Anda di halaman 1dari 5

Pendidikan Agama untuk Generasi yang Berkualitas dan Berintegritas

Nama saya Ani Nurhayati, Koordinator bidang Hubungan Masyarakat (HUMAS)


HMJ Komunikasi dan Penyiaran Islam STAI Persis Bandung. Saya merupakan pemerhati
sosial yang aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan mengambil peran dalam
tataran kemasyarakatan, khususnya dalam dunia anak dan keperempuanan. Saya bertempat
tinggal di salah satu desa yang berada di Kecamatan Baleendah, tepatnya di Kp. Rancabungur
RT 02 RW 05 Desa Malakasari.

Saya merupakan seorang yang humble, mudah bergaul, dan komunikatif. Sehingga
tidak heran jika saya akrab dengan masyarakat sekitar, baik dengan para orang dewasa
ataupun anak-anak. Saya bisa menyesuaikan diri ketika berkomunikasi dengan anak dan
orang dewasa yang membuat mereka nyaman untuk berbagi cerita atau bermain bersama
saya. Di dalam diri saya juga terdapat jiwa influencer, sehingga saya mudah memberikan
pengaruh positif kepada orang disekitar saya serta menjadi role model bagi anak-anak dan
remaja.

Ketertarikan saya terhadap dunia sosial bermula dari rendahnya kesadaran masyarakat
di lingkungan RT 02 terhadap pentingnya penanaman nilai keagamaan pada anak. Padahal di
RT 02 terdapat sebuah musala yang mana setiap ba’da magrib diadakan belajar membaca iqra
dan Al-Qur’an, hafalan surat Al-Qur’an, serta do’a harian. Namun, yang mengaji di musala
tersebut hanya beberapa anak kecil saja yang jumlahnya tidak pernah lebih dari sepuluh
orang. Kebanyakan dari mereka memilih untuk bermain dan ada juga yang dilarang keluar
rumah setelah magrib oleh orang tuanya. Padahal Ibu Empi -pengajar- secara sukarela
mengabdikan dirinya mengajar mengaji anak-anak tanpa meminta imbalan.

Melihat minimnya kesadaran masyarakat RT 02 atas pendidikan agama, sejak saat itu
saya bertekad untuk merubah pola pikir masyarakat di lingkungan rumah saya. Karena untuk
membentuk generasi bangsa yang berkualitas dan berintegritas perlu di mulai dari ruang
lingkup yang terkecil, yaitu keluarga dan lingkungan sekitar. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Tubbs Sylia bahwa kebudayaan suatu daerah berpengaruh terhadap cara
berpikir, berperilaku, dan berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain. Kebudayaan
sendiri terlahir dari kebiasaan suatu masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang
sehingga hal tersebut menjadi ciri khas suatu daerah.

Langkah pertama yang saya ambil untuk mewujudkan tekad saya tersebut adalah
dengan menjadi pengajar ngaji di musala. Saya mulai dengan merangkul terlebih dahulu anak
kecil yang mana secara psikologis masih mudah untuk dipengaruhi dan diarahkan. Berbekal
pengalaman saya yang merupakan alumni diniyyah Pesantren Persatuan Islam Nurul Hayat
dan juga anggota Ikatan Remaja Masjid Nurul Hayat, saya mulai mengajar mengaji bersama
Ibu Empi. Saya mengajar mengaji anak yang masih iqra, sementara Ibu Empi mengajar
mengaji anak yang sudah bisa membaca Al-Qur’an. Setelah semua anak selesai membaca,
Ibu Empi membimbing anak-anak untuk menghafal surat pendek dan juga do’a harian.

Kegiatan mengaji selesai setelah adzan isya berkumandang. Anak-anak baru


diperbolehkan pulang setelah melaksanakan shalat isya. Berbeda dengan mereka, setelah
shalat saya belajar mengaji bersama Bu Empi. Karena bagi saya pendidik yang baik adalah
yang terdidik. Pada saat itu, saya juga meminta izin kepada Bu Empi untuk mengadakan
kegiatan nonton bersama setiap hari sabtu ba’da isya. Adapun film yang ditonton yaitu kisah
para nabi, nussa rara, ataupun film lain yang cocok untuk anak yang bertema keagamaan.

Kegiatan menonton itu saya lakukan dengan tujuan agar anak-anak tidak merasa
bosan sehingga mereka semakin rajin mengaji kemudian mengajak anak lain untuk pergi
mengaji ke musala. Hari sabtu saya pilih karena keesokan harinya sekolah SD libur sehingga
tidak menganggu pelajaran mereka. Cara tersebut sangat efektif menarik minat mengaji anak.
Setelah kegiatan nonton bersama berjalan, banyak anak yang datang ke masjid untuk mengaji
bahkan ada anak yang berasal dari kampung lain.

Seiring berjalannya waktu, Bu Empi menjadi jarang mengajar di musala. Hal itu
dikarenakan penyakit yang ia derita kambuh kembali bahkan semakin parah. Semenjak saat
itu saya mengajak sepupu saya yang masih bersekolah di MTs PERSIS untuk mengajar
bersama saya. Mengingat banyaknya jumlah anak dan pendeknya waktu belajar, saya
khawatir jika saya sendirian yang mengajar maka akan ada anak yang tidak mengaji.
Semenjak saat itu pula, saya menyuruh anak-anak untuk membawa alat tulis setiap kali pergi
ke musala. Hal itu dimaksudkan agar saat anak-anak menunggu giliran mengaji, mereka tidak
berisik dan menggangu temannya yang sedang mengaji. Untuk anak yang belum memasuki
TK, saya mengajarkan mereka cara menulis huruf hijaiyyah dengan memberi titik pada
bukunya. Sementara untuk anak yang sudah SD, saya menuliskan do’a harian yang harus
mereka hafalkan di papan tulis.

Melihat anak yang semakin antusias belajar ketika saya menyuruhnya membawa alat
tulis, saya memutuskan untuk membuat jadwal pelajaran. Saya mencoba menerapkan
pelajaran yang diajarkan kepada saya selama bersekolah di diniyyah Pesantren Persatuan
Islam Nurul Hayat kepada anak-anak. Saya menambahkan pelajaran hisab (hitungan),
tahfidz, tajwid, serta tarikh (sejarah) islam. Jadi setiap harinya setelah selesai mengaji mereka
mendapatkan pelajaran yang berbeda.

Saya memilih mengajarkan hisab karena mereka masih sangat awam dengan angka
arab. Saya pernah meminta mereka membuka sebuah surat dalam Al-Qur’an, misalnya “Buka
Q.S Al-Kahfi!” mereka bisa membukanya. Tetapi ketika saya memberi pertanyaan “Urutan
ke berapa surat tersebut dalam Al-Qur’an?” mereka tidak bisa menjawabnya. Hal tersebut
terjadi karena ketika saya meminta mereka untuk membuka sebuah surat dalam Al-Qur’an,
mereka membuka daftar surat kemudian menyamakan bentuk angkanya. Jadi ketika saya
meminta mereka untuk menyebutkan urutan keberapa surat tersebut, mereka tidak bisa
menjawabnya.

Untuk kegiatan tahfidz, pada awalnya dilakukan secara bersama-sama setelah semua
anak selesai mengaji. Namun setelah saya amati, metode tersebut kurang efektif. Hal itu
dikarenakan tingkat daya ingat seseorang berbeda-beda. Sehingga jika dites secara bersama-
sama agak sulit untuk membedakan mana anak yang sudah hafal, hafal namun urutannya
masih terbalik, dan hafal namun panjang pendeknya masih salah. Untuk itu saya membuatkan
daftar hafalan juz 30 untuk setiap anaknya. Ketika jadwal pelajaran tahfidz, satu per satu anak
akan menyetorkan hafalannya kepada saya. Setelah itu saya akan meminta mereka
membacakan surat yang akan mereka hafalkan selanjutnya. Hal itu bermaksud untuk
mengoreksi bacaan tajwid mereka.

Berdasarkan pengamatan saya, ketika seseorang telah hafal suatu surat namun
tajwidnya masih salah, mereka akan sulit untuk memperbaikinya dikemudian hari. Sementara
tajwid sendiri sangat penting karena mempengaruhi arti dari surat tersebut. Oleh karena itu,
saya memastikan terlebih dahulu bahwa tajwid mereka benar baru mereka boleh
menghafalkannya. Biasanya saya melingkari bacaan mereka yang keliru di Al-Qur’annya lalu
memberikan contoh bagaimana cara membaca yang benar. Metode ini digunakan kepada
mereka yang sudah bisa membaca Al-Qur’an. Untuk anak yang masih iqra saya
mencontohkannya terlebih dahulu lalu meminta mereka mengulanginya berkali-kali.

Pelajaran tajwid hanya diperuntukan kepada anak yang sudah bisa membaca Al-
Qur’an. Setelah selesai membaca Al-Qur’an saya menyebutkan beberapa potongan ayat yang
telah mereka baca kemudian meminta mereka untuk menyebutkan hukum bacaannya. Ini
merupakan metode yang Bu Empi dulu ajarkan kepada saya dan masih saya terapkan hingga
saat ini. Selain mengajarkan tajwid dengan metode tersebut, saya meminta anak-anak untuk
menulis teori tentang hukum tajwid.

Untuk pelajaran tarikh, saya biasanya membawa sebuah kertas yang isinya kisah para
nabi untuk mereka tulis kembali di bukunya masing-masing. Setelah semuanya selesai
mengaji dan menulis, saya akan menerangkan tentang kisah tersebut. Selain dengan cara
tersebut, saya juga sering meminta mereka menceritakan kembali kisah nabi yang telah saya
terangkan atau yang telah mereka tonton di hari sabtu untuk memastikan bahwa mereka
memahami pelajaran yang telah disampaikan.

Ditengah antusias anak-anak yang tinggi dalam menuntut ilmu agama, saya melihat
bahwa kesadaran remaja dan orang tua terhadap ilmu agama di lingkungan rumah saya masih
belum meningkat. Saya pernah mengajak para remaja untuk mengaji di musala menggunakan
cara yang sama ketika saya mengajak anak-anak. Namun, cara tersebut tidaklah efektif.
Secara psikologis, usia remaja sudah mulai berfikir kritis. Sehingga mereka sudah tidak bisa
diiming-imingi oleh menonton film. Jikapun mereka tertarik, maka mereka tidak akan mau
menonton film nussa rara. Mereka lebih memilih film action yang tidak ada nilai agamanya.
Begitupun dengan para orang tua, ketika saya mengajak mereka untuk pergi ke masjid Nurul
Hayat mengikuti kajian, mereka selalu berdalih sibuk atau malah berbalik memarahi saya.

Dari kegagalan saya untuk merangkul remaja dan orang tua saya sadar bahwa setiap
jenjang usia memiliki cara tersendiri untuk bisa mempengaruhi mereka. Cara berkomunikasi
yang saya gunakan kepada anak tidak bisa saya gunakan untuk berkomunikasi dengan remaja
dan orang tua. Selain itu, sebagai pendakwah saya harus bisa melihat kondisi atau latar
belakang mitra dakwah untuk bisa menentukan metode seperti apa yang harus saya gunakan
sehingga mitra dakwah dapat terpengaruh dengan apa yang saya ucapkan.

Berdasarkan kondisi tersebut, saya memutuskan untuk memperdalam dunia


komunikasi dan dakwah sehingga saat ini saya tercatat sebagai mahasiswi semester 6 di STAI
Persis Bandung program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI). Program studi yang
saya pilih sangat mendukung cita-cita saya untuk bisa merubah pola pikir masyarakat RT 02
menjadi lingkungan yang sadar akan pentingnya pendidikan agama.

Saat ini, masyarakat RT 02 sudah mulai sadar akan pentingnya pendidikan agama.
Anak-anak yang awalnya hanya mengaji di musala kecil, kini sudah mereka masukkan ke
madrasah-madrasah formal. Tidak hanya anak-anaknya, kini merekapun mulai mempelajari
Ilmu agama. Musala yang awalnya hanya dipergunakan oleh anak-anak, kini juga mulai
digunakan oleh para orang tua untuk belajar mengaji dan mengadakan kajian.

Melihat kondisi lingkungan RT 02 yang menunjukkan kemajuan, saya mulai


berpindah ke ranah yang lebih luas lagi, yaitu ke ruang lingkup RW 05. Pada akhir Juni 2021,
saya bergabung menjadi kader posyandu Desa Malakasari. Selain itu, pada Desember 2021
saya juga terpilih menjadi Tim Pendamping Keluarga (TPK) Desa Malakasari yang bergerak
dalam ranah pendampingan keluarga, meliputi penyuluhan kesehatan terhadap calon
pengantin, wanita yang sudah menikah, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.

Dari amanah yang sedang saya jalani saat ini, saya menjadi lebih peka akan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat di tempat saya tinggal. Tidak hanya di RT 02, tapi saya
juga menjadi tahu kebutuhan RT lain yang ada di wilayah RW 05. Oleh Karena itu, kini saya
bertekad untuk mengabdikan diri saya untuk masyarakat RW 05 agar terciptanya lingkungan
masyarakat yang baik dan sejahtera, sehingga mampu menghasilkan generasi muda yang
berkualitas dan berintegritas.

Dengan ini saya yakin untuk menjadi penerima Beasiswa Jabar Future Leader
Scholarship dan akan menjadi bagian untuk mewujudkan Jabar Juara Lahir Batin dengan
menjadi pembawa perubahan dalam tataran masyarakat sebagaimana yang menjadi misi Jabar
Future Leader Scholarship tahun ini.

Anda mungkin juga menyukai