Anda di halaman 1dari 234

1

KITA
Penanggung jawab :
Dra. Endah Budiyanti

Penulis :
Seluruh Siswa XII Akuntansi 1 SMKN 1 Bawang Angkatan
2016/2019

Ide Kerangka :
Leli Istiqomah, Afifah Gintan, Fiorentina Natashya, Putri Nur,

Penyunting :
Dra. Endah Budiyanti

Editor :
Leli Istiqomah

Desain Cover :
Rasyid Rama Maulana (XII RPL 1)

Layout :
Nuha Rohmatun Sholihah

Ilustrasi :
Nuha Rohmatun Sholihah dan Fiorentina Natashya Alfa Cecilia

Pencetak :
Only Print, Jakarta Selatan

Tahun Terbit :
2019

2
KOMENTAR PEMBACA
“Novel ini bercerita tentang kehidupan remaja sekarang
dengan segala intrik di dalamnya. Keberhasilan, kegagalan,
kebersamaan, keputusasaan, jatuh cinta, patah hati, bahkan
perbedaan pendapat, yang menyebabkan terbakarnya emosi,
disajikan dan diselesaikan dengan apik .
Adalah suatu kebanggakan bagi saya, selaku guru Bahasa In-
donesia, mempunyai anak-anak yang berbakat seperti ini.
Lugu, ceplas ceplos, dan lugas, itu bahasa yang digunakan
dalam novel ini, apa adanya.
Berdasar pada kisah nyata mereka, novel ini bercerita
bagaimana kejujuran dan keikhlasan hati untuk menerima
bahwa lebih baik menjaga persahabatan dari pada harus men-
yakiti diri sendiri dan orang lain.
Terus berkarya anak-anakku, ini akan menjadi kenangan yang
tak terlupakan, di cerita kehidupanmu nanti.”

Endah Budiyanti,
Guru Bahasa Indonesia, SMK Negeri 1 Bawang

3
KATA PENGANTAR DAN UCAPAN
TERIMA KASIH

Ada yang mengatakan bahwa bakat itu harus dikem-


bangkan. Bagaikan pisau tajam yang tak pernah dipakai pun
lama-lama akan menjadi tumpul. Begitupula dengan kemam-
puan, passion, bakat, dan hobby. Mudah mengatakan ‘Saya
tidak bisa’ tanpa mencobanya. Tapi yakinlah, semua tidak ada
yang sulit selama kita ada kemauan dan kerja keras.
Terkadang untuk melakukan hal baru kita perlu de-
sakan supaya kita mau mencobanya. Seperti halnya pembua-
tan novel ini. Berawal dari tugas dapat menghasilkan sebuah
karya yang luar biasa.
Pertama kami sampaikan kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala yang telah memberikan kami kesehatan, kesempatan,
dan kemauan sehingga kami bisa menyelesaikan projek ini.
Terimakasih kami sampaikan kepada Bu Dra. Endah Budi-
yanti selaku guru bahasa Indonesia kami yang telah mem-
beri tugas ini kepada kami. Mungkin tanpa tugas ini, sebuah
kenangan selama tiga tahun di SMKN 1 Bawang tidak akan
tertuang rapi dalam balutan kata demi kata di novel ini. Ter-
imakasih juga kami sampaikan kepada seluruh teman-teman
Alpha Squad yang sudah menyisihkan waktunya untuk mem-
bantu menyelesaikan projek ini.
Tak lupa kami sampaikan kepada Alfa, Tasya, Iva
yang telah mau dijadikan tokoh utama meskipun ceritanya
sedikit ngawur dari realita, hehe. Dan kepada teman-teman
Alpha Squad yang namanya nyangkut dalam cerita ini tan-
pa ijin dari empunya terlebih dahulu. Serta kepada pemba-
ca, baik itu anak-anak Alpha Squad sendiri atau orang lain,

4
terima kasih karena kalian telah menyempatkan waktu untuk
membaca cerita absurd dari kita.
Semoga apa yang ada di novel ini bisa memotivasi
kalian, bisa menginspirasi kalian. Ambil yang baik dan buang
yang buruk. Karena kami sadar banyak kekurangan dalam
penulisan cerita ini. Pada dasarnya, kesempurnaan hanyalah
milik Allah semata.
And last, buat sahabat Alpha Squad yang tersayang.
Kami berpesan, jangan pernah lupakan kenangan, kebersa-
maan, canda tawa, kesedihan, perjuangan, dan banyak hal
lainnya yang telah kita lalui bersama selama kurang lebih 3
tahun ini. Tetap jadi diri kalian sendiri.
Jika kalian lupa, maka ingat.
JANGAN SAMPAI LUPA !
Because, dilupakan itu tidak enak, hehe.
Sekian 

AlphaSquad

5
6
“Duniaku terlalu sempit. Perbincan-
gan orang tak pernah menarik perha-
tiaanku. Namun lain dengan kamu,
iya kamu. Melihat senyummu saja su-
dah membuatku bisu tapi tidak dengan
kalbuku yang selalu memberontak in-
gin berseru.”
-Alfa-

7
PENGENALAN LINGKUNGAN SEKOLAH

Sinar mentari pagi menusuk penglihatanku mencuri


masuk melalui fentilasi jendela kamar. Memaksa aku untuk
membuka mata menyambut pagi seperti hari hari lalu. Aku
menggeliat di balik selimut tipis berbahan kain sutra. Ah
malas sekali ku rasa harus bangun sepagi ini. Ku lirik jam
yang tertempel di dinding tepat di depanku. Ah baru menun-
jukan pukul 6 pagi, ingin rasanya aku kembali melanjutkan
mimpi yang tadi sempat terganggu oleh pancaran sinar ma-
tahari. Baru saja aku ingin memejamkan mata namun sesuatu
terbesit di kepala secara tiba-tiba; SEKOLAH. Arghh sial, ini
hari pertamaku masuk di masa putih abu-abu dan harus sam-
pai di sekolah sebelum pukul 7.00.
Kusapu jalanan dari rumah menuju sekolah yang cuk-
up untuk dibilang jauh. Hari pertama sekolah aku harus be-
rangkat menggunakan transportasi umum yaitu bus. Terlihat
bocah-bocah mengenakan pakaian baru menunggui abang
sopir untuk mengantarnya ke sekolah-sekolah. Merah-Putih,
putih-biru, putih-abu-abu hampir semua ada di sepanjang
perjalanan. Tak kecuali dengan bus yang sedang aku tumpan-
gi. Memang rata-rata bocah berpakaian putih-abu-abu sama
sepertiku. Namun aku tak tau dan tak mau tau apakah mereka
ke tujuan yang sama sepertiku atau tidak.
Pukul 6:55 tepat aku sampai di sekolah. Lima menit
lagi apel pembukaan akan dimulai. Gerbang sudah hampir
ditutup. Terlihat semua siswa berhamburan masuk ke seko-
lah, kecuali aku yang berjalan tenang ke arah gerbang yang
hendak ditutup itu.

8
“AYO CEPAT CEPAT!!” teriak Pak Satpam dan be-
berapa siswa kelihatan seperti PKS (Patroli Keamanan Seko-
lah).
“Cepat baris di lapangan, ini sudah jam tujuh!” Siswa
laki-laki berbadan kekar meneriakiku dengan muka menye-
balkan. Aku tak menanggapinya dan terus berjalan ke arah
lapangan. Memang benar, saat aku sampai di lapangan upaca-
ra sudah banyak sekali siswa yang berbaris di sana.
“Aku harus baris dimana?” aku bertanya pada diriku
sendiri kebingungan. Pasalnya, aku belum punya teman dan
tidak tau dari sekian ribu siswa mana barisan jurusan akun-
tansi. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada siswa
perempuan memakai rompi merah bertanda + dibagian pung-
gungnya, “Jurusan akuntansi dimana barisannya?”
Dia menengok kearahku sedikit kaget sepertinya, kemudian
menunjuk barisan tepat dihadapannya. Tak menunggu lama,
aku langsung berbaris di belakang sendiri.
Tepat di depanku berdiri perempuan tak berkerudung meng-
gendong tangan kirinya. Seperti habis jatuh atau apa aku tak
tau dan tak mau tau. Saat aku sedang memperhatikannya, ti-
ba-tiba dia menengok ke belakang.
“Eh kok kamu baris di belakang? Laki-laki baris di
depan. Sana ke depan!” dia berbicara padaku. Tak menung-
gu lama aku langsung berjalan ke arah depan dan berbaris di
samping laki-laki yang tidak terlalu tinggi, kulitnya hitam,
badannya agak berisi. Pandangan aku fokuskan ke depan tan-
pa melihat siapa yang ada di sampingku.
Dia menengok, “Eh Alfa? Lo baru berangkat?” tanyanya
sambil menepuk pundakku lumayan keras. Aku pun menen-
gok dan sedikit mengelus pundak yang tadi ditepuk. Ternyata
dia teman se-SMP denganku dulu, Fadil namanya. Aku hanya

9
mengangguk meng-iyakan.
“Gila, hari pertama sekolah udah telat aja bro?” ucap-
nya sambil terkekeh, atau mengejek?
“Bodo amat”
“SELURUHNYA, SIAAAAPPP GRAKKK!!” ter-
dengar instruksi dari depan mengaba-aba. Aku menghadap-
kan wajahku ke depan begitupun dengan Fadil.
Upacara berjalan kurang lebih 30 menit. Ada acara pembu-
kaan PLS bagi kelas 10 dan Pekan Disiplin bagi kelas 11,
perkenalan semua guru yang kurang lebih ada 130 guru. Jelas
itu membuat aku jenuh untuk lama-lama berdiri di bawah ter-
ik matahari seperti ini. Selain itu masih dilanjutkan dengan
penjelasan teknis PLS bagi kelas 10 oleh OSIS. Meskipun
kita mendengarkan sambil duduk, tetap saja itu membuatku
bosan dan mengantuk. Aku duduk bersila sambil bertopang
dagu. Pandangan ku arahkan ke sumber suara tapi aku tak
mendengarkan secara jelas. Barisan perempuan tepat di be-
lakangku berceloteh dengan asyiknya menambah kepenatan
kepala aku saja. Aku menengok ke arah Fadil, ternyata dia
juga sedang bergurau dengan barisan perempuan-perempuan
itu.
“Lo dari SMP mana?” terdengar suara Fadil bertanya
pada salah satu perempuan itu.
“Gue dari SMP 2 Bawang, kalo lo?” jawab perem-
puan itu. Laki-laki yang duduk di depanku menengok ke be-
lakang, lebih tepatnya melihat ke arah perempuan yang se-
dang berbicara dengan Fadil.
“Lah, si Jen-Jen” ucapnya menunjuk perempuan di
belakangku. Posisiku ada di tengah-tengah mereka, dan aku
hanya diam.

10
“Lah si Aye telat” jawab yang tadi namanya disebut
dengan Jen-Jen itu dengan memutar bola matanya malas.
“Lo kenal Ye?” Tanya Fadil lagi.
“Kenal dia se-SMP sama gue” jawab Aye, laki-laki
yang duduk di depanku. Lagi-lagi aku hanya diam meny-
imak. Tak tertarik dengan pembicaraan mereka. Yang aku in-
ginkan sekarang adalah bagaimana caranya aku bisa segera
pulang ke rumah dan melanjutkan mimpiku yang tertunda.
“Baik untuk seluruh siswa kelas 10, sekarang kalian
menuju ke GOR di bawah. Dan kalian akan dipandu oleh
kakak-kakak OSIS. Untuk kakak OSIS silahkan menempat-
kan diri di kelas sesuai pembagiannya” suara laki-laki dari
atas podium menyadarkan mereka yang tadi sedang asik ber-
celoteh seketika diam. Kami berdiri dan berjalan beriringan
bak bebek yang mau menyeberang jalan. Aku berjalan santai
masih di samping Fadil, karena disini aku hanya mengenal
dia.
Suasana di GOR tak jauh berbeda dengan suasana di
lapangan upacara tadi, sama-sama membosankan. Tiga jam
lebih kami duduk mendengarkan berbagai materi tentang
sekolah. Mulai dari banyaknya siswa yang mendaftar tahun
ini, banyak kelas, mapel apa saja yang akan di pelajari nanti,
pengenalan ekstrakurikuler yang ada di sekolah ini, sampe
pelbagai prestasi yang pernah diraih oleh siswa.
“Hayy nama lo siapa?” tiba-tiba ada tangan menepuk
pundakku dari belakang. Terdengar suara perempuan bertan-
ya kepadaku.
“Dari tadi diem aja, sakit?” tambahnya lagi sebelum
aku menjawab pertanyaannya.
“Nggak” jawab aku sekenanya.

11
“Nama lo siapa?” tanyanya lagi.
“Alfa”
“Siapa dia?”
“Anak mana?”
“Hah? Siapa siapa?”
Suara anak cewek yang duduk di belakangku itu menambah
kepenatan. Aku berusaha untuk tidak mempedulikan mereka.
Sepertinya mereka masih penasaran dengan aku. Ah siapa
peduli.
Setelah berjam-jam aku duduk di gor, akhirnya OSIS
membubarkan pasukan. Karena ini hari pertama masuk se-
kolah, semua peserta didik diijinkan untuk pulang lebih awal
dari pada kelas 11 atau 12. Setelah barisan dibubarkan, segera
aku pergi ke depan pintu gerbang GOR untuk mengambil
sepatu karena aturannya sepatu harus di lepas jika masuk ke
GOR. Beratus-ratus siswa berkerumunan di depan gerbang
mencari sepatu. Sekolah ini mayoritas siswanya perempuan,
tak heran bagaimana ricuhnya suasana di depan gerbang saat
ini. Ketika suasana sudah mulai terkendali, sekarang giliran
aku mencari sepatuku. Sepatu snikers hitam bertali itu tadi
aku letakan di sebelah kanan gerbang dekat tribun, tapi tung-
gu dulu,
“Kemana sepatu gue?” sepatuku tidak ada di tempat
tadi aku meletakkanya.
“Ayok Fa” ajak Fadil untuk naik bersama.
“Sepatu gue ilang Dil” aku menjawab dengan muka
panik. Pasalnya itu sepatu satu-satunya dan sepatu kebang-
gan sejak aku SMP.

12
“Kok bisa? Tadi naroh dimana?” Tanya Fadil sambil
berusaha menyapukan pandangannya ke sekeliling mencari
sepatu snikersku.
“Gue tadi taroh deket tribun tapi ini tinggal sebelah
doang, yang kiri nggak ada”
“Yahh sepatu gue masuk got, ampun dah” lagi-lagi
suara perempuan. Tiba-tiba ada anak perempuan nyamperin
Fadil dan berdiri di sebelah kanannya.
“Nyariin apa Dil?” Tanya perepuan itu kepada Fadil.
“Sepatunya Alfa ilang sebelah” jawab Fadil dan aku
masih sibuk mencari sepatuku tak sempat melihat kearah per-
empuan itu. Aku mulai emosi. Giliran udah dibolehin pulang
malah ada insiden sepatu ilang segala. Ingin rasanya aku
mengumpat. Masih ada beberapa siswa dan OSIS di GOR ini.
“Ini sepatu lo” perempuan itu tiba-tiba sudah ada di
hadapanku dan menyodorkan sepatu snikers ku. Aku men-
dongakkan kepada melihat wajah dia. Dia tersenyum sambil
menautkan alis.
“Nihh” Aku tersadar dan menerima sepatu itu.
“Ehh iya, nemu dimana?” aku bertanya penasaran.
“Jatoh di got bareng sepatu gue tadi” jawab dia jujur.
Suaranya lembut, tidak seperti saat dia berteriak tadi.
“Oh” aku pun pergi menghampiri Fadil dan bergegas
untuk cepat sampai di rumah.
Tak butuh waktu lama aku telah sampai di rumah. Ses-
ampainya di rumah aku langsung melepas sepatu dan mem-
banting tubuh di atas kasur. “Hari yang melelahkan” batinku

13
14
“Kebersamaan tidak akan tercipta
tanpa sebuah perkenalan. Keakraban
akan tercipta apabila kita mau men-
yatukan perbedaan, mau menerima se-
gala kekurangan satu sama lain, dan
sebuah ikatan bernama keluarga akan
muncul dengan sendirinya, dimulai
dari hari ini, hingga seterusnya. Kare-
na kita telah disatukan dalam sebuah
kelas bernama ALPHA SQUAD”
...

15
ALPHA SQUAD

Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) telah berakhir


kemarin. PLS dihari terakhir kemarin tak kalah membosank-
an dengan hari-hari sebelumnya, yaitu hanya diisi dengan
pengenalan ekstrakurikuler. Dari 8 jurusan yang ada, dibagi
menjadi 4 ruangan. Jurusan Akuntansi kebagian dengan juru-
san Budidaya Perikanan. Kami dikumpulkan di aula Ki Had-
jar. Ruangan yang cukup luas, tidak ada kursi ataupun meja
di dalamnya hanya terdapat seperangkat alat musik gamelan
Jawa, namun ada juga papan tulis tertempel di dinding sebe-
lah kanan tempat gamelan itu. Selain itu ada juga panggung
kecil di bawah papan tulis dan disitulah para siswa yang akan
memperkenalkan ekstra berdiri.
Mulai dari ekstrakurikuler bola basket. Empat siswa
perempuan berpakaian jersey basket berdiri di panggung
menjelaskan keunggulan tim basket Skansa dibantu dengan
menampilkan proyektor agar mempermudah penjelasan.
Berbagai piala kejuaraan pun tak luput dibawa ke aula Ki
Hadjar ini. Selanjutnya datang segerombolan anak berompi
merah dengan tanda + di bagian belakangnya, pasti ekskul
PMR aku tebak. Mereka masuk aula kemudian bertukar tem-
pat dengan siswa ekstra basket tadi. Tak berbeda dengan eks-
tra bola basket tadi, mereka juga menjelaskan tentang keung-
gulan-keunggulannya. Tak tanggung-tanggung mereka juga
mempraktekkan bagaimana cara pertolongan pertama pada
korban kecelakaan yang mengalami patah tulang. Setelah ku-
rang lebih 10 menit mereka menjelaskan dan mempraktekkan
tentang ekskul PMR, salah satu dari mereka bertanya,
“Dari penjelasan dan pemaparan mengenai PMR tadi,

16
apa ada yang tertarik ingin bergabung dengan kami?”
Tak sedikit siswa yang mengacungkan tangannya,
aku salah satunya. Bukannya tertarik dengan ektrakurikuler
ini, hanya saja dari berbagai macam ekskul yang ada, hanya
ini yang aku bisa pasalnya aku pernah menjadi anggota PMR
waktu SMP dulu. Jika boleh memilih lebih baik aku tidak
mengikuti ekskul apa-apa. Namun tadi sebelum kita masuk
ke aula Ki Hadjar, di depan pintu ada guru pembina yang
berpesan bahwa kita harus mengikuti ekstra yang ada mini-
mal 1 jenis ekstra. Tak ada pilihan lain akhirnya aku menga-
cungkan diri di ekstra PMR ini.
“Baik karena banyak yang tertarik, kakak bagikan
saja ya formulirnya. Namun berhubung waktu kami dis-
ini sudah habis, formulirnya boleh diisi nanti dan terakhir
pengumpulannya besok pukul 12 siang bisa dikumpulkan
langsung ke basecamp PMR” intsruksi seorang dari mereka
yang tadi mengajukan pertanyaan.
“Ada yang udah tau basecamp PMR dimana?” tam-
bahnya.
“BELUM” seluruh siswa menjawab serempak.
“Basecamp PMR ada di sebelah kiri koperasi dan
di sebelah kanan UKS. Kalian bisa cek saja ke gedung B
lantai 1 cari saja pintu yang ada tulisan ‘Basecamp PMR’ .
Ada yang mau ditanyakan lagi?” laki-laki itu menjelaskan
panjang lebar dan mengajukan pertanyaan terakhir sebelum
penutupan.
“BELUM” lagi-lagi seluruh siswa menjawab seren-
tak.
“Baiklah kalo tidak ada yang ingin ditanyakan lagi,
akhir kata Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabaro-
katuh”

17
“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh”
Sebelum anak-anak PMR keluar aula, sudah terden-
gar keributan di depan aula Ki Hadjar. Terlihat segerombolan
anak memakai pakaian aneh dengan make-up acak-acakan,
rambut tergerai, ada juga yang dikuncir, laki-laki bersarung,
mereka tertawa dan berbicara sangat keras hingga mengun-
dang perhatian seluruh siswa yang berada di dalam aula Ki
Hadjar ini. Sebagian siswa tercengang heran melihat dan-
danan segerombolan anak di sana, sebagian lagi tak kuasa
menahan tawa. Kecuali aku, hanya menengok sedikit lalu
kembali menelungkupkan kepala dilipatan tangan. Rasa
bosan itu masih menyergapku. Kapan ini berakhir Ya Tuhan?
“HAYYY GAESSS!!!” Suara berisik anak anak itu
semakin jelas, sepertinya mereka telah masuk ke dalam aula.
Aku masih dalam posisiku, yaitu menelungkupkan kepala di
lipatan tangan. Suara dari sekelilingku berbisik-bisik seperti
nada tercengang menambah kebisingan.
“PERKENALKAN KAMI DARI....”
GUBBRAKKK....
Terdengar suara seperti orang jatuh, lebih dari satu
anak. Mengaduh, diikuti gelak tawa dari siswa lain.
“Ha ha ha ha...” suara tawa satu aula pecah mengge-
ma di seluruh ruangan. Aku mengangkat kepala dari lipatan
tangan, penasaran ada apa yang terjadi. Saat aku sukses me-
nengadahkan kepala, ternyata benar dugaanku, segerombo-
lan anak berpakaian aneh itu sedang tengkurap menindih satu
sama lain sambil menyeringai. Suara tawa sayup-sayup mulai
mereda. Segerombolan anak itu sudah berdiri membenarkan
posisi.
“He he he... maaf maaf, okee gaess kami lanjutkan,

18
kami dari...” instruksi salah satu anak perempuan berpakaian
macam daster, berwajah dengan make-up aneh, dan berkun-
cir dua dikepang.
“TEATER SKANSA” lanjutnya diikuti anak lainnya
serempak.
“yaa, jadi kami dari ekstrakurikuler Teater Skansa
akan mengajak teman-teman semua untuk bergabung bersa-
ma kami. Pasti kalian bertanya-tanya kan kenapa kami ber-
penampilan aneh seperti ini? Nahh sebelum kakak jawab,
saksikanlah pertunjukan dari TEATER SKANSA. Beri tepuk
tangan” perempuan berdaster itu mengawali, bak terhipnotis,
siswa lain pun ikut bertepuk tangan dan bersorak sorai. Kec-
uali aku pastinya.
Selama kurang lebih sepuluh menit gerombolan anak
Teater menampilkan drama komedinya, sukses menarik
perhatian dan gelak tawa dari siswa se-aula Ki Hadjar ini.
Mereka tenggelam dalam cerita, tertawa sambil memengangi
perut sampai mengeluarkan air mata. Laki-laki perempuan
berakting sangat maksimal menunjukan bakat meraka mas-
ing-masing, mengeluarkan ekspresi se-absurd mungkin un-
tuk mengundang tawa penonton. Namun aku masih belum
bisa tertarik, bahkan sempat berpikir “Apanya yang lucu?”.
Fadil yang duduk di sebelahku tertawa sambil menyenggol
nyenggol bahuku, mengajak tertawa, aku hanya menyeringai
dan kembali menelungkupkan kepala.
“Fa liat ekspresinya, ha ha ha” untuk kesekian kalin-
ya Fadil menyenggol bahuku. Kali ini aku abaikan. Beberapa
saat kemudian terdengar gemuruh suara tepuk tangan, sele-
sai sudah pertunjukan Teater ini dan dilanjutkan dengan sesi
perkenalan para pemain juga ajakan untuk bergabung dengan
ekskul teater.
...

19
Setelah beberapa jam duduk mendengarkan pe-
maparan ekstrakurikuler di aula, akhirnya aku bisa bebas
menghirup udara segar. Beberapa jam lalu setelah pengena-
lan ekstra selesai, pembina melakukan pembagian kelas un-
tuk kelas 10. Dan aku kebagian di Akuntansi 1 yang kebetu-
lan sekelas dengan Fadil. Di jurusan Akuntansi ini hanya ada
17 laki-laki. Di akuntansi 1 hanya ada 5 laki-laki, yaitu aku,
Fadil, Aye, Azka, dan Ilham. Sedangkan di akuntansi 2 dan 3
ada 6 laki-laki.
Saat pembagian kelas selesai, semua siswa berlari
mencari kelas masing-masing, aku dan Fadil berjalan santai
mengikuti arah anak perempuan yang berlarian. Aku lihat ada
seorang perempuan yang tidak berlari seperti teman-teman
lainnya. Dia tidak memakai jilbab, tangan kirinya dibopong
tasnya dibawa oleh teman di sebelahnya.
“Hayy Sya! Ayo ntar nggak kebagian tempat duduk”
“Ehh iya Va, duluan aja”
Aku terus berjalan tak menghiraukan mereka. Sesam-
painya di gedung A lantai 2, di depan kelas paling pojok su-
dah terdengar suara celotehan anak-anak ramai memilih atau
lebih tepatnya berebut tempat duduk. Aku berjalan santai
masuk ke dalam kelas tersebut. Fadil sudah berlari terlebih
dahulu menduduki bangku paling pojok belakang sebelah
kanan. Saat aku masuk, banyak pasang mata menatapku her-
an. Aku tak menghiraukan. Kemudian aku duduk di sebelah
Fadil. Setauku kelas akuntansi 1 ada 5 laki-laki, tapi kena-
pa sekarang hanya empat? Aku bertanya pada diriku sendiri
sambil mencari satu sosok itu. Sepertinya Aye yang belum
masuk ke kelas. Semua anak sudah mendapatkan tempat
duduk dan teman sebangkunya masing-masing. Tak berapa
lama, Aye masuk dan mencari bangku yang kosong.

20
“Duduk sana Ye, sama Puji” perintah Fadil pada Aye
menunjuk bangku paling belakang karena hanya itu satu-sat-
unya bangku yang kosong. Aye berjalan mendekat tanpa ban-
yak protes,
“Gue boleh duduk di sini?” Aye minta ijin pada per-
empuan yang duduk sendirian itu.
“Silahkan” perempuan bernama Puji itu menyilahkan
tanpa keberatan.
Suara bising anak-anak masih terdengar. Mereka sep-
ertinya sedang berkenalan satu sama lain. Mulai dari yang
duduk di sebelahnya, depan, belakang, sampai yang dudukn-
ya berjauhan sekalipun. Aku tak menghiraukan mereka. Ke-
napa rasa bosan ini terus mampir kepadaku? Aku akhirnya
mengeluarkan PC dan mulai main game.
”Wahh. Nge-game mulu lo Fa. Nggak mau kenalan
sama mereka-mereka?” ucap Fadil mengajakku untuk berke-
nalan dengan yang lain.
“Ahh nggak penting, ntar juga lama-lama kenal”
jawabku seadanya.
Saat aku sudah mulai asyik main game, tiba-tiba ada
instruksi dari depan.
“Hallo gaess!! Dari pada kita kenalanya cuma sama
yang duduk disebelah doang, gimana kalo kita kenalan satu
persatu maju ke depan biar kenal semua. Habis itu, baru deh
kita bentuk struktur organisasinya.” Suara lantang itu mem-
buyarkan konsentrasiku.
“Boleh tuh boleh” suara yang lain menanggapi.
“Enaknya mulai darimana nih?” Tanya perempuan itu
lagi.

21
“Dari sebelah sana aja. Kedepan terus ngular ke be-
lakang” usul perempuan yang duduk di depan barisan kedua
dari kiri menunjuk ke bangku depan paling kanan.
“Ya udah langsung aja ya, Ayo kamu maju!”
Anak yang duduk paling kanan itupun mengikuti,
maju ke depan untuk memperkenalkan diri.
“Perkenalkan nama gue Alya Tiara Nugraha, gue dari
SMPN 1 Purwanegara, rumah gue di Kalipelus Purwaneg-
ara” setelah anak itu memperkenalkan diri, terus bergulir
ke samping kiri. Aku kembali memfokuskan konsentrasi ku
pada game. Aku tidak tertarik dengan perkenalan ini. Toh
nanti lama kelamaan juga hafal. Kita kan bakal sekelas se-
lama 3 tahun. Apa perlunya perkenalan? Tinggal baca aja di
buku jurnal. Kelar.
“Hayy teman-teman,” suara itu terdengar tidak asing
di telingaku, karena penasaran aku mengalihkan pandan-
ganku ke perempuan bertubuh tidak terlalu tinggi berbadan
agak berisi yang sedang berdiri di depan papan tulis itu.
“Nama gue Iva Wahyu Utami” ternyata benar, cewek
itu yang menemukan sepatuku di PLS hari pertama.
“Gue dari SMPN 1 Pagedongan. Gue teman dia”
kenalnya sambil menunjuk ke arah perempuan yang tadi
menginstruksi. Dia sangat berbeda dengan teman yang tadi ia
tunjuk. Kalo tidak salah temannya itu bernama Nuha. Gayan-
ya songong banget, jengah aku untuk melihatnya.
Sesi perkenalan masih berlanjut. Anak laki-laki minta
berkenalan terakhir karena hanya 5 anak. Dua laki-laki yaitu
Azka dan Fadil telah memperkenalkan diri, sekarang giliran
teman sebangkunya Azka yang dulu juga se-SMP dengan aku
dan Fadil.

22
“Perkenalkan nama gue Ilham Ardiansyah, gue dari
SMPN 2 Banjarnegara, alamat Madukara, ada yang mau di-
tanyakan?”
“Cita-cita?” tanya perempuan yang tidak berjilbab
itu. Hah? Dia? Ternyata aku sekelas dengannya. Karena as-
yik main game aku jadi tidak fokus kalo aku sekelas den-
gannya. Namanya Tasya, aku tau dari Fadil yang tadi sempat
memanggil dia.
“Meninggal dengan khusnul khotimah” jawab Ilham
spontan, dan tak disangka jawabannya itu mengundang gelak
tawa yang lain. Aku hanya menyimak, tak tertarik untuk ter-
tawa. Entah kenapa aku rasa kelas ini suka sekali tertawa,
sejak PLS dihari pertamapun mereka sering tertawa. Setelah
Ilham kembali ke tempat duduknya, perempuan kurus kering
itu menunjuk aku.
“Hey sekarang giliran lo!” perintahnya dengan
menunjuk ke arah aku.
“Ntar tanggung” jawabku masih menatap layar mon-
itor PC.
“Heh! Yang lain udah, tinggal lo doang yang belum!”
perintahnya lagi sarkatis.
“Ishh” akupun berdiri sambil membuang nafas kasar.
“Gue Alfa dari Esphero rumah Boja” kenalku dalam
satu tarikan nafas dan hendak kembali ke tempat duduk.
“Ya elah, belum makan lo ya? Lemes banget” seru
perempuan yang duduk di barisan ke tiga dari depan. Aku
tak menghiraukannya dan langsung kembali ke tempat duduk
untuk melanjutkan nge-game yang sempat terusik.

23
Si kurus kering itu kembali menginstruksi men-
gondisikan kelas yang kembali mulai ricuh. Kali ini dia
menginstruksi untuk pembentukan struktur organisasi. Pem-
bentukan struktur organisasi ini dibentuk dengan cara voting
ada juga yang mengajukan diri. Aye ditunjuk sebagai ketua
kelas karena sejak hari pertama PLS dia sudah aktif mengoor-
dinir yang lainnya. Dan untuk wakil ketua kelas, si perempuan
kurus kering itu alias Nuha mengajukan diri. Selanjutnya
pembentukan sekretaris dan bendahara dilakukan voting dan
suara terbanyak untuk sekretaris 1 yaitu Leli dan sekretaris 2
adalah Vivin sementara Iva mengajukan diri sebagai benda-
hara 1 dan bendahara 2 Tania. Pembentukan struktur organ-
isasi ini sangat lengkap sampai ke seksi peminjaman buku
yang menurutku sangat-sangat tidak penting, karena mereka
pasti bisa meminjam buku sendiri. Dan aku yang sedang asik
nge-game tau tau ditunjuk sebagai seksi olahraga. Keputusan
macam apa itu padahal aku tidak bisa olahraga sama sekali.
“Seksi olahraga Alfa aja” celoteh Fadil sambil cen-
gengesan.
“Ogah. Nggak mau gue” protesku.
“Ya udah ya fix Alfa aja. Dua anak nih, satu siapa
lagi?” keputusan secara sepihak. Malas berdebat, aku diam
tak protes lagi. Lagian juga nanti nggak disuruh ngapa-nga-
pain.
“Azka” usul salah satu cewek yang duduk di belakang.
Setelah kurang lebih lima belas menit berdiskusi,
akhirnya struktur organisasi pun terbentuk. Selanjutnya gan-
tian Tasya yang mengambil alih. Dia mengusulkan agar kelas
kita punya nama sendiri. Tak hanya Tasya, Aye sebagai ketua
kelas pun ikut memimpin. Menit-menit awal masih kondusif,
mereka masih diam. Di menit selanjutnya saat banyak usulan

24
nama masuk, malah terjadi perdebatan. Apa lagi ini? Hal-hal
yang menurutku sangat tidak penting kenapa juga harus di-
bahas coba? Setelah lama berunding tidak juga menemukan
nama yang pas. Akhirnya semua kembali pada kegiatan mas-
ing-masing. Saat beberapa lama, tiba-tiba Tasya usul bah-
wa kelas diberi nama ALPHASQUAD. Alpha berarti satu,
karena kita Akuntansi satu, kelas dengan urutan tertinggi dari
tiga kelas jurusan akuntansi yang lain. Dan Squad artinya
semacam kelompok karena kita satu kelas jadi akan menjadi
satu kelompok dalam hal apapun. Jadi AlphaSquad berarti
Kelompok Pertama. Tak banyak yang protes, akhirnya kelas
ini pun punya nama tersendiri yaitu ALPHASQUAD.
Hari ini berjalan lebih baik dari hari sebelumnya.
Sehari full hanya perkenalan-perkenalan saja serta tidak ada
peraturan yang terlalu mengekang seperti saat PLS selama
tiga hari itu yang mengharuskan mengikuti perintah OSIS.
...

25
26
“Tertawalah kalian sebelum ter-
tawa itu dibuatkan Undang-Undang.”

“Jika kebahagiaan bisa dibeli,
pasti semua orang kaya sudah mem-
borong semua kebahagian itu. Jika
kebahagiaan berada di suatu tempat,
pasti semua orang akan pergi ke tem-
pat dimana kebahagiaan itu berada.
Dan untungnya, kebahagiaan berada
di dalam hati setiap manusia.”
–Unknown–
...

27

KAMPRET MOMEN

Minggu pertama masa putih abu-abu telah berlalu.


Sekarang memasuki minggu ke dua, pembelajaran mulai
berlangsung. Banyak mata pelajaran asing yang baru aku
dapatkan hari ini. Banyak nama mata pelajaran yang rumit
sepertinya akan menjadi makanan sehari-hariku nantinya.
Kenapa aku masuk ke jurusan rumit ini ya? Akuntansi adalah
jurusan yang bisa dibilang tertua di Skansa. Jurusan ini dulu
bernama Tata Buku namun semakin berjalannya waktu diu-
bah menjadi Akuntansi. Selain itu, akuntansi juga merupakan
jurusan terfavorit dan jurusan dengan akreditasi terbaik se-
SMK. Awalnya aku hanya coba-coba masuk ke jurusan ini
dan mungkin Dewi Fortuna sedang ada dipihakku sehingga
aku diterima.
“Di tempat duduk siap grak! Beri salam!”
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh”
“ Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh”
Hari Senin minggu kedua, guru yang pertama kali
mengajar adalah Bu Umi Ambarwati. Dia mengampu mata
pelajaran Dasar-Dasar Perbankan. Beliau berumur kira-kira
sudah menginjak kepala lima. Pertemuan pertama ini han-
ya diisi dengan perkenalan-perkenalan saja. Beliau sepertin-
ya guru yang asyik dan tidak membosankan. Meskipun bisa
dibilang tidak muda lagi tapi dia masih semangat mengajar.
Selain Bu Umi, guru yang masuk ke kelas ku hari
pertama ini adalah Pak Joshep. Dia guru Bahasa Inggris.
Sama halnya dengan Bu Umi, jam pelajaran pun hanya dii-

28
si dengan perkenalan-perkenalan saja. Pak Joshep beragama
Kristen. Dia mempunyai anak yang salah satunya bersekolah
di SMPN 2 Banjarnegara, sekolahku dulu. Lima belas menit
pertama memang hanya untuk perkenalan saja oleh beliau,
tapi dimenit berikutnya kita langsung ditugasi untuk meny-
usun kalimat yang diberi judul “Introduce My Self”. Ahh baru
pertama kali bertemu sudah diberi tugas saja. Tak hanya aku
yang mengeluh, hampir setengah penghuni kelas mengaduh,
“Yahhh”
“Kalian jangan protes. Ini itu belum apa-apa”
Menuruti perintah guru, semua pun kini sibuk dengan
coretan-coretan di bukunya masing-masing.
“Exusme Mister, may we use a google translate?” tan-
ya perempuan yang duduk di bangku nomor dua dari depan
barisan ke dua dari kiri itu. Aku mendongakkan kepala dan
mengarah pada sumber suara. Ternyata Tasya yang bertanya.
Tak hanya aku yang melihat kearahnya, tapi hampir seluruh
kelas menatap dia terkejut karena bahasa Inggrisnya begitu
fasih terdengar di telinga.
“Yaa silahkan” jawab Pak Joseph menggunakan ba-
hasa Indonesia. Sepersekian detik tercengang, ketika men-
dengar jawaban dari Pak Joshep bahwa kita diperbolehkan
menggunakan google translate, sontak semua langsung
mengeluarkan smartphone masing-masing.
Setelah kurang lebih dua puluh menit berlalu, aku ma-
sih berkutat pada kertas dan bolpoin, kertas ini masih bersih
baru diberi judul “Introduce My Self” aku bingung apa yang
harus aku tulis. Aku tengok ke arah Fadil yang sepertinya
sibuk menuangkan ide. Namun saat ku lihat ke kertasnya,
ternyata tak jauh berbeda dengan punyaku. Bahkan lebih par-

29
ah, kertasnya penuh dengan tulisan, tapi bukan tulisan sesuai
apa yang diperintahkan Pak Joshep.
BOSEN!
SATU+SATU
RENANG GAYA KATAK
Tulisan tulisan seperti itu berulang-ulang memenuhi
kertasnya.
“Gila lo Dil” ucapku kaget saat membaca tulisan yang
ada di kertasnya. Dia hanya cengengesan menanggapi.
“Bingung gue mau nulis apa Fa. Masa baru pertemuan
pertama udah dikasih tugas aja”
Aku hanya geleng-geleng kepala.
“Baik, waktu berdiskusi habis. Ayo siapa yang mau
maju terlebih dahulu?” tanya Pak Joshep mengambil alih.
“Saya Pak” lagi-lagi Tasya yang mengacungkan tan-
gan terlebih dahulu.
“Yaa silahkan” Tasya lalu maju ke depan setelah
mendapat ijin dari Pak Joshep.
“Hello! Good Afternoon Gaess! Introduce My Self.
My name is Fiorentina Natashya Alfa Cecillia. You can call
me Tasya. I’m from Mandiraja Kulon...” tiga menit perem-
puan berambut gelombang itu membacakan atau lebih tepat-
nya berbicara di depan dengan gestur atau bahasa tubuh yang
luwes. Sepertinya dia gadis yang cerdas. Semua diam men-
dengarkan.
Saat semua sedang khidmat menyimak presentasi Ta-

30
sya di depan, tiba-tiba perempuan yang duduk di sebelahku
kalo tidak salah namanya Shelin, perempuan yang jauh-jauh
dari Batur mau bersekolah di Bawang itu berkata,
“Ehh bukannya Tasya yang peringkat satu di jurnal
waktu pendaftaran kemaren ya?” tanya dia pada teman se-
bangkunya, Tania.
“Hah? Emang iya?” Tania malah balik bertanya.
Aku mendengarkan sekilas pembicaraan mereka. Ke-
lihatan. Batinku. Kemudian aku mengalihkan fokusku pada
kertas di atas meja. Masih kosong. Ahh siapa peduli, sebentar
lagi juga istirahat paling nggak sampai maju. Setelah Tasya
mengakhiri presentasinya, tak disangka ada yang berebut in-
gin maju terlebih dahulu. Barisan depan, Iva dan Nuha. Yang
di belakang berdoa agar tak kebagian maju, yang di depan
justru berebut ingin segera maju mempresentasikan.
Setelah beberapa anak maju, jam sudah menunjukan
pukul dua belas kurang lima menit, jam istirahat sudah ke-
potong sepuluh menit. Bagiku waktu sepuluh menit sangat
berharga.
“Time Out! Time Out!” celetuk Fadil dari tempat
duduknya.
Menyadari bahwa jam pelajaran telah berakhir, Pak
Joshep segera beranjak dari tempat duduk dan mengakhiri
pembelajaran.
...
Beberapa bulan telah ku lalui sebagai siswa putih
abu-abu. Semakin berjalannya waktu semakin banyak hal
baru yang aku dapatkan, seperti metode beberapa guru dalam
mengajar. Salah satunya adalah Bu Umi guru Dasar-Dasar

31
Perbankan yang pernah disinggung sebelumnya. Beliau pu-
nya metode cara mengajar yang apa-apa presentasi, ulangan
mendadak, disisi lain dia punya metode mengajar yang unik,
yaitu presentasi diselingi dengan games. Pernah pada suatu
kali beliau menyuruh kita membahas materi tentang (...) den-
gan membuat games Tebak Gambar. Sekelas dengan 36 siswa
dibagi menjadi 6 kelompok yang setiap satu kelompok terdiri
dari 6 siswa. Kita diberi waktu dua puluh menit untuk berdi-
skusi membuat tebak gambar yang berhubungan dengan ma-
teri. Jika sudah, gambar yang telah kita buat dikopi sebanyak
lima untuk dibagikan kepada lima kelompok lain. Semua me-
nikmati pembelajaran, begitupun dengan aku. Metode pem-
belajaran seperti ini tidak membuat kita tegang dan bosan
dengan materi, dan yang pasti akan mudah diingat.
Selain itu, Bu Umi pernah menyuruh kita untuk
mengerjakan tugas di salah satu aplikasi pembelajaran yaitu
Edmodo yang memerlukan koneksi internet untuk membu-
kanya.
“Hari ini kalian mengerjakan tugas dari saya yang su-
dah saya share di Edmodo! Kalian tau Edmodo kan?” tanya
beliau.
“Tau bu” jawab kami serempak.
“Tapi nggak ada kuota bu” ucap Shelin menanggapi.
“Lahh pake wifi kan bisa” sanggah bu Umi.
“Wifi nya trouble bu” sela Fadil.
“Kalian ini ya disuruh mengerjakan tugas kok banyak
sekali alasannya” ucap Bu Umi hafal dengan sifat murid-mu-
ridnya.
“Ya sudah besok kalian saya beri satu kuota internet

32
untuk mengerjakan” tambahnya lagi.
“Masa cuma satu bu? Ya nggak adil” komentar Nuha
menanggapi Bu Umi. Aku diam mendengarkan. Sebenarnya
wifi di kelas ini tidak troubel hanya saja mungkin karena di-
pake banyak orang jadi agak lemot. Namun toh mereka ma-
sih bisa menggunakan wifi di perpustakaan, mereka hanya
mencari alasan agar tidak mengerjakan. Akupun sebenarnya
males untuk mengerjakan.
“Lah satu saja cukup untuk tethering sekelas. Lagian
masa satu kelas tidak punya kuota internet semua” kata Bu
Umi lagi kali ini tidak menerima protes.

Selain Bu Umi, ada juga Bu Saheka. Beliau bisa dib-


ilang masih muda. Tubuhnya tinggi, berat badannya terlihat
ideal dengan tinggi badannya, dia berjilbab berbeda dari
guru-guru yang lain. Sisi sebelah kiri moncong jilbabnya ia
tarik ke belakang dan dipeniti menyatu dengan ciput yang
selalu ia kenakan. Ia mengajar mata pelajaran Etika Profes.
Beliau juga tak jauh berbeda mengajarnya dengan Bu Umi,
dikit-dikit presentasi. Namun beliau tipikal orang yang suka
bercerita. Terkadang tanpa ia sadari, waktu pembelajaran ha-
bis hanya untuk mendengarkan beliau bercerita. Seperti hari
ini, beliau bercerita mengenai masa mudanya, bagaimana be-
liau saat kuliah dulu, cerita beliau menimbulkan perdebatan
antara kaum mayoritas dan minoritas alias perempuan dan
laki-laki di kelas. Beliau menganggap bahwa semua laki-laki
itu sama, suka mendua dan memainkan wanita. Kaum per-
empuan yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan laki-la-
ki yang hanya lima anak mendukung bu Saheka semua. Jujur
saja, pembahasan kali ini tidak menarik perhatianku. Justru
membuatku bosan mendengarnya. Empat temanku sangat
tidak terima karena merasa terdiskriminasi, mereka banyak
protes terutama Azka.

33
“Disini siapa yang pacarnya lebih dari satu?” tanya
bu Saheka.

“Azka tuh bu. Playboy” jawab beberapa anak perem-


puan sambil cengengesan.

“Heh! Kok gue?” ucap Azka kaget namanya disebut.


“Emang iya kan? haha”
“Wahh Azka pacarnya lebih dari satu? Waduh, apa
ada rencana buat poligami nanti kalo sudah menikah?” gurau
bu Saheka.
“Selama janur kuning belum melengkung masih bisa
ditikung Bu. Asal jangan menikahi istri orang aja” jawab
Azka dan yang lain tertawa.
“Wahh nanti kalau Azka nikah untuk yang kedua ka-
linya Bu Saheka diundang ya?! Nanti ibu kondangan bawa
kado kulkas” kata bu Saheka entah bergurau atau serius.
“haha beneran bu?” tanya yang lain meminta kejelas-
an pada ucapan Bu Saheka.
“Iya beneran. Kalian nih ya saksinya. Kalo Azka
poligami bu Saheka bakal kasih kulkas dua pintu ke dia” Bu
Saheka serius dengan ucapannya. Aku hanya geleng-geleng
kepala mendengar candaan ini. Fadil puas tertawa di sebe-
lahku.
Saat pembelajaran Bu Saheka, selalu ada saja keja-
dian kejadian lucu. Beberapa hari setelah janjinya kepada
Azka, sudah tidak ada lagi cerita dari beliau. Kembali ke
pembelajaran rutin yaitu presentasi. Saat itu di bagi menjadi
4 kelompok dan sudah ada 3 kelompok presentasi di hari se-
belumnya. Tinggal satu kelompok yang belum presentasi dan

34
akan dipresentasikan hari ini, yaitu kelompokku. Presentasi
berjalan seperti biasanya. Diakhir sesi ada sesi tanya jawab.
Kebiasaan kelasku yang suka berdebat pun terbawa hingga
saat presentasi ini. Terutama Nuha cewek kurus kering itu
yang suka mendebat. Untung aku sekelompok dengan Tasya
hingga dia bisa menanggapi semua pertanyaan tak bermutu
dari cewek kurus kering itu. Aku malas mendengar suaranya
apalagi melihat mukanya yang songong itu. Saat presentasi
sedang berlangsung, tiba-tiba ada suara keributan dari bangku
belakang. Semua siswa menengok ke sumber keributan, aku
juga.
“Ada apa ya?” tanya Bu Saheka saat melihat ada ker-
ibutan di bangku belakang.
“Loh Yayah tidur?” tanya Bu Saheka lagi saat sudah
mendekat.
Anak-anak lain yang melihat itu hanya cekikikan me-
lihat Yayah yang tak bergeming sedikitpun dari tidurnya ke-
tika semua telah mengerubungi dan berusaha membangunk-
annya.
“Sudah biarkan saja mungkin dia lelah” perintah Bu
Saheka. Presentasi pun dilanjutkan. Kelompok ku masih be-
rusaha menjawab pertanyaan yang di ajukan. Saat ku lihat ke
arah Yayah, masih ada anak yang usil membangunkan dia,
tapi tidak juga berhasil. Melihat mereka semua masih fokus
pada Yayah, Bu Saheka pun beranjak dari tempat duduknya
lagi.
“Mbaa. Mba” Bu Saheka berusaha membangunkan
Yayah dengan menggoyangkan badannya. Masih sama, dia
tidak bergerak. Anak-anak lain mulai panik. Bu saheka me-
merintahkan agar presentasi dipending terlebih dahulu. Aku
kembali duduk di bangkuku. Yang lain mendekat kearah

35
Yayah.
“Jangan-jangan dia pingsan” celetuk Jenni yang ber-
diri di samping Bu Saheka.
“Kecapean mungkin bu, kemarin kan dia habis napak
tilas sama anak-anak palase” jelas Wahyuni si mulut TOA.
“Dibawa ke UKS aja. PMR mana PMR!” perintah Bu
Saheka agar membawa Yayah ke UKS.
“Alfa sama Fadil ambil tandu!” mendengar namaku
tiba-tiba disebut, aku yang awalnya sibuk dengan PC akh-
irnya mengalihkan pandangan ke kerumunan itu. Jenni yang
memerintah, karena aku dan Fadil merupakan anggota PMR
laki-laki di kelas.
“Ayo Fa!” teriak Fadil mengulangi. Aku beranjak dari
tempat duduk dan mem-pause game yang sedang aku maink-
an. Saat kembali ke kelas, beberapa anak masih terlihat beru-
saha untuk membangunkan. Acha, Jenni, dan beberapa anak
membopong Yayah untuk dipindahkan ke tandu. Sedangkan
aku dan Fadil akan membawa Yayah ke UKS.
“Eh yang bener, kasihan dia” anak perempuan masih
cengengesan entah apa yang lucu. Aku, Fadil, Azka dan Aye
membawa Yayah ke UKS menggunakan tandu. Berhubung
kelas kita berada di gedung A lantai 2 dan UKS ada di ge-
dung B lantai 1, maka kita harus menuruni tangga sebanyak
dua kali. Jenni mengikuti di belakang sambil memegangi
Yayah supaya tidak terjatuh. Sampai di UKS aku dan Fadil
memindahkannya ke bankar.
“Berat Dil” kataku pada Fadil saat membopong tubuh
Yayah. Sempat akan terjatuh, namun Jenni dengan cekatan
membantu memegangi. Aku kembali ke kelas dan di kelas
masih pada tertawa cengengesan.

36
“Tadi tuh mata nya kedip-kedip bu waktu ibu goy-
ang-goyang badannya” ceita Shelin pada Bu Saheka.
“Iya bu, tadi juga tangannya gerak pas hidungnya
dikasih minyak kayu putih” tambah Tania sambil menah-
an tawa. Aku tak mempedulikan mereka, langsung saja aku
kembali membuka PC dan melanjutkan games.
“Sudahlah biarkan saja. Jangan cerita apa apa ke ke-
las lain ya, kasihan” ucap bu Saheka setelah mendengar cerita
dari mereka.
...

37
38
“Hidup tak selalu bercerita tentang
kebaikan dan kebahagiaan”
–Alfa –
...

39
BOSAN

Detik demi detik silih berganti. Tawa dan canda


kawan adalah hal paling indah bagi mereka dimasa sekolah.
Tetapi tidak denganku, kenyataannya sekolah tidak seperti
apa yang aku bayangkan.
Hari ini hari Jumat. Aku pulang lebih awal dari bi-
asanya. Selepas sholat Jumat di masjid As-Sidiq, masjid yang
terletak tak jauh dari sekolahku. Bukannya di sekolah tidak
ada masjid, hanya saja di masjid As-Sidiq kita bisa mendapat
nasi bungkus selepas sholat Jumat. Seharusnya selepas sholat
Jumat masih ada jam pelajaran, namun aku dan Fadil tak ber-
niat untuk kembali ke sekolah. Kita berjalan sambil menik-
mati ramainya kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang.
Disetiap kanan kiri jalan terdapat susunan rapi teras-teras
permanen dengan gerobak makanan yang membuat jalanan
semakin sempit. Aku berjalan mengikuti Fadil. Entah kema-
na dia akan mengajakku pergi.
Setelah lama berjalan, mataku berpusat pada rumah
kecil yang berada jauh dari sekolahku. Rumah itu terlihat
seperti warteg dengan chat warna kuning yang sedikit sudah
pudar. Tempat ini ramai dipenuhi dengan anak anak muda,
mungkin seusiaku. Fadil mengajakku masuk. Aku masih
ragu, mataku beradu menatap kayu tua yang menjadi kusen
pada pintu bercat hijau tosca.
“Alfa sini duduk!” perintah Fadil sambil menunjuk
bangku yang masih kosong di sebelahnya. Membuyarkan
lamunanku. Aku mengangguk dan berjalan menghampirin-
ya. Sudah ada satu anak yang duduk semeja dengan aku dan

40
Fadil. Tiba-tiba Fadil mengenalkan ku pada laki-laki yang
duduk di sebelahnya itu.
“Hay Bro! Gue Tio. Lo baru pertama kali kesini ya?”
ucap Tio padaku sambil mengulurkan tangannya untuk berja-
bat tangan.
“Iya” jawabku singkat sambil menerima uluran tan-
gannya.
“Lo pasti bakal ketagihan datang kesini bro!” katanya
lagi sambil tersenyum senang. Tio ini sebenarnya satu seko-
lah denganku tapi aku jarang melihatnya karena kita beda ju-
rusan.
“Sudah-sudah, kita kan mau makan disini” kata Fadil
menengahi perkenalanku dengan Tio. Aku mengangguk dan
memakan makanan yang sudah dipesan Fadil untukku.
Berjam-jam aku duduk di warteg ini. bercengkerama
dengan teman baru. Tempat ini sangat asyik menurutku. Ra-
mainya disini berbeda dengan ramainya di kelas. Aku bisa
bercengkerama dengan banyak teman yang satu hobi den-
ganku. Ibu-ibu bersetelan daster dan berambut dicepok pemi-
lik warteg ini pun sangat ramah kepada seluruh pengunjung
yang ada. Dia tak pernah melarang apapun hal-hal yang kami
lakukan.
Sejak hari dimana aku kenal dengan warteg bu Emi
aku jadi dekat dengan Tio. Kita mulai sering komunikasi
dan bertemu walau hanya sekedar nongkrong dan membahas
game-game yang sedang trend sekarang. Entah kenapa uca-
pan Tio saat pertama kali bertemu di warteg itu benar terjadi.
Sejak saat itu aku mulai bosan dengan dunia sekolah. Aku
mulai tidak nyaman dengan suara bising anak-anak kelas.
Hal itu membuatku selalu meng-iya-kan ajakan Tio untuk

41
membolos.
Seperti hari ini, aku membawa tas ranselku keluar ke-
las berniat membolos untuk kesekian kalinya. Saat hendak
keluar tiba-tiba tangan lembut dengan sergap memegang len-
gan kiriku sambil berkata,
“Mau kemana lo?” aku menengok dan kudapati Iva.
“Bukan urusan lo!” jawabku cepat sambil melepas-
kan pegangannya dan segera pergi keluar menuju tempat
parkir. Sempat aku lirik ekspresinya, dia hanya menggeleng-
kan kepala sambil mengelus dada.
Sesampainya di tempat parkir ternyata sudah ada
Tio menungguku. Aku memberikan kunci motor maticku
padanya. Dengan segera dia memakai helm dan menyalakan
mesin, aku menyusul duduk di jok belakang. Hal ini sudah
berkali-kali aku lakukan jika aku merasa bosan di sekolah.
Hari ini memang bukan hari bebas. Satpam masih berjaga di
depan gerbang seperti biasa. Untuk mengibuli satpam yang
berjaga, aku dan Tio memalsukan tanda tangan guru pada su-
rat dispensasi agar aku dapat diijinkan keluar. Namun naas,
mungkin saat ini Dewi Fortuna sedang tidak ada di pihakku.
Satpam yang berjaga curiga dengan surat dispen yang aku
bawa.
“Kalian mau kemana?” tanya satpam pada aku dan
Tio.
“Dispen Pak, kami sudah ijin. Ini suratnya” kata Tio
sambil memberikan surat dispen pada Pak Satpam.
“Tunggu sebentar, saya tanyakan dulu kepada guru
yang sedang piket. Kalian jangan kemana-mana!” kata pak
satpam setelah membaca surat dispen itu. Kemudian ia segera
pergi menemui guru di STP2K.

42
“Ah sial!” umpatku. Kami masih menunggu di pin-
tu gerbang karena pintu gerbang masih dikunci. Tak berapa
lama pak satpam itu kembali dan meminta kami untuk men-
emui Pak Samsul yang bisa dibilang salah satu guru killer di
SMK ini.
Ya mungkin ini nasib kami. Berjemur di bawah sinar
matahari dan hormat di bawah tiang bendera yang berkelebat
tertiup angin seakan menertawakan kita. Aku tidak memben-
ci hal seperti ini, berjemur saja tidak membuatku jera.
...
Waktu memang tidak akan berhenti. Mentari berseri
indah pagi ini. Jajaran-jajaran angkutan kota dan bis me-
menuhi jalan menunggu dan menurunkan penumpang. Aku
menatap mereka yang sedang berebut masuk ke dalamnya.
Suara klakson kendaraan membuatku sadar untuk segera
melanjutkan perjalanan menuju sekolah.
Jam menunjukan bahwa upacara sudah harus dimu-
lai. Suara musik untuk berbaris sudah berbunyi dari beberapa
menit lalu. Suara sepatu beradu dengan lantai yang teramat
keras membuatku ingin cepat menutup telinga dengan ear-
phone.
“Fa, lo nggak ikut turun?” tanya Fadil teman se-
bangkuku.
“Nggak. Males gue. Lo aja sana!” jawabku sambil
membuka laptop dan mulai memainkan game OSU.
“Lo nggak takut dihukum lagi?” tanyanya lagi sambil
mendekat.
“Bodoamat!” jawabku dengan santai.

43
“Yaudah deh gue tinggal ke bawah ya” kata Fadil
segera beranjak meninggalkan kelas.
Upacara hari ini sudah dimulai. Aku terus memain-
kan game dengan laptopku tanpa mempedulikan hal apapun
di luar sana. Aku berani melakukan hal ini karena memang
jarang sekali anggota PKS yang berkeliling di daerah sekitar
kelas ku.
PKS merupakan suatu ekstra yang mempunyai kepan-
jangan Patroli Keamanan Sekolah. PKS dibentuk untuk men-
gamankan sekolah juga membantu satpam menyebrangkan
anak anak di depan sekolah, sekiranya hanya itu yang aku tau
tentang PKS.
Tiga puluh menit kemudian suara gemuruh anak-anak
mulai terdengar menaiki tangga mendekati ruang kelas mas-
ing-masing. Hal itu menandakan bahwa upacara telah selesai
dilaksanakan. Benar dugaanku, anak kelas membuka pintu
dengan kasar dan menghela nafas kelelahan menghempaskan
diri di tempat duduk masing-masing. Kemudian terdengar
sambutan salam dari kelas sebelah, lalu hening. Tak berapa
lama ada guru masuk ke kelasku. Sekarang jadwalnya Pak
Joshep, guru bahasa Inggris.
“Alfa?” suara lembut dari Pak Joshep membaca na-
maku.
“Hadir” sahutku sambil mengangkat tangan kanan ke
atas. Sudah menjadi kebiasaan atau bahkan tradisi turun tem-
urun memanggil satu persatu nama yang tertera dibuku jur-
nal setiap akan mengawali pembelajaran memastikan semua
anak berangkat. Tak hanya di sekolahku pasti hal yang sama
juga terjadi di sekolah lain.
Membosankan! Batinku saat guru itu sudah mulai
memberikan materi. Entah ada angin apa tiba-tiba aku mera-

44
sa sangat mengantuk. Aku tertidur lelap menempelkan kepal-
aku di atas meja dengan lipatan tangan sebagai bantal.
“Plak!!” suara spidol tepat mengenai meja di ha-
dapanku. Aku lekas bangun dan mengucek mata sambil me-
lihat ke arah spidol yang tergeletak di atas meja kemudian
menengok ke arah papan tulis. Lagi-lagi aku melakukan kes-
alahan.
“Alfa! Kamu tidur?” tanya Pak Joshep menatapku
dengan tatapan elang.
“Iya Pak” jawabku jujur apa adanya.
“Pergi sana ke ruang BK dan bawa surat ini!” katanya
sambil memberikanku surat tilang. Ya saat ini sedang han-
gat-hangatnya pemberlakuan surat tilang yaitu surat yang
akan diberikan kepada siswa yang melanggar peraturan un-
tuk dikenai sanksi. Tanpa pikir panjang aku beranjak keluar
kelas dengan diiringi sorak sorak dan tawa dari teman sekela-
sku.
Aku menutup pintu kelas, bukannya pergi ke ruang
BK untuk menyerahkan surat tilang, aku justru pergi ke kelas
sebelah yaitu Akuntansi 3 karena kelas itu sedang jam pelaja-
ran kosong. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan seperti ini
di sekolah. Bagiku hal semacam ini sangat menyenangkan.
Aku melakukan apapun yang aku mau dan tidak peduli apap-
un resikonya.
Waktu terus berjalan, hari demi hari aku lewati seperti
biasanya. Hukuman demi hukuman di sekolah sudah seper-
ti cemilan bagiku. Aku banyak melangar peraturan sekolah.
Penampilanku sudah tidak seperti anak sekolah, rambutku
panjang, sering tidak ikut pelajaran, sering tidak berangkat
sekolah tanpa keterangan, dan hal jelek lainnya. Bahkan aku
pernah kena razia rambut. Rambutku di potong asal oleh Pak

45
Samsul, kemudian dia menyuruhku merapikannya di salon
dan setelah ke salon aku langsung pergi ke warung bu Emi
padahal masih ada jam pelajaran.
Hal-hal semacam itu membuatku sering menjadi
perbincangan dan simpati anak kelas. Banyak dari mereka
yang terheran-heran melihat sikapku. Namun aku tidak pedu-
li. Aku tidak minta perhatian dari mereka. Aku ingin hidup
sesuai apa yang aku inginkan. Dan yang pasti aku masih bisa
hidup tanpa simpati dan empati dari orang-orang.
...

46
47
48
“Being alone doesn’t always mean
lonely”
- Alfa -
“Walau tanpa bahasa aku coba men-
gerti, bahwasannya kamu tidak be-
nar-benar menginginkan hadirku.
Seyogyanya hidupku, aku ingin hid-
up dengan orang yang membutuhkan
aku.
Yang aku harapkan, aku telah salah
dalam memahami paragraf satu”
-Akimboow-
...

49
KAMU TEMANKU

Waktu mengajarkan kepadaku bahwa kesendirian itu


tidak menyenangkan. Setidaknya ada satu yang dapat dijad-
ikan sandaran disaat diri merasa sudah tidak kuat menang-
gung beban sendirian. Kenakalan demi kenakalan terus aku
lakukan. Entah kenapa aku masih bosan dengan dunia seko-
lah. Teman-temanku juga mungkin merasakan hal yang sama
denganku, yaitu bosan. Tapi mereka masih bisa menepis rasa
bosan itu dengan hal lain. Sedangkan aku? Aku hanya bisa
mengusir rasa bosan itu dengan keluar dari sekolah disaat
jam pelajaran berlangsung atau menciptakan hal baru seperti
melanggar peraturan sekolah.
Seperti hari ini, untuk yang ketiga kalinya aku terkena
razia rambut. Satu minggu libur dikarenakan semua guru ada
acara dinas aku hanya menghabiskan waktu di rumah den-
gan game atau kopdar ke warung bu Emi sekedar nongkrong
main kartu atau nge-game di laptop. Selama liburan aku tak
memperhatikan rambutku yang semakin tumbuh panjang
hingga hari libur usai. Dan alhasil aku terkena razia lagi.
Saat upacara rutin berlangsung, di akhir sesi yaitu lain-
lain dan pengumuman yang sedang disampaikan oleh Pak
Fendi. Seperti kebiasaannya dia berceramah ngalor-ngidul
sambil menyapukan pandangannya keseluruh siswa. Tiba-ti-
ba dia menginstruksi bahwa yang potongannya belum ses-
uai dengan aturan supaya maju ke depan. Dan kebetulan aku
yang sekelas hanya lima anak laki-laki serta baris di depan
sendiri dengan mudah terlihat. Akhirnya mau tidak mau aku
harus maju kedepan.

50
“Ini nih, contoh anak-anak yang debes. Satu minggu
libur kerjanya cuma tidur. Sampai rambut sendiri lupa di po-
tong. Dasar anak-anak badug!.” ucap Pak Fendi mengomen-
tari siswa yang maju kedepan.
“Dengerin! kalo kalian tidak bisa menaati peratur-
an yang ada di sekolah ini, gampang kok, kalian tidak usah
bersekolah disini. Sekolah ini tidak menerima anak-anak
yang bandel. Ya contohnya seperti mereka ini. Paham?” tam-
bahnya lagi lebih pedas. Aku mendengarkan. Masuk telinga
kanan keluar telinga kiri. Teguran-teguran seperti ini bukan
yang pertama aku dengar. Sudah berulang kali setiap aku
kena hukuman pasti guru berceramah dengan kalimat yang
hampir sama.
Pak Fendi berjalan mendekati siswa yang terkena ra-
zia masih sambil memegang mikrofone. Beliau berjalan men-
gamati satu per satu siswa. Semakin dekat ke arahku, menat-
ap ku dari atas sampai bawah dan kembali ke atas. Aku hanya
menundukan kepala sambil ngapurancang. Dia menatapku
intens lalu berkata,
“Kamu lagi! Sudah berapa kali kamu melanggar?!”
tanyanya dengan nada sengit.
Aku diam tak menjawab.
“Sudah bosan sekolah disini? Keluar saja ya?” ucap-
nya lagi dengan nada lebih biasa namun terdengar menyakit-
kan.
“Tidak Pak” jawabku lesu.
Setelah kurang lebih sepuluh menit Pak Fendi men-
gamati, dari arah belakang barisan muncul Pak Samsul sam-
bil membawa senjata yaitu gunting. Tamat sudah riwayat-
ku. Batinku. Dan benar, dari sebelah kanan dia menghabisi

51
mangsa dengan mencukur asal. Dia diam tak banyak bicara.
Nasib rambutku bisa dibilang lebih parah dari razia sebelum-
nya. Pasalnya ada satu bagian kepalaku yang di cukur habis
olehnya.
Setelah kembali ke kelas, aku segera menutup kepal-
aku dengan topi OSIS. Aku tidak merapikan rambutku ke
salon seperti biasanya dikarenakan uangku hanya cukup un-
tuk jajan hari ini. Dari pada aku mati kelaparan di sekolah
lebih baik aku menunda mencukur rambut. Saat aku sedang
melamun di tempat duduk, tiba-tiba aku merasa ada yang
mendekat ke arahku.
“Lo nggak rapiin rambut lo Fa?” ternyata benar, Iva
yang mendekat ingin men-charger handphonenya yang keb-
etulan bangku ku ini ada stop kontak yang aku bawa untuk
menyambungkan laptop.
“Nggak” jawabku singkat.
“Kenapa?” tanya dia lagi.
“Nggak papa” aku tidak menjelaskan alasan sebe-
narnya.
“Oh” dia beranjak kembali ke tempat duduknya.
Guru jam pelajaran pertama datang tepat ketika Iva
duduk dibangkunya, pelajaran pun berlangsung.
Putih, cantik, dengan bulu mata yang lentik mem-
buat dia semakin menarik. Tubuh yang mungil itu membuat
dia semakin terlihat menggemaskan. Ekspresi kesal yang ia
tunjukan saat menarik kas semakin terlihat lucu jika diiku-
ti dengan cibiran dari bibir kecilnya itu. Entah secara sadar
atau tidak, mataku selalu tertuju pada gadis itu. Ya, dia teman
sekelasku. Meskipun begitu, aku tidak pernah berani untuk

52
berbicara lebih dari tiga kata kepadanya. Lucu bukan?
‘Ctakkk’ sebuah spidol melayang mengenai kepal-
aku.
“Eh, Anjir!” teriakku sambil mengusap kepala yang
terkena spidol itu.
“Bilang apa kamu Alfa? Kenapa kamu tidak mem-
perhatikan pelajaran saya?” terdengar suara seorang
guru dengan nada kesalnya.
“Em...itu bu, ngga papa kok.”
“Sekali lagi saya liat kamu melamun, keluar kamu
dari kelas!”
“Iya bu.” Ahh sial, ganggu banget nih guru.
Bel pulang sekolah sudah terdengar beberapa menit
yang lalu, kelas pun sudah sepi, tapi aku belum bergerak
sama sekali dari tempat dudukku. Mataku masih sibuk me-
natap seorang gadis yang sibuk memasukkan buku-bukunya
kedalam tas. Aku tidak habis fikir, kenapa tubuh sekecil itu
mampu membawa banyak buku yang tebalnya tidak kurang
dari 5 cm. Hmm, mungkin itu yang membuat dia tidak ting-
gi-tinggi.
Kakiku melangkah mendekati meja yang dia dudu-
ki, aku menunduk untuk mengambil buku yang terjatuh di
bawah meja.
“Nih.” Ucapku sambil menyodorkan buku.
Dia mendongak melihatku dengan tatapan yang sulit
diartikan,
“Oh, thanks” ucapnya sambil tersenyum.

53
‘Shitt!! Gila senyumnya!’ umpatku dalam hati. Aku
terus menormalkan ekspresiku agar terlihat biasa saja meski-
pun rasanya aku ingin membawanya pulang agar orang lain
tidak dapat melihat senyumnya itu. Oke mungkin ini keden-
garan egois, tapi itulah yang aku rasakan.
“Oke.” Jawabku sambil berjalan keluar kelas sambil
sesekali menengok ke arahnya.
Aku lihat dia sudah menggendong tas dan mengecek
kembali laci mejanya memastikan agar tidak ada satu pun
benda yang tertinggal. Saat dia keluar kelas, dia terkejut me-
lihatku masih berdiri di depan kelas.
“Eh, belum pulang lo?” tanya dia, aku hanya meng-
gelengkan kepala sebagai jawabannya.
“Kalo gitu gue duluan ya.” ucapnya sambil tersenyum
kaku. Saat dia baru melangkahkan satu kaki,
“Iva, kita teman kan?” dia kembali mebalikkan badan
menghadap aku. Gila! Apa yang aku katakan barusan?
“Huh? Lo kok nanya gitu? Emang kita temankan?.”
jawabnya sedikit ragu.
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Apa? Aku
tersenyum? Seorang Alfa T-E-R-S-E-N-Y-U-M. Ya perlu ka-
lian ketahui, baru kali ini aku tersenyum kepada seorang per-
empuan. Ohhh dan satu lagi aku menepuk pelan kepalanya
beberapa kali. OH GOD, apa mungkin ini efek habis ketim-
puk spidol tadi?
Dia masih terpaku di tempat. Aku buru-buru beranjak
meninggalkannya.
...

54
Sinar matahari sudah digantikan oleh rembulan yang
ditemani bintang bintang. Bagiku, malam adalah temanku,
diam adalah sahabatku dan ketenangan adalah inginku yang
selama ini belum tercapai. Dengan ditemani secangkir kopi
panas, aku duduk didepan teras rumah sambil menatap hand-
phone yang ada digenggaman.
Bimbang. Ya, satu kata yang dapat mendefinisikan
perasaanku saat ini. Pikiranku tertuju pada gadis yang memi-
liki senyum manis itu. Apa ini yang namanya rindu? Ah ti-
dak, ini tidak mungkin, aku tidak merindukannya. Hanya saja
aku tidak sengaja teringat dengan senyumnya itu. Dia beda.
Ya dia berbeda dari yang lain. Aku rasa hanya dia yang pedu-
li dengan aku. Mungkin dia bisa aku jadikan tempat untuk
menampung segala keluh kesah yang aku rasakan selama ini.
Tanpa sadar tanganku bergerak diatas layar handphone, dan
mengetikan sesuatu kepadanya.
Iva
Oh, shitt!! Aku tidak sengaja menekan tombol sema-
cam tanda panah di kanan bawah pada aplikasi Whatsapp.
“Mau bilang apa ini azzz!” gumamku sambil menga-
cak rambut gusar. Tiba tiba munculah pop-up dari Whatsapp
di handphoneku.
Iya? Sorry ini siapa?
Astagaaa, bahkan dia tidak menyimpan nomorku.
Gw Alfa, save back ya
Oh, Oke.
Kas
Kenapa emang sama kas?
Berapa

55
Apaan si lo ngetik cuma sekata doang mana gw
ngerti.
Bego
Siapa yang lo katain bego?
Lo
Serah dah. Jadi lo mau nanya paan?
KAS GW BERAPA BEGO
Gitu dong dari tadi. Kenapa nanya nanya? Mau
dilunasin?
Busettdah galak amat si anjir.
Ya kapan kapan si hehe
Btw, besok ada tugas?
Oke skip, obrolan mereka lanjut sampai malam.
...
Author POV
Pagi itu suasana kelas sangat riuh, jam sudah menun-
jukan pukul 6.55 dan itu artinya 5 menit lagi pelajaran akan
segera berlangsung. Hal semacam ini sudah biasa terjadi
apabila ada PR pada jam pertama. Mata Iva tampak mengi-
tari seluruh ruangan, tetapi sosok yang tadi malam tiba tiba
mengechat nya itu nampak belum terlihat sama sekali. Iva
terus menerus memandangi pintu masuk kelas dan berharap
orang yang ingin ia lihat saat ini segera datang. Ia tau pasti
anak nakal itu belum mengerjakan tugas. Eh tunggu dulu, apa
tadi? Apa Iva mengkhawatirkannya? Mungkin ia, sedikit.

56
Lalu masuklah seorang dengan postur tinggi, kurus,
acak acakan dengan dasi menggantung tak beraturan dile-
hernya dan jangan lawatkan matanya yang sayu, sepertinya
ia tidak tidur satu malaman. Ya, dia Alfa sosok yang ditunggu
kedatangannya oleh Iva.
Setelah Alfa sampai di tempat duduknya yang berada
pada pojok belakang, ia baru teringat kalau sekarang ada tu-
gas, pantas saja teman temannya sudah ribut sepagi ini. Kalau
ditanya apakan Alfa sudah mengerjakan tugasnya? Jawaban-
nya pastilah belum, tadi malam ia tidak bisa tidur dan memu-
tuskan untuk bermain game.
Derap langkah Iva terdengar mendekat menuju meja
Alfa.
“Udan ngerjain tugas lo?!” pertanyaan itu terdengar
ketus tapi tersirat rasa peduli disana.
“Belum.” balas Alfa dengan santainya.
“Nih cepet salin, lagi baik nih gue jarang jarang kan
gue baik sama lo. Jangan lupa kembaliin buku gue.” ucap Iva
sambil melemparkan bukunya ke arah Alfa.
“Wih selow dong mbak, thanks ya” ucap Alfa saat
buku itu berhasil ditangkap.
“Hmm” balas Iva dengan deheman sambil berjalan
untuk kembali ke mejanya.
Kring kring kring.....
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu bagi para
siswa datang juga. Bagaimana tidak setelah ini mereka bisa
pulang ke rumahnya masing-masing dan beristirahat. Setelah
delapan jam bergelut dengan materi baru yang guru ajarkan.

57
“Baiklah anak-anak karena jam pelajaran telah habis,
kita lanjutkan pembelajaran minggu depan. Kumpulkan buku
tugas kalian!” perintah Bu Aisyah kaprodi jurusan Akuntan-
si sekaligus guru mapel Akuntansi Perusahaan Jasa sebelum
mengakhiri pembelajaran.
“Dan… Alfa nanti tolong bawakan buku itu ke meja
saya!” tambahnya lagi lebih ditujukan kepada Alfa
“Saya akhiri pertemuan kali ini Wassalamu’alaikum
wr.wb”
“Wa’alaikumussalam wr.wb. Terimakasih Bu, In-
syaAllah ilmunya bermanfaat aamiin” Jawab mu-
rid-murid secara serempak.
Guru itu pun segera keluar dari ruang kelas diikuti
oleh murid-murid yang lainnya. Hanya tersisa Alfa seorang
diri sekarang. Dia bersiap menggendong tasnya dan berjalan
malas sambil membawa setumpuk buku gelatik berukuran
besar. Saat ini yang ia tuju adalah ruang guru. Lebih tepatnya
ke meja bu Aisyah. Saat ia hendak menuruni tangga, lang-
kahnya terhenti.
“Lo ngapain?” tanyanya pada Iva yang masih berdiri
di dekat tangga.
“Gue cuma mau mastiin aja buku gue ada disitu apa
enggak” jawab Iva jujur.
“Udah.” Jawabnya singkat.
Alfa pun kembali melajutkan langkahnya yang sempat ter-
tunda karena gadis itu. Namun baru beberapa langkah ia ber-
balik dan kembali bertanya pada Iva.
“Lo tahu mejanya Bu Aisyah?”

58
“Tahu lah, mau gue temenin?” jawab Iva.
“Boleh.”
Setelah mengumpulkan buku mereka berjalan menu-
ju gerbang bersama. Disepanjang jalan hanya ada kecang-
gungan diantara mereka berdua. Hingga pada akhirnya Alfa
mengeluarkan perkataan yang membuat Iva sedikit terkejut.
...
Alfa POV
“Dan… Alfa nanti tolong bawakan buku itu ke meja
saya!” perintah bu Aisyah ditujukan kepada ku.
Belum sempat aku menjawabnya, ia sudah mengakh-
iri pembelajaran dengan salam. Aku menghembuskan nafas
gusarku melihat kelakuan guru yang rasanya tidak bisa meli-
hatku hidup lebih damai.
“Kalo yang lain bisa, kenapa harus gue?” ucapku
penuh dengan rasa kesal.
Dan yang menjadi masalahnya aku tidak tahu dimana
mejanya berada. Uhh buku ini berat sekali, ukurannya yang
besar dengan tubuhku yang kurus membuatku sedikit kes-
ulitan untuk mengangkatnya. Namun karena di kelas sudah
tidak ada siswa akhirnya aku pun memutuskan untuk tetap
pergi membawa buku itu ke ruang guru. Aku berjalan pelan
menuju ruang guru yang berada di lantai satu tepat di bawah
ruang kelasku. Aku sedikit terkejut melihat Iva masih berdiri
di dekat tangga. Setelah aku tanya ternyata dia mengkhawa-
tirkan bukunya yang tadi ku pinjam.
‘Eh, tunggu. Bukankah dia termasuk anak yang rajin
dikelas?’ tanyaku dalam hati. Pasti dia tau dimana letak meja

59
bu Aisyah. Siapa tau dia bisa membantuku menunjukannya.
“Lo tahu mejanya Bu Aisyah?” tanyaku memberan-
ikan diri.
“Tahu lah, mau gue temenin?” jawabnya santai.
“Boleh.” Aku menjawab tak kalah santai. Untunglah
dia mau menemaniku jadi aku tak perlu bertanya lagi pada
guru lain di ruang guru. Aku akui hari ini Iva cukup mem-
bantuku. Di ruang guru banyak guru yang tersenyum ramah
kepada Iva, hal itu jelas berbanding terbalik denganku. Gu-
ru-guru memandangku dengan tatapan yang sangat sulit ku
artikan. Mungkin mereka heran mengapa murid sepertiku
bisa masuk ke ruang guru atau mereka asing dengan wajah-
ku? Ah, entahlah aku tak peduli.
Setelah keluar dari ruang guru, kita berjalan beririn-
gan menuju pintu gerbang. Terjadi keheningan diantara kita
berdua. Tak ada yang membuka percakapan. Kemudian ses-
uatu terbesit di kepala ku, Apa aku harus bilang terima kasih
ke dia? Setelah ku pertimbangkan sepertinya memang aku
harus berterima kasih layaknya orang yang habis diberi per-
tolongan.
“Makasih” hanya kata itu yang aku ucapkan. Iva terli-
hat terkejut dengan kataku barusan, dan ia kembali memper-
lihatkan senyum manisnya.
“Lo kenapa enggak mau berbaur dengan anak yang
lain?” tanyanya tiba-tiba. Aku jauh lebih terkejut dengan per-
tanyaannya barusan. Kenapa dia menanyakan hal itu? Apa
pedulinya dia denganku? Aku sesegera mungkin menormal-
kan wajahku dan berbalik bertanya kepadanya.
“Kenapa?” Tapi bukannya menjawab dia malah pergi.
Dia berlari dengan gaya yang aneh menurutku. Tunggu, apa

60
dia mulai perhatian kepadaku dan barusan aku melihatnya
salah tingkah. Ah bukannya memang hanya dia yang peduli
denganku? Aku terus melanjutkan langkahku menuju tempat
parkir dimana aku memarkirkan motor matic kesayanganku
tadi.
Sesampainya di rumah aku langsung merebahkan tu-
buhku ke kasur. Tak terasa aku telah terpejam kurang leb-
ih satu jam. Saat terbangun aku segera menyambar handuk
yang tergantung di belakang pintu dan pergi menuju kamar
mandi untuk membilas tubuh. Aku kembali ke kamar den-
gan tubuh yang lebih fresh dari sebelumnya. Aku berjalan
mendekati ranjang dan mendengar notif beruntun dari ap-
likasi WhatsApp di ponselku. Segera aku meraih ponsel yang
tergeletak di kasur.
“Apa sih, berisik banget” kataku pada diri sendiri
sembari membuka aplikasi berwarna hijau dengan gambar
telepon di tengahnya.
Alpha Squad
200 pesan belum terbaca.
082134271xxx : Gaes kelas kita mau didekor kaya
gimana?
082134271xxx : @Iva uang kas masih cukup buat de-
kor kan, Va?
Iva : Iya masih kok
“Gila 200 pesan nggak penting!” lagi-lagi aku beru-
cap sendiri. Siapa tidak geram, 200 pesan penuh perdebatan
entah memperdebatkan apa memekikan telinga. Aku semakin
heran dengan kelas ini, tidak di kelas, tidak di grup mereka se-
lalu berdebat jika ingin memutuskan sesuatu. Aku memencet

61
tombol back tanpa membaca lebih banyak apa isi chat di grup
itu. Kemudian aku menekan lama room chat bertuliskan Al-
pha Squad dilanjutkan dengan meng-klik tanda tong sampah
di pojok kanan atas.
Anda keluar
Yaa, aku keluar dari grup kelas karena sudah tak tah-
an dengan kebisingan yang mereka timbulkan. Yang ada grup
ini menganggu waktu ku untuk nge-game. Baru saja akan
membuka aplikasi Mobile Legends tapi ada notif WhatsApp
masuk.
“Arghh! Apalagi ini?” aku kembali mengerang.
“Perasaan gue tadi udah keluar grup deh” mau tidak
mau aku pun kembali membuka aplikasi WhatsApp berniat
ingin membisukan semua nomor yang ada. Namun aku terke-
jut ternyata bukan notifikasi dari grup. Melainkan ada nama
Iva terpampang di atas sendiri. Sedikit ragu aku membuka
pesannya.
Lo kenapa keluar dari grup kelas?
Emang kenapa?
Lo itu bisa nggak sih kalo ditanya nggak usah
balik nanya?
Berisik
Loh kok lo ngatain gue berisik sih
Bukan lo
Bukan gue? Terus siapa?
GC

62
Ooh, lagi-lagi lo menghindar dari temen-temen
yang lain.
Lo cerewet.
Ihh, kok lo ngeselin sih.
Gue bukan menghindar.
Kalo bukan menghindar apa namanya huh?
Gue cuma merasa keganggu aja. Lo pada ngeba-
has hal yang nggak penting. Ada atau enggak nya
gue di grup juga nggak berpengaruhkan? Selama
ini hidup gue juga baik-baik aja tanpa adanya
temen.
Bagaimana pun lo gak bisa kayak gitu Fa. Lo ma-
sih bagian dari kita, Alpha Squad. Kita nggak bisa dong
memutuskan sesuatu tanpa persetujuan bersama.
Gue udah terbiasa sendiri, dari kecil gua tinggal
sama nenek, orang tua gue sibuk kerja. Jadi pelari-
an gue ya ke game.
Grup bikin gue sakit kepala.
Gue netral. Terima apa aja keputusannya
Aku heran kenapa tiba-tiba dia peduli ke aku kayak
gini? Biasanya juga setiap ada acara apa apa mereka nggak
pernah minta persetujuan dari aku. Aku berniat ingin kemba-
li membuka aplikasi Mobile Legend yang sempat tertunda.
Namun sebelum aku menekan tombol back, popup dari Iva
muncul lagi.
Tapi lo juga butuh temen kan?

63
Kan udah ada lo
Aku tak berniat untuk membalasnya lagi. Kali ini
aku benar-benar kembali membuka aplikasi Mobile Legend.
Room chat Iva aku bisukan selama 8 jam. Sembari menunggu
loading, aku sempat berfikir kenapa aku begitu terbuka pada
Iva? Aku merasa setiap kali Iva bertanya kepadaku maka aku
akan dengan mudah menjawab setiap pertanyaanya dengan
sejujur-jujurnya. Tidak seperti teman-temanku yang lain.
Pernah beberapa kali Fadil bertanya mengenai alasan kenapa
aku sering membolos, tapi aku tidak bisa menjawab alasann-
ya dengan jujur.
Aplikasi game ini telah sempurna terbuka, aku tersa-
dar dari pikiranku dan langsung ku fokuskan pada game ML.
Inilah aku, jika sudah bergelut dengan dunia game, siapapun
tidak bisa mengganggu konsentrasiku.
Semakin hari entah kenapa aku lebih terbuka dengan
Iva. Aku dapat menceritakan semua yang aku alami den-
gan gamblang tanpa merasa takut dia akan membocorkan
semuanya. Padahal sudah tidak asing lagi bahwa Iva merupa-
kan keturunan Lambe Turah, alias suka ngegosip jika sudah
berkumpul dengan anak-anak perempuan lain. Aku merasa
dia beda dari yang lain. Entah apa yang membuat dia berbe-
da. Setiap tutur katanya mampu membuatku merasa membu-
tuhkan teman. Okee. Ini terdengar tidak nyambung. Namun
memang itu alasannya. Setiap pertanyaan-pertanyaan keciln-
ya mengenai masalah yang aku hadapi, membuatku merasa
masih ada satu manusia yang peduli denganku.
...

64
65
66
“Mungkin aku bukan siapa-siapa di-
hidupmu. Tapi aku mencoba jadi yang
ada di dalam hatimu”
– Iva –
...

67
PRAMUKA

Sudah menjadi kewajiban setiap pelajar mengikuti


pembelajaran hingga berjam-jam. Ada yang hanya lima jam
setiap harinya, ada yang enam jam, bahkan sampai delapan
jam. Seperti sekolahku ini. Tak hari biasa tak hari Jumat pu-
langnya tetap sama. Duduk berjam-jam mendengarkan pen-
jelasan dari guru. Mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak
suka, ya itulah kewajiban seorang siswa.
“Bokong panas, mata ngantuk, badan lelah, dan ban-
yak hal yang selalu dieluhkan. Ini masih taraf mudah. Be-
lum apa-apa. Uang masih minta sama orang tua, makan ma-
sih disediain oleh orang tua. Kita tinggal menjalani. Jalani
dengan penuh rasa syukur, maka semuanya akan terasa cepat
dan kalian akan merasakan manfaatnya kelak jika kalian su-
dah terjun ke kehidupan yang sebenarnya, yaitu ketika ka-
lian sudah lulus dari sini. Nasib kalian, kalian sendiri yang
menentukan. Maka gunakanlah kesempatan yang ada den-
gan sebaik-baiknya” nasihat Bu Uswatun wali kelasku disela
pembelajaran.
Bel sekolah berbunyi tanda pelajaran telah usai.
“Pelajaran hari ini cukup sekian, kita lanjutkan kem-
bali minggu depan.” Kata Bu Uswatun menutup pelajarann-
ya.
“Iya bu...” jawab siswa serempak. “Terima kasih Bu
Uswatun InsyaaAllah ilmu yang diberikan bermanfaat.” Lan-
jut siswa.
“Iya sama-sama, Wassalamu’alaikum wr.wb.” jawab

68
Bu Uswatun.
“Wa’laikumussalam wr.wb.” jawab siswa kembali.
Setelah Bu Uswatun pergi aku merapikan meja dan
memasukkan buku-buku pelajaran yang telah selesai ke da-
lam tasku sembari bergegas untuk pulang. Namun, tiba- tiba
saja terdengar suara pengumuman dari speaker yang tersam-
bung ke setiap kelas.
“Assalamu’alakum wr.wb. Pengumuman ditujukan
kepada siswa kelas X SMKN 1 Bawang bahwa besok hari
Jumat sepulang sekolah akan diadakan ekstra pramuka un-
tuk itu siswa kelas X diwajibkan mengikuti ekstra pramuka.
Wassalamu’alaikum .wr.wb.”
Suasana kelasku mulai terdengar bising seperti pas-
ar. Mereka semua brisik membahas kegiatan pramuka yang
akan diadakan besok. Karena ini ekstra pramuka yang diada-
kan pertama kali untuk siswa kelas X. Hal ini yang membuat
teman-teman sekelasku beradu argumen mengenai pramuka
besok. Ada yang menyukai pramuka namun ada yang tidak
menyukainya, ada yang senang namun ada pula yang tidak
senang termasuk diriku.
“Wah... pramuka? Untuk apa pramuka tidak ada gu-
nanya.” Kata Azka seakan tidak menyukai pramuka.
“Loh... emangnya kenapa? Pramuka enak kok, dari
pramuka kita bisa belajar banyak hal dan kita juga bisa berse-
nang-senang.” Jawab Yuni dengan kesal karena tidak setuju
dengan pendapat Azka.
“Itu sih menurut lo, kalau menurut gue biasa aja tuh.”
Jawab Azka dengan santai.
“Terserah!” jawab Yuni mulai kesal.

69
Mendengar mereka mempermasalahkan kegiatan
pramuka besok, aku acuh tak memperdulikanya dan memi-
lih mengambil tasku lalu pergi meninggalkan kelas untuk
pulang. Dari dulu sampai sekarang aku tidak suka dengan
yang namanya pramuka, mendengarnya saja aku sudah muak,
bagiku pramuka itu membosankan.
Di tengah kebisingan kelas yang mempermasalahkan
pramuka, di depan pintu saat akan ke luar tak sengaja aku
berpapasan dengan Iva.
“Mau kemana lo?” tanya Iva kepadaku.
“Pulang.” Jawabku dengan singkat tanpa aku meli-
hatnya,
Bergegaslah aku jalan menuju parkiran, saat berjalan
aku melihat teman lain berjalan berdampingan dengan ses-
ama teman, berjalan sambil bercengkraman bersama, dan
pulang bersama. Hal itulah yang kadang membuatku iri. Na-
mun apalah daya, memang ini kehidupanku tak seperti orang
lain. Tak mau ambil pusing aku berjalan kembali. Sampai di
parkiran ku pakai helm, ambil kunci dan nyalakan mesin mo-
tor, tancap gas lalu pergi keluar melewati gerbang mening-
galkan sekolah.
Ketika aku sedang menikmati hembusan angin semil-
ir membelah wajahku, mataku tertuju pada warteg Bu Emi.
Tempat yang enak buat nongkrong dan serasa rumah kedua
bagiku. Lapar pun melanda, aku memilih mampir ke warung
Bu Emi untuk menikmati nasi ramesnya. Ternyata di dalam
warteg sudah ada Tio yang sedang menyantap makanannya.
“Hai.. Fa.” Tio menyapaku.
“Hai..” aku membalas sapaan Tio.

70
“Duduk bro.” Menyuruhku duduk di sebelahnya. Aku
duduk di sebelahnya dan memesan nasi rames dengan minu-
man es teh.
“Eh, bro.. ngomong-ngomong besok akan diadakan
ekstra pramuka tuh. Menurut Lo gimana? Kalau gue si males
banget suruh ngikut.” Cerita Tio kepadaku.
“Sama. Gue juga males ikut pramuka karena SMP gue
dulu jarang diadakan ekstra pramuka dan bagiku itu mem-
bosankan” Jawabku.
“Bener tuh, mending nggak usah ikut deh, minggat
lagi aja yuk..” ajak tio kepadaku. Lagi-lagi Tio mencuci otak-
ku. Dia kembali mengajakku minggat. Padahal kemarin baru
saja kena hukuman.
“Baru kemarin-kemarin kita minggat dan dihukum
sekarang mau minggat lagi?” Jawabku sedikit menolak aja-
kan tio.
“Ya elah cuma dihukum 1 kali aja udah takut.” Kata
Tio
“Bukanya gue takut tapi gue kan harus hati-hati”
Jawabku dengan santai.
“Ini kan cuma ekstra, nggak ada hubungannya sama
pelajaran. Jadi nggak perlu dipikirin bro.” Kata Tio sampil
tertawa.
“Betul juga yah, kalau pun mau minggat nggak perlu
seribet kemarin. Tapi, gimana yah.” Pikirku dalam hati den-
gan perasaan bimbang.
“Nanti deh gue pikir-pikir lagi.” Jawabku

71
Pesanan yang ditunggu tunggu akhirnya datang juga.
Perut lapar akhirnya dapat dikendalikan dengan menyantap
nasi rames yang terbilang murah namun tidak diragukan lagi
rasanya. Benar-benar enak seperti makanan di restoran dan
minumannya dapat melepas dahaga yang melanda diriku ini.
Sesampai di rumah aku terus memikirkan apakah
aku akan ikut pramuka atau minggat bersama Tio. Tapi aku
memilih untuk mengikutinya walaupun muak aku mencoba
menikmati bagaimana pramuka dilaksanakan di SMK untuk
pertama kalinya.
...
Keesokan harinya, waktu menunjukaakan bahwa
apel pramuka akan dilaksanakan. Hari pertama pramuka kui-
kuti, dengan rasa muak ku nikmati. Siswa kelas X berbaris
menurut kelas dan jurusannya. Siswa laki-laki dan perem-
puan pun terpisah. Petugas apel mulai menempatkan diri.
Apel mulai dilaksanakan.
“Siiiaaaaap grak! Istirahat di tempat grak.” dengan
suara lantangnya Pimpinan apel menyiapkan pasukannya.
Pembina apel mulai menyampaikan amanatnya. Menyam-
paikan kata demi kata yang tiada hentinya sehingga mulai
membuatku merasa jenuh dan ingin ku keluar dari barisan
ini.
Pramuka selalu menjadi sebuah kegiatan paling mem-
bosankan dalam sejarah menempuh pendidikan. Selalu ada
game dalam pramuka yang benar-benar tidak bermutu dan
selalu membawaku pada sebuah ‘hukuman’ karena tidak bisa
melewati game aneh itu. Termasuk saat ini, berdiri di depan
kelas menunggu instruksi para DA. Dan ada yang berbeda
hari ini, bukan hanya aku yang di hukum, tapi aku bersama
seorang perempuan yang kini ku lihat dia tengah tersenyum

72
ke arah teman sebangkunya yaitu Nuha, salah satu teman se-
kelasku. Ya, aku bersama Iva. Hanya berdua, di depan teman
sekelas.
“Nah, mau kasih hukuman apa nih pas buat couple
hari ini?” ledek salah satu kakak DA yang membuat riuh
teman-teman sekelas.
“Love shot..” teriak semua teman sekelasku.
“Wah, apaan itu love shot?” tanya kakak DA kepada
salah satu temanku.
“Itu loh kak, meminum air sambil tangannya ganden-
gan. Nih aku ada gelas dua buat minum air galon tadi bisa
dipakai nih.” Jawab salah satu temanku dan memberikan ge-
lasnya kepada kakak DA.
Aku dan Iva sontak kaget karena baru mendengarkan
hukaman games semacam itu. Anak perempuan yang pencin-
ta drama korea sudah tak asing dengan permainan semacam
itu.
“Jangan ah.. jangan itu ganti yang lain aja.” Iva meno-
lak hukuman itu. Aku juga menolak hukuman tersebut sambil
geleng-geleng kepala beberapa kali.
“Nggak apa-apa kok, Cuma satu minum air doang
sekali” Kakak DA memaksa kami berdua.
Dengan perasaan malu-malu kita pun meminum air
putih yang telah disediakan dengan tangan bergandengan.
Sontak semua orang yang ada dikelasku meneriak dan men-
ertawaiku dengan berkata “Ciiee, ciiiieeee”.
Aku benar-benar malu dan menyesalinya, kalau mau
tau begini jadinya dari awal saja aku putuskan tidak ikut pra-

73
muka alias minggat.
Sejak kejadian itu, hari demi hari ku lewati. Ku
jumpai lagi hari Jumat, lagi, lagi, dan lagi. Namun hari Ju-
mat itu tak pernah satu pun kuikuti pramuka kembali. Aku
udah muak dengan kegiatan pramuka di sekolah. Hingga
akhirnya aku diberi peringatan oleh wali kelasku, namun tak
kuhiraukan, aku tetap minggat saat kegiatan ekstra pramuka.
Sampai-sampai aku menarik perhatian teman-temanku un-
tuk tidak ikut pramuka, sehingga satu persatu teman kelasku
mengikuti jejakku untuk minggat pramuka.
...

74
75
76
“Karakter seseorang itu berbeda-be-
da. Seberapa kuat kau berusaha untuk
mengubahnya jika tidak dari dirinya
sendiri usahamu akan sia-sia”
– Alfa –
...

77
PENDIDIKAN KARAKTER
dan PEKAN DISIPLIN

Matahari bergerak dari ufuk Timur ke ufuk Barat


menyisakan senja menciptakan goresan indah di langit. Siang
telah berganti malam, matahari pergi ketika bulan datang.
Bulatan besar dengan cahaya terang menggantung indah di
langit sana.
Libur kenaikan kelas telah usai. Itu artinya besok aku
akan kembali ke dunia sekolah dan berganti status dari kelas
10 menjadi kelas 11. Di malam hari ketika aku ingin mem-
buka laptop untuk main games, tiba-tiba handphoneku berd-
ering menandakan ada pesan masuk. Aku membuka aplikasi
WA ternyata aku menerima pesan dari Iva. Dia memberita-
huku bahwa akan diadakan acara rutin setiap tahun bagi kelas
11 yaitu Pendidikan Karakter dan Pekan Disiplin atau biasa
disebut PK/PD selama 5 hari dimulai dari hari Senin esok.
“Ahhh sial” kataku setelah membaca pesan bahwa
besok harus sampai sekolah pukul 6.30 untuk apel pemba-
gian pita dan pembukaan PK/PD. Aku tak membalas pesan
darinya. Aku letakan ponselku di atas nakas dan kembali
membuka laptop untuk melanjutkan nge-games.
Pagi hari ketika aku sampai di sekolah, aku meletakan
motor matic ku di tempat parkir lalu berjalan menuju lapan-
gan. Terlihat beberapa anak juga berniat ingin menuju lapan-
gan untuk mengikuti apel pagi. Kedatangan kami seakan dis-
ambut oleh sederetan anak-anak Patroli Keamanan Sekolah
(PKS) dengan tatapan bak elang mengincar mangsanya. Aku
merasa gelisah ketika salah satu anggota PKS yang berjaga

78
menatapku dengan wajah sangar. Dia menatapku dari atas
sampai bawah entah apa yang ia perhatikan dari tubuh kuru-
sku ini. Aku terus berjalan melewatinya dengan memasang
ekspresi sedatar mungkin. Namun tiba-tiba PKS mengham-
piri dan menghentikan langkahku.
“Hei, berhenti dan rapatkan kaki!” katanya dengan
nada tinggi. Akupun berhenti dan menengok ke sumber suara
dengan wajah bingung.
“Selamat pagi. Tolong sebutkan nama lengkapnya!”
ucapnya memerintah. Hey, siapa dia berani sekali dia ber-
tanya nama lengkapku. Curiga dengannya aku pun memban-
tahnya.
“Gak mau!” jawabku santai dengan tampang acuh,
tak takut sedikitpun dengan tubuh kekarnya.
“Cepat sebutkan nama kamu!” ucapnya lagi kali ini
suaranya naik beberapa oktaf.
“Siapa lo?” jawabku mulai geram. Apa salahku hing-
ga aku dicegat tanpa sopan santun sedikitpun seperti ini.

“Apa salah gue?” tambahku lagi.


“Heh. . . Celana ciut, rambut panjang, kulitnya dekil
lagi. Sok nggak tahu salahnya apa?!”
Malah, nolak dicatat!” jelas laki-laki bertubuh kekar itu.
“Bacod lu. Ngaca! Tuh baju juga press body!” aku
menjawab tak kalah sengit. Geram sekali aku pada PKS ini,
guru saja tidak berkomentar dan siapa juga yang celananya
dipensil. Minus kali tuh bocah. Dia diam tak lagi menjawab
lalu pergi meninggalkan aku. Aku melanjutkan langkahku tak
peduli dengan tatapan orang-orang yang melihat perdebatan

79
kecil tadi.
...
Kurang lebih tiga puluh menit akhirnya apel pagi
selesai, semua siswa dibubarkan kecuali kelas 11 karena ada
pengumuman tambahan untuk teknis kegiatan PK/PD yai-
tu pembagian lokasi untuk pelatihan PK/PD. Kelasku yaitu
Akuntansi 1 mendapat tempat di lapangan Gemuruh. Kegia-
tan PK/PD merupakan kegiatan rutin setiap tahun ajaran baru
khusus untuk kelas 11. Kegiatan ini bertujuan untuk mela-
tih kedisiplinan dan membentuk karakter seluruh siswa agar
dapat lulus dengan attitude yang baik yaitu dengan latihan
baris berbaris, pelatihan semi militer, serta latihan PBB va-
riasi yang akan dilombakan pada hari Senin mendatang. Tak
tanggung-tangguh, seluruh siswa kelas 11 yang mengikuti
PK/PD dilatih langsung oleh beberapa anggota TNI yang di-
datangkan ke SMK.
Setelah seluruh kelas telah mendapat lokasi untuk
pelatihan, salah satu anggota PKS yang meng-handle kelasku
mengambil alih pasukan,
“Siiaapp grak!” instruksinya diikuti seluruh siswa.
“Seluruhnya maju jalan!” lanjutnya mengisyaratkan kita un-
tuk menuju ke lapangan Gemuruh.
Ketika sampai di sana para TNI telah menyambut
kami. Kami disuruh untuk melakukan pemanasan terlebih
dahulu kemudian dilanjut dengan sedikit latihan fisik seperti
push up, sit up, jumping jack, lari memutari lapangan seban-
yak 10x, bahkan berguling di lapanganpun turut diperintah-
kan. Setelah pemanasan kami diajari gerak dasar dalam baris
berbaris.

Hari semakin terik. Matahari seperti membuka mata

80
menumpahkan segala panasnya tepat di atas kepala. Keringat
menetes ke pelipis, aku mengusapnya dengan punggung tan-
gan kanan, bajuku basah dengan keringat.
“Aahh gue lapar. belum makan dari tadi pagi” kataku
di dalam hati.
Tepat pukul 11.30 seluruh siswa diperbolehkan kem-
bali ke sekolah untuk shalat dhuhur dan apel siang. Setelah
apel siang selesai, seluruh siswa kelas 11 dipersilahkan untuk
kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat dan meny-
iapkan fisik untuk hari besok.
“Tau gini gue ga berangkat” kata ku kepada Fadil saat
kita menuju ke tempat parkir. Fadil berniat ingin pulang ber-
samaku siang ini.
“Jangan begitu Fa. Ini kan demi melatih kedisiplinan
kita” jawab Fadil sambil memegang pundak ku. Sedang ke-
tempelan setan apa seorang Fadil berkata seperti itu?

...

Lima hari sudah berlalu sejak hari Senin. Itu artin-


ya dua hari lagi lomba PBB variasi akan dilangsungkan dan
dipertontonkan kepada seluruh warga SMK. Untuk lebih me-
matangkan gerak PBB variasi, Tasya selaku orang yang dise-
gani di kelas mengusulkan bahwa hari ini dan besok yaitu
hari Sabtu dan Minggu agar kita berangkat ke sekolah un-
tuk latihan sendiri tanpa bimbingan dari TNI. Ahh jika hari
normal saja aku malas sekali berangkat bagaimana aku akan
berangkat pada hari libur. Aku lebih memilih menghabiskan
waktu di rumah dengan games di laptop. Berjam-jam aku ha-
nya berkutat dengan laptopku. Sesekali aku berteriak sendi-
ri geram dengan games yang sedang aku mainkan. Tiba-tiba
ponsel yang sedang aku charger berdering.

81
Drrrtt . . .

Ternyata pesan dari Iva. Aku mem-pause games di


laptop dan membaca pesannya,
Fa kenapa lo nggak berangkat?
Gpp
Lo sakit?
Ga. Males aja
Lo harus berangkat besok Senin. Biar anggotanya nggak
kurang
Aku hanya membaca pesan terakhirnya tak berni-
at untuk membalas. Besok? Berangkat? Kalo mau, batinku
setelah membaca pesannya. Pikiranku memerintahkan aku
untuk membolos besok. Aku memilih untuk membolos kare-
na penampilan mereka akan lebih baik tanpa aku dari pada
aku berangkat tapi tidak tau apa yang harus aku lakukan.
Karena saat latihan PBB variasi dihari sebelumnya aku tidak
pernah memperhatikan dengan serius setiap gerakan yang
diajarkan.
. . .

82
83
84
“Hitamku menemukan warnanya,
seperti hal nya aku yang mene-
mukan dirimu.”
...

85
TERLAMBAT

“AAAAAA.... TIDAKKK....” teriakku seraya men-


jauhkan diri dari truk hijau yang melaju kencang mendekati-
ku dan kurasa ini semua sudah terlambat.
BRAKKKKK...
Tubuhku terpelanting jauh menggesek aspal dan
seketika aku terkapar berlinang darah berkat hantaman truk
hijau itu. Ku dengar seseorang memanggilku dari jauh,
“Alfaaaaaa.... Bangunn.... Alfaaaaaaa” kupaksakan
diri untuk membuka mata.
Kubuka mataku dan kulihat dipelukanku ada bantal
berwarna biru bergambar Doraemon yang menyadarkan ku
bahwa itu semua hanya mimpi.
“Ah mimpi... Berarti tadi suara nenek ya?” aku ter-
diam sambil mengumpulkan nyawa berusaha melawan gravi-
tasi kasur yang begitu kuat.
Kulangkahkan kaki ku ke kamar mandi dengan san-
tai seakan waktu yang terus berputar tak ada artinya. Kata
teman hidupku abu abu atau bahkan hitam, tidak berwarna
membosankan. Hidup dengan kesan itu bagi sebagian orang
mungkin menyebalkan tapi aku bahagia, ini kebahagiaanku
yang belum tentu orang lain bisa merasakannya atau sanggup
melakukannya. Dengan kesan ini, ku bebas melakukan apap-
un. Tanpa perlu berpusing ria dengan tanggapan satu orang
dan orang yang lain, karena sejatinya hidup ini tak selalu be-
nar dan semua orang tak selalu menyukaimu bahkan hal yang

86
kita lakukan itu baik bisa juga dipandang jelek oleh orang
yang tidak menyukai kita. Atau terkadang kita tidak disukai
oleh seseorang entah karena alasan apa tentu membingung-
kan. Tapi aku merasa dengan hidupku ini aku tidak perlu sep-
erti orang lain yang memfikirkan hal tersebut.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 07.30 saat aku
sampai di sekolah, dari kejauhan kulihat seorang perempuan
dengan pakaian sepertiku sedang berdiri di depan gerbang.
Ku pikir, mungkin ia juga telat sama seperti ku. Berjalan terus
dengan santai tanpa beban, telat adalah makanan sehari hari
ku. Telat lebih baik dari pada kegemaranku yang suka mem-
bolos. Lama aku berjalan terlihat di pos satpam tak ada orang
yang berjaga, tumben dan kenapa gadis itu tidak manjat saja
kupikir. Mendekat dan terus mendekat , perempuan itu seper-
ti tidak asing sepertinya ia teman sekelasku atau entah siapa.
“Alfa....” Panggilnya sembari menolehkan wajah.
Oh dia anak pintar itu , ternyata anak pintar bisa telat juga
ya. Ah tapi pasti ia tidak sengaja terlihat dari wajahnya yang
penuh kecemasan seperti khawatir akan suatu hal. Padahal
untuk apa dia cemas, kalau tidak boleh masuk tinggal pulang
saja gampang kan
“Alfa.. Kok diam saja sih, kamu telat juga?” tanyanya
sekali lagi.
“Iya” jawabku.
“Aku takut sekali nih, takut barangkali kita tidak
boleh masuk. Coba dong Fa nanti kalo pak satpam datang
kamu ya yang membujuk. “ pintanya.
“Nama lo siapa?” tanyaku memastikan..
“Apa?? Kita kan sekelas. Hmmm aku Tasya, kamu

87
amnesia yaa. Masa teman sekelas lupa si.” katanya.
“Lo mau ikut gue?” tawarku.
“Kemana?” Jawabnya.
“Lewat jalan rahasia, ayo cepetan sebelum penjaga
pintu neraka datang. Bukannya lo takut nggak bisa masuk
sekolah” kataku.
“Iya Alfa aku ikut kamu.” Anak pintar itu pun menyu-
tujui.
Ku ajak ia pergi melewati jalan rahasia agar bisa
masuk ke dalam sekolah. Tasya mengikutiku dalam diam,
mungkin ia bingung kenapa harus berjalan dengan jauh dan
melewati sawah. Atau mungkin ia takut aku berbohong atau
macam macam.
Disinilah aku dan Tasya, di pagar sekolah bagian
samping. Dekat dengan sawah dan sungai, berada di bagian
belakang, serta dengan kondisi pagar yang tidak begitu tinggi
menjadi hal menguntungkan bagi para anak anak bandel se-
kolah untuk membolos atau telat. Meskipun baru satu tahun
aku di sekolah ini, anak seperti ku tidak kesulitan untuk me-
nemukan lokasi-lokasi strategis karena beberapa waktu lalu
aku sempat mengelilingi sekolah. Dan memanjat pagar bagi-
ku bukan hal sulit tapi lain lagi bagi Tasya yang termasuk
siswa rajin dan pandai yang pasti ini adalah bukan dirinya
sekali.
“Lo duluan yang manjat gue tunggu disini” suruhku.
“Tapi aku takut” katanya.
“Jangan manja, cepetan gue pegangin.” suruhku se-
dikit memaksa.

88
Sebenarnya aku nggak tega tapi bagaimana lagi disini
tidak ada tangga dan ini jalan satu satunya, Ada jalan satu lagi
yaitu melewati sekolah tetangga tetapi kurasa itu beresiko dan
memalukan. Dengan perdebatan yang sulit dan Tasya yang
terlihat begitu enggan, kini ia pun memaksakan diri meman-
jat pagar sekolah. Sepertinya ini adalah pengalaman pertama
baginya yang ia merasa begitu takut melebih ketakutkan dari
membuat jurnal yang tidak balance. Ku yakin Tasya berfikir
kemarin ia baru saja melaksanakan PKPD yang mengajarkan
tentang kedisiplinan, dan kini ia sudah melakukan hal yang
menyimpang dari ajaran kemarin.
Tetapi melihatnya yang sedang ketakutan meman-
jat pagar menjadi hiburan tersendiri buatku, aku merasa in-
gin tertawa melihat cewek di depanku ini. Melihat ekspresi
ketakutannya dan badannya yang begitu gemetar membuat
tawaku yang sudah lama tenggelam kembali terbit. Aku pikir
rasa humorku sudah bertambah rendah, hal yang tak perlu ku
lakukan membuatku melakukannya walaupun di dalam hati.
GEDEBUG!!!!
Suara apa itu? begitu mengagetkan. Apa Tasya jatuh?
Segera saja ku lompati pagar yang bukan apa apa
buatku, aku terbiasa melakukan hal ini. Orang lain memang
memandangku siswa pendiam, tapi kurasa aku adalah siswa
yang diam diam menenggelamkan, kerana menghanyutkan
sudah begitu biasa untukku.
Benar saja, yang kufikirkan terjadi, cewek pintar itu
yang sialnya selalu membuatku tertawa benar benar jatuh,
posisi terjerembab dengan kepala menghadap ke tanah. mem-
buatku ingin tertawa terbahak bahak. Tapi tak ku lakukan,
aku masih memiliki hati untuk tidak melakukan itu. Aku ti-
dak akan tertawa diatas penderitaan orang lain.

89
Jadi ini, akhir kejadian telat bersama anak pintar dan
polos. Begitu menyenangkan dan membuatku ingin mengu-
langinya lagi...
Hari itu menyadarkanku bahwa burukpun bisa menjadi
menyenangkan.
...
Cahaya yang masuk melalui celah jendela membuat
mataku terbuka, ku edarkan pandangan ini ke sekelilingku
mencari benda berbentuk bulat dengan angka dan jarum yang
terus berputar. Ahh... itu dia ku lihat waktu telah menunjuk-
kan pukul 6. 30 terbesit pikiran tempat yang membosankan
yaitu SEKOLAH, berhadapan dengan tugas tugas yang mem-
buatku malas, dengan teman yang terkadang membuat aku
tak nyaman.
“Arggh… Brisikk banget sii” geramku sambil menar-
ik satu bantal dan ku letakan di atas kepala tepat di telinga.
Akupun kembali melanjutkan tidurku yang sempat terganggu
oleh suara alarm itu. Tak begitu lama, aku terbangun menden-
gar suara ayam yang berkokok.
Kukuruyukkk ...
“Ahhh...siaalll” gumamku lagi sambil mengusap-us-
ap mata dan melirik jam yang berada tepat di samping tempat
tidurku. Waktu menunjukan pukul 06.10 dengan rasa malas
aku beranjak dari tempat tidurku dan ku ambil handuk putih
yang tergantung rapi di kursi belajar. Sambil berjalan santai
sesekali menggaruk-garukan kepala menuju kamar mandi.
Tak butuh waktu lama aku mempersiapkan diri untuk ke se-
kolah. Cukup 5 menit aku mandi, 5 menit untuk pakai baju,
dan aku tak perlu sarapan.
“Ohhh malasnya berangkat sekolah” kataku pada diri

90
sendiri sambil menghidupkan motor dan pergi meninggalkan
rumah nenek. Tepat pukul 07.00 aku sampai di sekolah tepat-
nya di depan ruang kelasku. Aku membuka pintu kelas dan
berjalan dengan percaya diri menuju tempat duduk ku. Tetapi
baru beberapa langkah aku berjalan aku merasa ada seseo-
rang yang memperhatikanku dari kejauhan akupun melirikan
sedikit mataku ke arah orang tersebut sambil terus berjalan.
Pelajaran pertamapun dimulai yaitu pelajaran Kom-
puter Akuntansi yang diajar oleh Pak Purna. Tapi waktu
sudah menunjukan pukul 07.30 beliau tak kunjung datang.
Suasana kelaspun kacau seperti pasar pindang dan tak lama
kemudian Tasya berdiri di depan kelas dan berteriak,
“Teman-teman minta perhatiannya sebentar” serunya
namun semua siswa masih sibuk dengan kegiatannya mas-
ing-masing.
“Teman-teman, woyy!!” serunya lagi dengan nada
naik beberapa oktaf.
“Teman-teman Tasya mau ngasih pengumuman to-
long diperhatiin. Tolong hargai orang yang lagi berbicara
di depan!” Kali ini Iva yang bersuara. Semua siswa terdiam
dan memperhatikan, kecuali aku yang masih sibuk menatap
handphone namun aku mendengar apa yang disampaikan di
depan.
“Teman-teman ada tugas dari Pak Purna” ucap Tasya
memulai menyampaikan tugas yang diamanatkan ke dia.

“Yahhhh!!” eluh yang lain mendengar bahwa ada tu-


gas dari Pak Purna.

“Iyaa. Pak Purna tidak berangkat, tugasnya suruh

91
mengisi transaksi di aplikasi MYOB. Soalnya sudah aku
share di grup ya” lanjut Iva membantu Tasya menyampaikan.
Sekilas aku melirik ke arah depan. Aku dapati dia seperti me-
lirik ke arahku. Aku kembali fokus pada games di handphone.
“Kerjakan di lab aja nanti hasilnya dikopi di flash-
disk”

Perlahan satu peersatu anak mulai meninggalkan ke-


las untuk menuju ke lab Akuntansi yang masih satu gedung
tak jauh dari kelasku. Sesampainya di lab, hampir semua
menyalakan komputer yang tersedia di sana namun hanya
sedikit yang benar-benar mengerjakan tugas yang diberikan.
Salah satunya adalah Tasya dan Iva.

“Mending main game” sahut Fadil tak peduli.


Karena Pak purna tidak berangkat suasana lab tak
jauh berbeda dengan suasana kelas tadi. Kacau. Bahkan bisa
dibilang sangat kacau. Bisa dibayangkan bagaimana kacaun-
ya ruang kelas Xl Akuntansi 1 yang didominasi oleh kaum
hawa. Ada yang tidur, ada yang main handphone, ada yang
selfi-selfi sendiri, ada yang menggosip, ada yang ke perpus
dan ada juga yang main game, bahkan ada yang memanfaat-
kan fasilitas dengan membuka youtube di computer yang ter-
sedia. Tugas Pak Purna pun tak dihiraukan dan mereka sibuk
dengan kegiatannya masing-masing.
Tak mau melewatkan kesempatan, aku beserta anak
laki-laki lainnya yaitu Fadil, Aye, Ilham, dan Azka memilih
untuk bermain game Mobile Legend.
Permainanpun dimulai...
Welcome to the Mobile Legend

92
“Savege... savege...savege” ucapku sambil berteriak.
“Good game... good game”
“Arghhhh...”
“Serang lord... serang “
“Ciaaaaaa... haaa “
“Yahh... kalah” eluhku mengakhiri permainan dengan
menekan tombol back pada ponsel. Aku meletakan ponselku
di atas meja. Aku merasa ada yang memperhatikan. Akupun
menolehkan kepalaku sambil ku gerakan kedua bola mataku
ke arah kiri untuk memastikan siapa yang memperhatikanku,
dan
Deggg... Tanpa sengaja kedua mataku saling berpa-
pasan dengan wanita itu yang tak lain adalah Iva. Aku merasa
canggung. Iva yang terlebih dulu memalingkan pandangan-
nya mungkin kaget dan tersipu karena tatapannya kepergok
olehku. Aku masih memperhatikannya. Untuk menutupi
malunya ia sesekali membaca buku yang ada di hadapannya.

“Iva kenapa ya?” batinku sesaat setelah melihat ting-


kahnya. “Ah sabodo”.
Kemudian terbesit diotakku daripada aku tidak ngapa-ngapa-
in lebih baik aku ngopi saja tugasnya yang pasti sudah diker-
jakan.

Aku berjalan mendekat ke bangkunya, lalu berdiri di


samping kanan, dan menyapa,

“Va” sapaku sambil menyentuh bahu kanannya. Dia


terkejut lalu menoleh,

93
“Ehh. Fa” jawabnya dengan muka sedikit syok.

“Kenapa?” tanyanya setelah sadar.

“Boleh ngopi Myob nya nggak?” tanyaku langsung


to the point.

“Boleh. Nih” jawabnya sambil menggeser tempat


duduk mempersilahkanku untuk mengopi sendiri file Myob
di komputernya.
Tak berapa lama akhirnya jam pelajaran Komputer
Akuntansi selesai, dan tugaspun sudah terkumpul rapi di da-
lam satu folder pada flashdisk. Waktu yang ditunggu-tung-
gu siswa akhirnya datang juga yaitu waktu istirahat. Kenapa
tidak, waktu istirahat digunakan siswa untuk pergi ke kan-
tin membeli makanan dan minuman, serta isoma. Berang-
sur-angsur anak-anak kembali ke kelas tak lupa mematikan
komputer sebelum meninggalkan lab akuntansi.
Saat aku asik duduk sendirian sambil main game, Iva
datang menghampiriku yang mana di ruang kelas hanya ting-
gal kita berdua saja.
“Lo nggak nyusul anak laki-laki ke kantin?” tanya dia
saaat sampai di dekat mejaku.
“Nggak. Males” jawabku seadanya masih menghadap
pada layar ponsel.
“Alfaaa... Istirahat itu untuk makan bukan untuk main
game entar kalo lo sakit gimana” ucapnya tiba-tiba sambil
berusaha merebut ponsel yang sedang aku mainkan.

“Eh. Apa-apaan sih” aku berusaha mempertahankan


handphone di tanganku supaya tidak diambil olehnya.

94
“Kenapa tiba-tiba perhatian?” tanyaku spontan suk-
ses membuat dia terbengong.
“Eh. Kita kan teman, jadi sesama teman harus saling
perhatian dan saling tolong menolong. Bener kan kata gue?”
jawabnya sedikit ragu. Alasan yang masuk akal, pikirku. Aku
mengalihkan pandanganku dari ponsel ke wajahnya. Dia ter-
gagap lalu pergi ke luar kelas entah akan kemana dia.
Akupun melanjutkan bermain game yang tadinya
sempat terhenti dan tanpa aku sadari lagi dan lagi di balik pin-
tu kelas berwarna cream Iva memperhatikanku dari kejauhan
dengan tatapan penuh makna yang sangat dalam dan tergam-
bar dengan jelas diwajahnya ia tersipu malu lalu tersenyum
tipis sebelum dia benar-benar pergi menuruni lantai 2 gedung
A.
...

95
96
“Banyak pepatah yang menga-
takan bahwa hari ini harus lebih
baik dari hari kemarin dan hari
esok harus lebih baik dari hari ini.
Namun tak selamanya yang telah
lalu harus disesali dan yang akan
datang selalu ditunggu. Karena
waktu berjalan tidak ada yang tau
kapan berakhirnya”

-Alfa-
...

97

AKU KECIL

“Kepada seluruh siswa jurusan bismen karena wak-


tu hampir memasuki pukul 06.00 maka dari itu siswa di-
harapkan untuk segera berkumpul di halaman sekolah untuk
melaksanakan apel pagi.” suara Pak Fendi yang terdengar
melalui pengeras suara yang terpasang di setiap sudut-sudut
kelas.
Salah satu kebiasaan anak kelas XI Akuntansi 1 yaitu
saat ada pengumuman untuk segera berkerkumpul masih si-
buk sendiri di kelas.
“Woi!! cepetan keluar dah pada baris!.” seru Shelin
di ruang kelas meminta teman-teman keluar untuk segera
berkumpul.
“Sabar Shel sabar.” salah satu anak membalas seruan
Shelin.
Ruangan pun kosong semua siswa turun untuk ber-
kumpul di halaman sekolah. Seperti biasa sebelum apel
dimulai akan ada gladi bersih terlebih dahulu dan berbaris
menyesuaian ketinggian badan.
“Iva baris menyesuaikan tinggi badan dong” terden-
gar seruan salah satu anak ditujukan kepada Iva.
“Huh tadi kan perintahnya baris menyesuaikan tinggi
badan. Yang merasa tinggi di depan. Kan gue merasa tinggi
jadi gue baris di depan” balas Iva sambil bercanda. Namun
candaannya tidak berarti apa-apa bagi teman-temannya. Dia
justru didorong mundur secara paksa hingga dia sedikit ter-
huyung ke belakang. Aku melihatnya, hendak menolong tapi
tidak kuasa. Akhirnya aku hanya diam.
“Biasa aja dong!” ucapnya kesal.

98
“Salah siapa suruh mundur nggak mau” kata Wahyuni
santai.
Apel berjalan normal.
Satu jam kemudian...
Setelah pukul 08.00 semua siswa dibubarkan untuk
kembali ke kelas masing-masing melaksanakan pembelajaran
berikutnya seperti biasa, itu menandakan bahwa apel telah
selesai. Semua siswa berhamburan meninggalkan lapangan
bak jalan raya yang tidak ada lalu lintas untuk mengaturnya
jika diliat dari kelas atas. Laki-laki perempuan berebut berde-
sak-desakan ingin segera sampai ke kelasnya masing-masing.
Jam pembelajaran berikutnya dimulai, kelas sangat
hening saat salah satu guru memberikan materi pembelaja-
ran. Kebetulan materi yang disampaikan hari ini tentang se-
jarah pemberontakan menjelang proklamasi dimana setiap
siswa diminta untuk membuat sebuah puisi sejarah bersama
kelompoknya sesuai dengan tema yang diberikan.
“Pak itu puisinya bebaskan? Contahnya boleh yang
kaya gini ngga?
Mentari....
Senyum indah saat pagi..
Menyinari wajah tampanmu kala itu...
Boleh gitu nggak pak?” pertanyaan Iva saat halu
melanda.
Tawa siswa terdengar saat Iva membacakan puisinya
yang merubah suasana menjadi canda tawa yang menghibur.
“Apaan si Va, obat abis ya?” ucap Nuha teman se-
bangkunya.
“WAGU!” Azka mengomentari dari arah belakang.
Aku hanya diam mendengar semua menertawakannya.

99
“Puisinya bebas tapi bukan yang seperti itu. Puisin-
ya itu tentang sejarah Indonesia bukan pribadi. Contohnya
kelompok kamu dapet tema pemberontakan APRA berarti
kamu menceritakan tentang sejarah itu dan bahasa yang di-
gunakan boleh bebas tapi jangan yang menjelek-jelekkan ya”
jelas pak guru menjawab pertanyaan yang diajukukan Iva.
“Ooh..maaf” jawab Iva pelan namun masih terdengar.
Jam pembelajaran pun selesai dan terdengar bunyi bel
yang begitu syahdu yang selalu menggugah untuk beranjak
pergi dari tempat duduk menuju kantin. Seketika aku keluar
kelas sambil memberikan senyumannya kepada Iva saat me-
langkahkan kaki melewati tempat duduknya.
“Ish” terdengar Iva seperti berdecak kesal atau? Ah
entahlah.
Aku pergi menuju kantin bersama Aye, Fadil, Ilham,
dan Azka. Kita berjalan santai seperti biasa melewati bebera-
pa koridor. Kita menuruni tangga menuju gedung B. Berjalan
sambil bersenda gurau melewati koridor depan UKS. Ada be-
berapa anak perempuan yang sedang berjaga rutin di UKS.
Salah satu dari mereka menyapa Fadil diikuti dengan senyu-
man. Fadil menjawab ramah. Melihat anak PMR itu mengin-
gatkanku akan ektra PMR satu tahun lalu. Saat awal kelas 10
seperti apa yang pernah aku ceritakan sebelumnya bahwa aku
pernah mengikuti ekstra berompi merah ini.
Aku ingat awal aku masuk PMR aku dites akan pen-
gertian-pengertian tentang istilah dalam kesehatan, cara per-
tolongan pertama pada orang pingsan, cara menangani orang
yang sakit kepala, dan banyak lagi. Bisa dibilang aku berang-
kat ekstra semaunya sendiri. Ekstra ini rutin dilaksanakan
dua kali dalam satu minggu, yaitu hari Senin dan Kamis. Na-
mun aku hanya datang disalah satu hari itu atau bahkan tidak

100
sama sekali. Beberapa bulan menjadi kelas 10 tepatnya pada
bulan Agustus, waktu itu aku masih mejadi anggota PMR.
Kegiatan rutin setiap tahun yaitu perayaan HUT sekolah yang
ke 51, diadakan berbagai macam kegiatan selama 3 hari,
salah satunya yaitu karnaval. Rute perjalanan yang ditem-
puh dimulai dari Alun-alun Banjarnegara bergerak ke arah
barat menuju Prapatan Buntil tembus ke Pasar Wage terus
ke barat hingga finish di SMK. Berhubung rute yang ditem-
puh sangatlah jauh, aku memilih bergabung pada ekstra PMR
yang ditugasi untuk mengawasi peserta karnaval apabila ada
yang kecapekan atau bahkan pingsan. Khusus untuk anggota
PMR diperbolehkan untuk mengendarai sepeda motor. Dan
tugasku waktu itu hanyalah mengantarkan air mineral sekar-
dus untuk teman-teman kelasku yang berpartisipasi dengan
berbagai kostum. Ada yang berpenampilan seperti zombie,
seorang penari berpasangan ataupun ber-make-up layaknya
seorang putri. Dari 36 anak di kelasku, hanya aku yang tidak
ikut gabung dengan mereka.
“Fa!” suara Ilham menyadarkan lamunanku. Ternya-
ta aku sudah sampai di kantin. Aku mengikuti Aye menuju
bangku dekat dengan pintu masuk kantin, sedangkan Azka
dan Ilham memesan makanan seperti biasa. Fadil mampir ke
kamar mandi.
Tak berselang lama, makanan yang kami pesan, yaitu
nasi rames telah diantar ke meja yang kami duduki. Segera
kami menyantap dalam diam. Fadil telah kembali dari kamar
mandi dan langsung bergabung dengan kami. Saat sedang
asik menyantap nasi rames, segerombolan anak perempuan
dari kelasku terlihat memasuki kantin sambil bersenda gurau.
Ku lihat Iva juga ada disana. Beberapa dari mereka mendekat
ke meja kami dan sebagian lagi pergi menuju stand makanan
yang tersedia di kantin ini.
“Kalian makan apa?” tanya Iva mendahului. Belum

101
sempat dijawab, Nuha menimpali,
“Eh Fadil makan sendiri aja. Si Yunita nggak diajak?”
ucapnya bercanda. Pasalnya semenjak beberapa waktu lalu
tepatnya saat praktek pelajaran Agama Islam tentang Penika-
han, Fadil dipasangkan dengan Yunita dan menjadi bahan le-
dekan hingga sekarang.
Aku melihat Iva dengan tatapan nanar. Tatapan yang
aku sendiri tidak bisa mengartikannya. Aku merasa saat ini
aku perlu dia. Aku butuh seseorang yang mau mendengarkan
keluh kesahku. Aku butuh seseorang yang mampu menguat-
kanku dari semua masalah yang aku alami. Orang itu adalah
Iva. Ya, hanya Iva yang dapat membantuku dalam masalah
ini. toh sudah lama pula aku tidak curhat kepadanya.
Setelah membayar makanan ke ibu kantin, aku dan
keempat teman laki-laki ku bergegas untuk kembali ke kelas.
Saat aku berjalan menuju pintu keluar kantin, aku berpapasan
dengan Iva yang sedang membeli piscok di stand dekat pintu,
aku berhenti sejenak dan berbisik pelan di telinganya,
“Ntar aku mau curhat” tanpa menunggu dia mem-
balas, aku segera berjalan cepat menyusul Aye, Fadil, Azka,
dan Ilham.
. . .
Di rumah makan depan sekolah...
Aku dan Iva duduk berhadapan di salah satu meja
yang terdapat di RM ini. warung yang menyatu dengan ru-
mah, berdinding papan kayu, bercat hijau dan masih beralas
tanah ini bisa dibilang murah. Pasalnya satu porsi hanya Rp
3.000 dengan nasi dan lauk mengambil sendiri. Aku men-
gambil menu nasi putih, sayur kacang, dan lauk telur dadar
dengan es teh manis. Sedangkan Iva meengambil menu nasi

102
putih, sayur bayam, dan lauk ayam goreng serta minumnya
es milo.
Seperti janjiku pada Iva di kantin tadi, selepas bel
pulang berbunyi, aku langsung mengajak Iva pergi ke rumah
makan ini. dia tidak merasa keberatan. Aku belum memulai
percakapan sejak sampai di RM ini sampai makananku habis,
setelah itu baru aku memulai cerita sembari menunggu Iva
makan.
“Apa yang mau diceritakan Fa? Mulai aja” dia bertan-
ya sesaat sebelum aku hendak memulai.
“Gue bingung harus mulai dari mana” aku menjawab
sembari membuang nafas kasar.
“Ya elah kayak sama siapa aja” balasnya santai.
“Jadi gini, lo tau sendiri kan kalo orang tua gue udah
lama merantau di Kalimantan? Gue disini cuma bareng Bud-
he dan Nenek” aku memulai.
“Iya gue tau banget. Terus apa masalahnya? Bukan-
nya lo udah ngalamin itu dari dulu?” Iva menjawab den-
gan mengajukan pertanyaan. Dia memberhentikan aktivitas
makannya lalu menatap wajahku intens.
“Emang itu udah jadi makanan gue sehari-hari. Na-
mun lo tau sendiri kan akhir-akhir ini lagi banyak banget
pengeluaran buat ini itu. Lo ingat kemarin-kemarin aku ng-
gak berangkat hampir satu minggu?” ya memang minggu ke-
marin aku tidak berangkat hampir satu minggu tanpa alasan.
Aku tidak memberi tahu siapapun. Bahkan saat Iva bertanya
lewat WA aku tak membalas pesannya.
“Waktu itu gue nggak berangkat sampe satu minggu
karena orang tua gue nggak lagi ngirim gue uang. Aku harus

103
minta siapa? Nenek? Budhe? Nggak segampag itu. Makanya
gue memutuskan untuk alpa satu minggu” aku melanjutkan.
Iva sesekali menyuapkan nasinya ke mulut namun masih
mendengarkan ceritaku.
“Harusnya lo bilang ke gue. Siapa tau gue bisa bantu
lo. Sebenarnya lo anggap gue apa sih Fa?” respon Iva diluar
dugaanku. Dia berkata dengan nada ditekankan.
“Sudahlah. Yang lalu biarlah berlalu. Yang jadi mas-
alah sekarang adalah, sudah beberapa hari ini orang tua gue
nggak nelpon. Saat gue telpon nomornya nggak pernah ak-
tif. Gue khawatir Va. Gue takut ada apa-apa sama mereka
disana” sambungku mulai menuju ke inti dari masalah yang
aku alami sekarang. Muka Iva mulai menampakkan wajah
empati. Mungkn dia mulai paham bahwa yang jadi masalah
sekarang bukanlah soal uang. Lebih penting dari itu.
“Kenapa lo nggak coba nanya ke Budhe lo? Siapa tau
orang tua lo udah ngabarin Budhe” nada suaranya sudah mu-
lai menunjukan empati. Aku suka mendengar suara lembutn-
ya yang seperti ini.
“Budhe saja memintaku untuk menanyakan kabar ibu
sama bapak”
“Gue jadi ingat semasa gue kecil. Waktu gue kelas 4
SD, gue pernah sakit selama 4 bulan. Gue dibawa ke 4 dokter
waktu itu. Dari 4 dokter itu mengatakan sakitnya beda-beda
semua. Gue udah minum obat tetep nggak membaik. Alha-
sil ibu gue ngerawat gue tanpa obat selama 4 bulan itu. Tiap
malem gue nggak bisa tidur karena nahan sakit yang gue rasa.
Tiap tengah malam gue liat ibu nggak pernah tidur cuma un-
tuk ngejagain gue. Dia mijitin kaki gue, mengompres kepala
gue supaya panasnya turun. Raut mukanya jelas menunjukan
raut muka kesedihan, hingga akhirnya gue sembuh. Kejad-

104
ian itu terulang lagi waktu gue kelas 9, namun hanya satu
minggu. Gue merasa ibu begitu sayang sama gue. Dan seka-
rang ibu nggak ngabarin hampir dua minggu, gue khawatir
ada apa-apa disana. Gue harus gimana Va?” jelasku akhirnya
menumpahkan segala apa yang menjadi beban selama dua
minggu terakhir ini. Iva diam. Mungkin dia bingung harus
merespon apa.
Dia meletakkan sendok dan garpunya ke piring dan
beralih mengelus punggung tangan ku pelan.
“Udah lo nggak boleh sedih. Kalo lo sedih, orang tua
lo juga akan sedih. Mending lo doain orang tua lo supaya
mereka diberi kesehatan sama Allah. Lo harus percaya, mun-
gkin lo nggak bisa jagain mereka saat ini. Tapi masih ada
Allah yang tak pernah lalai untuk menjaga orang tua lo” ka-
ta-katanya berhasil membuatku tenang. Seperti masalah-ma-
salah sebelumnya. Hanya dia yang mampu membuatku terbe-
bas dari masalah yang aku alami.
Aku tersenyum menanggapi. Setelah dia menyele-
saikan makannya, aku pergi ke belakang untuk membayar.
Kali ini aku yang membayar semua sebagai tanda terima
kasihku kepada Iva karena dia sudah mau mendengarkan
curhatanku.
Aku dan Iva berjalan beriringan menggunakan mo-
tor sendiri-sendiri. Aku dengan matic kesayanganku dan dia
menggunakan Scoopy coklat kebanggaannya. Kita berpisah
di perempatan Pasar Wage. Sepanjang perjalanan aku sudah
merasa lega, namun setelah berpisah dengannya barusan aku
tak berniat untuk langsung kembali ke rumah.
“Ke Basecamp aja lah” batinku memutuskan.
...

105
106
“Bintang terlihat begitu indah malam
ini, bahkan lelahku menjadi berarti se-
karang . Apakah perasaanku saja, atau
hadirmu penyebabnya?”
...

107
CARE

“Ah, capek bat hari ini” ujarku sambil melucuti semua


atribut sekolah yang melekat di tubuhku dan segera melem-
parkan diri ke kasur doraemon kesayanganku.
Tak terasa memang, hari ini begitu panjang. Mulai dari ter-
lambat sekolah, hingga pelajaran yang membosankan. Semua
membuatku merasa membuang energi dengan percuma.
Kecuali, satu hal.
Insiden yang membuatku untuk pertama kalinya ingin meng-
gerakan tubuh untuk sesuatu yang sebetulnya bukan uru-
sanku.
Insiden itu dimulai selepas pelajaran olahraga yang
membuat seisi kelas mengeluh. Lantai kelas pun nampak sep-
erti kasur spring bed yang hampir membuat orang tertidur
pulas diatasnya. Kecuali anak laki-laki yang tanpa kenal lelah
langsung menancapkan perangkat pengisi daya laptop mau-
pun gawainya dan segera mabar.
Berbeda denganku, aku lebih memilih untuk duduk
di kursi, memakai earphone, sembari memulihkan tenaga.
Karena pada prinsipnya AKU HANYA INGIN MENGHE-
MAT TENAGA (baca:malas). Bodo amat dengan manu-
sia-manusia yang ingin melakukan banyak hal, atau bahkan
bersaing untuk menjadi yang terbaik. Bagiku, selama orang
lain bisa kenapa harus aku?
Ya sudah, abaikan prinsipku ini toh aku tidak
menyuruh mereka mempedulikanku. Aku hanya berharap

108
dunia ini bisa tenang, tidak ada yang menggangguku, sehing-
ga aku bisa menyimpan tenagaku untuk hal yang lebih pent-
ing, tidur misalnya.
Aku pikir jam istirahat kali ini dapat kunikmati den-
gan tenang, karena sebagian anak perempuan tertidur di lan-
tai, anak laki-laki bermain game dan sisanya pergi di kantin.
Sampai pada akhirnya aku menyadari ada seorang wanita di
bawah stopkontak yang sudah full tertancap roll beserta char-
ger-chargernya.
“Dih, ngapain coba disitu. Dia bego ya? Kan ba-
haya” batinku saat sekilas melihatnya bersandar di tembok
sambil membaca buku harry potter. Seperti biasa, aku malas
untuk menegurnya. Ya, tentu saja karena itu bukan urusanku.
“AAAAA KEBAKARAN” teriak seorang wanita.
Spontan aku menengok sambil was-was jangan-jangan anak
tadi.
Benar saja seperti dugaanku, wanita berkacamata
yang sempat ingin aku tegur tadi terlihat panik dan tidak be-
rani kemana-mana melihat di sekelilingnya terdapat kabel
charger dan di atasnya persis terlihat percikan api dan gump-
alan asap yang terlihat seperti konsleting.
Tanpa pikir panjang, begitu mendengarnya spontan
aku melepaskan earphone dan berteriak
“Woi cabut kabel-kabelnya SEKARANG!”
“Kabel yang mana?” jawabnya sambil menunjukan
ekspresi bodohnya itu.
Ah aku tak tahan lagi. Akhirnya kutinggalkan zona
nyamanku dan segera melompati meja demi meja dan segera
menariknya keatas meja tempat ku berpijak. Tak lupa segera

109
ku cabut semua kabel di stop kontak itu.
“BEGO!”
“Harusnya kalo gatau, jangan panik, selametin diri
dulu yang penting jangan disini terus. Lagian ngapain baca
di bawah stop kontak yang penuh kabel gini.” ucapku den-
gan nada tinggi kepadanya. Ini kali pertama aku benar-benar
merasa khawatir. Bahkan aku belum pernah bicara dengan
nada tinggi dengan seorang wanita.
“Ya maaf, kan gatau kalau bakal konslet. Gara-ga-
ra aku ya?” lirihnya dengan nada parau sambil menunjuk-
kan wajah polos pucat pasi nya itu. Benar-benar aku merasa
menyesal telah memarahinya.
“Ngga. Udah lo kesana aja jangan deket-deket barang
bahaya lagi” ucapku.
“Iya, makasih Fa udah nyelametin tadi” Matanya
yang berkaca-kaca menatap mataku. Mengisyaratkan banyak
hal yang tidak dapat ku mengerti.
DEG...
“Kawaii” bisik ku dalam hati. Melihat matanya,
mengingatkan ku pada tokoh Anime yang sering ku tonton.
(Kapan-kapan kuceritakan)
Dia pergi. Mungkin dia merasa sangat ketakutan, atau
bersalah mungkin. Ah sudahlah, tak biasanya aku memikir-
kan perasaan orang lain seperti ini. Kenapa juga harus mena-
tap mataku. Ah menyebalkan.
Kejadian itu benar-benar membutuhkan energi yang
banyak. Tak apalah, yang penting aku bisa memulihkan
tenagaku malam ini.

110
“Loh, ngga biasanya banyak bintang gini, padahal
dingin” gumamku sambil memandangi jendela kamar yang
menunjukkan indahnya malam ini, dan mengisyaratkan bah-
wa lamunanku sudah terlampau 3 jam lamanya.
“Astaga udah malem ya. Males mandi, langsung tidur
aja lah.”
Sudah dulu, malam ini aku harus me-recharge energi ku sia-
pa tau besok lebih melelahkan.
Tapi satu hal yang kutahu, lelahku sekarang tak kusesali.
Selamat malam, Selamat Tidur.
...
Matahari terlihat di ufuk timur. Para jago berteriak,
“KukKuruyukkkk”
Hari Senin telah tiba. Aku terbangun dari mimpi in-
dahku sembari berdoa untuk nikmat yang telah kudapat. Sam-
bil mengalungkan handuk, aku menuju kamar mandi dengan
mata yang masih sipit. Ku basuh muka, ku gosok gigi, dan ku
bilas seluruh badan dengan niat membersihkan diri. Setelahn-
ya, aku mengambil tas yang aku letakan di kursi belajar ke-
marin sepulang sekolah tanpa berniat untuk menjadwal kare-
na semua buku aku tinggal di laci meja.
Hari ini aku tidak menggunakan motor matic kesayan-
ganku dikarenakan ban nya bocor semalam saat aku kembali
dari warung Bu Emi. Mau tidak mau aku harus menggunakan
transportasi umum yaitu bis karena jarak dari rumah ku ke
sekolah yang lumayan jauh jadi hanya ini transportasi yang
ada. Sebenarnya aku benci dengan suasana bis yang sangat
pengap karena harus berdesak-desakan dengan berpuluh-pu-

111
luh orang.
Saat aku sampai di pinggir jalan raya, bis telah
menunggu, aku berlari menaiki si Tayo Jawa. Di pojok be-
lakang sebelah kanan aku berada. Aku buka tas unguku dan
ku ambil benda pipih berwarna hitam dengan kaca retak di
beberapa bagian. Kuingat hari ini adalah hari yang mem-
bosankan. UPACARA BENDARA. Berdiam diri di bawah
teriknya matahari.
Tak terasa bis telah sampai pada tujuanku. Aku
langsung menuju ke kelas. Tanpa sadar di koridor depan ru-
ang kelas 10 Akuntansi 1, aku bertemu dengan seorang yang
tidak asing.
“Eh, Alfa. Baru berangkat?” ternyata Tasya yang ber-
suara. Aku jadi teringat kejadian... Ah sudahlah, lupakan.
“Eh? Iya” jawabku..
“Tumben lewat sini. Nggak bawa motor?” tanya dia
lagi.
“Enggak. Bocor bannya” jawabku jujur. Setelah
perbincangan singkat ini, akhirnya aku dan Tasya berjalan
bersama menuju kelas. Selebihnya hanya jalan bersama tan-
pa ada suara, lagi.
Tas telah aku letakkan di kursi. Ku ambil topi dan
kupakai dasi untuk upacara hari ini. Berbaris di depan sendiri
dan mengikuti instruksi dari petugas inti. Tak lama kemudian,
Pembina upacara menyampaikan amanatnya kepada seluruh
siswa.
Kegiatan sekolah selalu membosankan. Apapun
itu. Termasuk untuk saat ini, dipertengahan semester, seko-
lah mengadakan kegiatan PILKETOS atau pemilihan ketua

112
OSIS. Dan dari kegiatan itu, OSIS mengadakan lomba perke-
las untuk mendekor kelas masing- masing sesuai tema yang
ditentukan.
“Huftt” helai nafasku setelah mendatarkan bokong ke
bangku. Setelah itu, anak kelas mulai berdiskusi perihal apa
saja yang akan dipersiapkan untuk PILKETOS beberapa hari
lagi.
“Debat season kesekian akan dimulai” aku bergu-
mam. Tak ada yang mendengar. Fadil sekalipun. Karena dia
telah ngacir dari tempat duduk di sebelahku.
Benar dugaanku. Saat Tasya dan Aye mengambil alih
perhatian di depan kelas, awalnya berjalan normal. Namun
lama-lama setelah banyak usulan yang masuk, semua anak
seperti mementingkan egonya sendiri-sendiri. Aku hanya
diam tak berniat untuk memberi usul. Aku putuskan untuk
main games saja di laptopku.
...
Hari mendekati PILKETOS semakin dekat. Beberapa
persiapan mulai dilakukan meskipun belum ditentukan apa
tema yang akan diangkat.
“Oke… karena acara PILKETOS semakin dekat dan
kita belum menemukan tema yang cocok, maka daripada itu
hari ini kita buat dulu apa yang sekiranya bisa kita buat den-
gan bahan-bahan yang sudah tersedia” Aye selaku ketua kelas
berkata. Aku hanya diam seperti kebiasaanku.
“DORR” sesorang mengejutkanku dengan menepuk
punggung lumayan keras.
“Shiitt!” reflek aku mengumpat sambil menengok ke
belakang. Kudapati Iva disana sambil cengengesan.

113
“Gila lo” kataku lagi saat tau Iva yang mengejut-
kanku.
“Hehe lagian ngalamun aja lo” balasnya tak merasa
bersalah.
Berhubung satu hari ini full pelajaran kosong, akhirn-
ya Tasya dan Aye memutuskan untuk mempersiapkan agenda
PILKETOS. Ini tugas anak perempuan. Namun dari selepas
upacara hingga waktu dhuhur tiba, semua anak kelas tidak
ada yang menjalankan instruksi dari Aye dan Tasya. Akhirn-
ya mulai jam 1 selepas sholat dhuhur, Tasya mempertegas
supaya semua bekerja agar bisa selesai lebih cepat.
Hal yang pertama harus dibuat adalah kotak suara. Ku
lihat beberapa anak sibuk memotong sterofoam dan meng-
gunting bermacam kertas. Anak laki-laki sibuk sendiri di be-
lakang dengan games nya, termasuk aku. Hanya Aye yang
ikut membantu, itupun hanya sedikit lalu dia bergabung den-
gan aku dan yang lain untuk nge-games.
Tak terasa, mereka mengerjakan persiapan PILKE-
TOS hingga hampir jam 5. Aku berniat untuk kembali ke
rumah, namun Tasya mencegah, katanya anak laki-laki dila-
rang pulang sebelum semua anak perempuan pulang. Fadil
menimpali,
“Ini udah jam 5. Ya udah ayo pulang”
“Nanggung tinggal beberapa bagian lagi. Lagian lo
juga dari tadi nggak ngapa-ngapain” tegas Tasya ke Fadil.
Akhirnya mau tidak mau aku dan anak laki-laki yang lain
mengurungkan diri untuk pulang. Sebenarnya tinggal beber-
apa anak perempuan saja yang belum pulang. Sisanya sudah
pulang terlebih dahulu dengan alasan tidak boleh pulang ter-
lalu larut oleh orang tuanya.

114
Lay Out dilanjutkan. Pintu kelas sudah dikunci dan
kita sekarang berada di depan kelas dengan berbagai pera-
latan dan bahan yang berserakan. Aku tidak membantu. Ha-
nya duduk sambil membuka PC, wifi-an. Saat yang lain se-
dang sibuk menggabungkan sterofoam dengan kertas, Shelin
bermain-main dengan pintu kelas yang sudah terkunci. Dia
membuka pintu secara paksa sehingga menimbulkan bunyi
seperti pintu digedor. Salah seorang menegurnya,
“Yang bener Shel. Udah mau maghrib” tegur Leli ke-
pada Shelin. Dia hanya membalas dengan cengiran dan men-
gulanginya lagi.
Tanpa disadari, arloji yang kupakai menunjukan
pukul 6 waktu setempat. Rembulan sudah membentangkan
jubah hitamnya ke langit membuat suasana tidak seterang
sore tadi. Persiapan hampir selesai, namun hal yang di luar
hukum fisika tiba-tiba terjadi. Aroma wangi yang sangat se-
merbak membuat hatiku was-was. Namun aku berusaha me-
nepis pikiran negatif ini.
“AAAA….!!!!!” Salah seorang anak berteriak tidak
jelas. Membuat beberapa anak yang masih disini terkejut.
Setelah kucari, ternyata Puji pelakunya. Dia duduk dengan
memeluk lututnya di depan pintu kelas sambil menangis dan
berteriak tidak jelas. Seketika suasana yang sebelumnya ten-
ang menjadi sangat rusuh karena hal itu.
“Aku ingin tubuh ini!!!” teriak Puji.
Ketakutan dan kepanikan melanda semua orang.
Salah satu anak berusaha mendekati Puji yaitu Ilham. Karena
merasakan kehadirannya, Puji menatap sekeliling dengan tat-
apan yang tajam dan menyeramkan.
“Puj?” Ilham bertanya.

115
Puji terdiam dengan mata yang masih menatap ke
sana ke sini. Ilham kembali mencoba berkomunikasi dengan
wajah serius. Beberapa anak perempuan bukannya membantu
justru lari ke bawah dan saat ku amati dia justru pulang sam-
bil menenteng sepatunya. Dia adalah Acha, si muka India.
“Siapa kamu!!” Ilham agak berteriak sambil meme-
gang kepala Puji.
“ARGGHH…!!!” Puji memberontak.
“Aku ingin tubuh ini!!!” teriak Puji lagi.
Kemudian Ilham meminta bantuan kepada lainya un-
tuk menahan beberapa bagian tubuh Puji. Aku dan beberapa
anak ikut membantu. Saat kupegang kakinya, terasa sangat
kuat dan keras bagai batu karang. Puji semakin memberontak
dan berteriak keras serta berusaha berdiri.
Kemudian datanglah penjaga sekolah. Dengan sigap,
ia langsung memegang Puji dan mengucapkan beberapa do’a
yang tidak kuketahui. Hal itu menjadikan Puji agak tenang.
“Bawa anak ini ke Masjid, terus rapikan segala se-
suatu yang ada di sini. Hari mulai petang, sebaiknya kalian
pulang.” ucap penjaga sekolah. Aku, Azka dan Leli memba-
wa Puji ke Masjid, sedangkan yang lain merapikan peralatan
dekorasi.
Puji sadar dari ketidakstabilan jiwanya. Ia langsung
pulang ditemani Tania yang kebetulan satu arah dengannya.
Mereka pulang menggunakan bis. Terlihat beberapa anak
sedikit khawatir, takutnya Puji akan kumat lagi di jalan.
Tak mempedulikan hal itu, aku juga beranjak dari sekolah
setelahnya.
Besoknya aku berangkat ke sekolah seperti biasa.

116
Akan tetapi, mendadak ada kecelakaan yang menyebabkan
kemacetan yang sangat panjang dan membuatku kesal.
“Shit! Bakal telat lagi” batinku.
Benar saja, karena suatu hal tadi aku hampir telat.
Dengan segera aku menuju ke kelas. Tanpa kusadari ada anak
berlari dari arah belakang. Dia menabrakku sehingga kami
terjatuh.
“Anjay!” ku bicara dalam hati. Secepatnya Aku ber-
diri kembali.
“Kamu tidak apa-apa?” dia berkata sambil mengulur-
kan tangan, berniat membantuku berdiri. Aku mengabaikan
uluran tangannya. Ternyata yang menabrakku adalah Tasya.
“Sorry ya” dia meminta maaf sambil menangkupkan
kedua tangannya di depan dada. Aku hanya menanggapi den-
gan senyuman yang mengisyaratkan bahwa aku tidak apa-
apa.
...

117
118
”Sebaik-baiknya manusia adalah dia
yang bermanfaat bagi orang lain. Ti-
dak peduli orang lain mau melihatmu
sebagai apa dan bagaimana”
–Iva –
...

119
JATUH

Dan, tema yang dipilih kelasku untuk acara PILKE-


TOS adalah, music dengan nuansa hitam putih. Apapun tema
yang dipilih, aku tidak peduli. Dan, apapun yang diributkan
anak-anak kelas aku juga tidak peduli. Tidak akan pernah
peduli. Apapun itu.
Kecuali….
“Apaan sih Va, kasih ide yang lebih mutu dikit dong”
“Iya, ide konyol gitu mana bisa bikin kelas kita
menang”
“HAHAHAHA”
Ucapan mereka seketika mengganggu konsentrasiku.
Aku kembali mencoba kembali fokus pada game, menco-
ba untuk menghiraukan Iva yang kini tengah menundukkan
kepalanya dengan wajah yang memerah menahan amarah
dan tangis.
“Mending lo diem aja, daripada kasih ide tapi ben-
er-bener gak masuk sama tema kita, dan bakal bikin kelas
kita kalah kalo harus pake ide dari lo” celetuk Shelin yang
berada tak jauh dari Iva berada.
Dan lagi, celetukan itu benar-benar membuatku tidak
bisa menahan diri. Aku segera bangkit dan menarik Iva kelu-
ar dari kerumunan anak-anak perempuan. Tidak kuhiraukan
tatapan kaget, sinis, dan sorakan dari teman-teman.
“Ih, Alfa apaan sih lo!” seru Iva geram ketika aku dan dia tiba

120
di koridor sekolah yang saat itu sepi. Hanya ada beberapa
anak yang lalu lalang.
“Lo bego atau gimana sih?” tanyaku masih mencengkeram
tangan Iva.
“Maksud lo apa? Lepasin! Malu tau diliat orang-orang” kata
Iva seraya melepaskan tangannya dari cengkeraman Alfa.
“Lo itu lagi di bully. B u l l y. Ngerti gak sih lo?” ucapku den-
gan nada sedikit tinggi karena aku benar-benar muak dengan
sikap Iva yang selalu mengalah terhadap teman-teman kelas.
“Hahaha apaan sih Fa” tawanya santai.
Aku mengacak rambutku frustasi.
“Lo mending diem gak usah ikut ngebahas hal-hal ga penting
kayak gitu. Percuma juga kan? Emang mereka dengerin kalo
lo usul? Enggak kan?” kataku menatap mata Iva tajam.
“Ihh gue itu cuma kasih pendapat apa yang ada di kepala gue
ya gue usulin lah” katanya polos masih tidak paham maksud-
ku walau sudah ku katakana terang-terangan tadi.
“Va, dengerin gue. Lo diem aja, tinggal nunggu hasil. Dikasih
tugas ya kerjain, enggak ya udah biarin. Ribet amat” kataku
sebelum akhirnya kembali masuk ke kelas dan membiarkan
Iva memahami kata-kataku.
Ketika kembali masuk, kondisi kelas benar-benar
tidak kondusif. Mereka mulai mendekorasi kelas se-indah
mungkin walau mau bagaimanapun juga hasilnya tetap biasa
saja, bahkan terkesan jelek, menurutku.
Aku kembali memainkan game bersama teman la-
ki-laki. Menghiraukan kegaduhan kelas yang setiap hari bisa
membuat telingaku sakit. Aku mencoba melirik, mendapati

121
Iva yang tengah membersihkan potongan-potongan kertas
yang berserakan. Baiklah, membawa Iva keluar tadi be-
nar-benar membuang waktu dan benar-benar sia-sia karena
ia tidak pernah mengerti maksudku adalah peduli karena dia
memang tidak patut untuk diperlakukan seperti itu di kelas.
“Va, tolong dong lo yang naik buat nempel gambar
ini” pinta Yunita.
“Jangan gue dong” ucap Iva memelas.
“Lo jadi anggota kelas ada faedahnya dikit kek Va!”
seru Shelin dari belakang.
Iva menghentakkan kakinya kesal dan mengambil
dekorasi kelas dari tangan Puji untuk segera ia tempel di
tembok. Perlahan, ia mencoba menaiki meja, dan kemudian
menaiki sebuah kursi. Aku masih berusaha cuek, walaupun
setengah hatiku rasanya tidak ikhlas jika Iva diperlakukan
seperti itu. Benar-benar, teman kelasku sangat ganas.
GUBRAKKKK!
Terdengar seperti suara benda jatuh, aku segera me-
nolehkan kepala dan mendapati Iva yang kini tersungkur ber-
sama meja dan kursi yang ia naiki tadi. Seketika, semua anak
di kelas tertawa tanpa ada yang membantu Iva untuk bangun.
Padahal, ku lihat Iva kini tengah menahan rasa malu dan rasa
sakitnya serta….amarahnya.
Ku koreksi, teman-temanku bukan ganas. Mereka,
benar-benar sadis.
Aku segera beranjak meninggalkan game ku, yang
padahal sedikit lagi aku menang dari keempat temanku itu.
Baiklah, Iva terpenting sekarang.

122
“Heh! Lo semua gimana sih? Bukannya ada orang
jatuh langsung dibantuin kek malah diketawain!” geramku
sembari mencoba menolong Iva yang kini tengah mengusap
kakinya.
Semua hening.
“Dan lo! Lo semua! Ngapain cuma diem? Ada cewek
naik kursi gak ada inisiatif sama sekali buat gantiin posisi
Iva!” gertakku pada keempat teman laki-laki ku yang kini
menunduk, kecuali satu.
Azka.
“Sialan! Lo nyalahin kita sedangkan lo sendiri? Nga-
ca, man! Gak usah sok jadi pahlawan kesiangan deh lo!” seru
Azka sembari memukul meja dengan penggaris besi.
Kelas yang tadinya gaduh, sekarang benar-benar hen-
ing. Tidak ada yang berani untuk berbicara, atau melerai. Wa-
laupun Iva mencoba menarik lenganku, tapi kuhiraukan dia.
“Bacot lo!” gumamku.
Ketika aku hendak berbalik dan membawa Iva ke
UKS, kerahku ditarik oleh Azka dengan tangan kanannya
yang mengepal dan siap untuk menghajar wajahku. Aku dan
Azka saling menatap penuh kebencian, penuh amarah. Aku
mencoba untuk melawan, sebelum suara seseorang seketika
memadamkan amarahku.
“Udah-udah! Kalian apa-apaan sih?! Cuma hal sepele
aja pake berantem” ujar Tasya sembari mendorong tubuhku
agar menjauh dari Azka yang masih memelototiku tajam.
Suasana kelas yang tadinya tegang, sedikit mereda.
Aku mencoba melirik Tasya yang tersenyum padaku

123
seakan berkata, ‘Udah-udah..’
Setelah itu, fokusku kembali pada Iva. Yang masih ke-
sakitan akibat jatuh tadi. Aku membawanya ke UKS setelah
melalui perdebatan panjang dengan Iva yang tetap kekeuh un-
tuk di kelas saja karena sebentar lagi pulang.
Dasar, si keras kepala.
“Lo harusnya gak usah sampe berantem gitu sama
Azka. Bener kata Tasya tadi, kan cuma hal sepele” katanya
ketika aku dan Iva tiba di UKS.
“Gitu ya? Ya udah deh lain kali gue bakal diem aja,
biar lo ngerti kalo lo lagi di bully” ucapku cuek.
“Loh kok gitu?” tanyanya heran dengan tatapan me-
melasnya.
“Lo yang minta kan? Gue itu peduli. Tapi lo malah
gini” kataku.
“Ya udah deh, maaf. Makasih juga, Fa…” ucap Iva
lirih di akhir kalimat yang untungnya masih bisa terdengar
olehku. Aku tersenyum kecil.
Setelah selesai diobati oleh petugas UKS, Iva meng-
hampiriku yang menunggunya di ruang tunggu depan UKS.
Jalannya menjadi seperti pincang akibat kaki kanannya ter-
bentur terlalu keras dengan lantai.
“Gue anter” seruku singkat sambil membantunya ber-
jalan menuju kelas.
“Hah gak usah. Gue selalu ngerepotin lo terus deh”
katanya menggelengkan kepala.
“Kan udah jadi kodrat. Cewek emang selalu nyusahin

124
cowok” jawabku cuek.
“Kok gitu? Berarti gue beban dong buat lo?” tanyan-
ya membuat langkahku terhenti.
Aku tertawa melihat wajah polosnya itu dengan penuh keke-
cewaan,
“Bercanda elah, baperan lo” kataku yang dibalas den-
gan pukulannya di pundakku. Aku hanya terkekeh melihat
tingkahnya. Dasar temanku ini, sudah keras kepala, tidak per-
nah menurut apa kataku, dan sangat baperan.
...

125
126
“Jika aku tidak bisa menjadi langit
yang selalu berdampingan dengan
hujan, setidaknya ijinkan aku menjadi
bumi yang selalu menerimamu saat
kamu dibuang”
– Iva –
...

127
GARA-GARA BANNER

Sebentar lagi aku akan menjadi siswa senior. Tapi,


sekali lagi ku tegaskan bahwa kehidupan sekolahku be-
nar-benar ‘biasa saja’ . Disaat yang lain sangat bersemangat
karena sebentar lagi menjadi siswa siswi kelas 12, dan sangat
bersemangat dalam mempersiapkan kegiatan akhir semester,
aku lebih memilih untuk duduk di pojok bersama laptop dan
game yang lebih seru dibandingkan kegiatan sekolah.
“Tolong dong ini kanvas gue di pilok”
“Eh ini kurang rapi nih warna itemnya”
“Krayon dong pinjem warna merah!”
“Woy kanvas gue mana?!”
Dan masih banyak lagi keributan yang terjadi hari ini.
Kulihat teman-temanku sibuk bolak-balik dari luar ke dalam
atau sebaliknya, membawa kanvas, ada juga yang sudah mu-
lai membuat sketsa pada kanvas.
Ya, semester akhir di kelas 11 akan ditutup dengan
kegiatan pameran seni lukis dari seluruh siswa kelas 11.
“Wah sibuk sekali. Sudah sampai mana nih persia-
pannya?” suara berat khas bapak-bapak menggema di kelas.
Sontak, aku langsung menutup laptop dan beranjak berpu-
ra-pura sibuk dengan mengambil kanvas milikku dan mulai
untuk memberi warna pada kanvas bersama teman laki-laki
yang lain.
“Udah selesai nih?” tanya Fadil meledek ketika aku

128
mulai bergabung.
“Apa?” tanyaku cuek.
“Game lah. Gila lo gak pusing apa main game mulu.
Refreshing otak nih” kata Fadil yang masih asik memilok
kanvas miliknya.
“Sialan lo! Ini lo sama aja lagi nyindir diri sendiri
kali” ucapku acuh tak acuh.
Aku mulai memilok kanvas milikku setelah Ilham
selesai melakukannya. Aku memiloknya dengan asal, den-
gan hati setengah dongkol karena Pak Sasminto, guru Seni
Budaya ku masih berada di kelas untuk sekedar mengecek
persiapan kelasku untuk pameran yang akan dilaksanakan
besok. Setelah beberapa menit menyelesaikan memilok kan-
vas, aku kembali pada ‘markas’ku dan kembali pada ‘kesi-
bukan’ku yang lebih membuat otakku fresh daripada seperti
yang dikatakan Fadil tadi.
“Siapa yang suruh kalian milok di depan kelas?!!”
Seruan berat itu segera menyadarkanku. Dan aku
segera melirik ke arah pintu, karena ku kira itu adalah Pak
Sasminto. Tapi ternyata bukan. Beliau adalah bapak-bapak
penjaga sekolah yang tidak sengaja mendapati beberapa
teman kelasku, yang perempuan tengah memilok kanvas di
depan kelas dan mengakibatkan lantai menjadi hitam.
Tidak ada suara, mereka terlihat saling tatap dan sal-
ing memberikan kode untuk memberi penjelasan pada bapak
penjaga sekolah yang kini menatap teman-temanku dengan
tatapan marah.
“Kalo mau milok ya di belakang sekolah atau di
parkiran samping bukan di sini! Kalian liat kan? Lantainya

129
kotor. Kalau permanen, mau tanggung jawab?!” tanyanya
masih dengan nada tinggi.
“Maaf pak” ucap Shelin lirih.
“Jangan diulangi! Nanti harus dibersihkan sampai
bersih jangan hitam kayak gini” kata bapak penjaga sekolah
lalu pergi.
Setelah itu...
“Tuhkan! Gue bilang juga apa”
“Loh ini kan ide dari lo”
“Dih, enak aja malah nyalah-nyalahin”
“Lah lo juga nyalah-nyalahin gue”
Aku berdecak melihat tingkah anak-anak perempuan
yang benar-benar egois. Semuanya salah, tapi maunya benar.
Aku tidak mengerti jalan pikiran perempuan. Dimana-mana
juga pasti tahu siapa yang salah.
Waktu semakin berlalu. Tanpa kusadari jam sudah
menunjukkan pukul 3. Segala kegaduhan berangsur-angsur
mereda. Dan kelas sepi hanya ada anak laki-laki dan be-
berapa anak perempuan yang tengah bermain handphone,
mencari wifi. Anak-anak yang lain berada di bawah, tengah
mendekorasi stand untuk pameran besok.
Hingga...
“He teman! Kita belum ambil banner buat besok!
Gimana ya?” seru Shelin dengan suara khasnya yang sangat
memekakkan telinga.
Tidak ada yang merespon. Anak laki-laki masih as-

130
yik bermain kartu, dan aku masih fokus pada game di laptop.
Hanya beberapa anak perempuan yang tengah mencari wifi
memberi saran untuk anak laki-laki saja yang mengambilnya.
Sialan!
“Yo yang laki-laki tolong li jangan cuma diem aja!”
getak Shelin masih ada nada memohon.
“Sibuk” celetuk Fadil.
“Alfa! Ambil banner, Fa”
Aku tersontak. Melirik Shelin yang kini tengah me-
natapku dengan tatapan memohonnya. Aku langsung mema-
lingkan wajah dan kembali fokus pada ‘dunia’ku tanpa me-
medulikannya. Ku dengar dia berdecak kesal, dan ia segera
menghampiriku. Yang membuatku kesal, dia menarik-narik
lengan seragamku. Padahal, masih ada yang lain seperti Il-
ham, Azka, atau Fadil karena Aye masih sibuk mengurusi
kegiatan yang sangat ku benci. Apalagi jika bukan pramuka.
“Males” jawabku.
“Shel jadi gak? Keburu sore, nanti hujan” seruan ses-
eorang membuatku menoleh ke arah pintu. Ada Iva disana.
“Jadi, bentar” jawab Shelin singkat.
“Sama siapa gue ambilnya?” tanya Iva lagi.
Iva yang akan mengambil? Benarkah? Atau ini hanya
sekedar taktik pembullyan lagi pada Iva? Aku bingung pada
Iva, dia benar-benar mau diperbudak atau dimanfaatkan oleh
teman-teman lain.
“Sama gue” kataku spontan.

131
Semua mata tertuju padaku. Semua tersontak men-
dengar ucapanku. Dan, bukan hanya mereka, aku pun kaget
dengan ucapanku.
“Ayo” kataku pada Iva dan langsung melengang per-
gi.
Ku lihat, Iva pun segera menurut dan mengikuti di
belakangku menuju parkiran. Dalam perjalanan aku dan Iva
saling diam, tidak ada yang berani untuk memulai pembic-
araan. Hingga,
“Alfa” kudengar Iva memanggilku ketika aku hendak
men-stater motorku. Aku menoleh,
“Apa?” jawabku.
“Serius lo mau nganterin gue?” tanya Iva.
Aku berdehem, “Lagian, lo kok selalu mau-mau aja
si disuruh ini itu” Iva segera naik tanpa merespon perkata-
anku. Aku tahu, dia pasti tertekan. Ditambah, aku yang selalu
menekannya agar tidak perlu peduli pada teman-teman yang
lain.
Motor melaju, masih dengan keheningan di antara aku dan
Iva.
...
Benar.
Hujan mengguyur kota Banjarnegara dengan sangat deras.
Membuat beberapa pengendara motor menepi untuk sekedar
memakai mantel atau berteduh hingga hujan reda. Termasuk
aku, yang kini tengah berteduh di depan sebuah toko banner,
bersama Iva.

132
“Yah hujan. Kita makin sore dong nanti pulangnya”
keluhnya. Aku tidak merespon.
Setelah lama hening,
“Lo...gak papa?” tanyaku tanpa memandang Iva.
Ia terkejut dengan pertanyaanku, “Apanya?” tanyan-
ya.
“Dengan perlakuan temen-temen ke lo” jawabku.
“Ck, udah deh Fa, gak usah ngajarin gue. Gue itu udah
gede, bisa milih temen dengan baik. Dan perlakuan mereka
memang kadang nyakitin, tapi gue akan anggap biasa aja”
katanya menjelaskan.
Hening tercipta. Lagi.
Hingga hujan perlahan mereda. Aku segera mengajak Iva un-
tuk kembali ke sekolah sebelum nanti tiba-tiba hujan datang
lagi yang membuatku terjebak untuk kedua kalinya bersama
Iva. Karena cuacanya mendung, jadi aku memilih jalan pintas
yang berbeda dengan jalan yang kami lewati saat berangkat
tadi. Aku pun membawa motor lebih cepat karena takut hujan
akan segera turun lagi.
Dan benar saja tak berapa lama kemudian titik-titik
air mulai turun lagi. Namun kali ini tidak sederas sebelumn-
ya. Namun, aku semakin mempercepat laju motorku karena
tidak membawa mantel. Seperti biasanya aku tak bisa menu-
tup kaca helm yang kupakai karena nanti akan menghalangi
pandanganku. Di tengah-tengah perjalanan aku melihat se-
suatu yang nampak tak asing menunggu tepat di depanku.
Setelah kusadari, aku sedikit terkejut saat orang-orang itu
semakin dekat terpampang. Tanganku secara cepat menarik
rem dan membuat Iva yang tadinya diam, mulai menunjuk-

133
kan sifat aslinya yaitu mengomel.
“Ih lo gimana si, kalau capek bilang aja kan bisa gan-
tian sama gue, biar gue yang di depan.” dengan nada tinggi
Iva menepuk punggung ku.
Belum sempat aku membalikkan motor, salah seo-
rang berompi hijau itu mendekat ke arahku.
“Maaf, mas dan mba boleh lihat surat-suratnya?” su-
ara itu seketika membuat Iva diam tak bersuara. Ia seperti
menyadari suatu hal yang membuatku berhenti tiba-tiba tadi.
“Maaf pak ini STNKnya.” jawabku singkat sambil
menyerahkan surat itu. Pria itu meminta ku untuk menyer-
ahkan SIM. Tentu saja aku belum punya karena umurku saja
masih 16 tahun. KTP saja belum bisa buat, apalagi SIM.
“Baiklah kalian saya beri kartu tilang ya, seharusnya
kalian jangan mengendarai motor dulu karena masih belum
cukup umur. Pengendara motor yang baik itu harus punya su-
rat-surat yang lengkap dan juga patuh dalam berlalu lintas.”
kata pria itu memberikan nasihat.
“Iya terima kasih pak.” Aku langsung pergi setelah
diberi kartu tilang itu. Iva yang kembali diam seperti saat be-
rangkat tadi. Aku berpikir mungkin dia sedikit takut karena
motor yang ku bawa itu milik Shelin.
Sesampainya di sekolah, aku dan Iva langsung men-
emui Shelin untuk menjelaskan apa saja yang telah terjadi.
“Shel, maaf ya tadi motor lo kena tilang waktu gue
sama Alfa mau balik ke sekolah. Gue bener-bener minta maaf
Shel.” kata Iva dengan nada memelas sambil memberikan
surat tilang. Aku diam saja seperti biasa. Dan kembali pada
tempatku. Bergabung bersama anak laki-laki, dan kembali

134
bermain.
“Apaaa? Kok bisa ditilang sih?” tanya Shelin mar-
ah. Tanpa marah pun, suaranya sudah memekakkan telinga.
Apalagi saat ini, dia bertanya dengan nada tinggi khasnya.
“Biar nanti gue yang berangkat sidang, biar gue juga
yang bayar dendanya. Sekali lagi gue minta maaf.” Iva men-
ceritakan semuanya dengan rinci sambil terus meminta maaf
kepada Shelin.
“Hmm ya sudah mau gimana lagi sudah kejadian be-
gini.” kata Shelin masih penuh dengan nada marah.
Senyum pun kembali terlihat diwajah Iva. Dari raut
wajah yang nampak saat ini, sepertinya dia sangat lega telah
mendapat maaf dari Shelin walau aku paham dia pasti terlu-
ka karena ia dibentak oleh temannya. Aku benar-benar tidak
suka kondisi ini. Tidak suka melihat cara Iva selalu menyem-
bunyikan rasa sakit hatinya. Tapi untuk sekarang, aku tidak
akan terlibat.
...

135
136
“Pergi dan temu, semuanya terasa
begitu cepat. Misteri yang ada tanpa
rencana tapi membuat bencana yang
indah, yaitu cinta”
...

137
AKU SUKA DIA

Musim favoritku, musim liburan.


Akhirnya, aku merasakan lagi apa itu bangun siang
dan apa itu malas-malasan. Walau di hari-hari biasa pun, aku
tetap bangun siang dan malas-malasan. Tapi setidaknya, aku
tidak akan bertemu dengan ‘sibuk’nya sekolah yang mem-
buatku muak.
Aku membuka jendela kamar.
Pagi ini tidak sesejuk pagi biasanya. Udaranya
lumayan terasa dingin, karena semalam hujan turun dengan
sangat deras. Aku merasakan semilir angin menusuk kulitku.
Aku segera masuk kembali ke kamar, dan berniat untuk kem-
bali meringkuk di zona nyamanku, kasur.
Belum sempat aku merebahkan diri, seketika aku in-
gat bahwa hari ini aku ada janji untuk bertemu seseorang.
Aku menoleh, mendapati jam sudah menunjukkan pukul 8.
Masih ada waktu satu jam untuk bersiap-siap dan menuju ke
sebuah kedai kopi, tempat aku akan bertemu dengannya.
Cowok, hanya butuh waktu 15 menit untuk memper-
siapkan semuanya. Aku tidak yakin jika kami akan bertemu
tepat pada pukul 9. Kupastikan, dia pun pasti belum ber-
siap-siap atau bahkan sudah mulai bersiap-siap namun baru
akan selesai tepat pukul 9 nanti.
Mari kita lihat nanti.
...
Seperti dugaanku.

138
Dia belum datang. Katanya, ia akan terlambat sedikit.
Sedikit, katanya.
Baiklah, aku memesan segelas Americano untuk se-
kedar menghangatkan tubuh. Langit terlihat mendung, sangat
tidak bersahabat dengan hatiku yang saat ini merasa senang.
Hingga, tanpa sadar gerimis datang, menambah udara menja-
di semakin dingin.
Aku melihat jam tangan, jam sudah menunjukan
pukul 9.30, namun dia belum datang juga. Baru saja aku akan
mengeluarkan handphone, ketika lonceng pintu kedai kopi
ini berbunyi pertanda seseorang masuk.
Dia sudah sampai. Aku melambai, agar ia tidak bin-
gung mencariku. Dia menunjukkan senyumnya. Suasana hat-
inya sudah membaik sejak beberapa hari lalu sebelum libur,
dia selalu terlihat murung.
“Udah lama ya? Maaf ya tadi kejebak hujan” katanya
sambil menyengir.
“Sedikit telat ya?” sindirku.
“Iya maaf deh” katanya sambil menyatukan kedua
telapak tangannya seperti memohon untuk di maafkan.
Iva. Dia Iva. Perempuan yang dari tadi ku tunggu di
kedai kopi ini. Iva memesan secangkir Cappucinno dan waf-
fle. Setelah pesanan sampai, dia segera menyeruput Cappu-
cinno nya untuk menghilangkan rasa dingin yang menyelim-
utinya,
“Eh gimana? Mau ngomong apa? Kok kayak penting
banget sih?” tanyanya.
“Iya gini Va, gue mau ngomong....” ucapku menggan-
tung membuat perempuan di depanku ini berdecak kesal.

139
“Iya apa? Gimana?” tanyanya lagi.
“Kok gue grogi ya” kataku masih mencoba mentrali-
sir detak jantungku.
“Tinggal ngomong aja susah amat sih Fa” katanya ti-
dak sabaran dan terkesan seperti orang bad mood.
“Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Gak enak diliat
tau gak?” kataku yang hanya di balas deheman dan senyum
paksa oleh Iva.
Aku kemudian menarik nafas dalam. Sebelum aku menga-
takan,
“Aku suka sama seseorang. Udah lama, tapi aku ga
berani ngomong ke orangnya” Aku kemudian membuang
nafas setelah mengatakan kalimat yang sudah membuatku
panas dingin jika memikirkannya.
Aku melihat Iva yang kini tengah diam menatapku
tajam dan serius.
“Liatnya biasa aja dong?” kataku sambil menahan
tawa melihat ekspresinya.
Dia mengerjapkan matanya berulang-ulang,
“Udah jujur aja. Siapa tau orang itu juga suka sama
lo” ucapnya kemudian dengan menampilkan ekspresi ceria.
“Gue nggak tau gimana ngomongnya. Gue baru per-
nah ngerasain yang namanya suka sama cewek” jelasku den-
gan jujur lalu menyeruput minuman yang aku pesan. Dia
diam menundukan kepala dan tak bersuara sedikitpun.
“Va, kok lo diem?” tanyaku meraih tangan Iva.
“Siapa yang lo suka?” tanyanya dan aku merasa se-
dikit ada nada ketus dalam pertanyaannya.

140
“Em...jangan ketawa tapi ya” kataku memperingat-
kan.
“Iyaaa” jawabnya tidak sabaran.
“Tasya” jawabku singkat namun reaksinya sangat
luar biasa di tubuhku.
“Tasya?” tanyanya tidak percaya.
“Iya. Gue itu sebenernya suka sama Tasya. Udah
lama Va, cuma gue bingung gimana bilangnya. Gue deketan
aja, rasanya udah gak karuan, gimana kalo gue nembak?”
curhatku.
Iva terdiam mencerna kata-kataku. Dia sesekali
menyeruput kopinya yang hampir habis.
“Ya udah, ungkapin aja” katanya.
Aku pikir, kini dia bisa membantuku untuk mendeka-
ti Tasya. Ah untung saja aku punya sahabat yang bisa aku
andalkan dalam urusan hati seperti ini.
“Va? Lo gak kenapa-napa kan?” tanyaku melihat raut
wajahnya yang terkesan dibuat-buat untuk tersenyum.
“Hah? Emang gue kenapa? Ada-ada aja lo ah. Gue ke
toilet dulu deh” jawabnya kemudian beranjak meninggalkan
tempat duduknya.
Setelah itu, semua berjalan seperti biasa, kecuali satu
hal.
Iva menjadi lebih diam dan…
Menjauh? Hingga hari libur usai dan kami kembali
ke sekolah.
...

141
142
“Setiap bunga yang layu bukan berar-
ti mati. Namun perlu sesuatu untuk
menghidupkannya lagi. Seperti halnya
aku yang mungkin dapat bangkit saat
kau datangi aku (kembali)”
– Iva –
...

143
DIAMNYA MEMBUATKU
BERTANYA-TANYA

Setelah menikmati masa liburan, aku kembali diper-


temukan dengan tempat membosankan ini. Bertemu dengan
gaduhnya teman kelas, bertemu dengan guru-guru yang tiada
henti memberi tugas, dan bertemu dengan seseorang yang se-
jak pertemuan aku dengan Iva, selalu kupikirkan.
Tasya.
Aku melihatnya kini tengah asyik berbagi cerita
pengalaman liburan bersama teman-teman yang lain. Suara
tawanya, yang selalu menentramkan bila didengar.
Aku kemudian segera tersadar, takut-takut jika nan-
ti ada yang memergokiku tengah menatap Tasya diam-diam.
Mengingat hal itu, membuatku segera menoleh ke arah Iva.
Ia terlihat tidak bersemangat hari ini, ia tidak ikut berkumpul
bersama teman-teman lainnya. Ia justru hanya menelungkup-
kan kepalanya di lengannya.
Sejak aku bertemu dengannya terakhir kali, dia lebih
banyak diam. Bahkan chatting yang biasanya dibalas dengan
cepat olehnya, justru kini selalu tertera tanda Delive dan ia
baru membuka dua hari setelahnya atau kadang lebih. Bahkan
obrolanku dengannya pun lebih singkat daripada biasanya.
Aku merasa pertemanan yang sudah kita jalin den-
gan baik, sekarang berbanding terbalik dengan apa yang kita
harapkan. Aku mulai mendekatinya, aku melihat Iva dari
dekat dengan wajah yang murung.

144
“Hei!” sapaku sambil mencolek pundaknya. Kulihat
ia hanya sekilas melihatku kemudian kembali menunduk dan
kudengar dia bergumam,
“Apa”
Aku menghembuskan nafas, “Kok cemberut aja sih?
Kenapa? Cerita dong”, ujarku sambil menepuk pundak Iva
lagi.
“Apaan sih lepasin nggak!” sahut Iva sambil berusaha
melepaskan tanganku dari pundaknya.
“Kenapa sih Va? Lo kok ngebentak gue gitu?” tanyaku
masih tidak paham dengan Iva. Saat aku berusaha menyanya-
kan salahku ke Iva, tiba-tiba Ilham datang menuju ke bangku
di depanku, di sebelah Iva. Seperti biasa, Ilham menjahili Iva
dengan menarik jilbab yang dikenakannya,
“Woy kenapa lo? Kurang tidur apa gimana?” seru Il-
ham.
“Brisik lo!” gertak Iva pada Ilham yang membuat Il-
ham tertawa santai seperfi biasanya dan masih terus menjahi-
li Iva. Ilham menatapku dan menunjukkan jarinya pada Iva,
seakan bertanya padaku, ‘Iva kenapa?’ dan aku hanya men-
gangkat kedua bahuku pertanda aku pun tidak tahu dengan
perubahan sifat Iva itu. Aku segera meninggalkan Iva, karena
kupikir dia ingin sendiri.
...
Jam istirahat berdering.
Seperti biasa, aku pergi ke kantin bersama teman
laik-laki lainnya. Saat melewati bangku Iva, dia yang tadinya
melihatku kemudian membuang muka dan mulai mengobrol

145
dengan teman sebangkunya, Nuha. Sepanjang perjalanan,
aku tidak merasa tenang. Aku selalu memikirkan salahku apa
pada Iva sehingga membuat dia seperti itu padaku.
“Bro, gue gak jadi kantin deh. Gue balik kelas lagi
ya” kataku pada yang lain.
“Serius? Habis ini pelajaran produktif loh. Gue gak
yakin lo bakal tahan laper selama 4 jam” kata Fadil.
“Gak papa, gampang tinggal pura-pura ke kamar
mandi padahal ngacir ke kantin” jawabku asal.
“Sialan!” seru Fadil yang disambut tawa oleh Azka,
Aye, dan Ilham.
Setelah membatalkan makan di kantin, aku cepat-ce-
pat kembali ke kelas. Sesampainya kulihat Iva sedang meraut
pensil di dekat tempat sampah yang ada di depan kelas. Keb-
etulan.
“Va, lo kenapa?” tanyaku. Iva tersontak kaget meli-
hatku yang tiba-tiba ada di hadapannya.
“Gak papa” jawabnya singkat kemudian kembali ma-
suk ke kelas. Namun sebelumnya, aku segera menahan tan-
gannya agar ia tetap tinggal dan bersedia untuk menjelaskan
‘diam’ nya itu.
“Kalo gak papa, kenapa lo cuek sama gue?” tanyaku
menatap tajam Iva.
“Siapa yang cuek sih? Ya gue juga tiap hari gini. Udah
ah, gue mau nyelesain tugas dulu” katanya kemudian masuk
ke kelas.
Baiklah, itu memang mau Iva. Aku tidak akan meng-
ganggunya lagi untuk sementara ini mungkin? Sampai dia

146
benar-benar kembali menjadi Iva yang ku kenal.
Pelajaran produktif.
Memang bukan favoritku. Tunggu, aku tidak punya
list untuk mata pelajaran favorit. Hanya saja, mapel produk-
tif sedikit mengena di otak daripada pelajaran lain. Aku juga
‘sedikit’ lebih bisa pelajaran menghitung daripada menghafal
yang membuat otakku jenuh.
Yang paling ku benci dari sistem pembelajaran ada-
lah mengelompok. Walaupun aku tidak pernah aktif dalam
kelompok. Tapi aku tidak suka berinteraksi. Apalagi kelom-
pokku kali ini benar-benar membuatku sangat awkward.
“Kelompok selanjutnya, Nuha, Tasya, Iva, dan Alfa”
kata bu Aisyah memberikan instruksi untuk segera berkum-
pul bersama anggota kelompoknya. Dengan berat hati dan
berat untuk melangkahkan kaki, aku menuju ke bangku di po-
jok belakang bergabung bersama anggota kelompokku. Aku
mendapati Tasya yang melambai ke arahku dan tersenyum
akupun dengan kikuk membalas senyumannya dan juga aku
sedikit melirik Iva yang kini berpura-pura sibuk memperha-
tikan Bu Aisyah.
“Woy lo berdua! Diem-diem bae elah gak kayak bi-
asanya lengket kayak lem” seru Nuha kepadaku dan Iva. Da-
lam hati aku merutuk, kenapa aku harus dipersatukan kelom-
pok dengan ‘tukang kompor’ di kelas ini?
Aku melirik Iva yang hanya diam saja. Aku pun begi-
tu. Dan lagi-lagi Nuha kembali menyeletuk,
“Lagi marahan? Dih, kayak orang pacaran aja. Atau
jangan-jangan lo berdua....” katanya menggantung sambil
menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

147
Aku dan Iva menatapnya tajam, “Pacaran” lanjut
Nuha.
“GAK!”
Aku menoleh ke arah Iva yang kini juga tengah me-
natapku karena aku dan dia menjawab bersama dengan kom-
pak. Nuha terkikik melihat tingkahku dan Iva begitupun Ta-
sya. Iva kemudian kembali mencairkan suasana,
“Gue gak pacaran sama Alfa. Buat apa coba? Ganteng
juga enggak” jelas Iva namun ia berbicara sembari menatap
Tasya seakan menjelaskan bahwa ia dan aku benar-benar ti-
dak ada hubungan apa-apa.
Dia, tengah membantuku kah?
“Kompak amat jawabnya Pak, Bu” ucap Nuha masih
terkekeh.
“Brisik” celetukku yang lagi-lagi hanya dibalas tawa
oleh Nuha.
Aku melihat Iva yang kini tengah asyik menulis sesuatu.
Tiba-tiba aku teringat kata-katanya waktu itu, saat di kedai
kopi..
‘Ya udah ungkapin aja’
Tadi dia membantuku? Meyakinkan Tasya, supaya
tidak salah paham walaupun Tasya belum tahu perasaanku
padanya, walaupun aku juga belum tahu bagaimana Tasya
terhadapku.
Iva, dia masih tetap baik.
...

148
149
150
“Aku tidak ingin menjauh. Tapi aku
juga takut untuk mendekat”
– Iva –
...

151
BAPER

Aku berkali-kali menatap layar ponsel. Berharap agar


sahabatku, Iva segera membaca dan membalas pesan yang ku
kirimkan tiga jam yang lalu.
Va, lg ngapain?
Jangan lupa ngerjain tugas yaa biar besok gw bisa nyon-
tek
Hehe..
Oh iya va, besok gw berangkat bareng lo ya?
Sekalian makan bubur Bang Rohmat
Gw ke rumah lo pagian aja okee
Namun yang tertera di ponselku hanya tanda ceklis
satu berwarna abu-abu. Dan fokusku teralihkan pada display
picture yang tiba-tiba menghilang dari sana.
Tumben sekali anak itu tidak memajang wajah kon-
yolnya, batinku.
Mungkin saja di tempat Iva sekarang sedang tidak ada
sinyal atau mungkin sedang tidak memiliki kuota sehingga
dia membiarkan pesan dariku tertumpuk.
Aku membaringkan tubuhku di atas kasur dengan len-
gan kananku sebagai bantalannya. Ku tatap langit-langit ka-
marku dan kembali merasakan bagaimana kelegaanku setelah
dapat menceritakan kepada sahabatku sendiri perasaan yang

152
telah lama kupendam untuk Natashya, gadis yang ku kagu-
mi. Iva pasti ikut merasakan kebahagiaan yang tengah aku
rasakan. Aku baru pernah menceritakan tentang rasa cintaku
kepada seorang gadis.
...
Keesokan paginya aku sengaja bangun pagi hanya un-
tuk mengajak Iva sarapan bubur ayam bersama di seberang
sekolah dengan maksud sebagai ucapan terima kasih karena
sudah meluangkan waktunya untuk mendengarkan curha-
tanku. Walaupun sudah bisa dibilang telat.
Saat ini aku sudah siap dengan seragam identitas dan
menunggangi si hitam kesayanganku. Sepanjang perjalanan
aku tak bisa berhenti tersenyum membayangkan bagaimana
Iva akan mendukung dan mendekatkanku dengan Tasya. Ah
sungguh fikiranku terlalu jauh. Bahkan baru beberapa ming-
gu lalu aku mengungkapkan bagaimana perasaanku walau
bukan kepada gadis yang kukagumi secara langsung. Tapi
setidaknya itu membuatku lebih tenang.
Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya aku sampai di
pelataran rumah Iva yang selalu asri seperti biasanya. Kare-
na ku tahu gadis gembul itu rajin sekali merawat kebersihan
rumahnya.
Aku turun dari motor lalu melepaskan helm dan
menaruhnya asal pada kaca spion. Kulirik jam yang ada pada
layar ponselku menunjukkan pukul 05.57WIB. Wow aku
bangga kepada diriku sendiri yang ternyata dapat pergi ke
sekolah pagi buta seperti ini. Ya walaupun dengan maksud
dan tujuan lain, tapi aku tetap bangga.
Dari kejauhan dapat kulihat Bu Nikmawati, atau ibu
dari Iva sedang menyapu halaman samping rumah.

153
“Assalamu’alaikum,” ucapku memberi salam. Bu
Nikma menoleh lalu tersenyum dan menghampiriku. Tanpa
basa-basi aku langsung menyalami ibu sahabatku yang sudah
kuanggap seperti ibu sendiri.
“Waalaikumsalam. Nak Alfa tumben pagi-pagi kesini.
Ada apa ya?” tanyanya ramah.
“Iva nya ada bu? Saya mau ngajak Iva berangkat
bareng sekalian makan buburnya bang Rohmat di depan
SMK, hehe,” jawabku kikuk.
“Walah, Iva nya udah berangkat dari tadi, Fa. Katanya
ada acara di sekolah?”
“Lho acara apa, Bu?” tanyaku heran yang memang
setahuku tidak ada acara apapun di sekolah.
“Nggak tahu, Fa. Mangkannya tadi dia berangkat pagi
buta sampai nggak sempat sarapan,” jelas Bu Nikma. Aku
cukup kecewa dengan kenyataan bahwa Iva sudah berangkat
di pagi buta seperti ini.
“Oh yasudah, Bu, saya permisi dulu. Assalamu’alai-
kum,” pamitku dengan menyalami kembali tangan Bu Nikma.
“Waalaikumsalam,”
Setelah itu aku kembali mengendarai matic hitamku
menuju sekolah. Namun sebelum itu aku menyempatkan diri
untuk membeli dua porsi bubur untukku dan Iva. Karena ku
tahu si gembul itu tidak tahan jika tidak sarapan.
Sesampainya di kelas, suasana masih sepi. Bahkan
Iva pun tidak ada disana. Hingga aku mencari ke kelas sebe-
lah, dia tetap tidak menunjukkan batang hidungnya. Dimana
anak itu?

154
Akhirnya kuputuskan untuk menunggu Iva di kelas
sembari memainkan ponselku yang sejak semalam tidak kua-
jak bermain game. Namun tak butuh waktu lama, Iva masuk
kedalam kelas dengan wajah sayunya. Langsung saja aku
menghampirinya dan menyerahkan satu box bubur ayam na-
mun tak kunjung diterima. Akhirnya ku pegang saja sembari
mengobrol dengannya.
“Lo baru dateng? Habis darimana? Kata Ibu, hari ini
ada acara sekolah. Acara apa emang? Kok gue nggak tahu?”
tanyaku beruntun. Dia menatapku sinis.
“Lo tahu apa tentang sekolah?” tanyanya balik yang
membuatku cukup terkejut. Pasalnya dia mengatakan hal itu
sembari menatapku tajam. Aku menghela nafas.
“Acara apa si? Lo jadi panitia?”
“Acara ngebalikin rapot gue yang ketinggalan. Puas?”
setelah mengatakan itu, dia duduk di bangkunya dan mele-
takkan tas dengan cukup keras. Aku pun menghampirinya.
“Yaelah, Va. Makannya jadi anak jangan pelupa. La-
gian rapot dikumpulin nanti kan bisa. Ga harus pagi-pagi
gini,” Iva hanya diam sembari menatap lurus ke depan.
“Jujur aja, kenapa lo berangkat pagi buta gini?”
tanyaku lagi. Iva masih diam dan terlihat sedang memikirkan
jawaban.
“G-gue piket. Tau sendiri kan kalo gue nggak piket
bakal dibully kayak gimana?” jawabnya cepat. Aku hanya
tersenyum samar lalu duduk di meja Iva.
“Lo piket kan hari senin. Sekarang hari rabu. Lo mau
coba bohong sama gue?”

155
Iva mendadak bungkam lalu mengerutkan dahinya.
“Emang kenapa kalo gue berangkat pagi? Nggak
boleh?” aku heran, kenapa dia ketus sekali hari ini?
“Ya nggak apa-apa sih,” pasrahku lalu menyerahkan
kembali box bubur ayam.
“Nggak usah. Gue udah makan,” tolaknya dengan
sarkas.
“Jangan bohong, Va. Kata Ibu, lo belom makan,” na-
mun Iva hanya memandang box itu dengan tidak berselera.
“Gue nggak laper dan lo nggak punya hak buat
nyuruh-nyuruh gue,”
“Makan dulu, Va. Nanti sakit,” bujukku halus. Tak bi-
asanya dia meninggalkan waktu sarapan seperti ini kecuali
ketika dia sedang berpuasa.
“Nggak mau!”
“Nanti kalo lo sakit yang ngasih contekan ke gue
siapa dong?” godaku berharap Iva terpancing dan mau me-
makan sarapan paginya.
“Minta sama Tasya!”
“Ini udah gue beliin lho, Va,” bujukku lagi.
“Udah dibilang nggak mau ya nggak mau Alfa!” dia
membentakku lalu berdiri dan meninggalkanku seorang diri
di kelas.
...

Saatnya jam istirahat...

156
Bel istirahat berbunyi nyaring di seluruh sudut sekolah.

Iva yang biasanya selalu mengajakku untuk pergi ke


kantin, sekarang dia malah pergi bersama teman yang lain.
Entah mengapa, dia seolah mengacuhkanku, menjauhiku,
dan enggan berbicara denganku.

“Hai, Fa. Kenapa muka lo kusut amat?” tanya Fadil,


teman sebangku ku.

“Nggak papa. Tumben nggak ke kantin?” tanyaku.

“Lagi males ke kantin nih, lagi bokek soalnya.” Katan-


ya sambil tersenyum.

“Bokek tapi punya kuota banyak. Ckck.” Kataku ngele-


dek.

“Lah kan duit gue abis buat beli kuota, biar bisa main
Mobile Legend.” Jawab Fadil.

“Terserah lo dah.” Kataku sewot.

Aku pun lanjut bermain game di laptop. Hanya itu yang


sering aku lakukan saat jam istirahat atau jam kosong. Wa-
laupun terkesan seperti orang yang suka menyendiri. Tapi
memang sih, aku agak kesulitan untuk bersosialisasi dengan
teman-teman.

Lain halnya dengan Fadil yang selalu usil dengan


teman-temanku di kelas. Makanya kalo tidak ada Fadil pasti

157
kelas terasa sepi, tanpa ocehan-ocehan yang kadang mem-
buatku dan teman-teman menertawainya.

“Eh, Fa. Mabar yuk.” tawar Ilham.

“Tanggung udah mau masuk” kataku.

“Bentar doang kok.” katanya memaksa.

“Ya udah ayo!” kataku.

Kami akhirnya bermain bersama. Dan tidak terasa guru


pun sudah masuk ke kelas untuk memberikan pelajaran.

“Assalamu’alaikum.” Pak Joko mengucapkan salam.

“Wa’alaikumsalam.” kataku bersamaan dengan teman


sekelas.

“Kemarin kita sudah sampai mana ya?” tanya Pak Joko.

“Mmm, sudah sampai Teks Eksposisi, Pak. Tapi baru


pengertian-pengertiannya saja.” kata Leli.

“Oh iya. Sekarang kita belajar bagian-bagian dari Teks


Eksposisi ya. Sebelumnya buatlah kelompok sebanyak 9
kelompok atau per kelompok 4 orang. Kemudian buatlah 1
Teks Eksposisi tentang Gamelan. Lalu buatlah power point
supaya bisa di presentasikan di kelas. Buatlah se menarik dan
se jelas mungkin, supaya mudah untuk dipahami.” Kata Pak
Joko menerangkan.

158
“Baik, Pak.” kami dengan serentak menjawabnya.

“Lalu bagaimana dengan pembagian kelompoknya,


Pak?” tanya Shelin.

“Berhitung saja ya, di mulai dari Wahyuni ke belakang.”


jawab Pak Joko.

“Siap, Pak.” kata Shelin.

Aku pun mendapat nomor urut ke 2. Dan tidak disang-


ka aku pun satu kelompok dengan Iva. Iva masih saja cuek
padaku dan mengacuhkanku. Entah salah apa yang sudah ku
perbuat hingga Iva begitu padaku.

Saat berkelompok pun Iva tidak menyapaku atau men-


gajakku berbicara.

“Emm, Va. Lama nggak ngobrol padahal masih satu ke-


las.” kataku mencoba membuka pembicaraan.

“Mmm.” jawab Iva yang masih saja belum mau berbin-


cang-bincang denganku.

Kami pun tidak saling berbincang selama diskusi


kelompok tersebut hingga akhirnya jam pelajaran hampir
selesai.

Beberapa saat kemudian...

“Baiklah anak-anak, waktu pelajaran sudah selesai.

159
Bagi kelompok yang belum selesai harap untuk bisa meng-
umpulkan secepatnya. Terimakasih. Wassalamu’alaikum”
kata Pak Joko.

“Baik, Pak. Wa’alaikumussalam.” kataku dan teman-


teman

Jam pelajaran Pak Joko sudah selesai. Kami pun kem-


bali ke bangku masing-masing untuk mengikuti pelajaran
yang selanjutnya.

“Fadil, gue mau nanya deh sama lo.” kataku.

“Nanya tinggal nanya ya elah lo.” jawab Fadil kesal.

“Menurut lo, Iva kaya ngejauh gitu nggak sih dari


gue?” tanyaku penasaran

“Perasaan lo aja kali.” jawabnya.

Aku sambil pikir-pikir. Apa cuma perasaanku aja atau


emang beneran Iva ngejauh dariku.

“Enggak kok, Iva kaya ngejauh gitu dari gue.” kataku

“Mungkin Iva nggak mau baper kalo lagi sama lo.”


jawab Fadil

“Baper gimana?” tanyaku penasaran.

“Lo nggak ngerasa gitu, kalo Iva tuh kayaknya suka


sama lo. Tapi lo nggak peka.” katanya sambil nge gas.

160
Aku pun terdiam mendengar kata Fadil yang mem-
buatku bingung.

“Gue tuh selama ini nganggep Iva cuma sahabat gue.


Denger ya, SAHABAT!” kataku.

“Tapi nggak mungkin lah Iva nganggepnya gitu. Se-


cara kan pertemanan antara cewek dan cowok nggak mun-
gkin ada salah satu pihak yang ngerasa kalo itu bukan sekedar
sahabat. Namanya juga cewek.” jelas Fadil yang notabenen-
ya lebih tau mengenai cewek dari pada aku.

“Gue tuh sukanya sama Tashya, dan gue cuma ngang-


gep Iva sahabat doang.” kataku tegas tanpa sadar.

Aduh, keceplosan lagi.

“Oh, jadi lo sukanya sama Tashya. Nah sekarang lo


kudu jelasin sama Iva baik-baik supaya dia nggak salah pa-
ham atas perlakuan lo selama ini ke dia.” kata Fadil member-
ikan solusi.

“Yah, coba deh ntar.” kataku

Emang susah ya kalau berurusan sama cewek. Kaya


gini salah, gitu salah. Berteman sama cewek itu harus ekstra
jaga sikap supaya tidak terjadi salah paham atau bahasa seka-
rang supaya tidak baper nantinya.

...

161
162
“Asal kau tahu setelah tiba-tiba
sikapmu berubah, aku mengkhawatir-
kanmu sahabatku”

... mzx

163
PERDEBATAN YANG
TIDAK PENTING

Pagi ini lagi-lagi tak terasa seperti biasanya. Iva ma-


sih saja mendiamkanku. Entah karena masalah apa aku pun
tak tahu. Apakah dia tak apa jika tak bersamaku? Apakah
dia akan diperlakukan yang tidak mengenakkan oleh teman-
teman yang lain jika tak bersamaku? Tapi, ah untuk apa ku
fikirkan. Lagipula sepertinya dia bisa menjaga diri dengan
baik. Dan aku pun selalu mengawasinya walaupun dari ke-
jauhan.
Aku melangkahkan kaki dengan cukup santai keti-
ka melihat pintu gerbang sudah hampir tertutup sempurna,
sampai seseorang berseragam putih biru yang di dada kirinya
bertuliskan ‘SATPAM’ itu menegurku,
“Cepat masuk atau kamu akan mengenakan rompi
oranye hari ini!” begitu ucapnya dengan sedikit menggertak-
ku. Aku tak menjawab. Hanya menambah kecepatan langkah
kakiku.
Sesampainya di kelas, suasana ramai seperti biasanya.
Dan aku memang tidak terlalu peduli dengan suasana kelas.
Aku langsung duduk di kursiku yang bersebelahan dengan
tas milik Fadil dimana sang pemilik sedang asyik ngerumpi
dengan Yunita dan lainnya. Lagi-lagi aku tak peduli.
Aku memperhatikan Iva dari jauh yang terlihat sedang
asyik memainkan ponsel pintarnya sambil sesekali bergurau
dengan temannya dari kelas sebelah. Syukurlah dia baik-baik
saja. Asal kau tahu setelah tiba-tiba sikapmu berubah, aku

164
mengkhawatirkanmu sahabatku.
Tak berapa lama jam pelajaran pun dimulai. Pagi ini
kelasku mendapat giliran untuk menggunakan lab akuntansi
yang dekat dengan lab simulasi digital.
Kami pasukan pandawa berjalan paling akhir dan ter-
lihat paling santai dari yang lain. Karena kami memang cuk-
up mahir dalam menggunakan komputer dibandingkan den-
gan murid perempuan. Tapi untuk masalah komputer yang
berhubungan dengan akuntansi, kami juga cukup pusing.
Setelah masuk dan absen seperti biasa, aku langsung
merasakan kantuk setelah Bu Eko mengatakan bahwa ma-
teri hari ini adalah presentasi mengenai makanan yang telah
diproduksi dan dipasarkan oleh teman-teman.
Aku sudah dapat membayangkan akan seperti apa
presentasi itu berjalan. Pasti akan sunyi dan membuatku san-
gat mengantuk. Tapi pendapatku ternyata salah besar ketika
si kurus kering Nuha maju ke depan dan memulai presenta-
si dengan suara cemprengnya seperti biasa. Dia kreatif dan
selalu membuat presentasi berbeda dari yang lain. Tapi aku
tetap tidak menyukainya. Aku lebih senang berteman dengan
teman lelakiku dan Iva juga tentunya.
Setelah 3 jam yang membuat telingaku panas men-
dengar segala celotehan si kurus kering akhirnya waktu
istirahat pun tiba. Aku dan keempat temanku segera keluar
dari lab dan menyerbu kantin setelah Bu Eko mengucapkan
salam pertanda berakhirnya jam pembelajaran pada hari ini.
Waktu istirahat memang terasa sangat cepat dibanding-
kan dengan waktu belajar. Saat ini aku sedang duduk di kursi-
ku namun bukan dengan Fadil. Melainkan dengan Ilham yang
sedang bermain game online di ponselnya sama denganku.

165
”Fadil sama Aye kemana, Ham? Kok gak keliha-
tan?” tanyaku yang tak mendengar celotehan mereka dari
belakangku.
“Kamu kangen sama mereka, Fa? Wkwk,” Ilham ter-
tawa dan langsung saja kuhadiahi pukulan ringan di kepalan-
ya.
“Ngawur,” kataku pelan.
Sudah lebih dari 45 menit setelah jam istirahat bera-
khir namun Pak Slamet selaku guru yang mengajar Akun-
tansi Keuangan hari ini tidak kunjung datang. Dan itu tentu
saja disambut dengan gembira oleh teman-teman sekelasku.
Ya meskipun aku tidak terlalu peduli dengan keadaan kelas,
tapi aku tahu apa saja yang teman-temanku lakukan saat jam
kosong seperti ini. Lihat saja di pojok kelas yang dekat den-
gan jendela, disana ada kumpulan anak yang sedang tertidur
di bawah meja dengan muka yang ditutupi buku. Mungkin
untuk menutupi muka aibnya saat tidur. Lihat juga gerom-
bolan dekat pintu yang sibuk berteriak sembari memandangi
layar laptop. Dan itu cukup membuatku terganggu. Jangan
lupakan kelompok tengah yang sibuk membahas make-up
dan bergosip ria. Tapi kembali pada situasi awal, aku tidak
peduli dengan keadaan kelasku.
Dan ketika aku sedang asyik bermain game dengan
Azka dan Ilham, tiba-tiba suara Fadil menginterupsi semuan-
ya agar seluruh perhatian tertuju padanya. Tapi aku tidak ter-
tarik dengan ulah Fadil. Karena sepertinya dia hanya main-
main. Namun secara otomatis kepalaku mengarah ke depan
ketika terdengar suara perempuan yang famliar di telingaku.
“Teman-teman. Boleh minta waktunya sebentar ng-
gak? Ini masalah HUT SMK,” Tasya berbicara dengan cukup
keras agar teman-teman mengarahkan perhatian kepadanya.

166
Namun seperti biasa, suasana tak terlalu kondusif hingga
membuat Tasya menghela nafasnya kasar.
Aku yang memang sedang sibuk dengan ponselku
sendiri pun menghiraukan ketiga orang yang berdiri di depan
kelas dengan membawa beberapa lembar kertas.
“Hey teman-teman, kita mohon kerja samanya untuk
menyukseskan acara HUT SMK terakhir kita disini,” kali ini
Aye yang berbicara dengan suara tegas seakan sedang mela-
tih adik kelas Pramukanya.
Shelin sebagai promotor murid perempuan turut maju
dan duduk di bangku barisan depan dengan menopangkan da-
gunya lalu menyuruh seluruh temannya untuk diam.
“Jadi gini,” Tasya terlihat merapikan kertas yang ada
di tangannya. Aku pun mulai tertarik ketika kembali men-
dengar suaranya. Aku menghentikan aktivitas lalu menaruh
ponsel di laci dan mulai mendengarkan apa yang akan mere-
ka katakan.
“Sebentar lagi kan ulang tahun SMK kita, nah yang
harus kita persiapkan salah satunya adalah kostum untuk
masing-masing kelas yang harus kompak. Ada pendapat ga
kita harus pakai kostum apa?” tanya Tasya setelah memapar-
kan sedikit pemberitahuan dari kertas yang dipegangnya.
“Kalau dari pihak OSIS mengusulkan baju olahraga
dengan imbuhan kain batik sebagai hiasan,” jelas Fadil sang
anggota Dewan Perwakilan Kelas kebanggaanku.
Dengan secepat kilat, si anak rantau yang duduk di
hadapan Fadil mengangkat tangannya. Aku hanya menghela
nafas sembari menyandarkan tubuhku ke punggung kursi. Bi-
asanya suasana seperti ini akan berubah menjadi panas kare-
na sesi adu mulut akan dimulai.

167
“Gue usul!” ucap Shelin cepat.
“Apa?” balas Tasya yang siap menyimak.
“Gimana kalau kita memakai baju kelas aja? Kan
udah pasti seragam tuh. Kalau kaos olahraga kan udah main-
stream. Gimana?” usul Shelin.
“Usul ditampung. Ada lag—“
“Tapi kan ini acara penting sekolah kita lho, Shel.
Masa mau pake kaos kelas?” potong Fadil cepat tak setuju.
“Se-enggaknya gue udah usul, Dil. Kalau ga diterima
yaudah gapapa,”
“Iya, Dil Shelin bener,” bela Tasya. Fadil hanya men-
gangguk.
“Emang kenapa sih kalo kita pake kaos kelas waktu
ulang tahun SMK? Malu-maluin ya? Atau gimana?” tanya
Shelin sedikit sarkas karena merasa kaos kelas yang ia desain
sendiri tidak dihargai.
“Bukan gitu. Tapi ini kan acara penting, Shel. Jadi
kostum atau dresscode-nya harus yang sesuai sama penampi-
lan SMK yang rapih,” dan sekarang aku mulai mencium bau-
bau pertikaian.
“Iya, Lin. Kaos kelas gue juga hilang. Nanti gue
sendiri dong yang beda?” kali ini Wahyuni sang pemilik su-
ara cetar ikut memberi pendapatnya.
Aye dan Tasya yang berdiri di depan bersama Fadil
hanya saling pandang dengan sedikit tersenyum kecut. Mer-
eka berdua sudah cukup hafal dengan suasana ini. Karena se-
bentar lagi perdebatan akan dimulai.

168
“Yaudah kalau mau rapih kenapa ga pake baju osis
atau baju identitas sekalian?” suara Shelin semakin tidak
enak didengar. Aku yang hanya menyimak berspekulasi bah-
wa Shelin sedang kedatangan tamu bulanannya sehingga
emosinya menjadi tidak terkontrol seperti ini.
“Tapi dari pihak OSIS kan nyaraninnya kaos olahraga
sama kain batik, bukan baju OSIS ataupun baju identitas,”
Emosi Fadil pun ikut tak terkontrol setelah melihat wajah
Shelin yang terlihat kesal.
“Udah, Dil, Shel. Masalah begini ga usah diperdebat-
kan,” Tasya menengahi. Namun air muka Shelin masih terli-
hat tak enak dipandang.
“Kalo dari pihak OSIS nya udah nyaranin pake olah-
raga, ngapain kalian minta saran lagi dari kita? Lagian kalo
ada yang saran juga ga bakal didenger sama kalian!” suara
Shelin meninggi. Membuat suasana kelas semakin panas.
“Gue ga budek lho, Shel. Daritadi gue dengerin semua
ocehan lo,” rahang Fadil sedikit mengeras dan menatap She-
lin dengan cukup tajam.
Shelin berdiri dari bangkunya lalu balik menatap
Fadil.
“Jadi daritadi gue usul itu cuma dianggep ocehan
sama lo dan ga penting, gitu!?”
“Gue ga bilang kalo itu ga penting. Lo sendiri yang
mikir gitu,”
“Kok malah berantem sih? Udah Shel, Dil. Gaenak
didenger kelas sebelah yang lagi ada KBM. Takutnya mereka
keganggu,” Aye mencoba membantu Tasya untuk menengahi
kedua temannya ini.

169
“Iya bener kata Aye. Nanti kalo tiba-tiba Pak Slamet
dateng gimana? Mending lo duduk, Shel,” Puji yang saat itu
tengah duduk di samping Shelin turut mendinginkan suasana.
Seolah dianggap sebagai angin lalu, ucapan dari Puji
dan Aye tak dipedulikan sama sekali. Mereka masih dalam
kondisi yang tersulut emosi.
“Yaudah kalo lo mau pake kaos kelas selama HUT
SMK silahkan! Gaada yang ngelarang! Pake aja tuh baju
sendirian!” sarkas Fadil akhirnya.
“DASAR EGOIS!” geram Shelin tak tertahankan.
Semua penghuni kelas pun terkejut dengan teriakan Shelin.
Tiba-tiba Fadil mendekati meja Shelin lalu mengge-
brak meja dengan sekuat tenaga menggunakan kedua tangan-
nya yang dapat kupastikan terasa sangat sakit. Karena suara-
nya terdengar sangat keras.
BRAKK!
“Lo bilang gue egois?” Fadil tersenyum mengeluar-
kan smirk nya.
“Lo ga mikir dan ngaca ke diri sendiri kalo yang sebe-
narnya egois itu lo!” emosi Fadil tak tertahankan. Nafasnya
memburu seakan ingin mengeluarkan semua kemarahannya.
“Dengar ya, daritadi gue itu udah berusaha sabar ngehadapin
lo! Tapi lo semakin ngelunjak dan gue—“ ucapan Fadil ter-
potong dengan cepat ketika Pak Slamet datang dan masuk ke
dalam kelas yang situasinya sama sekali tidak mengenakkan.
“Assalamu’alaikum”
Sontak penghuni kelas kembali duduk rapih di kursi
masing-masing. Tak terkecuali Fadil dan Shelin yang terpak-

170
sa harus menahan emosi hari ini.

. . .

171
172
”Awalnya aku melihatmu hanya
sebagai teman. Hingga akhirnya sadar
datang, bahwa ternyata aku cinta kamu.
Lebih dari teman”
-Alfa-
...

173
BELAJAR BERSAMA

Hari-hari awal kelas XII terus berlalu, Bulan Septem-


ber juga telah tiba. Begitu pula dengan rumor tentang USK
juga mulai banyak beredar di kelas. Apalagi anak–anak per-
empuan hampir setiap hari yang dibicarain USK. Nggak
cuma anak kelas yang membicarakan hal itu, tiap hari guru
produktif juga sama, setiap kali masuk kelas pasti yang di-
omongin USK. Bikin bosen aja. Yang katanya pulang sam-
pai malem lah, banyak yang nggak kompeten lah tahun lalu,
yang tes wawancaranya gini lah gitu lah, ribet pokoknya. Di
bulan ini kita sudah mulai fokus belajar untuk USK, selain itu
seluruh mata pelajaran produktif yang tidak ada hubungann-
ya dengan USK atau yang tidak diujikan diganti dengan mata
pelajaran yang akan diujikan di USK nanti.
Hari kamis adalah hari yang paling menyebalkan
menurutku. Bagaimana tidak? Dimana hari itu dipenuhi den-
gan seluruh mata pelajaran produktif yang sungguh sangat
menguras otak, pikiran, dan tenaga dari pagi sampai pulang
nanti. Mata pelajaran pertama hari itu ada Komputer Akun-
tansi yang diampu oleh Ibu Eko, dimana selama pelajaran
kita berada di Laboratorium dengan menghadap komputer
untuk mengerjakan transaksi-transaksi dan menginputnnya
diaplikasi Myob.
“Di tempat duduk siap grak! Beri salam!” instruksi
Aye si ketua kelas ketika semua sudah siap.
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh”
ucap semua siswa.
“ Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh”
jawab Bu Eko

174
“ Sebelumnya ibu absen dulu ya…” seperti biasa,
pembelajaran diawali dengan absensi.
“Iya buu”
Setelah semua sudah diabsen Bu Eko pun mulai me-
nerangkan materi tentang perusahaan dagang tersebut, dan
memberikan soal untuk mulai dikerjakan oleh siswa. Setelah
sekian lama berkutat dengan Myob dan soal-soal itu akh-
irnya selesai sudah mata pelajaran Komputer Akuntansi ini.
Sebelum dilanjut untuk pelajaran berikutnya ada jeda waktu
istirahat yang dimanfaatkan teman-teman sekelasku dengan
berbagai kegiatan, ada yang pergi ke Masjid untuk sholat
dhuha, ada yang makan bekal bawaan dari rumah, ada yang
pergi ke kantin, ada juga yang ngerumpi nggak jelas arah dan
tujuannya.
“Alfa, ke kantin yuukk laper nih gue” ajak Fadil.
“Gak ah males “ jawabku, sambil sibuk memainkan
game yang ada di laptop.
“ Yaudah deh gue ajak Azka sama Aye aja” jawab
Fadil.
Akupun kembali melanjutkan permainan game yang
seru ini, tanpa mau memperdulikan kegiatan teman-temanku
yang lain. Bel tanda berakhirnya waktu istirahat berbunyi,
para siswa buru-buru untuk menuju kelas masing-masing un-
tuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Mata pelajaran berikut-
nya adalah mata pelajaran yang diajar oleh Pak Slamet tapi
beliau tidak bisa mengajar selama beberapa pertemuan kare-
na ada tugas diluar kota. Karena Pak Slamet tidak bisa men-
gajar akhirnya digunakan oleh teman-temanku untuk belajar
USK, sebenarnya ada tugas dari Pak Slamet untuk presentasi
per kelompok dan dibuat video, tapi ya biasalah pada nggak
melaksanakan tugas yang diberi dan lebih baik untuk belajar
USK yang udah nggak lama lagi. Tapi karena aku males dan

175
mager mending lanjutin main game yang tadi aja. Akupun
mulai berkutat kembali dengan game yang kumainkan ini.
Saat sedang asik main game dengan Fadil, Aye, dan lainnya,
aku merasa aneh,
“Kok kayak ada yang perhatiin gue ya?” tanyaku
dalam hati, saat aku tengok ke sekeliling kelas ternyata lagi
pada sibuk sendiri dengan kegiatannya masing-masing,
“Perasaan gue aja kali” gumamku. Akhirnya kulan-
jutkan gameku lagi sampai waktu Dhuhur tiba.
“Alfa sholat yukk, nanti langsung ke kantin makan “
ajak Ilham,
“Yo” jawabku dan mulai beranjak dari tempat duduk.
“Azka, Aye, Fadil sholat yuukk, nanti langsung ke
kantin makan” ajak Ilham kepada teman laki-lakiku yang
lain.
“Yah udah makan gue” jawab Fadil.
“Ya nggak papa kali, emang ke kantin cuma ada
makanan doang apa? Lo kan bisa beli minuman atau apa kek
terserah” timpal Ilham.
“Iya juga yaa” jawab Fadil sambil cengengesan ng-
gak jelas.
Akhirnya kita berlima menuju masjid untuk menun-
aikan kewajiban sebagai seorang muslim, yaitu sholat dhuhur
berjamaah.
Waktu sholat dan istirahat selesai disambung pelaja-
ran selanjutnya oleh Pak Purna Adi. Sebenarnya beliau men-
gampu mata pelajaran Administrasi Pajak, namun karena ti-
dak diujikan untuk USK akhirnya diganti untuk membahas

176
soal transaksi manual, cara mengajar pak Purna lumayan enak
kadang juga diselingi dengan candaan-candaan konyol yang
membuat kita tertawa mungkin itu cara beliau mengatasi jam
pelajaran terakhir yang biasanya para siswa sudah tidak kon-
dusif untuk mengikuti pelajaran. Tidak jarang juga beliau ber-
sama temanku berdebat tentang suatu hal, baik itu soal cara
menjawab atau apa saja dan beliau pasti mau menang sendiri.
Ada aja cara beliau supaya bisa membalikkan keadaan. Selain
itu, setiap sebelum pulang selalu disuruh untuk menyanyikan
lagu nasional ataupun mars Skansa. Dan diakhiri dengan doa
bersama sesuai kepercayaan masing-masing.
“Di tempat duduk siap grak! Berdoa mulai!” instruksi
Aye selaku ketua kelas.
“Allohuma………, ammiiiiiinnn”
“Selesai.. kepada guru, beri salammm!”
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh”
“ Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh”
“Terimakasih, InsyaAlloh ilmu yang diberikan ber-
manfaat, ammiiiiinnnn…”
“Iya sama-sama”
Siswa mulai berhamburan keluar kelas untuk segera
menuju ke rumah masing-masing. Begitupun dengan aku,
bergegas untuk pulang karena capek dengan kegiatan yang
dilalui hari ini. Saat sedang asyik memasukkan barang
bawaan kedalam tas tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku.
Akupun menoleh,
“Alfa, kamu mau nggak belajar sama aku?” tanya Ta-
sya

177
“Belajar bareng?” tanyaku balik sedikit kaget.
“Iya belajar bareng, aku sama kamu” jawab Tasya en-
teng.
“Kenapa aku?” tanyaku lagi kebingungan dengan
sikap Tasya yang tiba-tiba meminta untuk belajar bersama.
“Yaa, dari pada kamu nge-games terus?“ ucap Tasya
memberi alasan.
“Hmm. kapan?” jawabku sedikit ragu.
“Kalo sekarang kamu bisa nggak?“
Ohh GOD. Mimpi apa aku semalam Tasya tiba-ti-
ba memintaku untuk belajar bersama? Apa dia tidak salah
memilih teman? Kenapa harus aku yang notabene nya bukan
anak yang pintar seperti dirinya.
“Hm”
“Yaudah ayo”
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, akhirnya aku pun
mengiyakan walaupun dengan keadaan capek karena kegia-
tanku seharian. Namun ada rasa senang menyusup lembut
ke dadaku. Kapan lagi bisa berduaan dengannya. Seperti ada
segerombolan kupu-kupu menari nari di dalam perutku. Aku
tersenyum sendiri. Oh shitt!
...
Keesokan harinya aku berangkat sekolah seperti bia-
sa dengan perasaan bahagia. Apakah sebesar ini dampaknya?
Bisa membuatku lebih semangat untuk berangkat ke sekolah.
Sebenarnya bukan tentang berangkat ke sekolah. Tapi lebih
ingin untuk cepat bertemu dengannya dan belajar bersama

178
seperti hari kemarin. Bel tanda jam pelajaran pertama dim-
ulai. Pembelajaran berjalan dengan lancar seperti biasanya
selama tiga jam.
Datanglah waktu istirahat yang paling ditunggu-tung-
gu oleh para siswa. Bukannya belajar USK diwaktu senggang,
aku lebih memilih untuk bermain game di laptop sedangkan
teman-temanku sibuk dengan kegiatan masing-masing bah-
kan teman sebangkuku Fadil sudah pergi entah kemana seh-
ingga kursi di sebelahku kosong dan meninggalkanku sendiri
di bangku dekat tembok ini.
Saat sedang asik-asiknya bermain game tiba-tiba ada
seseorang yang duduk disebelahku. Aku menoleh. Ternya-
ta Tasya. Jantungku langsung berdetak tidak karuan saat
tahu bahwa dia yang duduk di sebelahku. Jantungku seo-
lah melompat keluar dari tempatnya. Aku berdoa dalam hati
semoga dia tidak mendengar detak jantungku yang sedang
menabuh dendangnya. Lalu dia bertanya,
“Kamu lagi ngapain?“ tanyanya sambil melongokan
kepalanya melihat laptop di hadapanku.
“Eh? Nge-game“ jawabku sedikit terbata.
“Kamu nggak belajar?“ tanya dia lagi.
“Kan waktunya istirahat”
“Ya buat belajar kek. Jangan nge-game terus“ ce-
ramahnya kali ini sukses membuatku memalingkan wajah
menghadapnya. Aku terperanjat karena dia juga sedang me-
natapku.
Aku buru-buru kembali menatap layar laptop dan ber-
dalih, “Iya“
“USK nggak lama lagi loh“ ucapannya seolah mende-
sakku supaya berhenti nge-game.

179
“Iya, cerewet” gumamku dengan nada sepelan mun-
gkin. Tapi dia tetap saja mendengar.
“Ntar pulang sekolah belajar bareng aku lagi ya?
Biar kamu nggak di urutan paling bawah terus. Biar USKnya
kompeten juga” Ohh dia mengajakku untuk belajar bersama
lagi. Aku menjawab dalam hati, “Dengan senang hati”
“Yaudah aku balik ke mejaku. Nge-gamenya uda-
han!” perintahnya sembari bangkit dari tempat duduk Fadil.
“Iya” menuruti perintahnya. Aku meng-close games
di laptopku. WOW! Baru kali ini konsentrasi ku pada games
dapat terkalahkan oleh perintah seorang cewek. Ahh aku be-
nar-benar mabuk.
Setelah dia pergi dari sampingku aku langsung menge-
lus dadaku berusaha untuk menetralkan detak jantungku, dan
bersyukur karena dia tidak menyadari detak jantungku yang
berdenyut dengan kencang saat bersamanya.
Jam pulang telah tiba. Berbondong-bondong siswa
berebut keluar kelas. Aku mengurungkan niatku untuk be-
ranjak dari tempat duduk karena ingat janjiku dengan Tasya
untuk belajar bersama.
“Alfa balik yuuk” ajak Ilham.
“Duluan aja“ jawabku santai.
“Yaudah gue pulang dulu ya“ Ilham segera keluar
kelas. Dan di kelas ini hanya tersisa aku dan Tasya. Setelah
kelas sepi dia menghampiriku.
“Ayo mulai belajarnya” katanya mengawali.
“Iya“ aku mengeluarkan kertas-kertas fotokopian se-
bindel yang berisi materi untuk USK. Akhirnya kita mulai
belajar, tapi bukannya fokus dengan pelajaran yang sedang

180
dipelajari aku justru fokus memperhatikannya. Terlalu lama
aku memperhatikan gurat wajahnya, mungkin dia merasa
aneh dan tersadar lalu menegakkan kepalanya.
“Kamu kenapa sih? Lagi ngeliatin apa emang?“ Tasya
bertanya sambil celingukan mencari objek yang mungkin se-
dang ku lihat. Dia takkan menemukan itu. Karena aku,
“Lagi ngeliatin kamu” jawabku dalam hati.
“Hehh! ditanya palah bengong“ ucapnya sambil
melambaikan tangannya di depan wajahku.
“Ehh! Hah? Nggak kok” aku tersadar dari lamunan-
ku. Cepat-cepat aku menundukan kepala melihat kertas yang
dianggurin beberapa saat di atas meja.
“Aku kira ngeliatin apa, Yaudah ayo sambung lagi be-
lajarnya”
Setelah ketahuan memperhatikannya akhirnya aku
dan dia kembali melanjutkan belajar dengan sesekali kem-
bali memandang wajahnya. Setelah kira-kira dirasa cukup
belajarnya kamipun pulang ke rumah masing-masing. Aku
pulang dengan perasaan bahagia dan senyum yang terus ter-
bit di bibirku ini.
Perasaan macam apa ini? Kupu-kupu seakan terus
menari di dalam perutku. Geli sendiri rasanya jika aku meng-
ingat-ingat setiap lengkungan tipis yang tercipta disudut bi-
birnya hingga aku tersadar,
Kamu terlalu sempurna bagiku.
Aku hanyalah rumput liar di pinggir jalan. Mana
bisa menemani bunga di tengah taman.
...

181
182

“Lebih baik mencintai dalam diam dan


berdoa dalam setiap sujud sholat malam
daripada harus merusak ikatan persa-
habatan”
– Iva –
...

183
CINTA DAN PERSAHABATAN

Sudah cukup lama ternyata aku dan Iva tidak berko-


munikasi. Akupun bingung dengan Iva, mengapa setiap kali
aku menghubunginya tidak pernah ada balasan. Saat di kelas
pun dia tampak menjauh dariku, padahal hanya dialah saha-
bat yang aku punya.
Biasanya kita selalu menghabiskan weekend bersa-
ma, meskipun hanya untuk makan atau saling bertukar cerita
tentang apa yang kita alami. Ya meskipun kita setiap hari ber-
sama, namun aku tak pernah merasa bosan.
Weekend kali ini benar-benar membosankan. Aku ha-
nya ditemani PS dan juga tugas sekolah yang segudang. Aku
tak pernah merasa sesepi ini dulu, waktu aku masih bersama
Iva.
Apa yang kau rindukan sebenarnya dalam hidupmu?
Apakah kenangan bersamanya?
Ataukan dirinya?
Perasaan macam apa ini?
Mengapa rasanya sakit dan sesak?
Tanpa sadar buku tulis yang seharusnya aku isi den-
gan jawaban tugas matematika justru aku isi dengan tulisan
yang menurutku cukup menggelitik. Aneh, mengapa aku se-
karang jadi puitis. Aku mulai menertawai diriku yang entah
mengapa menjadi seperti ini.

184
“Kalau ini ketahuan Iva, bisa-bisa gue kena nyinyir
abis-abisan nih. Dia kan keturunannya Lambe Turah” ucap-
ku dalam hati seraya diiringi tawa geli.
”Mending gue buang aja dari pada ketahuan si ratu
nyinyir, kan berabe” lanjutku.
Tiba-tiba telepon genggamku berdering,
Drrttt... . Ternyata ada pesan dari Tasya, wanita yang
sangat aku idamkan dan dialah wanita pertama yang telah
berhasil mencuri hatiku.
Alfa, kamu lagi sibuk nggak? Aku lagi gabut banget
nih
Kenapa?
Jalan yuk!
Iya
Kita ketemu di alun-alun yaa, jam 3. Aku tunggu
Karena masih jam setengah 10, jadi aku memilih
melanjutkan bermain PS yang sempat tertunda tadi gara-gara
harus mengerjakan tugas, lebih tepatnya justru nulis kata-ka-
ta ajaib nan menggelikan itu. Entah mengapa tiba- tiba rasa
mengantuk menghinggap, dan akupun tertidur pulas.
Saat aku terbangun dari tidurku, aku sangat terkejut.
Ternyata jam telah menunjukkan pukul 3.30 dan artinya aku
telat! Lalu aku mengecek telepon genggamku, mengecek
apakah ada pesan dari Tasya atau tidak, dan ya benar, Tasya
telah menelponku sebanyak 10 kali dan juga membombardir
WA ku dengan sejuta pertanyaan. Aku pun meminta maaf ke-
pada Tasya karena aku tadi ketiduran dan memintanya untuk
tetap menunggu di sana. Aku benar-benar bingung, akhirnya

185
tanpa mandi aku langsung ganti baju dan menuju tempat di-
mana Tasya telah menungguku selama kurang lebih setengah
jam.
Sesampainya aku di alun-alun, aku langsung menuju
ke tempat tukang seblak. Karena Tasya barusan telah mengi-
rim pesan kalau dia lapar jadinya makan seblak dulu. Tasya
memang anak yang suka makan, jadi maklum saja menung-
gu lama baginya adalah waktu terbaik bagi cacing-cacing di
perutnya untuk diberi asupan. Tapi anehnya entah mengapa
Tasya tetap saja kecil tidak seperti Iva, makannya standard
tapi jadi lemak semua. Eh, mengapa lagi-lagi aku ingat Iva?
Sudahlah lebih baik aku cepat-cepat menemui Tasya.
”Sorry telat” kalimat pertama yang keluar dari mulut-
ku saat aku telah bertemu Tasya.
“Iya, nggak papa kok. Makasih juga ya...” jawab Ta-
sya.
“Makasih? Buat apa?”
“Karna gara-gara kamu telat, aku bisa makan seb-
lak duluan deh, hehehe” Ya begitulah Tasya kalau masalah
makanan dia memang juaranya. Tapi aku senang karena
Tasya sama sekali tidak marah. Aku pun menunggu Tasya
menghabiskan seblaknya itu sebelum akhirnya kita jalan-
jalan di sekitar alun-alun.
Pergi bersama Tasya dan hanya berdua setidaknya
telah mampu membuatku melupakan permasalahan antara
aku dan juga Iva, ya meskipun hanya sejenak. Tapi aku be-
nar-benar bahagia, bisa dekat dengan orang yang aku cinta.
Meskipun aku sadar, kemungkinan bagiku untuk memilikin-
ya sangatlah sedikit. Tasya terlalu sempurna untukku.
Nyatanya makan seblak bagi Tasya hanyalah seperti

186
cemilan. Setelah kita jalan-jalan di sekitar alun-alun selama
kurang lebih 25 menit, Tasya merengek ingin makan lagi.
Kali ini kita menuju Penyet 88 Khas Suroboyo, yang lokasin-
ya dekat dengan alun-alun. Kebetulan Penyet 88 milik wali
kelas kita, Ibu Titi. Disana kami memilih untuk duduk di lan-
tai dua sambil melihat lalu lalang kendaraan di jalan raya.
Saat jam menunjukkan pukul 17.05, aku pun segera
mengantarkan Tasya pulang ke rumahnya. Dalam keluarga
Tasya memang tidak diperbolehkan untuk pergi keluar rumah
sampai maghrib, jadi sebelum maghrib Tasya harus sudah di
rumah. Setelah mengantarkan Tasya aku pun pulang ke ru-
mah, sebenarnya aku ingin sekali ke rumah Iva. Tapi aku
sendiri juga bingung, mengapa hubungan aku dan Iva kini
jadi serenggang ini.
Sepanjang perjalanan menuju rumah, pikiranku selalu
berkutat pada masalah antara aku dan Iva saat ini. Aku beru-
saha mencari tahu penyebab ini semua.
Apakah aku telah menyakiti Iva? Apa karna Iva su-
dah lelah untuk memberiku contekan? Atau aku telah mem-
buat kesalahan? Tapi biasanya kalau aku salah, Iva juga ng-
gak akan marah kok. Ya meskipun pada akhirnya dia akan
bertausiah panjang lebar yang tentunya membuat telingaku
terasa begitu panas dan otakku terasa berat dan lelah. Aku
benar-benar bingung dengan semua ini, dan aku akui kalau
aku merindukan Iva si keturunan Lambe Turah dan pimpinan
dari pasukan nyinyir itu.
...
Sekarang hari minggu, dan artinya besok tugas Akun-
tansi Keuanganku harus dikumpulkan. Dan sialnya lagi aku
belum selesai mengerjakannya, jangankan setengahnya,
seperempatpun belum. Padahal tugas yang diberikan Pak

187
Slamet sangat banyak dan juga susah. Entah mengapa Pak
Slamet sangat hobi untuk memberikan tugas yang sulit. An-
daikan aja ada Iva, udah pasti semuanya akan lebih mudah.
Ah by the way sejak kapan seorang Alfa peduli akan tugas?
Entahlah.
Mau tidak mau aku harus menyelesaikan tugas itu,
dan saat aku membuka lembaran demi lembaran buku gela-
tikku, tiba-tiba aku menemukan coretan yang aku pastikan
bahwa itu adalah tulisan tangan Iva. Aku sangat hafal tulisan-
nya.
Kamu misterius, dan aku suka itu
Namun sayang, nyatanya kamu tak lebih mengang-
gapku dari sahabat
Ada kecewa seraya diiringi rasa sakit yang menggelitik
Namun setidaknya aku tak terlalu sakit
Karna aku tetap bisa menatapmu
Berada di sampingmu
Dan juga menjadi bagian dari setiap hari-harimu
Alfa,
Sadarkah kamu atas perasaanku ini?
Apakah kamu juga merasakan perasaan yang aku rasa
ini?
-05 Maret-
Iva memang anak yang puitis, tapi bukan itu yang
menjadi masalah saat ini. Aku benar-benar kaget dengan tu-
lisan itu, tulisan yang Iva tulis pada 5 Maret yang lalu. Apakah

188
ini menjadi penyebab menjauhnya Iva dariku? Dan bodohnya
lagi selama ini aku tidak pernah menyadari hal itu, aku hanya
berfikir kalau Iva juga hanya menganggapku sebagai sahabat.
Mana mungkin Iva menyukaiku? Diakan pintar dan juga can-
tik.
Berarti selama ini aku telah menyakiti Iva dengan
menceritakan semua perasaanku kepada Tasya. Benar kata
Fadil beberapa waktu lalu. Bagaimana mungkin ada cinta
dalam persahabatan? Pasti Iva sedih bahkan sakit hati karna
sikapku kepadanya yang menganggapnya tak lebih dari saha-
bat. Padahal dia menginginkan hubungan ini lebih dari itu.
“Gue bodoh! Maafin gue Va”
Sepanjang malam aku justru terus memikirkan Iva,
bahkan aku tidak bisa tidur. Semalaman aku membuka akun
Facebook Iva, dan dilaman postingannya dapat aku baca den-
gan jelas berbagai kalimat yang ia tuliskan di sana. Tampak
dengan jelas seberapa sakit dan kecewanya Iva terhadapku.
Mengapa bahagia, sakit, kecewa, dan rindu selalu datang
bergantian?
Mengapa kau selalu mengutamakan kebahagiaannya?
Mengapa kau terus memperjuangkannya?
Di saat engkau tau bahwa ia telah mengharapkan orang
lain
Namun aku tau betul dengan perasaanmu
Kenangan akannya selalu berputar dengan pasti
Menarik bibirmu membentuk senyuman itu
Namun setelah itu akan turun bulir-bulir air rindu
-17 September 2018-

189
Dadaku semakin sesak
Ada sesuatu yang mulai bergejolak
Menyayat hati yang mulai retak
Yang menyisakan sebuah jejak
Pikiranku semakin putak
Otakku tak dapat lagi bergerak
Ada sesuatu yang berusaha menolak
Namun keadaan tak dapat berkutak
-20 September 2018-
...
Karena tadi malam aku tidak bisa tidur, aku pun harus
menanggung konsekuensi untuk telat masuk sekolah, pada-
hal aku tahu kalau hari ini hari senin dan sekolah mengada-
kan upacara bendera. Akupun harus menerima di hukum oleh
pasukan STPPK SMK yang terdiri dari bapak/ibu guru killer.
Setelah melaksanakan hukuman, aku menuju kelas
untuk mengikuti jam pelajaran pertama, yaitu Seni Budaya
dengan guru yang katanya cantik sekali, idaman para siswa
di SMK. Tapi tetap saja, menurutku lebih menarik Tasya.
Kuketuk pintu kelas dan kuucapkan salam. Tampak
tatapan tajam dari beberapa anak kelas dan juga kudengar
gelegar tawa yang sudah pasti berasal dari Wahyuni, si em-
punya suara ‘Toa’. Aku langsung menuju tempat dudukku
setelah meminta izin guru yang sedang mengajar, Bu Fidya.
Sepanjang jam pelajaran, aku benar-benar tidak bisa
melepaskan pikiranku dari Iva. Iva benar-benar tidak mem-
perdulikanku, bahkan saat aku telat sekalipun. Saat pelaja-

190
ranpun Iva tak pernah sekalipun menoleh ke arahku. Lebih
parahnya lagi saat kita berdua dalam satu kelompok, Iva tetap
saja diam tidak seheboh biasanya.
Bel istirahat kedua berbunyi “Saat nya ISOMA... In-
syaflah wahai manusia jika dirimu berdosa, dunia hanyalah
fana.......”
Seperti biasa, aku dan gerombolan anak laki-laki di
kelasku yaitu Fadil, Azka, Aye, dan juga Ilham menuju ke
kantin atau yang biasa anak-anak sebut dengan istilah SSC
(Skansa Super Cafe) untuk makan sebelum akhirnya kami
menuju mushola SMK untuk menunaikan kewajiban kita se-
bagai umat Islam.
Hari ini pelajaran Bahasa Jawa kosong, dikarenakan
Pak Joko ada tugas dinas di luar sekolah. Dan seperti kelas
pada umumnya, jam kosong merupakan surga dunia bagi kita
dan kita bebas mengeksplor hobi kita, ya meskipun kita anak
Akuntansi tapi tetap saja kita manusia normal. Ada yang as-
yik tiduran sambil Wifi-an, ada yang tidur, tapi ada juga yang
mengerjakan tugas sekolah untuk hari berikutnya. Tapi yang
paling heboh sudah pasti ngerumpi panjang lebar seputar
persoalan kehidupan, lebih tepatnya sih ngegosip. Sedangkan
para lelaki lebih memilih untuk bermain game online.
Saat aku dan yang lain sedang bermain game online,
Fadil teman sebangkuku yang super jail tapi untung aja dia
Dewan Perwakilan Kelas (DPK), jadi ada sedikit yang bisa
ia banggakan tiba-tiba menanyakan hal yang aku sendiri bin-
gung untuk menjawabnya
“Lo sama Iva kenapa si bro? Kok masih diam-diam
bae”.
“Kepo” sahutku.

191
“Serius nih, gue bingung banget kenapa lo berdua
kagak kaya biasanya. Kalian marahan? Apa gara-gara Iva
kagak mau lagi ngerjain PR lo? Bosen sama lo? Iva lagi
PMS?” tanya Fadil panjang lebar.
“Bacot lo” sahutku.
“Ohh gue inget. Jangan-jangan lo belum klarifikasi
masalah yang itu ya? Ah bego!” aku diam tak menanggapi.
Namun ucapannya yang terakhir ini sukses membuatku ber-
fikir, apa yang harus aku lakukan setelah ini.
...
Setelah pulang sekolah, aku tidak langsung pulang ke
rumah. Melainkan pergi ke rumah Iva untuk mempertanya-
kan semua ini. Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi. Tanpa
Iva sadari, sedari sekolah aku sudah mengikutinya untuk me-
mastikan kemana ia pergi. Ternyata Iva langsung pulang.
Aku masuk ke rumah Iva setelah selang beberapa
waktu Iva tiba di sana, setidaknya agar tidak kelihatan kalau
aku mengikutinya. Seperti biasanya, aku duduk di ruang kel-
uarga Iva setelah ibunya membukakan pintu untukku. Aku
dan ibunya Iva memang sudah saling mengenal karena aku
sering ke rumah ini. Aku menunggu Iva beberapa saat setelah
ibunya memanggilnya.
Iva kemudian datang dengan setelan baju tidur leng-
kap dengan jilbab, mungkin ia habis mandi. Ia duduk di kursi
sampingku, kami tidak sebangku. Ia masih terlihat dingin.
Aku mulai membuka pembicaraan, ah.. ini tidak seperti bi-
asanya.
“Udah mandi Va?”
“Udah” jawabnya ketus.

192
“Ada apa kesini?” tanyanya lagi.
“Gue cuma mau kita kaya dulu lagi Va. Kenapa lo
kok sekarang menjauh dari gue?” tanyaku langsung to the
point.
“Nggak ada apa-apa kok” Aku sebenarnya hanya me-
macing Iva, apakah dia akan jujur atas perasaannya atau ti-
dak. Tapi sepertinya itu justru buang-buang waktu, lebih baik
aku to the point aja.
Aku mengeluarkan tulisan yang Iva tulis di buku
Akuntansi Keuanganku yang telah sukses membuatku tidak
bisa tidur. Aku menanyakan semua pertanyaan yang mun-
cul di hatiku. Aku tidak mau begadang seperti tadi malam
lagi hanya untuk memikirkan hal konyol seperti ini, sungguh
lelah. Lebih baik aku begadang untuk nge-game. Iva kaget
mendengar pertanyaanku mengenai tulisan itu.
“Va bener lo suka sama gue?” setelah pertanyaan itu
keluar untuk kesekian kalinya dan selalu mendapat peno-
lakan, akhirnya ia menjawab
“Iya, gue emang suka sama lo. Tapi lo sukanya sama
Tasya kan!” jawabnya dengan nada penuh emosi dan seraya
diiringi isakan tangis yang tak mampu ia bendung lagi. Per-
nyataan Iva tadi sungguh menjadi tamparan keras bagiku.
“Tapi kenapa lo suka sama gue?” tanyaku lagi.
“Gue nggak tau. Tapi yang pasti gue selalu nyaman
setiap sama lo. Gue nggak tau sejak kapan perasaan ini tum-
buh. Gue emang bodoh! Mencintai orang yang sudah jelas-
jelas mencintai orang lain”. tangisannya semakin tak bisa
dielakan. Iva benar-benar menyampaikan semua perasaan-
nya. Mataku semakin panas, seakan-akan tak mampu lagi
membendung air mata. Sungguh cinta dan persahabatan ada-

193
lah hal yang sangat rumit. Ahh seorang Alfa bisa merasakan
hal bodoh seperti ini?
Setelah beberapa saat kita saling diam dan merenung,
aku memberanikan diri untuk membuka percakapan ini lagi.
“Va kalo lo emang suka sama gue, tapi kenapa se-
lama ini kalo gue cerita mengenai Tasya lo selalu bersikap
biasa aja?” dengan penuh ragu aku memberanikan diri untuk
menanyakan hal itu.
“Kalo lo mau tau, sebenernya setiap lo cerita akan
perasaan lo sama Tasya. Gue tuh sakit, sakit banget! Tapi gue
selalu berusaha menjadi sahabat yang baik buat lo. Gue tau
lo nggak punya sahabat selain gue. Setiap lo cerita tentang
Tasya, lo inget kan? Gue pasti pergi ke toilet atau sekedar
menjauh sebentar dari lo. Nah, itu waktu buat gue nangis.
Entah berapa banyak air mata yang gue keluarin”.
“Va-” ucapku yang lebih dulu terpotong oleh penjela-
san Iva.
“Fa, gue nggak tau kenapa rasa cinta gue ke lo begitu
besar. Meskipun gue tau kebenarannya, kalau lo lebih suka
sama Tasya, tapi itu tetap nggak ngerubah perasaan gue ke
lo. Gue bener-bener sayang sama lo Fa. Ya, meskipun gue
tau kalau gue nggak akan pernah milikin lo sebagai pacar
gue. Tapi gue selalu ngedoain lo dalam setiap sujud gue. Gue
berharap lo bisa punya pendamping yang benar-benar sayang
sama lo dan bisa ngebahagiain lo. Dan masalah lo sama Tasya
gue ikhlas kok. Ya, meskipun sakit” Iva langsung menunduk
dan menangis.
Aku kemudian meminta maaf kepadanya karena
secara tidak langsung selama ini aku telah membuat sakit
psikisnya.

194
“Gue bener-bener sahabat yang buruk buat lo Va.
Maafin gue... Gue nggak pernah sadar kalo ternyata perasaan
lo ke gue lebih dari sahabat. Maafin gue...”
“Seharusnya gue yang minta maaf ke lo, Alfa. Kare-
na gue telah menodai persahabatan kita ini dengan cinta.
Cinta yang bodoh dan buta. Seharusnya gue bisa ngendaliin
perasaan gue ke lo. Gue nggak membiarkan perasaan gila ini
terus semakin berkembang”
Akhirnya setelah perbincangan panjang dan tangisan
yang keluar, aku dan Iva baikan.
“Alfa, kalau lo mau jadian sama Tasya gue ikhlas
kok. Jadian aja” Permintaan macam apa itu? Mungkin Iva
mulai gila.
“Hah. Bercanda lo” ucapku dengan nada bergurau
berharap bisa mencairkan suasana. Iva akhirnya tertawa juga,
aku rindu tawa itu. Kemudian aku mulai bertanya menge-
nai gosip artis, sebenernya aku paling benci bahas masalah
orang lain. Tapi demi Iva terhibur akhirnya aku memilih ba-
hasan itu, maklum Iva itu keturunan Lambe Turah jadi dia
selalu update masalah gosip. Dan benar saja, Iva terpancing
dan mulai menjelaskan dengan panjang lebar berbagai gosip
yang sedang ada. Mulai dari gosip artis, pejabat, anak SMK,
bahkan guru.
“Iva, jangan pernah ngejauhin gue lagi ya?” pintaku.
“Cie, ternyata ada yang nggak bisa jauh dari gue nih...
hahaha” dasar Iva! Tapi kemudian dia lanjutkan dengan jawa-
ban yang sok puitis khas dia.
“Gue nggak akan pernah ngejauhin lo lagi. Sudah
cukup kemarin gue jauh dari lo. Asal lo tau, rasa rindu sen-
antiasa menggebu. Ada hasrat untuk tetap dekat bersamamu.

195
Namun apa daya, aku butuh waktu sejenak untuk menenang-
kan hatiku, hati yang sudah sukses kau miliki. Sekarang ak-
upun sadar, bahwa persahabatan lebih dari segala-galanya”

...

196
197
198
“Senyum mu itu seperti narkoba. Be-
danya kalo narkoba sekali mencicipi
membuat candu. Sedangkan senyum
mu, sekali melihatnya membuat rindu”
– Alfa –
...

199
PENGUMUMAN

“Sepuluh menit lagi ya”


Bukan.
Itu bukan pertanda waktu akan berhenti karena sei-
si bumi akan hancur (re:kiamat). Bukan itu. Tapi anehnya,
semua siswa perempuan kelasku berteriak histeris dan mulai
merapalkan berbagai macam doa-doa kecil, bahkan sampai
ada yang membaca kitab suci al-quran di handphone.
Itu cuma sebuah pengumuman.
Iya, pengumuman USK untuk menentukan kompe-
ten tidakkah kita selama dua hari mengerjakan sebuah siklus
akuntansi. Hanya itu. Dan apa? Apa yang harus ditakutkan
dengan pengumuman hasil ujian yang bahkan sudah tidak as-
ing lagi selama hampir 12 tahun menduduki bangku sekolah?
Toh, hanya beda nama saja.
Bukan teman perempuan kelasku jika belum lebay dan ribet.
Setelah melaksanakan sholat dzuhur, aku kemba-
li bermain handphone atau lebih tepatnya bermain game di
handphone tanpa memperdulikan anak perempuan yang ma-
sih asik berdoa dan ada yang berbicara seperti ini,
“Gue deg-degan”
“Sumpah coba pegang tangan gue. Dingin kan?”
“Eh liat deh gue gemeteran OMG”

200
dan masih banyak lainnya.
Sekali lagi ku tegaskan, ini hanya sebuah pengumu-
man ujian yang pasti itu bukan hal baru lagi untuk pelajar.
Aku benar-benar masa bodoh dengan semua itu. Aku hanya
mengerjakan semampuku dan seingatku. Prinsipku :
Jika kompeten, syukur. Jika tidak kompeten, ya memang be-
lum nasib baik.
Bukankah hidup harus dibawa santai?
Begitu saja repot.
Aku yang sudah siap log in game, mengalihkan pan-
danganku sejenak pada sosok perempuan yang kini tengah
mendekapkan kedua tangannya di dada sembari mulutnya
merapalkan beberapa doa. Aku tersenyum melihat wajahnya
yang kini tegang dan penuh konsentrasi yang malah justru
membuat konsentrasiku hilang.
Dia sama dengan teman perempuanku yang lain, tapi
beda dalam pandanganku. Walaupun yang lain terlihat ‘leb-
ay’ beda dengan...
“Tasya”
seruan seseorang yang memanggil namanya seketika mem-
buat jantungku berdegup tak karuan. Seakan aku baru saja
tertangkap basah tengah memandangi seseorang tanpa izin
walaupun nyatanya tidak ada yang sadar.
“Iya Va? Gimana?” tanya Tasya dengan kelembutan-
nya.
“Temenin ke kamar mandi yuk. Gue sampe kebelet
nih bentar lagi pengumuman” jawab Iva, seseorang yang
sempat membuatku terlonjak.

201
“Ya ampun santai aja kali. Pasti kompeten semua
kok” katanya memberi semangat pada Iva.
Itulah salah satu yang aku suka dari Tasya selain kare-
na sifat dan sikapnya yang baik, dia juga orang yang penuh
semangat dan ambisi juga selalu berpikiran positif. Aku tak-
jub.
Iva sempat sedikit melirikku dan menampakkan wa-
jah meledek yang entah apa artinya. Mungkin dia sedang pa-
mer bisa sedekat itu bersama Tasya?
Ya ampun dasar Iva. Jika aku yang tiba-tiba meminta
untuk ditemani ke kamar mandi kan lucu. Itu kan maksud
tatapannya?
Dan lagi.
Tasya membuat jantungku berdegup kencang ketika
dia dan Iva lewat di hadapanku, tak sengaja mata kami sal-
ing bertemu dan dia tersenyum padaku. Senyum yang selalu
menularkan energi positif dalam diriku.
Dasar candu.
...
Semua tengah bersiap menunggu giliran untuk di-
panggil ke dalam ruangan untuk pengumuman bersama para
assesor masing-masing. Ada sebagian yang sudah keluar, lalu
menguraikan air mata, berpelukan bersama temannya, ada
yang sampai sujud syukur di depan pintu ujian.
Teman-temanku memang ajaib. Disaat kelas lain ha-
nya cukup mengucap ‘Alhamdulillah’, tidak dengan kelasku
yang bahkan sampai ada yang perlu ditenangkan Bu Aisyah,
selaku kaprodi jurusan Akuntansi.

202
“Muhammad Fadilah”
Kini giliran fadil. Dia laki-laki pertama di kelasku
yang memasuki ruangan ujian yang juga menjadi ruangan
pengumuman. Aku melihat dia dengan percaya dirinya ma-
suk ke ruangan seperti tidak ada beban. Laki-laki memang
beda. Tidak ambil pusing.
Tidak beberapa lama Fadil keluar ruangan masih den-
gan wajah datarnya yang sama ketika memasuki ruangan.
Dan seketika itu, Fadil langsung dikerubung oleh anak-anak
perempuan.
“Gimana dil?” tanya salah satu anak perempuan keti-
ka dia baru saja keluar dari ruangan.
“Kompeten gak?” tambahnya lagi.
“Gimana lo? Kompeten kan?” disusul pertanyaan
yang hampir sama oleh yang lainnya.
Dan Fadil hanya menjawab seluruh pertanyaan itu
dengan, “Ya” dan setelah itu dia kembali bergabung bersa-
maku, Aye, Azka, dan Ilham untuk kembali bermain game.
Setelah beberapa menit berlalu,
“Alfa Rizqi Herdianto”
Aku. Dipanggil.
Aku berjalan santai menuju ruangan tanpa ada beban
apapun. Tanpa ada rasa takut dan khawatir tidak kompeten.
Beberapa teman menyemangatiku sepanjang aku berjalan
dari teras ruang 2 ke ruang 1.
Tidak ada yang kupedulikan. Kecuali satu,

203
“Semangat Alfa!” seru seseorang dengan senyuman
yang kini tengah berdiri di ambang pintu ruangan.
Aku merutuk kesal dalam hati karena kakiku tiba-ti-
ba gemetar, dan jantungku berdegup kencang ‘lagi’. Sikap
santai dan perasaan tenangku pun hilang entah kemana dan
diganti dengan perasaan gugup serta grogi.
Tasya.
Lo bener-bener.....
Gila.
Bisa bikin gue se gila ini sama lo.
Sementara Pak Purna-selaku assesor ruangan 1
mengecek data di sebuah kertas sembari sebentar memperha-
tikan aku dan kembali menghadap tumpukan berkas itu.
“Alfa. Merasa sulit gak mengerjakan USK ini?” tanya
Pak Purna.
“Gak, Pak. Biasa” jawabku asal dan ingin cepat sele-
sai tanpa harus diinterogasi seperti ini.
“Selamat ya. Kamu berhasil menempuh USK ini den-
gan baik dan hasilnya juga lumayan. Kamu kompeten” kata
pak asseor yang duduk di sebelah Pak Purna yang tidak ku
kenali itu walaupun sejak awal USK beliau sudah memperke-
nalkan diri.
Tapi aku adalah orang yang tidak peduli dengan orang-orang
sekitar.
“Baik pak, makasih” setelah aku menerima uluran
tangannya, aku segera berbalik dan keluar dari ruangan.

204
Disambut dengan pertanyaan-pertanyaan para anak
perempuan, dan juga sang kaprodi, Bu Aisyah yang juga ber-
tanya bagaimana nilai dan hasilku.
“Kompeten bu” hanya itu jawabanku dan aku sedikit
tersenyum paksa menjawabnya kemudian kembali bermain
game bersama yang lain.
Aku memang seperti itu. Ini bukan sikap tidak sopan,
tapi ini adalah aku. Yang selalu bersikap seperti itu pada
orang lain, kecuali...
“Alfa gimana tadi hasilnya?” tanya seseorang yang
tiba-tiba menghampiriku.
Tasya.
“Eh, um...iya kompeten kok” jawabku menutupi
kegugupanku ini walau nyatanya tidak berhasil sama sekali
dan mendapat gurauan dari Fadil.
“Kalo grogi bilang dong, Fa” ledek Fadil dan aku ha-
nya mendiamkan seakan tidak mendengar perkataan Fadil.
...
Pengumuman selesai.
Masih dengan ke-drama-annya, anak-anak perem-
puan masih saling berpelukan dan ada juga yang tengah cur-
hat kepada Bu Aisyah tentang hari ini. Dengan pusingnya
mengerjakan tes tertulis, bingungnya menjawab dalam tes
wawancara dan masih banyak lagi.
Setelah semuanya selesai, dan bersiap untuk pulang,
aku melihat Tasya yang kini tengah merapikan barang-baran-
gnya.

205
Aku memberanikan diri untuk menghampirinya,
mumpung belum ada teman dekatnya, yaitu Putri. Aku per-
lahan berjalan mendekat ke arahnya dengan kaki dan tangan
yang sangat gemetaran. Dan jantung yang berdegup kencang.
Ini bukan pertama kalinya aku mengambil waktu ber-
dua dengan Tasya. Namun, rasa gugup ini tidak pernah hil-
ang.
“Hai” sapaku.
Aku melihat dia sedikit terkejut namun setelah itu dia
tersenyum padaku. Senyum favoritku.
“Oh, hai. Gimana? Ada apa?” tanya Tasya menghen-
tikan aksinya dalam memasukkan beberapa kertas ke dalam
map.
Aku duduk persis di depannya, membuatku (jika
boleh lebay) kehabisan oksigen. Aku menertawakan tingkah-
ku sendiri yang gila ketika jatuh cinta.
“Gimana tadi? Hasilnya?” tanyaku.
“Kompeten lah hehe” katanya sambil menyengir.
“Maksudnya, nilainya” ralatku mencoba menatap
matanya.
Tasya tertawa, “Kamu ini. Bukannya tadi nilainya gak dilia-
tin ya?”
Aku merutuki diriku sendiri yang benar-benar bodoh.
Tanpa sadar, aku pun menepuk mulut dan kepalaku bergan-
tian yang mengundang tawa kencang Tasya.
Tawanya benar-benar candu.

206
Aku pun terhipnotis hingga aku ikut tertawa. Aku pun
tidak tahu bagaimana bisa tawa itu menular? Apalagi aku
yang notabene-nya adalah orang yang ‘jarang’ tertawa.
“Kamu ketawa? Ih, tumben” ledeknya yang seke-
tika membuat tawaku terhenti dan mencoba untuk kembali
bersikap cool .
Ruangan seketika kembali hening. Tasya diam dan
aku pun begitu. Suasana yang paling tidak ku sukai jika ber-
sama dengannya.
Kalau bahasa gaulnya, awkward moment.
“Selamat ya” kataku yang tanpa sadar menjulurkan
tangan ke arah kepala Tasya. Niatku hanya akan mengusap-
nya, namun aku terlalu kaku yang membuat aku seperti me-
nepuk puncak kepalanya.
Aku melihat dia terdiam seketika dan wajahnya me-
merah. Melihat itu membuatku tersadar dan segera meng-
hentikan aksiku dengan segera menjauhkan tanganku dari
kepalanya. Aku meliriknya dan tersenyum ketika melihat dia
juga tersenyum padaku.
“Gue bantuin?” tawarku untuk sekedar menghilang-
kan kecanggungan yang beberapa menit tercipta.
“Oh em.. gak usah, Fa. Aku bisa sendiri kok” jawab-
nya kemudian segera merapikan kembali barang-barangnya
yang tadi sempat tertunda karena kehadiranku.
“Fa”
“Sya”
Aku terlonjak, kemudian berdehem, “Lo duluan” kataku.

207
“Eh iya. Gini, makasih” kata Tasya sembari menun-
dukkan kepalanya.
Aku tertegun, “Buat?”
“Tadi. Ucapannya, dan...perhatiannya” jawabnya
malu.
Aku tertegun, lagi. Lalu aku mengangguk ketika dia mencoba
menatapku.
“Oh iya kamu mau bilang apa?” tanya Tasya.
“Aku...duluan ya” jawabku asal karena aku lupa tadi
akan bilang apa pada Tasya. Benar-benar lupa setelah dia ber-
terimakasih padaku atas perlakuanku tadi. Aku melihat dia
keheranan.
“Itu...aja?” tanya Tasya.
“Apanya?” Aku bertanya balik.
“Ngomongnya”
“Iya”
“Oh..ya udah aku kira penting” katanya yang dapat ku
tangkap ada sedikit nada kecewa di balik ucapannya.
Aku tersenyum kikuk setelah berpamitan pada Tasya
dan segera beranjak untuk keluar sebelum Putri datang dan
berfikir yang tidak-tidak tentang aku dan Tasya yang hanya
berdua di ruangan ini.
Maaf, Sya.
Sepanjang jalan aku hanya terus merapalkan kali-
mat itu karena terbayang wajah sumringahnya yang tiba-tiba
menjadi kecewa karena aku lupa mau bilang apa padanya.

208
Tapi maaf, itu sepenuhnya bukan salahku. Kamu
sendiri yang selalu membuat konsetrasiku hilang, Sya.
Kamu candu.

...

209
210
”Orang lain tak akan pernah tau apa
yang kamu risaukan, apa yang kamu
harapkan, apa yang kamu inginkan,
dan apa yang kamu pikirkan kare-
na kamu tidak mengatakannya. Tapi
orang yang benar-benar mempedu-
likanmu bisa mengira perasaan apa
yang kamu hadapi sekarang”
...

211
PERSPEKTIF

-Natashya Alfa POV-


Aku melihatmu dari sisiku. Menurutku kamu itu
beda. Dari sisi misteriusmu membuatku seolah ingin lebih
tau dengan kehidupanmu. Aku melihatmu dari kacamataku.
Di balik sikap dinginmu aku tau bahwa kamu mempunyai
satu sisi yang jika kau menunjukan itu maka semua akan ter-
kagum kepadamu. Dan, sebelum orang lain menyadari akan
hal itu, apa aku boleh lebih dulu mengagumimu? Tapi aku
tidak ingin orang lain ikut menyanjung sifatmu yang belum
diketahui orang itu. Ya ini terdengar egois. Tapi memang itu
yang aku mau. Tak ingin membagi apapun kepada orang lain.
Aku.
Hanya murid biasa yang berniat sekolah untuk
menambah ilmu dan mengerjakan tugas guru dengan baik.
Niat utamaku, hanya untuk belajar supaya masa depanku
setidaknya tidak akan suram jika aku memiliki ilmu banyak.
Hanya itu. Dan tanpa embel-embel ‘sekolah untuk
mencari cinta’, ‘sekolah untuk mencari pacar’. Bukan. Itu
sama sekali tidak pernah terlintas selama kurang lebih tiga
belas tahun aku sekolah. Namun, niatku malah justru meleset.
Aku jatuh cinta.
Meski ini bukan pertama kali, tapi rasanya jatuh cin-
ta waktu itu berbeda. Bedanya? Aku jatuh cinta pada teman
kelasku sendiri yang notabene-nya ‘bukan anak baik-baik’.
Karena selama ini, aku selalu menjatuhkan hatiku pada seo-

212
rang laki-laki yang pandai di kelas, selalu mendapat rangk-
ing, mengikuti berbagai macam lomba, memboyong banyak
medali dan piala.
Namun sekarang, bad boy benar-benar bisa mencuri
perhatianku.
Alfa.
Teman kelasku.
Bukan anak pintar.
Cenderung kepada hal yang tidak boleh dicontoh
pelajar. Jarang berangkat, nilai jauh di bawah kkm, gamers,
tidak pernah mau melakukan tugas dari guru (kecuali jika ter-
paksa).
Sangat berbanding terbalik dengan tipe idealku sema-
sa dulu. Namun, dibalik kekurangannya itu aku menemukan
sebuah kelebihan yang akhirnya membuatku mematahkan
prinsip ‘cari pacar harus anak pinter dan berprestasi’. Dan
itu, adalah...
Perhatian yang tulus.
Dia tulus.
Dan dia perhatian.
Bukan semata-mata hanya mendekatiku demi bisa
‘menyerap ilmu ku’ atau memanfaatkanku jika ada ulangan
atau bekerja kelompok.
Kata temanku,
“Sya, lo sadar gak sih selama ini?” tanya Iva padaku
kala itu.

213
Pertanyaan yang sama sekali tidak kutahu maksudn-
ya, namun bisa membuatku sadar akan hadirnya seseorang di
hatiku. Sadar, bahwa orang itu dekat. Dekat sekali denganku.
Yang setiap hari selalu menatapku diam-diam.
“Sadar apa sih, Va? Lo kalo ngomong yang jelas dong
haha” jawabku.
“Serius nih gue” kata Iva mencoba membuatku peka
terhadap pertanyaannya.
“Ya apa?? Sadar apa???” tanyaku yang sudah jengah
dengan ke-ambigu-an dari Iva.
“Ada seseorang....” jawab Iva menggantung sembari
menatapku tajam.
“Hm??? Terus?” tanyaku lagi yang semakin muak
dengan ketidak jelasan Iva.
“Ada seseorang yang suka sama lo” jawab Iva dengan
satu tarikan nafas.
Dengan spontan, aku langsung tertawa terbahak-ba-
hak tanpa melihat kondisi kantin yang benar-benar ramai.
Dan seketika membuat penghuni kantin, menatap ilfeel ke
arahku. Bahkan kulihat, Iva tengah menutupi wajahnya den-
gan jilbabnya dan sedikit berbisik, “Stop Sya! Kondisikan
ketawa lo dong”
Dia malu.
Baiklah, aku segera menghentikan aksiku. Dan kem-
bali menatap Iva yang kini mulai menurunkan jilbabnya den-
gan tatapan serius.
“Siapa? Siapa yang suka gue?” tanyaku sesekali
menyeruput es jeruk yang tadi ku pesan bersama semangkuk

214
bakso.
“Alfa” jawab Iva spontan.
Mendengar nama itu membuat jantungku seperti nyut-nyutan.
Dan aku sangat yakin, wajahku memerah.
“Ngaco” elakku.
“Udah banyak bukti kok selama ini yang menunjuk-
kan kalo Alfa suka sama lo” kata Iva dengan penuh antusias.
Aku tahu. Aku tahu ‘bukti’ itu kok. Aku tahu tentang
Alfa yang diam-diam mencuri pandang ke arahku. Aku tahu
tentang dia yang selalu menunjukkan tatapan teduhnya setiap
kali dia memandangku saat bicara denganku. Aku tahu ten-
tang cara dia memperlakukanku berbeda dengan yang lain-
nya.
Aku sadar.
Tapi aku tidak mau ge’er.
Aku tidak suka berharap terlalu tinggi jika nantinya
harapan itu hanya semacam harapan semu. Aku terlalu takut
untuk kecewa.
Apalagi jika aku sudah benar-benar menjatuhkan ha-
tiku padanya seutuhnya. Patah hati karena berharap terlalu
jauh itu menyakitkan dan sulit untuk di sembuhkan.
Namun, ternyata itu tidak terjadi.
Ketakutanku ternyata salah.
Setelah mendengar penjelasan lengkap dari Iva, mem-
buatku sadar bahwa bukan hanya dari sudut pandangku saja
yang meyakini bahwa Alfa menyukaiku. Namun, dari teman-

215
teman lain, terutama sahabatku.
Aku senang.
Rasanya seperti baru pernah jatuh cinta. Karena me-
mang, itu pertama kalinya aku jatuh cinta pada seorang bad
boy seperti Alfa.
Jatuh cinta karena perhatian yang selalu dia berikan, perha-
tian yang tulus.
Alfa, terimakasih sudah membuatku mengerti. Bahwa
mencintai seseorang bukan hanya dilihat dari fisik, dan dari
pendapat orang lain.
Tapi dari hati.
Ah tapi sayang, semua kebersamaan itu, semua keba-
hagian yang aku rasakan waktu itu, tidak menjadi akhir yang
membahagiakan. Tuhan tidak menakdirkan kita untuk ber-
sama, karena sampai kita lulus, dia tak kunjung memberiku
pertanyaan yang bisa membuat semua hati siapa saja yang
merasakannya ingin berlari dari tempatnya. Bahkan semua
hal yang dia sembunyikan pun tak bisa aku ketahui hingga
sekarang. Tapi ada satu hal yang membuat aku merasa lega.
Aku bisa membuat dia memperbaiki nilainya dengan terus
mengajaknya belajar bersama. Aku berhasil membuat dia
membuka satu sisinya yang bisa membuat orang lain terpana,
yaitu kejeniusannya.
...
-Iva Wahyu POV-
Mendengar namamu membuatku teringat pada per-
tanyaan orang-orang,
Bagaimana bisa aku menaklukan sifat dinginmu yang

216
bagaikan kutub itu?
Bagaimana kamu bisa mempercayaiku dengan begitu mu-
dahnya?
Jangankan orang lain yang penasaran. Bahkan diri-
ku sendiri saja terkadang masih suka bertanya-tanya, kenapa
semudah itu. Awalnya aku hanya iseng mendekatimu, bukan
maksudku ingin tau kehidupanmu. Bukan maksudku ingin
mencampuri urusanmu.
Benar bukan itu.
Ya aku tekankan sekali lagi,
Aku hanya iseng.
Berawal dari aku yang iseng menanyakan namamu
disalah satu hari PLS beberapa tahun lalu. Berlanjut dengan
jatuhnya sepatumu dan sepatuku di tempat yang sama, yaitu
got bawah tribun di GOR. Aku adalah tipikal anak yang tidak
suka melihat orang lain melanggar aturan. Ya seperti kamu
contohnya. Itulah alasan kenapa aku seolah selalu menga-
wasimu, aku seolah mempedulikanmu.
Ya mungkin bisa dikata aku mempedulikanmu.
Aku ingin melihat kamu hidup normal seperti teman-
teman lain yang begitu menikmati keramaian, yang begi-
tu mudah mengeluarkan suaranya untuk tertawa. Aku tidak
ingin kamu berulah semakin jauh. Maka dari itu aku selalu
menanyakan apa kabarmu, aku selalu mencemaskanmu jika
kamu tidak berangkat satu hari saja tanpa keterangan.
Namamu Alfa, mungkin orang tuamu salah mem-
berikanmu nama. Karena nama adalah doa, jadi kamu ser-
ing tidak berangkat tanpa keterangan atau kerap kita sebut

217
dengan alpa. Tapi aku tidak akan menyalahkan orang tuamu.
Aku hanya geram kepadamu, kenapa kamu tidak berusaha
menangkal hal itu? Mungkin kamu tidak menyadari hal itu,
atau kamu tidak peduli? Ahh entahlah.
Aku tau, dibalik tingkah lakumu yang membuat siapa
saja geram, terdapat satu alasan kenapa kamu berlaku seperti
itu. Aku terus berusaha mendesakmu agar kamu mencerita-
kan semua masalah yang kamu hadapi. Aku ingin membantu-
mu menanggung beban yang sepertinya sudah tidak sanggup
kau pikul sendiri. Hingga sampai akhirnya, aku terjebak pada
satu situasi yang aku sendiri tidak menyadari kapan hal itu
mulai terjadi.
Ya, menyayangimu lebih dari apa yang kamu perkira-
kan.
Awalnya aku tidak yakin dengan perasaanku sendiri.
Tapi siapa yang tau, perasaan gila itu terus menyerbu kalbuku.
Rasa isengku berubah menjadi rasa peduli yang teramat men-
yakiti.
Aku,
Anak yang bisa dibilang pintar, meskipun masih
pintaran Tasya. Namun tak jauh berbeda dengan Tasya, aku
pernah mengikuti lomba dibidang akademis yang membawa
nama baik sekolah. Meskipun itu lomba kelompok bukan
lomba individu.
Aku wanita normal seperti wanita-wanita lain di dun-
ia ini. punya hati dan bisa jatuh cinta. Cinta itu fitrahnya ma-
nusia. Cinta itu datang tanpa memandang kasta, harta, atau-
pun muka.
Kata orang-orang, aku ini termasuk cewek yang be-
runtung. Kenapa? Aku beruntung karena bisa dengan mudah

218
mendekati seorang badboy nya Akuntansi. Kata orang aku ini
beruntung, karena hanya kepadaku badboy itu bisa berkata
panjang lebar.
Tapi sayang, itu hanyalah kata orang. Mereka tidak
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Aku memang be-
runtung, bisa menjadi bagian dari hidup seorang Alfa sang
badboy sekolah. Awalnya aku bangga, karena hanya kepada-
ku Alfa mengungkapkan semua keluh kesahnya.
Kalian tau, bahwa perhatiannya orang cuek itu mema-
tikan?
Kalian tau, bahwa pedulinya orang dingin itu mem-
bekukan?
Ya, itulah yang aku rasakan selama kurang lebih 2 tahun. Aku
mati rasa terjebak perhatiannya. Hatiku beku setiap kali aku
diperlakukan lebih olehnya.
Apa aku bahagia?
Jawabannya pasti IYA.
Namun itu sebelum dia mengatakan,
“Aku suka sama seseorang. Udah lama, tapi aku ga
berani ngomong ke orangnya” ucapnya memulai. Saat men-
dengar kalimat itu aku benar-benar syok. Aku syok karena
baru kali ini setelah kurang lebih satu tahun aku bersahabat
dekat dengannya dia mengatakan bahwa dia menyukai seseo-
rang. Namun aku senang, karena itu tandanya dia adalah la-
ki-laki normal. Tidak seperti yang orang lain pikirkan bahwa
dia hanya menyukai tokoh fiksi.
Waktu itu aku berfikir bahwa akulah orang yang dia
sukai. Ya kalian boleh mengatakan kalo aku kepedean. Ka-

219
lian boleh mengatakan apa saja yang mewakili perasaanku
waktu itu.
Siapa lagi yang akan dia sukai selain aku? Hanya ke-
padaku dia bisa berkata panjang lebar. Hanya kepadaku dia
membagi keluh kesahnya.
“Udah jujur aja. Siapa tau orang itu juga suka sama
lo” aku menanggapi ucapannya tak sabar mendengar kalimat
selanjutnya dengan menampilkan wajah ceria. Lebih ceria
dari sebelumnya.
Dia melanjutkan, “Gue nggak tau gimana ngomongnya. Gue
baru pernah ngerasain yang namanya suka sama cewek” fix.
Kalimat itu membuatku semakin ge-er.
Aku hanya diam tak menanggapi. Aku sedang bergu-
lat dengan hati dan pikiranku. Hatiku menolak kalo cewek itu
adalah aku. Tapi pikiranku terus mendesakku bahwa yang di-
maksud Alfa adalah aku. Aku diam sambil terus mengontrol
detak jantungku yang berpompa lebih cepat dari sebelumnya.
Dia mengusap tanganku lembut.
Ah sial!
Lagi-lagi sikapnya membuatku mati dan beku.
“Siapa yang lo suka?” tanyaku akhirnya sebelum aku
benar-benar mati penasaran disini.
Dia diam beberapa saat sebelum menyebutkan satu
nama yang sukses membuatku ingin enyah dari hadapannya
saat itu juga.
“Tasya” ucapnya dalam satu tarikan nafas. Dia berka-
ta dengan mudahnya seolah tak menganggapku ada di hada-
pannya.

220
Aku benar-benar malu pada diriku sendiri waktu
itu. Bagaimana bisa aku dengan pedenya menempatkan diri
menjadi sosok yang Alfa anggap penting? Ahh perkataan
orang lain yang menganggapku beruntung tak seberuntung
apa yang mereka perkiraan. Nyatanya Alfa justru jatuh hati
dengan wanita yang tak pernah sedikitpun meliriknya. Alfa
justru mencintai orang yang entah menganggap Alfa ada atau
tidak di sekelilingnya.
Alfa benar-benar misterius. Alfa benar-benar sosok
lelaki yang tidak mudah ditebak. Dan sejak saat itu aku sadar,
bahwa tidak ada persahabatan antara cowok dan cewek.
Sekarang aku percaya dengan pepatah yang mengatakan,
“Banyak sekali persahabatan yang berakhir dengan
cinta, tapi sangat sedikit cinta yang berakhir dengan persa-
habatan”
But, aku ikhlas. Karena bagiku, persahabatan itu lebih
penting daripada perasaan.
Biarkan aku mencintaimu sendirian. Aku bahagia jika
sahabatku bahagia.
...

221
222
“Terkadang takdir seolah memper-
mainkan kita, tapi percayalah takdir
selalu tau apa yang terbaik meskipun
sedikit sakit”
...

223
EPILOG

Sore itu, disebuah cafe di tengah kota dengan nuasa


klasik tampak ramai. Terlebih pada meja bundar besar di ten-
gah cafe itu, beberapa orang duduk mengelilingi meja sambil
berceloteh ria. Entah apa bahasannya, yang pasti mengasyik-
kan karena diselingi dengan tawa ringan tanpa beban.
“WHAHAHAHA.” Sudah yang kesekian kalinya
tawa itu terdengar, diikuti dengan umpatan yang hanya seke-
dar bercandaan.
“Sakit perut gue gegara ketawa terus nginget cerita
lo” ucap Shelin
Seseorang langsung menatap Shelin dengan tajam,
tetapi yang ditatap hanya tersenyum cengengesan.
“Nah iya, lo ketawa lah sekali-kali. Gada berubahnya
lo dari yang terakhir gue liat” ujar Ilham.
“Brisik ah lo pada.” ucap seorang lelaki yang sudah
nampak dewasa.
“Sans dong, Bro.”
“Azzzz anjir lo Dil, ngga bisa di kontrol tu mulut.”
“Heheh, lagian lo juga si, punya cerita pas SMK ko-
cak abis kan jadi enak kalo lagi ngumpul gini buat diceritain,
iya ngga guys?” ucap Fadil. Ya, Fadil adalah dalang pada cer-
ita sore ini dan yang menyebabkan gelak tawa itu muncul.
Hmmm mungkin kalau ditulis semua ucapannya tadi sudah
menjadi satu buah novel.

224
“Yoi, biasa aja kali udah lama juga kejadiannya.” tim-
pal Iva
“Noh, bener tuh” ujar Azka dan Nuha
“Tuh kan Iva aja ngga masalah kenapa lo sewot. Ohh-
hh gue tau... jangan jangan....”
PLAKKK.
Alfa melayangkan jitakan tepat di kepala Fadil sebe-
lum Fadil menyelesaikan kalimatnya.
“Sakit bego.” keluh Fadil.
Ya, sosok lelaki yang baru saja melayangkan jitakan-
nya ke kepala Fadil itu Alfa. Alfa terlihat sedikit kesal karena
sedaritadi teman temannya membicarakan cerita masa SMK
nya dulu. Terlebih Fadil yang mempunyai mulut seperti kere-
ta, ia tidak ada hentinya bercerita. Ingin rasanya Alfa mer-
obek mulut itu kalo ia tidak ingat bahwa Fadil itu temannya.
Siapa sangka, Alfa, sosok lelaki yang bisa dibilang
bad, cuek, dan kasar sekarang telah berubah menjadi sosok
lelaki yang dewasa dan berwibawa, ya walaupuan sikap cuek
nya masih saja tertanam di dalam dirinya.
Hari ini untuk pertama kalinya mereka memutuskan
berkumpul di sebuah cafe setelah tidak bertemu selama 7 ta-
hun lamanya. Tepatnya saat kelulusan memisahkan mereka,
masing masing dari mereka terdengar sibuk dengan kegiatan-
nya meraih cita cita. Grup kelas pun sekarang sepi tak seperti
dulu lagi.
Alfa menyeruput secangkir kopi yang sedaritadi ia
diami. Tiba-tiba pikirannya terlempar pada kejadin beberapa
tahun lalu dimana ia dengan seorang gadis tengah menikmati

225
kopi di tengah dinginnya bumi yang sedang diguyur hujan.
Dan sekarang, Alfa tidak bisa membohongi dirinya kalau dia
merindukan gadis itu. Gadis berpipi chubby dengan senyum
yang selalu menghiasi wajahnya itu pernah menempati posisi
tertinggi di dalam hidupnya.
“Hai, apa kabar?” lalu sebuah tangan terulur tepat di
depan Alfa. Lamunan Alfa kali ini terpecah oleh suara lem-
but seorang perempuan. Sepertinya ia mengenali suara ini,
sangat mengenali bahkan. Ah ia ingat, ini seperti suara gadis
yang sedang ia pikirkan saat ini, hanya saja kadar kelembu-
tannya bertambah.
Masih syok dengan suara tadi, Alfa memutuskan un-
tuk melihat siapa pemilik suara itu, dan ternyata benar. Tasya,
ya gadis itu sekarang sudah ada di depannya. Jangan tanyakan
lagi tampang mupeng Alfa saat melihat wanita yang sekarang
berdiri tepat di sampingnya menggunakan balutan dress biru
selutut.
Satu menit sudah berlalu, tapi Alfa belum juga memu-
tuskan kontak matanya yang sedari tadi menatap wajah can-
tik itu.
“Heyy, Fa? Please back to earth”
“Eh, iya? Baik kok gue. Lo sendiri gimana?” ucap
Alfa saat tersadar lalu menerima uluran tangan Tasya sambil
tersenyum kecil.
“Seperti yang lo liat, I’m okay.” jawab Tasya sambil
tersenyum lebar. Lalu Tasya melanjutkan menyalami yang
lain sambil bertukar kabar.
Yang menjadi pertanyaan Alfa saat ini, Kapan Tasya
datang kemari? Apa mungkin karena ia terlalu sibuk bergelut
dengan pikirannya sampai sampai tidak sadar akan kedatan-

226
gan Tasya? Azzzzzz bodo amatlah.
“Ah iya, gue mau ngundang kalian nih ke acara spe-
cial gue. Datang ya..” Ucap Tasya sambil menyodorkan am-
plop kecil berwarna biru muda yang bertuliskan ‘SAVE THE
DATE. Natashya Alfa Cecillia & Erico Fernando’ ” sehingga
suasana pun kembali riuh.
“Dah bisa move on nih ceritanya”
“Wih asekk dah ngga jomblo lagi lo”
“Dateng pastinya gue Sya”
“Beneran mau marrieed lo?”
“Yaampun lo akhirnya laku juga, terharu gue”
“Cakep juga calon suami lo Sya.”
“Selamat Syaa, besok gue nyusul”
Begitulah tanggapan teman temannya yang hanya di-
tanggapi dengan senyuman olah Tasya. Tetapi ada satu orang
yang hanya diam memandangi kertas biru muda itu dengan
raut wajah yang sulit diartikan.
“Fa, dateng ya? Jangan lupa ajak Natali juga.” ucap
Tasya kepada Alfa yang sedari tadi diam.
“Oke, gue sama Natali kok.” jawab Alfa. Mungkin
kalian bertanya tanya siapa Natali? Dialah orang yang seka-
rang menempati posisi tertinggi dalam hidup Alfa. Natalia
Audy, perempuan cantik yang telah menjadi istri seorang Alfa
Rizqi setahun yang lalu. Tepat saat Alfa memasuki umur 24
ia memutuskan untuk meminang seorang gadis cantik berjil-
bab yang tidak lain adalah adik tingkat Alfa di kampus. Tidak
banyak yang tahu memang kalau Alfa sudah menikah, karena
pernikahannya yang sederhana dan hanya dihadiri oleh kelu-
arga serta teman dekat saja, itupun atas permintaan Natali.
-The End-

227
228
Karena setidaknya kalian pernah saling tatap
sebelum saling ratap, pernah sama sama berharap
sebelum rasa itu lenyap, pernah sejenak menetap
meskipun tidak berujung satu atap. Mari berda-
mailah dengan masa lalu, dan berterimakasihlah
kepada seseorang yang telah menjadi bagian dari
masa lalu mu. Karena setidaknya mereka telah
menyumbang tawa di dalam hidupmu. Lupakan
apapun yang telah menyakitimu. Mulailah hidup
dengan nuansa baru. Maka kau akan mengerti
bagaimana caranya menghadapi kehidupan tanpa
pilu.
-Alfa Rizqi-

229
Kita tidak ada yang tahu dengan siapa kita
akan ditakdirkan. Yang perlu kita lakukan saat ini
hanyalah menjaga seseorang yang kita miliki se-
karang. Mengukir memory indah untuk dijadikan
kenangan. Berusaha sebisa mungkin supaya tidak
menyakiti satu sama lain. Dan untuk urusan takdir
biarlah nanti dijawab oleh sang waktu. Karena
tidak semua pertanyaan akan ada jawabannya
sekarang, mungkin nanti, besok, atau bahkan tidak
akan pernah terjawab. Percayalah Tuhan sudah
mempersiapkan takdir yang lebih indah dari yang
kita bayangkan, atau setidaknya itu akan lebih baik
dari harapan.
-Natashya Alfa-

230
231
232
Kebahagiaan saat mencinta adalah ketika
kamu mencintai seseorang yang juga mencintaimu.
Se-klise itu. Tetapi apabila takdir berlain kata,
lantas apa yang bisa kamu perbuat? Ikhlaskan lah
dia bersama pilihannya, walaupun mengikhlaskan
tidak semudah mengedipkan mata. Tapi ayolah
jangan bersikap bodoh hanya dengan berucap
“aku bahagia jika dia bahagia” please itu kata
kata ter-bullshit yang pernah gue dengar, karena
nyatanya dibelakang pasti udah menye-menye, gul-
ing-guling, ngabisin tissu karena nangis berdarah
darah. Oke itu terlalu lebay. Come on, berdoalah
agar kamu lekas diberi alasan lain untuk bahagia.
Mintalah kepada Tuhan agar kamu bisa secepatn-
ya dipertemukan dengan takdir yang sebenarnya.
Karena cinta yang sesungguhnya adalah saat kamu
bisa mengikhlaskan orang yang kamu cintai baha-
gia bersama pilihannya. Dan untuk dirimu, jangan
lupa bahagia.
-Iva Wahyu-

233
***
Kumpulan secarik kertas ini hanyalah simbol atas perjala-
nan panjang nan berkelok yang kerap menimbulkan cekcok
Lembaran demi lembaran tak ayal hanyalah rangkuman
kisah perjalan KITA
Sekumpulan manusia yang memiliki tabiat berbeda, namun
mencoba untuk tetap bersama walau dalam hiruk pikuk air
mata
Setiap temu pandang memang hanya akan diakhiri perpi-
sahan
Namun justru didalamnyalah terpahat dengan apik gore-
san demi goresan kenangan kehidupan atas perjalanan
Yangmana kenangan itulah yang akan menciptakan sebuah
rasa kerinduan
Anggaplah kumpulan perjalanan ini sebagai obat pelipur
kerinduan
Janganlah pernah mencoba melupa pada segala, termasuk
luka
Karena jalan yang telah kita tapaki akan menjadi pemecut
diri dalam mengarungi penatnya duniawi

NRS-Maret 2019

234

Anda mungkin juga menyukai