Pernikahan Bermakna
Hanny Fauziah, S. Psi. &
Fadel Muhammad, S. Kom.
Sejak usia Sekolah Dasar (SD), aku terpikirkan bahwa anak adalah hasil
dari didikan orang tuanya. Saat ada temanku yang nakal, aku
membayangkan bagaimana orang tuanya mendidik ia di rumah hingga
bisa menjadi seperti itu. Pun jika ada temanku yang sangat baik, aku juga
langsung membayangkan bagaimana orang tuanya. Sejak SD itu juga, aku
sudah bisa merasakan ketidaknyamanan yang berarti semisal aku
dibentak atau diperlakukan tidak menyenangkan. Entah oleh orang
tuaku, nenekku, guruku, atau orang dewasa lainnya. Aku yang masih kecil
saat itu berpikir bahwa tidak seharusnya mereka memerlakukanku
demikian karena ada rasa sakit yang tertinggal setelahnya. Namun aku
masih terlalu kecil saat itu. Tidak tahu bagaimana harus mengutarakan
perasaan yang kupunya. Tidak tahu juga siapa yang benar. Apakah aku
yang tidak nyaman saat diperlakukan kurang baik atau mereka yang
melakukan hal tersebut dengan niat ingin mendidikku. Ya, aku yakin,
sebenarnya setiap orang tua pasti sudah berusaha melakukan yang
terbaik untuk anak yang dicintainya. Hanya saja mungkin mereka tidak
selalu tahu cara yang terbaik untuk melakukannya.
Sebagai anak yang besar dan tumbuh di perkotaan, aku dan teman-
teman sering main ke mall, meskipun saat itu usia kami masih SD.
Sekadar jalan-jalan menghibur diri. Salah satu tempat yang biasa kami
singgahi adalah toko buku. Aku senang setiap mampir ke toko buku dan
menemukan buku menarik untuk dibaca.
Langkah Menyiapkan Pernikahan Bermakna - HannyFadel | 2
Sebagai anak kecil yang tak punya banyak uang, memiliki kesempatan
untuk membaca gratis meskipun harus berdiri sepanjang membaca
adalah suatu kemewahan. Salah satu buku yang tak pernah luput kucari
setiap mampir ke toko buku adalah buku Chicken Soup for the Soul.
Banyak dari cerita-cerita di dalamnya yang membuat hati dan pikiranku
tercerahkan. Selalu menarik karena kesemuanya kisah nyata. Terlebih,
banyak juga kisah-kisah tentang keluarga di dalamnya. Aku banyak
belajar tentang hubungan dari buku itu. Hubungan dengan keluarga,
dengan teman, dengan diri sendiri. Satu hal yang sangat aku syukuri
ketika aku dewasa adalah aku banyak membaca buku-buku tersebut
yang atas izin Allah akhirnya membuat ketertarikanku pada hubungan
keluarga semakin besar. Apa yang sering kuamati, aku rasakan, dan aku
baca seperti terhubung hingga menghadirkan minat yang sangat besar
padanya. Ya, aku tertarik sekali dengan topik keluarga.
Saat saya baru masuk kuliah, saya banyak berinteraksi dengan senior
beberapa tahun di atas saya yang sudah menikah. Mereka menikah di
usia cukup muda, awal 20-an, sehingga membuat saya merasa biasa saja
dengan nikah muda. Bukan hal yang harus dibesar-besarkan. Lebih lagi,
sepertinya saya terpengaruh untuk menikah muda.
Kehidupan saya berlanjut, dan saya mulai melihat “hasil karya” dari
pernikahan senior-senior saya. Mereka menikah tidak hanya untuk
menjalani cinta yang halal, tapi juga menjadi berdampak dan berdaya.
Saya jadi belajar makna pernikahan lain: keseriusan. Bagi saya, proses
menuju pernikahan adalah hal besar yang tidak bisa main-main. Kalau
belum niat serius, ya tidak perlu memberi harapan bahkan memberi janji.
Ini sangat saya kuatkan dan tanamkan dalam diri saya, sangat tidak mau
menjadi seperti lelaki-lelaki tukang janji tadi.
Selain itu, makna nikah sebagai ibadah berimplikasi dari menikah adalah
membuat segala hal di dalamnya menjadi pahala. Membuat yang haram
saat belum akad, menjadi pahala setelah sudah akad. Bercanda,
mengobrol, memberi hadiah, bepergian bersama, makan bersama,
semuanya jadi bernilai ibadah.
Berdasarkan apa yang kami pelajari dari beberapa buku dan kajian,
berikut adalah tujuan dari pernikahan:
1. Fitrah manusia
Hidup berpasangan adalah fitrah manusia. Islam adalah agama yang
sangat lengkap, mengatur semua hal dalam hidup manusia, termasuk
mengatur cara paling mulia bagaimana seorang manusia harus memenuhi
fitrahnya ini, yaitu dengan pernikahan.
7. Memiliki keturunan
“Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan
menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu,
dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka
beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ? ” [An
Nahl:72].
Selain itu…
Tujuan dari pernikahan juga adalah untuk menjalankan tugas
perkembangan kita. Menurut Erik Erikson, manusia berkembang melalui
berbagai tahapan yang berbentuk tingkatan, yang dikenal dengan
perkembangan psikososial.
Dalam teorinya, ia mengatakan bahwa sepanjang hidupnya manusia
bergerak dari satu tingkat menuju tingkat selanjutnya. Di setiap
tingkatan, terdapat tugas perkembangan yang perlu diselesaikan.
Seseorang akan menjadi individu yang berkembang dengan baik jika
setiap tugas di tahapan tersebut berhasil dicapai.
Kami juga merasa hidup lebih fokus. Waktu tidak lagi terbuang untuk
memikirkan masalah percintaan. Waktu gabut juga sangat berkurang,
karena waktu banyak diisi untuk belajar bersama, melakukan kegiatan
bermanfaat bersama, upgrade diri bersama, dan mengurus keluarga.
Apalagi saat sudah akan menjadi orang tua. Waktu hidup kami jadi terasa
lebih produktif, bermakna, dan semakin fokus dengan tujuan hidup yang
ingin dicapai.
Saat ada ide project yang ingin dijalankan, pemikiran atau ketakutan
terkait karir, mimpi-mimpi masa depan, selalu ada orang yang setia
mendengarkan dan mendukung.
Jika kamu punya mimpi, tujuan hidup, rencana masa depan yang ingin
dicapai, pernikahan bisa menjadi support terkuat untuk mencapainya.
Oleh karena itu, memudahkan mencapai mimpi serta harapan hidup bisa
menjadi tujuan pernikahan juga!