aku nggak bisa,Vino. Aku—aku belum siap”,ucap Ella sambil menundukkan kepalanya. Tangisannya tak bisa
dibendung lagi. Vino yang melihatnya pun merentangkan tangan—walaupun dengan susah payah—memberi
sinyal untuk memeluk Suster itu. Ella tanpa pikir panjang langsung membalas pelukan Vino dengan hati-hati dan
menumpahkan air matanya.
Sadar tak sadar,mereka berdua sudah terikat oleh takdir sejak awal. Itulah kebenarannya. Di antara mereka
belum pernah ada yang merasakan jatuh cinta. Baik itu Vino yang memprioritaskan keluarganya di atas
segalanya,ataupun Ella yang agak tertutup dalam kehidupan sosial. Dan itu semakin membuat hubungan
mereka terasa indah.
Bagi Vino,Ella adalah sosok kuat yang menjadi alasannya untuk bertahan hidup semenjak kehilangan saudari
kembarnya. Ella bahkan memerhatikan hal-hal kecil dari dirinya yang bahkan tidak diperhatikan oleh dirinya
sendiri. Dia rela menukar shift paginya hanya untuk memastikan lelakinya itu tidur dengan nyenyak. Kedua
tangan suster itu tak pernah gagal memberinya kehangatan saat mereka berbaring di tempat tidur.
Dan bagi Ella, Vino adalah sosok lelaki yang harus ia jaga. Ia selalu menekankan hal itu kepada dirinya. Vino
adalah orang pertama—selain keluarganya—yang berhasil dekat dengan sosok Ella yang kaku. Selalu berada di
sisi lelaki itu hampir 24/7 membuat dirinya terbiasa dan berani untuk membuka diri. Ella adalah tipe orang yang
sangat mudah jatuh dan luluh karena hal kecil. Seperti bagaimana indahnya senyum tulus Vino yang sebenarnya,
dan bagaimana Vino akan membuat lelucon dan tertawa bahkan sebelum ia selesai bicara. Juga bagaimana Vino
yang tak segan-segan menunjukkan rasa sayangnya. Keduanya saling melengkapi. Dan sekarang,Ella sangat ingin
mengutuk takdir yang suka sekali mempermainkan mereka.
Setelah puas menangis,Ella pun melepas pelukan mereka dan bertanya,”Apa—harus secepat ini?” Vino hanya
bisa menjawab dengan senyuman. Ia dengan lembut menyeka air mata yang membasahi pipi Ella.
“Maaf...”
“No,jangan bilang gitu. Ini bukan salah siapa-siapa. Kalau memang ini yang ditakdirkan untuk kita,inilah yang
akan terjadi. Aku harusnya nggak bilang omong kosong kayak tadi.”,ucap Ella menenangkan Vino. Tapi lebih
tepatnya untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Ella,aku ada satu permintaan.” Ella mendengarkan sambil sesekali menyeka sudut matanya yang masih
berlinang air mata. “Makasih,karena sudi menjadi bagian dari hidup cowok yang serba kekurangan ini.
Walaupun aku ada banyak kekosongan, kamu bisa lengkapi dengan sempurna. Beruntung banget aku dan
adikku bisa bertemu dengan suster hebat kayak kamu. Dan sekarang,aku mau kamu menjalani hidupmu dengan
baik,perbanyak interaksi sosial. Karena susterku ini orang yang hebat,iya kan? Suatu saat nanti kamu pasti akan
ketemu sama orang yang tepat,yang juga tulus mencintai kamu. Persis kayak gimana tulusnya kamu sama
pasien-pasienmu selama ini.”
Ella pun mengangguk sambil menjawab,“Pasti. Aku janji.”
Vino pun merentangkan tangannya lagi. Saat Ella mendekat,Vino menarik masker oksigen yang dipakainya
lalu menarik Ella dan mempertemukan kedua belah bibir mereka. Saat tersadar dari keterkejutannya,Ella pun
mulai menitikkan air mata lagi. Begitu juga dengan Vino. Tak ada hawa nafsu,hanya dua insan yang sedang
menyalurkan rasa cinta dan lukanya. Di tengah pagutan mereka,Vino pun berkata,
”I love you,Ella. For the first and the last time.”
Setidaknya itulah yang didengar oleh Ella sebelum ruangan itu diisi dengan pekikan monitor jantung yang
memekakkan telinga. Sembari merengkuh tubuh tak bernyawa itu,Ella pun membalas,
“I love you too,Vino. For the first...and the last time.”

“Dan yah,begitulah kisah kami. Oh iya,hari ini peringatan ke-2 tahun Vino berpulang.” Ella menyeka air mata
yang tanpa sadar sudah membasahi pipinya sejak tadi. Si pasien pun memasang raut wajah sedih. “Aku ikut
sedih denger ceritamu. Terus,Suster. Sekarang,kamu gapapa?”
“Ya,semua orang pasti awalnya kesulitan untuk bangkit dari keterpurukannya. Tapi walaupun sulit,bukan
berarti nggak bisa. Semuanya butuh waktu. Jadi,kita harus bisa nikmati setiap prosesnya. Vino benar,aku harus
jalani hidupku dengan baik.”
“Aku salut sama kalian bertiga. Kalian kuat banget,kayak karang. Diterjang ombak besar sekalipun kalian
tetap bertahan. Mmm,aku boleh peluk suster nggak?” Ella pun terkekeh kecil dan membawa remaja itu ke
dalam pelukannya. Setelah cukup lama bertahan dalam posisi itu,Ella pun bertanya,
”Dari tadi aku cerita tapi kita belum kenalan. Aku Suster Ella. Namamu siapa?”
“Aku Steve! Salam kenal,Suster!”,jawab lelaki itu bersemangat.
Seakan menyadari sesuatu,Ella memeriksa lembar data pasien yang dibawanya tadi.
“Kamu... Steve pasien dari kamar 554?”
“Iya,itu aku.”
“Oh,kalau begitu kamu pasienku.” Ella melihat jam dinding untuk memastikan mereka tidak terlambat.
Sekarang sudah pukul 5:53. “Ayo,waktu makan malam sebentar lagi. Kita harus bergegas kalau nggak mau
kehabisan.”
Ella dan Steve pun beranjak dari kamar itu. Kamar No. 553,yang menjadi saksi bisu perjalanan hidup yang
dipenuhi cerita kehidupan keluarga,cinta dan luka. Tepat setelah menutup pintu ruangan itu,Ella mendapatkan
telepon dari ayahnya.
“Halo,Ayah. Ada apa?”
“Nak,bisa tolong kamu carikan ruang rawat kosong dari bagian pediatrik? Ayah sudah melihat
datanya,katanya semuanya penuh. Kita ada pasien darurat.” Ella berhenti berjalan,begitu pula dengan Steve
yang mengikutinya. Dia berbalik melihat pintu yang baru saja ditutup,lalu melanjutkan,”Kebetulan aku sedang di
lantai 5,Ayah. Dan...masih ada ruang kosong di sini.”
“Benarkah? Syukurlah. Kamar nomor berapa itu?” Sekian detik hening,sebelum Ella akhirnya menjawab,
”Kamar No. 553.”
“Tapi—“,suara di ujung telepon terdengar ragu-ragu. Ella tertawa kecil sejenak. “Nggak apa-apa,Ayah.
Kejadian itu udah lewat bertahun-tahun. Aku bakal ngabarin orang untuk bersihin ruangannya segera. Dan
untuk semua hiasannya,bisa dipindahkan ke ruang duka aja.” Ella meyakinkan Ayahnya bahwa dia telah
sepenuhnya baik-baik saja sekarang. “Kalau kamu udah setuju,oke.”
Ella dan Steve pun kembali melanjutkan langkah mereka menuju kafetaria rumah sakit. Saat itulah dua sosok
—yang tak disadari oleh siapapun—sedang berdiri. Senyum merekah di wajah mereka,saat mereka melihat
punggung suster favorit mereka yang menyusut ke kejauhan.

-THE END-

Anda mungkin juga menyukai