Anda di halaman 1dari 13

PROPOSAL

CERITA GURU KABUPATEN


MENJADI INSPIRASI BUKAN INTIMIDASI
Spesifikasi Buku
Kategori : Edu & Teaching
Tema/Seri : Panduan Pendidik di Kelas
Tingkat : Mahir - Pendidik
Pola : Reference
Tebal : 120 halaman

Sinopsis
Perubahan terus terjadi, tidak akan terhalang oleh apakah kita mau
menerima atau tidak. Tidak akan terhenti apakah kita mau ikuti atau tidak.
Isi dunia ini terus berubah.
Berubah ke arah baik atau buruk, berkembang atau mundur. Semua
namanya berubah. Jadi kita pun akan mengalami perubahan, minimal sudut
pandang.
Demikian juga dunia pendidikan. Terus mengalami perubahan dari segala
sisinya termasuk peserta didik. Peserta didik di era 90-an sangat berbeda
dengan era milenial sekarang. Metode dan hasil belajar pada masa dulu
berbeda dengan yang sekarang. Dulu semua orang tahu buku tulis, namun
sekarang anak-anak lebih tahu mengetik di laptop atau HP.
Perubahan di dunia pendidikan tidak hanya terjadi di kota-kota, di daerah-
daerah juga mengalami perubahan.
Seperti di Kabupaten Katingan, di kota Kasongan. Perubahan terjadi
disekolah terhadap sistem, pendidik, peserta didik serta sarana dan
prasarana sekolah. Ada yang berubah ke arah positif namun banyak juga
yang ke arah negatif.

Pendidik atau guru, memiliki peran utama dalam perubahan di sekolah.


Kurikulum yang ditetapkan pemerintah, harus dapat di terjemahkan oleh
guru agar dapat diajar ke peserta didik dalam bentuk sederhana yaitu RPP
atau modul ajar. Peraturan sekolah yang ditetapkan bersama menjadi
tanggung jawab guru untuk melihat dan mengawasi apakah
implementasinya berjalan dengan baik.
Lebih sempit lagi, di kelas masing-masing, guru menjadi orang tua yang
mendampingi peserta didik dalam bertumbuh dan berkembang kognitif
maupun afektifnya. Menyediakan kesempatan bagi mereka untuk belajar
dari prang dewasa mengenai nilai-nilai hidup. Menyediakan sarana dan
prasarana yang mereka butuhkan seperti menjadi sumber tempat peserta
didik bertanya.

Guru memang tidak harus serba bisa, karena ia juga manusia. Namun guru
harus bis membuat peserta didik terus berhasrat untuk berkembang. Itulah
namanya menjadi inspirasi bukan intimidasi.
Daftar Isi

Kata Pengantar
Prakata
Daftar Isi
Daftar Gambar
Daftar Tabel
1 Semua Ada Awalnya
“Ga Papa Aja.”
“Nyanyi Dulu”
“Patah Setahun”
“Mengejar Truk Buku”
“Cuma Ini”

2 Tahun 2005-2010
Guru Adalah Memberi
Nangis Satu Kelas
Mengajar Dengan Hati
Hanya Lari, Tidak Hilang

3 Tahun 2011-Sekarang
Aku Ma’am Bukan Mom
Kuikuti Live Igmu
Teknologi Merangkak Di Sini
Ke Mana Mana Tapi Tetap Di Sini

4 Ide Milyaran
Ini Desa Bukan Kota

5. Mimpi
Daycare, English Course,Self Learning Center
Profesi Seumur Hidup

Glosarium
Daftar Pustaka
Sumber Kredit Gambar
Indeks
Biodata Pelaku Perbukuan
Tujuan dan Manfaat Buku bagi Pembaca
Buku ini sebagai inspirasi bagi calon guru, penyemangat bagi guru
saat ini, refleksi dan ide bagi guru yang hendak pensiun.

Sasaran Pembaca
Pendidik/guru jenjang SD – SMP – SMA
Calon guru
Calon pensiun

Prospek Pasar
Bagi Guru terutama yang ada di daerah.

Keunggulan Buku
Ditulis langsung berdasarkan pengalaman di kelas.

Sumber Data
Pengalaman Pribadi Penulis Guru SMP sejak tahun 2005-sekarang
di Kabupaten Katingan.

Buku Pesaing
-

Tentang Penulis
Nama
...

Tempat Lahir
...

Riwayat Pekerjaan
1. ...
2. ...

• Riwayat Pendidikan
1. ...

• Jurnal Dan Penelitian


1. ...

• Judul Buku yang sudah dipublikasikan


1. ...
• Karya
1. ...

• Informasi Lain dari Penulis


1. ...
BAB 1
SEMUA ADA AWALNYA

Menjadi Inspirasi bukan intimidasi


*Selvi Susanty*
“Ga papa saja”

Saya lahir sebagai anak kelima dari delapan bersaudara. Laki-laki hanya ada
dua dari delapan tersebut. Kakak tertua atau anak pertama adalah laki-laki
kemudian anak ke enam atau adik tepat setelah saya, juga laki-laki.

Lucunya, kami menjadi dua kelompok besar terdiri atas empat anak-empat
anak. Kelompok anak pertama dengan tiga adiknya sama-sama terlahir di
desa. Sementara kelompok kedua, lahir di kota.
Bahasa kami pun terbagi. Kelompok pertama atau kakak-kakak saya
berbahasa ibu, sementara kelompok kedua yaitu saya dan ketiga adik saya
berbahasa Banjar: bukan bahasa Indonesia tetapi bahasa pergaulan
dilingkungan kami.

Karena terpaut usia sekolah, kakak-kakak dalam kelompok menempuh


pendidikan di Jawa sehingga saya seolah-olah menjadi anak pertama, bagi
adik adik saya. Akibatnya saya mempunyai tugas tambahan selain
membatu pekerjaan rumah, juga membantu menjaga adik.

Saya memiliki adik yang adalah anak laki-laki kedua dari 8 bersaudara.
Saya tidak pernah bisa melupakan kejadian-kejadian masa kecil kami. Saya
menyukai bahasa Inggris sejak SD, jadi saat SMP saya sudah banyak
menguasai kosa kata Bahasa Inggris. Saya sering diejek, kamus hidup, dan
jadi tempat teman-teman bertanya.
Tetapi tidak hanya teman, adik saya yang terpaut hanya dua tahun dari saya
itu turut bertanya-tanya jika ada PR bahasa Inggris. Namun, ini yang sangat
saya sesalkan, setiap kali ia bertanya, saya selalu ketus menjawab,” cari saja
di kamus , masa kata itu saja ga bisa cari.”
Dilain kesempatan, ia meminta tolong lagi dan saya menjawab,” helleh..gitu
saja ga bisa, liat kamus.”

Hal itu tidak terjadi satui dua kali, entah saat saya menceritakan ini kembali,
apakah saudara laki=laki saya ini mengingatnya. Tapi seingat saya, saya
pernah meminta maaf kepadanya, di usia dewasa ini. Dan jawabnya,” ga
papa”
Adik saya punya nama panggilan “Damen” yang diambil dari bahasa ibu
yang berarti “ga apa-apa”.

Sedihnya adalah kalau mengingat itu, menyadari bahwa sekarang adik saya
tidak bisa berbahasan Inggris. Saya hanya menghibur diri karena ia
menikah dengan seorang sarjana lulusan bahasa Inggris dan memiliki dua
putri yang sangat fasih berbahasa Inggris.
Namun penyesalan hanyalah terwakili dengan kata “andai saja” tanpa dapat
diulang kembali.

Saya sudah tahu banyak waktu itu, tetapi saya tidak mau berbagi atau
mengarahkan dengan baik sehingga adik saya ini bisa menyelesaikan
masalah dimasa dewasanya karena telah mengalami bully dari saya.

Saat menjadi guru, saya tidak berani membuat sejarah demikian bagi anak
didik saya. Saya sadar betul, apa yang keluar dari mulut saya, akan
berdampak bagi hidup anak tersebut saat dewasanya nanti.

Jadi saya tidak mau jadi guru yang tahu tetapi tidak mau atau tidak mampu
memberitahu.
Ilmu kita menjadi tertanam semakin kuat saat kita terus membagikannya
kepada orang lain. Karena saat telinga kita mendengar apa yang kita
ajarkan, semakin kita menguasai hal tersebut
Mari, bapak ibu guru yang baik, punya ilmu pengetahuan saja tidak cukup,
harus juga cakap juga membagikan.

Guru tahu tapi tak bisa kasih tahu

“Nyanyi dulu”

Saya hanya tahu istilah bully itu saat sudah menjadi guru di SMP, itupun
juga baru merebak sekitar tahun 2016, karena secara resmi tertera di KBBI
edisi ke 5.
Perundungan atau bullying dilakukan sejak jaman dahulu. Yang berbeda
hanya di cara yang tentu semakin terang-terang kalau saat ini dan tidak
memandang umur lagi, dari anak TK sampa orang dewasa.

Bullying atau perundungan menurut KBBI adalah mengganggu: menjahili


terus-terusan; membuat susah, menyakiti orang lain secara fisik maupun
psikis berbentuk kekerasan verbal, dan fisik terus menerus dari waktu ke
waktu.

Saya adalah salah satu pelaku bullying, walaupun hanya bercanda.

Sejak keempat kakak-kakak saya melanjutkan pendidikan di Jawa, otomatis


saya yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah dan menjaga adik.
Mengantar ke sekolah adalah salah satunya.
Ketika adik saya yang bungsu atau anak ke delapan pergi ke sekolah; Pada
masa itu saya sudah SMA dan terkena jadwal masuk siang hari. Jadi di pagi
hari saya bisa saja tidur sampai kesiangan.

Namun karena tanggung jawab sebagai kakak tertua dari empat saudara ini,
saya dibangunkan untuk mengatar. Namun entah dari mana otak usilku,
membiarkan adikku sampai merengek hampir menangis karena takut
terlambat kalau saya tidak mengantarnya dengan cepat. Saya mulai
melancarkan jurus bullyku, dari tempat tidur, agar saya bangun dan bersiap
mengatarnya, saya suruh dulu dia menyanyi potong bebek angsa sambil air
mata bercucuran. Setelah selesai satu lagu, baru saya berganti baju dan
mengambil sepeda motor, mengantarnya ke sekolah yang kurang dari 2
kilometer tersebut.

Itu bukan peristiwa satu kali namun berkali-kali. Padahal zaman itu belum
ada teknologi seperti sekarang, TV pun masih dikuasai TVRI. Namun pem-
bullyan muncul begitu saja, bukan dari contoh-contoh yang banyak beredar
di media saat ini.

Ada rasa kepuasan kalau membully orang. Kepuasan membully seperti itu
bisa melekat sampai seseorang dewasa dan bahkan terbawa saat menjadi
pendidik. Bisa saja bukan dalam bentuk menyuruh menyanyi, mungkin
akan lebih ekstrem lagi, bekerja untuk kepentingan gurunya, misalnya.

Meski sering geli jika mengulang menceritakan hal tersebut. Namun saya
sudah minta maaf langsung kepada adik saya, dan ia memaafkan saya
dengan hati yang tulus.
Ada di satu titik saya menyadarinya sendiri dan berhenti.

Sekarang di sekolah saya dapat melihat guru yang tidak merdeka di masa
kecil, remaja, masa mudanya, saat menjadi pendidik, mereka tidak
mendidik malah lebih sering menghardik atau membully, tanpa mereka
sadari.

Contoh negatif dari kehidupan nyata.


Ada seorang guru, yang manis saat berbicara dengan saya atau rekan guru
lainnya, namun saat anak didik datang mendekat dan hendak bertanya,
guru ini tiba-tiba saya berubah dari raut, suara dan bahasa tubuhnya,
seperti orang jengkel. Padahal anak-anak hanya bertanya, “apakah ibu
masuk akan ke kelas kami?”
Saya memperhatikan, ia selalu begitu. Padahal yang anak didik tanyakan
tidak perlu direspons demikian. Yang saya tangkap adalah ada orang yang
hanya tahu bahwa siswa itu adalah anak-anak yang selalu nakal dan
merepotkan. Sehingga setiap kali berbicara kepada siswa yang keluar dari
mulutnya adalah kalimat-kalimat dengan nada tinggi dan raut yang kurang
senang.

Mari bapa ibu guru, sadarilah dan berhentilah merundung siswa dengan
cara pandang kita yang salah tentang mereka atau masa lalu kita yang tidak
merdeka, bisa juga karena kita pernah diperlakukan tidak baik dulunya.
Biarlah kita tetap murni mengajar dan membimbing.

Berhenti menjadi Guru yang merundung

“Patah setahun”

Sewaktu hendak masuk SD kelas 1, saya dibelikan ibu


saya sebuah sepeda mini (sebutan bisa sepeda )
Umur saya 6 tahun saat itu, saat saya dan kakak saya
pergi memompa ban sepeda untuk siap dipakai besok
hari pertama sekolah. Saat menyeberang jalan, entah
dari mana, serasa dari langit saja sebuah sepeda motor menabrak kami.
Saya ingat berguling-guling di tanah dan bahu saja membentur kayu pagar
rumah orang. Sementara saya lihat kakak perempuan saya berguling dan
kepalanya membentur batu. Saya mengalami retak tulang dibahu dan kakak
saya mengalami gegar otak ringan.

Akhirnya satu tahun kami tidak sekolah.

Keinginan untuk sekolah itu sangat besar, namun kami dirawat di rumah
dan tidak boleh ke sekolah. Kakak saya harus mengenakan kaca mata
karena sering pusing. Saya mengenakan penyangga sikut agar tulang saya
tidak terlalu banyak gerak.

Selama itu kerinduan kami hanya dapat disalurkan dengan bermain


sekolah-sekolahan. Kakak saya menjadi guru dan saya menjadi muridnya.
Hampir setiap malam, kami menjadikan dinding rumah sebagai papan tulis,
lengkap dengan penggaris sebagai alat tunjuknya dan saya duduk di kursi
mendengar ajaran kakak saya lengkap dengan buku dan pensil.

Setelah tiba waktunya bagi kami kembali ke sekolah betapa kagetnya saya,
bahwa saya mendapat nilai matematika terbaik di kelas satu. Saya sudah
tua , 7 tahun, dan saya paling pintar berhitung, berkat guru saya di rumah
yang beda 2 tahun saja umurnya.

Saya sangat bersyukur, pada masa itu kakak saya tidak menjadi lemah dan
merasa sebagai korban. Dia bisa saja memilih istirahat karena kalau ia
berpikir, kepalanya bisa sakit. Saat ia mengajar saya matematika, ia
menahan saja rasa sakitnya.
Ia bisa saja memilih untuk tidak mengajar saya bahasa Indonesia, cara
membaca , di saat ia mengalami kesulitan melihat-huruf-huruf tersebut.

Sebagai guru saat ini, sakit kepala karena merasa selalu jadi korban, sibuk
mengurusi anak didik yang bukan anaknya, mungkin uang tunjangan belum
keluar, sementara ada banyak keperluan; atau gaji terlambat masuk
rekening, tuntutan laporan yang diminta kepala sekolah. Puluhan faktor
yang membuat guru sakit kepala, sehingga terkadang kelas dan mengajar di
abaikan. Lalu keluarlah statemen, “ Kalian kerjakan tugas halaman ini saja,
ibu lagi sakit kepala.”

Engkau tidak tahu hai guru, kerelaanmu di saat tidak sedang nyaman
keadaanmu, bisa menghasilkan suatu keberhasilan bagi orang lain. Dan
suatu ucapan syukur juga dalam hidup kita, karena meski dalam kelemahan,
kita tetap dapat menolong orang.

Guru yang rela susah bersama

“mengejar mobil buku”

Saat saya duduk di bangku kelas satu SD, saya baru cinta-cintanya dengan
membaca. Buku apa saja saya baca. Namun karena buku bukanlah
kebutuhan penting dalam keluarga saya dan ketersediaan buku pun
dilingkungan saya sangat terbatas. Hanya ada satu kali pameran buku
dalam setahun. Di situ pun tidak banyak buku yang boleh saya beli karena
keterbatasan keuangan keluarga.

Asyiknya pada waktu itu, ada sebuah mobil perpustakaan yang berkeliling
ke sekolah-sekolah. Giliran tiba di sekolah kami, saya langsung mengambil
buku dan membaca. Karena tidak puas membaca di tempat, maka saya mau
membeli. Saat itu ada buku yang dijual juga. Saya tanyakan harganya.
Kemudian saya berlari ke rumah yang berjarak kurang dari satu kilometer
jika melewati jalan pintas.

Ketika sampai di rumah, di situlah perjuangan saya dimulai. Saya meminta


uang namun ibu saya tidak langsung memberikan, malah menolak, tetapi
saya terus merengek. Ibu saya terus saja bekerja dan tidak memedulikan
saya. Saya menangis. Setelah sekian menit, akhirnya ibu saya memberikan
juga uang yang saya minta. Saya berlari kembali ke sekolah. Namun
sedihnya, dari jauh saya lihat mobil itu sudah tidak ada.

Hati saya hancur, sampai saat ini.


Pada masa ini, saya sangat jarang menemukan anak didik yang suka
membaca buku, sepuluh tahun yang lalu, masih ada. Namun semakin kesini,
semakin sedikit bahkan hampir tidak ada. Semua membaca dari HP yang
isinya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.

Pemerintah berupaya menggalakkan literasi, kemampuan membaca,


berpikir kritis, menyelesaikan persoalan. Membaca itu mengembangkan
pikiran, membuat pikiran bekerja dengan baik dan sistematis.

Di sinilah peran guru, membawa peserta didik agar mencapai


kemaksimalan hidup mereka. Dimulai dari membawa mereka kepada
kesadaran siapa diri mereka, apa yang mereka perlu, untuk apa nantinya,
bagaimana menyelesaikannya. Sehingga ketika ada tantangan dalam bidang
apapun, mereka memiliki kemampuan untuk membaca dan menjawab
tantangan tersebut.

Di saat teknologi semakin canggih, guru harus dapat menyelaraskan diri,


agar kita tetap menjadi buku panduan yang bisa dibaca oleh peserta didik
dan dari kita mereka bisa menghadapi dan menyelesaikan tantangan dunia.
Informasi dari kita pasti terpercaya, karena kita punya hati untuk mereka.
Namun bagaimana kita memenuhi diri kita? dengan terus belajar. Dan
langkah kecil dari belajar adalah membaca. Rajin-rajinlah membaca. Sama
seperti kita menasihati anak didik kita, cobalah nasihati diri kita sendiri.
Rajinlah membaca hai diriku! Saya yakin, kebiasaan baik itu menular.

Guru itu harus rajin baca

“Cuma ini”

Guru perundung tingkat tinggi

Kesimpulan 1
Saat seseorang berangkat untuk menjadi pendidik, selain ilmu pengetahuan,
ada banyak sisi hidup dan pengalamannya yang membuatnya dapat menjadi
guru yang bisa memahami peserta didik. Karena peserta didik bukan semata-
mata belajar ilmu pengetahuan tetapi juga kehidupan dan interaksinya.
“Orang-orang tidak membeli “apa” yang Anda lakukan, tetapi mereka
membeli karena “mengapa” Anda melakukannya”
~Simon Sinek~

Anda mungkin juga menyukai