Anda di halaman 1dari 6

Rabu, 17-11-2021

NAMA : AYUNDA OKTAVIANI PUTRI


KELAS : XI MIPA 5
ABSEN : 5

TARIAN KEJUJURAN

            Hari ini, kemarin, atau besok. Langkahnya akan tetap sama. Rumah-sekolah-kelas
kosong.

Tepatnya ketika matahari masih mengintip di Timur bumi sana. 06.30 pagi ketika
burung-burung piaraan tetangga bernyanyi kepalang riang menyapa gadis dengan kucir cepol
berseragam putih abu berjaket jersey belelnya keluar dari dalam rumah mereka: berlantai
papan, berdinding anyaman bambu, beratap lempung merah.

            Tidak ada keluhan yang keluar dari dalam hatinya. Sudah terlalu terbiasa dengan
keadaan. Mungkin inilah yang dimanakan ‘penerimaan’.

            Gadis berkulit sawo matang itu mengecup lembut punggung tangan biyungnya.
Ayahnya telah lama tiada sejak dia masih berada di bangku sekolah dasar. Hatinya telah lama
kuat. Tepatnya menguatkan hati remajanya yang harusnya mengeluhkan ini dan itu,
menceritakan tentang kisah cintanya, atau mungkin hangout bersama teman-teman
seumurannya.

            Tapi tidak dengannya. Ia telah mantap dengan apa pun keputusan Tuhan yang
mengatur jalan hidupnya. Langkahnya cepat, bukan tergesa-gesa karena takut dihukum telat
masuk gerbang sekolah. Namun ia teramat riang, hingga rasanya ingin berlari saja. tapi
pikiran itu segera diurungkannya. Ia harus menghemat energi paginya karena pasti, nanti
siang ia akan merasa lapar.

            Tak ada uang saku. Untuk sarapan saja ia harus berbagi dengan lima orang anggota
keluarganya yang lain; pamannya yang pekerja serabutan, bibinya yang
menderita skizofernia, ibunya yang telah berusia 60 tahun, adiknya yang duduk di bangku
sekolah dasar kelas enam dan ia sendiri.

            Namun, adakah kecemasan kesedihan dalam raut wajahnya? ada. Tentu saja ada.
Terkadang rendah diri menyelimuti hati gadis remajanya. Tetapi dia sudah bertekat. Tidak
ada yang bisa merenggut kebahagiaan di hatinya. Maka ia menerimanya. Merengkuh semua
ketidak sempurnan itu dengan lapang dada. Merendahkan hati, bukan merendahkan diri.

            Berada dalam sebuah ruangan yang luas di lantai dua kelas di sekolahnya. Bersiap
dengan caping sebagai salah satu properti untuknya menari. Berlatih untuk festival besar kota
kelahirannya, Garut. Bersama dengan ke empat puluh siswa siswi lainnya memulai
pemanasan. Lima menit kemudian mulai berlatih.

            Latihan bergiliran. Dimulai dari para penari kipas, penari merak, barulah tiba
gilirannya. Para penari caping yang dibagi menjadi dua tim. Masing-masing beranggotakan
lima orang. Masuk dari dua sudut berbeda. Saling bersilangan; berputar membentuk formasi
dengan memainkan caping mereka. Sementara para pemain umbul-umbul berbendera berlatih
di area terbuka.

            Gadis manis itu memiliki impian. Sederhan. Terbebas layaknya burung gereja yang
sering ia ajak bicara di atas pohon cemara tepat disamping gedung berlantai dua mereka
latihan. Gadis itu akan menunggu jam istrirahat latihan dengan mengobrol atau melihat-lihat
pemandangan sekitaran sekolahnya. Lapangan basket-ruang labolatorium-ruangan kelas yang
sibuk.

Setidaknya dia bersukur kembali kali ini. Dispensasi membuat dia tidak harus


bertemu dengan mata pelajaran yang kadang membuatnya harus termangut-mangut
mengartikan rumus-rumus aljabar.

Ketika mereka harus berlatih pada jam sore, beberapa anak-anak riuh renyah bergosip
dengan wajah kaget dan serius. Hingga sampailah cerita itu di kupingnya, anak-anak sedang
mengintip sesuatu di kelas sepuluh lantai satu tepat di bawah gedung mereka berlatih. Dua
sejoli yang sedang melakukan hal di luar pikir mereka saat ini.

Beberapa riuh rendah berbisik dengan mengintip. Beberapa menyarankan untuk


menghentikannya dan melaporkannya. Gadis bercepol itu mengangguk setuju dan
menanyakan masih adakah guru yang piket di kantor guru.

Nampaknya keributan berdesir itu di sadari oleh dua sejoli tadi yang akhirnya
memutuskan diri untuk segera pergi meninggalkan TKP. Beberapa anak ingin mencegah
mereka kabur namun tidak berani bertindak, sementara gadis bercepol dan beberapa anak
telah sampai di ruangan Bimbingan Konseling. Menceritakan apa yang mereka lihat. Ketika
sang guru setuju, ruangan telah kosong.

Anak-anak mencari pelaku. Beberapa berbisik tepat saat seseorang yang disangka
sebagai salah satu pelaku berpapasan dengan gadis bercepol tadi. “Itu dia. Namanya Delima,
anak Pramuka.” Ucap seseorang berbisik pada kami yang termenung sesaat menatap
kepergiannya yang terlihat terburu-buru. Gadis bercepol tadi hanya menatap kosong.
Haruskah ia mengiba, atau mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. Nampaknya tidak, ia
hanya mencoba bijak sebagaimana manusia pada umumnya. Jikapun salah. Bukan haknya
untuk menghakimi. Hanya perlu melaporkan. Selebihnya, biarlah mereka yang lebih berhak
memutuskannya.

Sayangnya, esok hari ketika kami harus berlatih di lapangan kantor Dinas Pariwisata
sesuatu nampaknya tengah terjadi di kelas gadis bercepol tadi. Anak-anak Pramuka bersigap
menyelidik menanyakan namanya, menuntut sebuah penjelasan. Ketika ia kembali ke kelas
esok harinya berita itu sampai ke telinganya. Ia hanya tersenyum, mengangguk
mengerti. Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Baik aku yang tengah di fitnah atau ‘dia’
si pelaku yang sedang merasa difitnah dan terancam.

Tak pernah menduga sebelumnya bahwa ia akan di jadikan kambing hitam dalam
permasalah yang tak pernah ia duga. Menjadi pelapor, saksi, dan tertuduh sekaligus. Introgasi
terjadi di ruangan BP. Siapa saja yang melihatnya; siapa yang kenal pelakunya; nama dan
identitas lengkap pelaku. Hingga membucu pada satu kesimpulan yang sungguh, andai ia
boleh tertawa dan menghina. Ini sangat menyebalkan. “Kami harap, tak ada seorangpun yang
membocorkannya ke luar sekolah. Ini aib, dan kita harus menjaga nama baik sekolah.”

Lelah. Benarkah berbohong untuk sebuah kebaikan akan membuahkan kebaikan?


Bukankah sekali berbohong. Akan muncul kebohongan-kebohongan lainnya.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab, si gadis cepol harus mengalami introgasi
kedua ketika mereka berada di lapangan alun-alun besar kota sebagai tempat gladi bersih
untuk festival esok hari.

“Kak, saya gak nyangka. Ternyata kakak yang fitnah Delima, ya.” Adik kelas
menyela waktu istirahat ketika gadis bercepol tadi sedang mengobrol.

“Fitnah apa?”

“Kakak-kan yang bilang bahwa, Delima dan Arman yang jadi pelaku kemarin.” Gadis
berkerudung itu mulai ngotot dengan tuduhannya.

“De..., yang lihat itu bukan saya. Yang tau nama Delima juga bukan saya. Yang
laporin ke BP juga bukan hanya saya saja. Sekarang, saya yang di jadikan kambing hitamnya.
Enak amat, mereka yang ngelakuin saya yang harus bertanggung jawab.” Nada gadis
bercepol itu kini sedikit meninggi. Ingin rasanya ia menghajar siapapun di dekatnya. Terlalu
kejam untuk menuduhnya sebagai ‘tersangka utama’.

“Gini ya, jika adek Delima tidak merasa melakukan, silahkan tantang saja para guru
itu. Jika mereka mengharuskan uji tes urin. Maka lakukan saja, toh’ adek gak melakukannya.
Kalau merasa benar gak usah takut. Simpel, kan?!”
Kami akhiri percakapan tadi dengan kesepakatan, bahwa ia setuju dengan saran gadis
bercepol tadi. Jika segala hal tersurat mudah dipalsukan ataupun dikelabui. Ada hal-hal yang
tak akan pernah bisa kita tutupi. Penglihatan dan kebenaran di sisi Tuhan.

Esok harinya ketika acara pembukaan festival Garut siap dilaksanakan ada hal-hal
yang pasti tidak akan pernah kita sadari. Kesedihan yang mengiringinya, cerita dari para
penari, perjuangan untuk menunjukkan kebenaran dalam diri.

 Bagi mereka yang duduk di bangku sekolah sekarang. Apakah pendidikan berupa
yang tertulis selalu lebih penting dan bernilai dari pada mengajarkan sebuah pendidikan budi
pekerti. Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda. Kejujuran, membela
yang memang layak dibela.

Gamelan telah dipukul beriringan berirama, gendang-gendang telah bertalu-talu


bersautan. Musik pengiring baik moderen ataupun tradisional telah mengalun keras sekeras-
kerasnya. Menggiring para penari satu persatu masuk dari berbagai sudut. Mungkin, yang
paling jujur dari semua kebohongan ini adalah tarian mereka sendiri.

Para penonton yang menyaksikan anak-anak remaja itu menari, tak pernah menyadari
ada beberapa cerita yang mendampingi para penari. Mungkin saja, bukan hanya gadis
bercepol tadi. Ada kisah cinta yang terjadi diantara sesama penari. Kisah persahabatan yang
semakin erat. Kejujuran yang diuji, atau mungkin pelajaran hidup itu sendiri.

Festival besar telah digelar, tarian telah ditampilkan. Tepuk tangan telah riuh
bersahutan menandakan pertunjukan selesai. Penghargaan diiringkan pada mereka mojang
dan jajaka kota intan yang terpilih. Maka pertunjukkan telah berakhir, kini para penari harus
kembali pada jam hidup mereka semula sebagai pelajar.

Kehidupan kembali ke semula. Rumah-sekolah-kelas. Berkutat kembali dengan


rumus-rumus aljabar, aritmatika, bahasa, sejarah, dan geografi. Namun, ada yang tidak akan
berubah bagi gadis bercepol tadi. Berbincang bersama alam, telah menjadi bagian dari
kesehariannya.

“Permisi, hai...” seorang pemuda menyapanya ketika gadis bercepol berada di tempat
ia biasanya berdiam diri.

Ia menatapnya terkejut. Tak pernah terbayang di benaknya untuk bertemu dengan


seseorang di jam setelah sekolah bubar seperti ini. “Ada yang bisa aku bantu?”
Pemuda tinggi berkulit hitam terbakar matahari itu tersenyum. Canggum kemudian
menghampirinya. Sudah sejak lama ia menatap gadis ini dari bawah sana, lapangan basket.
Beberapa kali ia harus terkena hukuman karena tidak konsentrasi dengan alur permainan dan
latihan mereka. Dalam pikirannya selalu berdengung pertanyaan, siapa gadis di atas sana?

Lama kelamaan pertanyaan itu menghinggapi hatinya. Ada perasaan aneh yang
merasuk menjadi sebuah rasa yang aneh. Selalu tidak bosan jika ia menatapnya. Selalu pada
jam yang sama, jam sebelum masuk kelas dan jam pulang sekolah. Menebus rasa
penasarannya, ia mulai menjawab satu persatu pertanyaan dalam dirinya.

Salsabilah Putri, 3 IPA 3, anak ekskul paduan suara, saat ini sedang latihan ikut untuk
festival gebyar ulang tahun Garut. Setelah ia mendapat jawabannya, Rafha semakin senang
menatap wajah Salsa saat ia latihan basket. Finalnya ketika ia sengaja membolos dari
sekolah, hanya untuk melihat Salsa menari.

Diantara kumpulan penonton ia mencoba mencari dengan bersusah payah wajah yang
ia kenal itu, namun baginya hampir sama. Wajah menggunakan make up itu mengganggunya.
Hingga ia sadar salah satu dari penari caping; berkebaya biru dengan cepol khasnya yang
walau kini lebih rapih. Salsabilah! Pemuda itu terpesona, pandangan mata dari gadis bercepol
itu tak pernah berubah. Sayu, sendu, namun tulus. Itu yang menjadi daya tarik bagi Rafha.

Di lantai dua, di teras pelataran bangunan ruang menari, dua orang yang berbeda
tengah bertemu dengan dua pertanyaan yang menggelantung dibenak keduanya. Haruskah
aku mengatakannya? Pikir si pemuda. Siapa orang ini? Pikir si gadis.

“Na-namaku Rafha. Muhammad Rafha.. aku menyukaimu! Maukah kau jadi


pacarku!?”

Langit senja selalu membuat hati bertanya. Adakah malam yang berbintang, dimana
kegelapan lebih menjanjikan kebahagiaan bagi hati remaja yang kadang membingungkan.
Adakah matahari bersinar hangat menyambut langkah-langkah kaki yang mengejar mimpi-
mimpi yang kadang kita tak tahu bagaimana cerita yang membersamainya.

Mungkin lebih baik, kita hanya cukup menerimanya. Tanpa perlu menduga-duga, toh
masa muda hanya dapat dilalui sesaat. Tidak akan terulang untuk kedua kali. Maka
nikmatilah masa muda menjadi generasi yang mumpuni agar kelak tak ada generasi yang
lelah berpijak di bumi.
-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai