Anda di halaman 1dari 5

Bab 4 kecerobohan

Jika kamu tidak pintar satu kebenaran akan menjadi kunci


bagi ruangan yang penuh dengan ketidak pastian.

Aku pun berdiri dan memegang area leher yang masih terasa nyeri, tapi kini telah terasa lega karna bisa
bernafas kembali. Aku yakin bukan hanya dia yang terkejut dengan strategi yang telah aku rencanakan
sebelumnya, melainkan semua orang yang ada di dalam ruangan ini dan menyaksikan pertikaian kami
pun merasakan hal yang sama dengan apa yang Kak Arga rasakan. Terkadang kita tidak harus bekerja
keras tetapi bekerja cerdas.

“Aleana emang cerdik yah, bukannya memakai tenaga buat ngelepasin tangan Arga, tapi dia malah pake
otak.” Terdengar beberapa orang yang memuji dengan saling berbisik satu sama lain, meskipun
penglihatanku ini sedikit buram, tapi indra pendengaranku ini sangatlah tajam.

Sang empu yang masih memegangi sudut bibir dengan bercak merah yang menghiasi wajah mulusnya
itu masih terdiam tanpa berkata-kata, dari raut wajahnya saja sudah bisa ditebak jika Kak Arga sedang
merencanakan sesuatu untuk membalas perbuatanku tadi.

“Guys! Kalian tau kan sosok hacker yang tengah viral beberapa hari ini. Dia itu adalah seorang siswi yang
membocorkan beberapa data penting dari sekolah lain, bahkan hingga perusahaan, tapi anehnya dari
semua sekolah yang berada di kota kita cuman sekolah ini yang data rahasianya masih tersimpan rapi
tanpa ada yang tau.” Dengan lantang Ferdi yang menjadi wakil ketua OSIS di SMA Negri Lentera Api ini
berjalan ditengah-tengah antara aku dan Kak Arga yang tengah dikerumuni teman-temannya, aku yakin
pasti Ferdi ini ada di pihak lawan.

“Al! Kamu gak papa?” tanya Kak Fajar yang baru saja datang dengan tanganya yang sedikit membukakan
jilbabku pada area leher, lagi pula pake nanya lagi aku gak papa udah tau abis mengalami insiden yang
benar-benar di luar dugaan, dia ini selalu saja terlambat. “Lehernya merah Al! sekeras itu ya Arga tadi
cekek kamu sampe berbekas kayak gini.”

“Yang penting gak putus Kak, lebam segini mah entar bisa sembuh lagi,” balasku dan menyingkirkan
lengan Kak Fajar dari leher yang memang lumayan sakit. “Udah tau sakit malah dipegangin makin sakit
tau!”

“Kakak itu khawatir sama kamu Al, makannya Kakak cek emang beneran sakit atau enggak, tapi
kayaknya sakit banget deh, yakin!” Kak Fajar bukannya langsung bawa kemana kek biar ngehindar dari
sini malahan masih diem aja di kelas dengan suasana yang sangat panas!

“eh, eh, eh. Ini kenapa malah debat si! Pake acara motong pembicaraan orang lagi, Jar kalo lu mau jadi
pahlawan udah telat,” gertak Ferdi dengan kasarnya memelototi kami berdua, ya wajarlah Kak Fajar
dateng ke sini daripada dia cuman bisa ikut campur urusan orang, Ferdipun kembali melanjutkan kata-
kata yang bisa meracuni semua orang yang mendengarnya. “Jadi guys, gue bersama anggota yang lain
curiga kalo siswi tersebut ada di sekolah ini dan bener aja sosok hacker yang meresahkan itu adalah …
dia!”
Aku pun menjadi sosok perhatian tatkala jari telunjuk Ferdi mengarah padaku, dengan senyum liciknya
itu ia meyakinkan bahwa aku adalah seorang siswi hacker itu. Tanpa berbekal bukti seenak jidat aja main
nuduh-nuduh, tidak semua orang bisa percaya, tapi tidak sedikit orang juga yang percaya dengan kata-
kata manisnya itu. Kulihat ke sekeliling mencoba menebak bagaimana sudut pandang mereka masing-
masing tentang apa yang Ferdi ucapkan. Ada yang terlihat bodo amat dan sibuk dengan gawainya
sendiri, ada pula yang malahan mengabadikan kejadian ini dengan cara merekamnnya, ada yang terlihat
percaya dengan meyakinkannya pada orang-orang, ada juga yang ngotot dan tetap tidak percaya.

“Eh, lu! Kalo gak punya bukti jangan asal nuduh orang sembarang!” teriakku dengan nada kesal disusul
mendorong kedua bahunya yang memang lebih tinggi dariku, bagaimana tidak siapa saja yang berada
diposisiku saat ini pasti merasakan hal yang sama.

“Kata siapa kita gak punya bukti, kita punya bukti banyak! Gue bakal tunjukkin ke kalian semua kalo
kalian gak percaya!” Tangan yang selalu mengambil uang panas itu malah balik mendorong kedua
bahuku dengan wajah yang sangat menyebalkan, rasanya ingin kulayangkan satu pukulan pada dirinya
itu.

“Badan lu doang cowok bibir lu cewek, gak malu lu? bibir lu lebih pedes dari cewek,” sindirku tidak mau
kalah tajam dengan mata yang melebar dan menunjuk ke arahnya.

“Gue taruhan goceng kalo mereka pasti berantem.”

“Gue berani taruhan ceban kalo mereka pasti ribut.”

“Gue berani taruhan gocap kalo mereka pasti baku hantam.”

“Gue malah berani taruhan duit jajan gue kali ini kalo mereka malah bakal adu bacot, ya karna Ferdi itu
bukan petarung, sedangkan Aleana dia gak bakal nyerang kalo gak diserang.”

“Duit jajan lu itu gak seberapa, gue berani taruhan cepek kalo mereka bakalan baikan dalam beberapa
hari ini, mungkin besok juga udah baikan lagi karna Aleana itu pasti punya scenario yang dua langkah
lebih di depan dari pada wakil ketua OSIS sialan itu.”

Sialan! Bukannya membantu orang yang berada di dalam masalah, teman laknat itu malah taruhan
dengan kerasnya hingga terdengar di telingaku. Kalo begitu gue berani taruhan gopek kalo mereka pasti
kalah, karna bener yang dilontarkan oleh Ryeon kalo gue dua langkah di depan dari wakil ketua OSIS
yang udah berani main-main sama gue.

BRUKK!

Terdengar jelas jika suara pintu dipukul dengan keras membuat semua siswa terkejut dan ketar-ketir
kembali ke kelas mereka masing-masing saat mengetahui jika Bu Sania yang terkenal dengan guru killer
dengan posisi yang memegang kesiswaan di sekolah ini datang ke kelas dan melerai kami, gawat! Guru
kesiswaan dan anggota OSIS saling membantu, aku yakin jika Bu Sania berada di pihak mereka. “Bawa
mereka berdua, yang lainnya balik lagi ke kelas masing-masing, jam pelajaran akan segera dimulai.”

Tanpa banyak bicara dengan wajah yang bisa membuat orang-orang merasa ketakutan jika mempunyai
masalah dengannya itu segera menyuruh beberapa orang membawa aku dan Kak Arga keluar kelas
entah kemana tanpa ditemani oleh satu pun orang dari kedua belah pihak.
“Oy, Zi! Gue mau dibawa kemana si? Udah tau posisi gue disini korban bukannya diobatin kek, bawa
obat kek, apa kek,” protesku pada Zidan yang menuntuku turun tangga entah mau kemana, jangan-
jangan mau dibawa keruangan kepala sekolah lagi, bisa gawat inimah.

“Oleh karna itu lu korban di sini, dan lu juga ngelawan ke Arga jadi kalian berdua harus diobatin dan kita
mau bawa ke UKS,” jelasnya dengan nada serius, Zidan ini jika sudah diajak serius oleh Bu Sania pasti
bakal serius padahal dia tipe orang yang jarang marah.

“Padahal gue kan yang paling parah dari pada dia,” gumamku melihat tidak suka dimana Kak Arga
berada diam saja mengikuti apa kata mereka.

“Harusnya lu itu bersyukur kita tolongin, daripada enggak sama sekali gimana hayoh,” ucap lelaki yang
kukira dia adalah kakak kelasku dengan tatapan genitnya itu menaik turunkan kedua halisnya.

“Paan si lu, orang gak ada yang ngomong sama lu lagi, sok kenal banget,” oceh ku disepanjang jalan
menuju UKS. Unit Kesehatan Sekolah itu berada di lantai dua bersebelahan dengan ruangan OSIS.

***

“Jilbabnya dibuka dulu yah,” suruh salah seorang murid kelas dua belas dengan pakaian putih yang
tengah berjaga di ruang UKS itu sembari melemparkan senyum padaku.

“Kalo Kakak yang suruh mau semua pakaian aku dibuka juga boleh kok Kak,” balasku membalas
senyumannya dan membuka jarum pentul yang menempel pada jilbab putih ini dan meletakannya di
atas meja bersama dengan beberapa obat.

“Suruh buka jilbabnya biar gampang dikasih salep malah buka jarum pentulnya doang.” Dengan kasar
Zidan menarik kain yang menutupi kepalaku itu dan melemparkannya begitu kasar kesembarang arah,
membuatku kesal saja.

“Ih, Zidan … bisa lebih lembut lagi gak si? Kasar banget deh,” pintaku menatap ke arah Zidan dengan
kedua tangannya yang ia lipat di atas dada bidang miliknya itu.

“Gue selalu lembut kalo sama cewek, tapi sayangnya ….” Zidan tidak melanjutkan perkatannya dan
malah menggantungnya membuat orang yang mendengar menjadi penasaran, katanya dia selalu lembut
sama cewek, lah aku ini kan cewek kenapa dia malah bertingkah kasar seperti tadi?

“Sayangnya lu bukan cewek, tapi Mutan!” sambung seseorang yang memegangi tanganku saat hendak
ke UKS bersama Zidan tadi di susul gelagak tawa yang sangat menyebalkan itu. “Ya, gak Zi?”

“Tau aja lu Han,” balas Zidan lalu melakukan tos antara sesama pria dengan seseorang yang ia panggil
dengan sebutan ‘Han’.

“Dih, kok gue dibilang Mutan si!” protesku tidak terima dengan apa yang mereka lakukan, mereka kira
aku ini bahan candaan apa, tapi santai aja si orang udah biasa.

“Kalo bukan Mutan apa lagi? Mana ada coba cewek yang bisa tonjok laki-laki ampe bedarah kek begono,
apalagi sama ketua OSIS pula,” jawab Zidan yang masih terlihat senang dengan apa yang temannya
ucapkan tadi, kalo soal ngejekin orang mereka emang jagonya.
“Agak ke atas dikit yah, biar gampang ngobatinnya,” pinta pria yang sudah siap dengan salep berbentuk
seperti pasta gigi, tapi sedikit kecil. Aku pun menuruti apa perkataannya dengan mengarahkan
pandanganku ke plafon ruang yang sepertinya kalau hujan sering bocor, lihat saja disudut ruangan
plafon yang semestinya berwarna putih ini malah berwarna hitam, itu karna sering terendam air hingga
menjadi berlumut dan menampilkan warna gelap. “Agak lumayan parah yah, sampe biru-biru kayak gini
pasti kenceng banget.”

“Sakit gak tuh,” sindir lelaki yang sama dengan gelak tawa terdengar hingga kepenjuru ruangan, dua
lelaki ini bisanya cuman ngetawain orang aja! Mimik bahagia terpancar dari wajah keduanya.

“Aw! Tapi kalo Kakak yang ngobatin pasti aku cepet sembuh kok,” genitku menggodanya dan menatap
manik mata yang memiliki warna hitam itu, memerhatikan gerak-geriknya yang sepertinya memang
sudah terbiasa dalam perilah obat mengobati. Pasalnya baru kali ini aku masuk ke UKS gak tau kalo yang
ngobatin se cakep ini, pantes aja Marissa kalo lagi demam tetep ngotot ke sekolah dengan alasan gak
mau absen, padahalmah pengen seharian di UKS, kalo tau kayak gini aku pasti ke sini tiap hari dengan
alasan yang berbeda-beda, eh? Itu terlalu bisa ditebak kalo aku cuman mau caper alias cari perhatian.

“Btw, rambut kamu kok lebih banyak warna putih semua? Aku tebak kalo ini bukan pewarna rambut,
tapi asli!” Tebakannya memang tepat sekali jika rambut ini bukanlah hasil dari pewarna rambut
melainkan alami dari aku lahir hingga sekarang tidak kunjung hilang walaupun sudah beberapa kali
dipotong.

“Iya, ini emang bukan pewarna rambut, udah dari kecil Kak, kok Kakak bisa tau?” balasku memegang
dan melihat rambut yang warnanya beda dari kebanyakan orang pribumi, sebagian orang memang
menyukainya, tapi tak sedikit juga orang yang mencaci maki.

“Keliatan aja si kalo yang asli sama pewarna rambut itu beda.” Meskipun tengah mengobrol, tetapi dia
tetap fokus pada leherku yang ia olesi dengan salep yang dipegangnya itu, memang sedikit sakit sudah
beberapa kali juga aku merintih karna rasa sakit yang tak kunjung hilang.

“Tapi lu gak pantes rambut kek gitu, Al! Ya walaupun itu udah dari sononya,”

“Emang napa Zi?”

“Soalnya rambut lu siang, tapi muka lu malem, ya gak Han?” Lagi dan lagi mereka tertawa begitu puas
saat melihat wajahku yang kesal dengan tingkahnya itu.

“Gak lucu Zidan!”

Sekarang rambut berwarna itu memang sedang trend dan bukan lah hal yang baru dilihat. Namun, di
desaku dulu saat di pesisir pantai, mau itu wanita atu pria jika rambutnya diberi warna akan di cap
sebagai anak nakal! Dalam garis besar bukan anak baik-baik, mungkin rambutku ini adalah salah satu aib
yang tidak pernah disesali oleh Mamah yang selalu menerima cibiran pedas. Yah, sekarang bukan
masalah lagi karena bukan satu atau dua orang yang menghiasi rambutnya dengan warna berbeda-
beda.

Jangan lupa share dan cerita ini ke media social kalian atau teman kalian, coments dan votenya juga
jangan ketinggalan, seenggaknya gue tau kalau kalian itu ada, bukan kayak si pembaca gelap yang
akunnya pun tidak tau yang mana, kalian itu berharga bagi gue. Gue bisa aja kasih no whatsapp di sini
kalo pembacanya tembus 1000.

Anda mungkin juga menyukai