Pada tahap ini, saya masih sepenuhnya bergantung pada orang tua dan berusaha untuk mengandalkan mereka. Walau tidak mengingat dengan jelas tentang masa-masa bayi tersebut, saya merasa bahwa orang tua telah mencukupi kebutuhan hidup berupa makanan, obat, susu, dan sebagainya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan timbulnya rasa aman, nyaman dan kepercayaan ketika saya berada di dekat orang tua. Terutama karena ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga, sehingga bisa meluangkan banyak waktu untuk saya. Mulai dari menggendong, menyusui, memandikan hingga menyanyikan lagu sebelum tidur. Belum ada hambatan yang saya rasakan di masa itu.
Autonomy vs. Shame and Doubt (18 bulan - 3 tahun)
Pada usia sekitar 2 tahun, saya diajarkan cara berjalan dan berbicara dengan baik oleh orang tua. Di tahap ini saya selalu merasa penasaran dengan hal-hal baru. Namun suatu hambatan yang saya hadapi adalah larangan dari orang tua yang membuat saya takut mencoba hal-hal baru. Pada waktu itu, saya mulai mencoba untuk makan sendiri. Tetapi tangan saya masih tidak kuat memegang sendok, sehingga makanannya tumpah ke baju dan lantai. Dari sana timbul keraguan untuk bersikap mandiri dan saya menangis karena takut dimarahi ibu. Peristiwa tersebut juga membuat saya meragukan kemampuan diri sendiri. Walau semuanya menjadi kotor dan berantakan, ibu tidak marah. Ia langsung mendampingi saya untuk mencoba lagi. Hal yang sama terjadi ketika saya berlatih untuk buang air kecil sendiri. Ayah dan ibu selalu memberikan saya pujian walau hanya untuk hal-hal sederhana. Mereka juga memberikan saya kebebasan atau otonomi untuk memilih. Perilaku tersebut sesuai dengan salah satu karunia yang diberikan Allah yaitu daya karsa (kebebasan). Maka dengan memberikan pilihan untuk melakukan semuanya secara mandiri, ayah dan ibu telah memperkenalkan perintah Tuhan pada saya dalam kehidupan sehari-hari. Melalui dukungan orang tua, saya berhasil mengatasi dan melewati tahapan autonomy vs shame and doubt, menjadi anak yang lebih mandiri dan percaya diri. Initiative vs. Guilt (3 - 5 tahun) Di masa ini, saya sudah mulai memasuki TK (Preschool). Berada di lingkungan baru membuat saya merasa ragu untuk mengekspresikan diri sendiri. Namun saya memberanikan diri mengambil inisiatif mencoba hal-hal baru. Mulai dari bermain olahraga, kursus bahasa Inggris, hingga les piano. Pada waktu itu, orang tua sempat melarang saya mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan olahraga karena saya pernah terjatuh dan mereka khawatir dengan badan saya yang tergolong kecil. Namun karena baru berumur 4 tahun, saya tidak mampu berpikir jauh ke depan, dan malah merasa kesal dengan mereka karena rasa ingin tahu saya tidak terpenuhi. Tetapi sekarang saya baru menyadari bahwa orang tua menginginkan yang terbaik bagi saya. Selain itu, ibu juga mulai mengenalkan saya akan keberadaan Tuhan. Ia termasuk tegas mengenai sikap doa yang baik. Namun karena sifatnya abstrak, saya banyak bertanya kepada ibu tentang Tuhan dan ia dengan senang menjawab semua pertanyaan saya. Sejak saat itu, saya jarang merasa ragu untuk bertanya. Hal ini ditunjukkan dari kemampuan saya untuk menjadi ketua kelompok dan mengambil inisiatif dalam memimpin teman-teman.
Industry vs. Inferiority (5 - 13 tahun)
Tahap perkembangan yang keempat terjadi ketika saya memasuki sekolah dasar. Pada waktu itu, saya masih termasuk anak yang pemalu dan pendiam, terutama karena memasuki lingkungan yang baru. Saya mulai mendapatkan tugas dan tanggung jawab sebagai siswa SD dan bertemu teman-teman yang berasal dari latar belakang berbeda. Dengan mengerjakan berbagai PR dan projek, saya merasa bangga dan percaya diri. Terutama setelah orang tua mengambil nilai rapot di sekolah, dan memuji saya karena juara satu seangakatan. Dari sana saya merasa telah menjadi orang yang kompeten dan bisa diandalkan.
Identity vs. Role Confusion (13 - 21 tahun):
Dari keempat tahap psikososial di atas, tahap identity vs role confusion adalah satu-satunya tahap yang paling sulit untuk saya lewati. Ada begitu banyak hambatan yang menyebabkan krisis identitas pada diri saya. Mulai dari teman, orang tua, cita-cita, hingga tujuan hidup. Sejak SMP, saya mulai bertanya-tanya apa tujuan dan makna hidup di dunia ini, apa yang ingin saya capai kelak. Pada suatu titik, saya benar-benar merasa kehilangan arah karena tidak memiliki pendirian yang teguh. Saya bahkan mempertanyakan keberadaan Tuhan karena selalu merasa sendirian padahal sudah berdoa kepada-Nya setiap hari. Kemudian saya mencoba bercerita kepada orang tua tentang perasaan tersebut. Mereka mendampingi saya dengan mengambil selembar kertas dan menggambar sebuah mind map untuk menuliskan sub-judul: hobi, cita-cita, pencapaian, dan di tengahnya, ada Tuhan. Mereka mengatakan bahwa Tuhan telah memberikan saya kemampuan yang begitu istimewa, seperti talenta bermain piano atau pintar dalam pelajaran matematika. Namun apabila saya hanya berdoa namun talenta tersebut tidak dikembangkan dan hanya dipendam, saya akan terus merasa bingung dan kehilangan arah. Sebaliknya, apabila saya mengembangkan talenta tetapi saya jauh dari Tuhan, hal yang sama juga akan terjadi. Oleh karena itu mereka meyakinkan saya bahwa, dengan melibatkan Tuhan dalam segala peristiwa hidup, saya pada akhirnya akan menemukan tujuan dan makna hidup sendiri. Berdasarkan pengajaran minggu lalu, pencarian makna hidup tidak selalu berhasil dan akan menimbulkan rasa marah, obsesi bahkan depresi. Saya pun merasa demikian. Bahkan saat ini, ketika sudah memasuki bangku kuliah dan memilih jurusan teknologi pangan, saya seringkali bertanya apakah ini sudah menjadi jalan terbaik bagi saya atau belum. Tetapi saya belajar untuk bersyukur dan mengusahakan yang terbaik dari apa yang saya punya, karena pada dasarnya manusia tidak akan pernah merasa puas. Daripada berlarut-larut dalam kebingungan ini, lebih baik saya bersosialisasi dengan teman-teman untuk mendapat pengetahuan/peluang baru, serta memohon berkat Tuhan untuk mengembangkan pribadi saya. Walau belum berhasil melewati tahap ini, saya berusaha semaksimal mungkin untuk yakin dengan pilihan hidup saat ini asalkan sesuai dengan perintah Tuhan.