Anda di halaman 1dari 2

Pengalamanku Tumbuh dan Berkembang di Lingkungan Pesantren

Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya mendapatkan pendidikan yang layak
sebagai bekal hidup di Dunia. Berawal dari wasiat kakek buyut bahwasanya setiap anak
ncucu beliau, kalau bisa harus mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Maka jadilah
suatu tradisi di keluarga kami ketika sudah lulus dari jenjang sekolah dasar atau MI selalu
diberangkatkan di pondokpesantren. Tahun 2008 merupakan awal kelulusan saya dari salah
satu MI di Surabaya. Pada tahun tersebut, orang tua dan kerabat memberikan banyak opsi
terkait pondok yang bagus dan jelas sanadnya. Kakak sepupu, bibik, bude, dan Ibu saya
kebetulan alumni dari salah satu ponpes yang masyhur di kota Jombang tepatnya di Desa
Tambakberas. Tanpa berpikir panjang saya nurut kepada kedua orang tua atas usulan ponpes
yang akan menjadi tempat melanjutkan studi sampai lulus aliyah. Sebenarnya untuk bekal
masuk ke ponpes jika dibandingkan dengan teman-teman yang lain, saya cukup tertinggal
soal pemahaman materi kitab kuning dan hafalan juz 30. Tetapi seiring berjalannya waktu
alhamdulillah bisa beradaptasi dengan baik. Perlahan mampu mengukir prestasi dari berbagai
bidang.
Awal menginjakkan kaki di Pesantren, yang membuat hati saya berat adalah harus
berjarak dengan kedua orang tua yang mana setiap hari semua aktifitas dihandle oleh Ayah
dan Ibu. Jadi, dituntut supaya bisa mandiri dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dan
peduli terhadap orang lain. Karena di dalam pesantren tidak melulu dari kalangan orang
dalam kota Jombang sendiri melainkan banyak santri yang berasal dari luar kota bahkan luar
pulau Jawa. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pondok pesantren salah
satunya adalah harus mempunyai sanad yang jelas. Sanad adalah sesuatu yang sangat penting
dalam mempelajari ilmu agama Islam. Sebab sanad merupakan sesuatu yang menjaga
validitas informasi yang disampaikan dari guru ke murid sejak masa Rasulullah SAW hingga
guru kita atau dari penulis kitab hingga kita yang memelajari kitab tersebut.
Menjalani kehidupan selama 7 tahun di pesantren mengajarkan saya banyak hal yang
tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bagaimana tidak? Seorang anak perempuan pertama
yang masih manja dan kekanak-kanakan mau tidak mau harus menjelma menjadi anak yang
tawadlu’, mandiri, bertanggung jawab, dan beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru
yang tentu mempunyai banyak perbedaan watak dan sifat. Pesantren yang saya tempati
mempunyai kegiatan rutin ngaji tasawwuf atau bisa disebut hikaman karena kitab yang
digunakan untuk mengaji adalah Al-Hikam karangan Ibnu ‘Athaillah As-Sakandari. Waktu
pelaksanaan kajian tasawwuf ini setiap satu pekan sekali tepatnya pada hari Senin malam.
Murobbi Ruh Almaghfurlah Abah Djamal selalu berhasil menyampaikan isi dari kitab yang
terkenal mempunyai struktur kalimat yang bersastra tinggi ini ke dalam bahasa yang singkat,
padat dan mudah dipahami. Bahkan beliau sering menjadikan inti pembahasan kitab menjadi
beberapa syi’iran sehingga lebih melekat dalam hati dan pikiran setiap pendengarnya.
Pendidikan di pesantren tidak melulu tentang sekolah formal, cara mencari pekerjaan,
dan kiat menggapai cita-cita dengan mudah. Akan tetapi disana lebih ditekankan bagaimana
menjadi manusia seutuhnya. Insan kamil yang mampu menjadi khalifah fil ‘ardl,
memanusiakan manusia, rendah hati, tawadlu’ terhadap ilmu dan guru. Karena saya berasal
dari Kota Surabaya yang kebanyakan masyarakatnya berbahasa madura dengan intonasi yang
keras dan bahasa yang bisa dibilang kasar, pada saat itu sempat kesulitan beradaptasi dimana
seluruh santri wajib berbahasa krama halus kepada yang lebih tua, khususnya kepada guru
dan pengasuh. Tetapi alhamdulillah semua proses adaptasi tersebut bisa terlewati dengan
baik.
Setelah lulus MTs pada tahun 2011, saya melanjutkan belajar di MMA 6 tahun atau
setara dengan sekolah keguruan dan salaf. Pendidikan di Mu’allimat saya tempuh selama 4
tahun. Disana diajarkan berbagai ilmu agama Islam seperti kitab hadits bulughul maram,
tafsir jalalain, fathul qarib, ta’lim muta’allim, dan lain-lain. Selama belajar di pesantren para
santri dituntut harus bisa mengimbangi semua kegiatan di Pondok dan Sekolah, termasuk
pandai membagi waktu. Padatnya kegiatan yang sudah terjadwal tidak boleh dijadikan
alasan santri untuk bermalas-malasan melainkan harus menjadi cambuk semangat supaya
lebih bisa menghargai waktu dan semaksimal mungkin menjalankan kewajiban belajar
dengan penuh kesungguhan. Lebih baik bertahan dengan penatnya belajar saat muda daripada
menanggung pedihnya kebodohan di masa tua.
Pada bulan Mei tahun tahun 2015 setelah lulus dari pesantren, saya mendaftarkan diri
ke beberapa PTN dan diterima di salah satu Universitas Islam Negeri di Surabaya. Selama
empat tahun belajar di jenjang strata satu, sebisa mungkin saya tetap mengamalkan ilmu yang
sudah didapat dari pesantren meskipun sedikit. Jadi, sepulang kuliah saya melanjutkan
kegiatan mengajar di TPQ, setelah itu menemani anak-anak les di rumah. Prinsip yang
menjadi pegangan hidup saya salah satunya adalah mengamalkan ilmu meskipun sedikit,
karena ilmu tanpa ‘amal ibarat pohon yang tak berbuah. Jika ilmu yang kita dapat tidak
diamalkan, maka semua yang telah dipelajari saat ini akan sia-sia. Sebaliknya, jika kita mau
mengamalkan imu yang kita punya meskipun sedikit akan menjadi wasilah kemanfaatan dan
keberkahan hidup.
Semoga dengan sedikit cerita pengalaman di pesantren ini dapat menjadikan motivasi
untuk setiap pembaca bahwasanya tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Buktikan
kepada khalayak umum, bahwasanya hidup di pesantren itu tidak se-mengerikan bayangan
mereka. Dan tidak sedikit alumni pesantren yang mampu meraih cita-citanya dan menjadi
orang yang sukses di kemudian hari. Karena bekal hidup bukan hanya butuh materi, tetapi
juga ilmu yang mumpuni agar tidak salah arah dan tetap berada di JalanNya.

Anda mungkin juga menyukai