Anda di halaman 1dari 5

Di usia 2-4 tahun, saat perkembangan bahasa melaju pesat. Anak senang bertanya ini dan itu.

Senang bercakap-cakap dengan orangtuanya. Namun lagi-lagi, ketika anak dalam masa euforia
untuk bicara orangtua masih sibuk dengan diri sendiri. Saat anak mengajak bicara, saya masih
sibuk menatap layar, apakah itu layar hp ataupun layar laptop. Bukan sibuk menatap wajah
mereka, dan menyambut mereka untuk bicara. Sehingga tidak heran kalau anak mencari
perhatian dengan menunjukkan perilaku sulit atau yang kerap kita katakan sebagai perilaku
“nakal”. Karena hanya dengan perilaku tersebut, orangtua menghampiri mereka dan memberikan
perhatian, walau perhatiannya dalam bentuk “marah”, tetapi mereka cukup puas mendapatkan
perhatian tersebut

Moment untuk saling bicara dan berinteraksi berlalu begitu saja. Sampai tibalah masa anak
mengenal lingkungan yang lebih luas, teman sebayanya. Rasa ingin tahu yang sejatinya
ditanyakan pada orang tua mereka, mereka tanyakan pada teman. Informasi yang diperoleh
menjadi tidak akurat. Kebutuhan akan kasih sayang yang sejatinya mereka peroleh dari
orangtua, akhirnya mereka peroleh dari teman sebayanya, saudara lain, juga (atau kekasihnya?),
sehingga mereka mau melakukan apa saja untuk mendapatkan kasih sayang tersebut, karena itu
memang kebutuhan mendasar dari seorang anak.

Hanny Muchtar Darta, Emotional Intelligence parenting Consultant mengatakan perkembangan


zaman ternyata mempengaruhi dinamika dalam keluarga. Khususnya dalam hal hubungan
emosional antar anggota keluarga.
“Keadaan ini mengurangi intensitas antara anggota untuk berkomunikasi secara langsung dan
merasakan kebersamaan dan kedekatan satu sama lain.
Saat ini komunikasi tatap muka di keluarga semakin berkurang. Sangat memprihatinkan
memperhatikan interaksi sebuah keluarga ketika bertemu di ayah dengan notebook, kedua anak
masing memegang iPad dan PSP, sementara ibu asyik BBM di Blackberry.
Mereka secara fisik bertemu, namun tidak ada kebersamaan emosional karena masing-masing
sibuk dengan perangkat miliknya. Apalagi ketika aktif dengan gadget, manusia berada
pada survival mode. pada posisi tersebut, jika ada gangguan maka orang tersebut akan
merespon dengan marah atau bersikap cuek. Jangan kaget jika ada cerita anak yang
memanggil, niatnya  ingin berbicara dengan orangtua malah dibentak.
Hasil survei Kraft Kejucake di Jakarta mencatat sebanyak 70%
anak mengeluh bahwa orangtua jarang meluangkan waktu dengan mereka, orangtua asyik
dengan hp, internet dan perangkat telekomunikasi lainnya, dan anak sulit berkomunikasi dengan
orangtua.
Hasil survei juga menunjukkan ketika berinteraksi anak merasa orangtua mudah marah sehingga
mereka merasa takut. Padahal, orangtua maupun anak memiliki keinginan yang sama,
merasakan kedekatan keluarga.

Masa anak-anak adalah masa yang sangat singkat.,

Sigap membuka dan menutup pikiran yang tidak berhubungan dengan anak, saat berinteraksi
dengan mereka, adalah hal mendesak yang perlu dilakukan. Mungkin dengan demikian, orang
tua menjadi “lambat” untuk menyeleaikan urusannya. Namun ini adalah invetasi yang besar
dalam kehidupan ini. Jika orangtua terus sibuk dengan urusannya, dan lupa untuk berinteraksi
secara berkualitas dengan anak-anaknya, maka suatu hari akan “kehilangan” mereka, dan tentu
tidak mau hal itu terjadi.
ketika di rumah adalah waktu untuk keluarga, tidak hanya secara fisik, namun pikiran dan
perhatian juga.

Sebagai orang tua yang baik perlu lebih bijak saat mendapati perilaku yang negatif  pada anak
anak kita. Biasanya perilaku negatif anak jika dikelompokkan hanya ada lima saja yaitu :

 Pola kebiasaan (Susah makan, ngompol, menggigit kuku)


 Perasaan takut (takut binatang, serangga, gelap, dokter, jarum, darah,dll)
 Perilaku (membantah, berteriak dll)
 Prestasi (nilai ujian, mengerjakan PR, Olah raga dll)
 Cinta diri (perasaan bersalah, tidak bahagia, mimpi buruk, PD, dll)

Sudah semestinya para ayah dan ibu ketika menemukan pola prilaku negatif di atas muncul
pada anak anak, hendaknya orang tua bisa lebih bijak berusaha mencari penyebab mengapa
anak sampai melakukan prilaku negatif. Biasanya anak-anak memilih untuk berperilaku negatif
berangkat dari beberapa motivasi antara lain :

 Untuk mendapatkan perhatian dari orang tua


 Untuk mendapatkan kekuasaan dan mengalahkan orangtua
 Untuk membalas dendam dan menghukum orangtua yang menolak memberikan anak
perhatian atau yang memaksa anak menuruti kemauan mereka
 Menjadi tidak produktif atau sakit dan memaksa orangtua merasa kasihan dan melayani
mereka

Ayah ibu perlu lebih jeli memperhatikan perilaku, kemudian berusaha menemukan akar
permasalahan yang menyebabkan anak berperilaku negatif. Karena kesalahan menemukan akar
permasalah justru bisa mengakibatkan kesalahan pula dalam pemilihan solusinya.

Ada sebagian anak menjadi bermasalah sebenarnya adalah akibat kekurangan perhatian dan
kasih sayang dari orang tuanya.

Jika kita analogikan anak-anak kita sebenarnya memiliki sebuah ruang dalam dirinya untuk
menyimpan cinta dan perasaan positif lainnya. Anggap saja bentuknya seperti tangki yang
lengkap dengan kran. Disini tugas orang tualah untuk senantiasa memperhatikan apakah tangki
cinta si buah hati masih penuh atau sudah kosong. Ayah dan Ibu harus memiliki perhatian
khusus, memastikan tangki cinta sibuah hati tidak boleh kosong.  Saat orang tua lalai mengisi
tangki cinta itu biasanya anak mulai menjadi bermasalah.

Karena sebenarnya saat anak dirumah, dia sedang mengisi tangki cintanya dan kemudian saat
si anak keluar rumah, baik sekolah atau berkumpul bersama teman temannya , maka di sanalah
anak menyalurkan cinta dan kebaikan yang ada dalam tangki miliknya kepada orang orang
yang ada di luar rumah. Saat isi tangki cinta itu mulai menipis, anak akan kembali ke rumah
untuk mengisi kembali dengan semua cinta, kebaikan dan kasih sayang orang tuanya.
Jika orang tua sibuk, maka kegiatan mengisi tangki cinta ini sering terlewatkan, dan baru
tersadar saat anak mencari pengisi tangki cintanya di luar rumah. Banyak anak yang lebih
dekat dan percaya pada temannya dari pada percaya kepada orang tuanya sendiri, lebih akrab
dengan temanya dari pada orang tuanya.

Jika anak masih mengisi tangki cinta mereka di tempat yang positif tentu tidak ada masalah.
Misal mereka datang ke masjid dan musholla, mengikuti kegiatan keagaamaan tentu baik baik
saja. Namun bagaimana jika anak perempuan kita yang duduk di kelas tiga SMP misalnya,
mengenal seorang lelaki SMA yang dianggap baik. Kemudian lelaki itu mengirim pesan singkat di
telepon genggam anak kita  dengan tulisan :”sayang kamu dah besar, dah saatnya kamu
menentukan jalan hidup kamu sendiri. Dah bukan saatnya ngikutin maunya orang tua
teruzz..miss u..muuaacchhs”. Ini adalah sepenggal kisah yang pernah disampaikan seorang ibu
saat sharing di kelas parenting saya beberapa bulan yang lalu. Saat anak beliau lebih percaya
pada teman lelakinya dari pada orang tuanya sendiri.

Miris mendengarkan ibu yang berkisah betapa beratnya ia mebesarkan anak, kemudian setelah
anak itu tumbuh akhirnya meninggalkan orang tua mereka.

Sahabatku, Anda yang telah menjadi Ayah dan Ibu atau para calon orangtua yang baik, mengisi
tangki cinta itu penting dengan memberikan perhatian kepada anak kita dengan secara intensif,
antara lain dengan :

 Memberikan sentuhan fisik seperti pelukan, ciuman di pipi, bermain yang melibatkan
sentuhan fisik dan lain-lain.
 Kata-kata positif dan mendukung pada anak.
 Waktu Berkualitas : melakukan aktifitas bersama dengan anak tanpa ada orang lain.
 Hadiah : memberikan hadiah kesukaannya.
 Layanan : melayani kebutuhan anak yang penting baginya.

Dalam sebuah riwayat kita bisa belajar bagaimana Rasulullah senantiasa mengisi tangki cinta
anak beliau :

Dari Anas bin Malik Radhiallaahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah
membawa putra beliau bernama Ibrahim, kemudian mengecup dan menciumnya .” (HR. Al-Bukhari)

Sebagai orang tua tak perlu malu dan jaga image dihadapan anak agar terlihat berwibawa, kita
perlu memupuk cinta anak anak kita dengan senantiasa membangun keakrapan dengan mereka.

Abu Hurairah Radhiallaahu anhu menceritakan: “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah
menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Radhiallaahu anhu. Iapun melihat merah
lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah
Shahihah no.70)

Bermainlah dengan anak, tak perlu malu meski Anda terlihat lucu.

Perlu disadari  bahwa tidak mungkin ada perilaku negatif yang muncul secara tiba-tiba. Pasti
semua ada penyebabnya, ada struktur dan pola terjadinya. Maka  butuh kesabaran orang tua
dalam proses mengatasi masalah anak tersebut.  Saat orang tua menemukan perilaku negatif
anak hendaknya dengan penuh kesadaran dan penghargaan pada anak, orang tua melakukan
pendekatan hingga tercapai langkah langkah menuju solusi yaitu :

 Orang tua dan anak menyadari bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
 Orang tua dan anak mengakui bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
 Orang tua dan anak Menerima bahwa memang ada masalah yang perlu diatasi
 Orang tua dan anak secara sadar mau mengatasi masalah.
Dengan demikian anak tidak akan merasa dihakimi, karena anak justru merasa mendapat
perhatian dari ayah ibunya.

Ada beberapa cara yang bisa dipilih orang tua dalam melakukan pendekatan kepada anak saat
mereka dianggap memiliki perilaku negatif, mulailah mencari tahu informasi yang lengkap
tentang masalah anak dengan melakukan :

 Berdiskusi dengan pasangan mengenai masalah Anak


 Berdiskusi dengan Anak
 Cari tahu siapa idolanya, atau acara TV kesukaannya.
 Cari tahu apa Hobinya
 Cari tahu apa cita citanya
 Siapa nama kawan yang dia suka dan tidak suka

Ada beberapa cara lain bisa diterapkan keluarga untuk mempererat hubungan internal, dimulai
dari menetapkan aturan bersama seperti ponsel dan komputer harus dimatikan pada jam khusus
yang akan dihabiskan untuk melakukan aktivitas langsung bersama.
Langkah ketiga, usahakan untuk melakukan aktivitas bersama seperti makan malam, sarapan,
atau beribadah. Usahakan untuk selalu melakukan kontak mata agar anak merasa diperhatikan
dan didengarkan.
“Ketika kontak mata, akan terbaca ekspresi wajah dan bahasa tubuh yang menggambarkan
perasaan anak. Semakin sering di depan gadget, anak cenderung menghindari kontak mata
dengan anda,” tambah Hanny.
Bagilah pengalaman Anda di luar rumah dengan bercerita kepada anak, mulai dari kisah ringan
seperti bagaimana perjalanan menuju kantor, apa yang menarik. Hal ini akan merangsang anak
untuk bercerita dan bersikap terbuka kepada orangtua.

Yang tidak kalah penting adalah senantiasa mengendalikan emosi kita agar kasih sayang tidak
berubah menjadi kemarahan, Rasulullah mengajarkan kita agar mendoakan anak kita.
Pertanyaannya adalah kapan terakhir kali Ayah Ibu mendo’akan dengan tulus anak-anak kita?

Dari ‘Aisyah Radhiallaahu anha ia berkata: “Suatu kali pernah dibawa sekumpulan anak kecil ke
hadapan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , lalu beliau mendoakan mereka, pernah juga di
bawa kepada beliau seorang anak, lantas anak itu kencing pada pakaian beliau. Beliau segera
meminta air lalu memer-cikkannya pada pakaian itu tanpa mencucinya.” (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian kita bisa senantiasa membangun kedekatan pada anak kita, membuat mereka
lebih terbuka pada kita para orang tua. Semoga solusi-solusi yang progresif bisa hadir dalam
meningkatkan kualitas anak-anak kita.
Pastikan Anak kita yakin bahwa kita adalah orang tua terbaik mereka, tempat mereka
mendapatkan semua cinta, perhatian dan kasih sayang.

Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai