Anda di halaman 1dari 23

*Dampak Anak Laki-laki jika Kurang Kasih Sayang Ayah dan Ibu*

Carla Marie Manly, Psikolog klinis

kalau pola asuh dan pengalaman kehidupan anak-anak berfungsi untuk mengatur dan mengenalkan
anak dengan bagaimana perasaan dicintai dan merasa aman. Jika anak merasa diabaikan, ditolak, tidak
dicintai, tidak disayangi, maka efeknya akan memengaruhi semua bidang kehidupan bahkan sampai ia
dewasa, Ma.

Bentuk Kasih Sayang yang Kurang pada Anak Laki-laki

Sebelum bahas dampak kurang kasih sayang, kita cari tahu dulu yuk Ma gimana sih contoh bentuk
kurang kasih sayang kepada anak, khususnya anak laki-laki. Salah satu bentuknya adalah mengabaikan
perasaan mereka. Mama-Mama pernah enggak secara sadar atau tidak bilang ke anak kalau anak laki-
laki itu enggak boleh cengeng, enggak boleh nangis, dan lain sebagainya? Stigma seperti ini memang
mengakar banget di lingkungan kita.

Padahal, anak laki-laki juga punya perasaan yang tidak ada bedanya dengan anak perempuan. Dia bisa
menangis kalau bersedih dan dia enggak harus selalu memaksakan diri agar kuat padahal hatinya sedang
sedih. Ada juga stigma lain yang menyebut kalau anak laki-laki itu harus berani, enggak boleh takut
dengan apa pun.

Padahal rasa takut adalah emosi yang wajar banget dialami oleh setiap orang termasuk anak laki-laki.
Dengan mengatakan anak laki-laki enggak boleh punya rasa takut, orang tua akan membuat anak
bingung dengan perasaannya sendiri.

Secara enggak langsung, Mama-Mama mengajarkan anak untuk tertutup dan menyembunyikan
perasaan mereka. Emosi atau perasaan yang dipendam ini bila terus mengganjal sampai ia dewasa, bisa
mengganggu kesehatan mentalnya, lho, Ma. Nah Ma, hal itu bisa jadi membuatnya merasa kurang
disayangi oleh orang tua.

Dampak Anak Laki-laki Kurang Kasih Sayang Ayah dan Ibu

Tahu enggak Ma, kalau kurang kasih sayang dan perhatian ayah dan ibu juga bisa jadi salah satu
penyebab anak punya rasa insecure atau tidak percaya diri dan selalu merasa rendah ketika dia dewasa.
Kalau sudah begitu, anak-anak akan selalu ragu dengan kemampuannya dan tidak punya keberanian
untuk menunjukkan potensinya.Anak juga akan sangat takut untuk menghadapi kegagalan. Anak akan
merasa bahwa kegagalan adalah sesuatu yang memalukan dan ia akan merasa di level paling tidak
aman.

Pilih Kasih pada Anak, Apa Dampak?

Halodoc.com

1. Stres dan Harga Diri

Anak yang tidak mendapatkan perhatian akibat pilih kasih dari orangtuanya dapat mengalami masalah
terkait stres dan harga diri. Saat harga diri anak sudah rusak, tentu masalah lainnya dapat timbul. Salah
satunya adalah persaingan yang tidak perlu dan tidak sehat hingga saling menjatuhkan, bukannya
mendukung satu sama lain. Saat sudah dewasa, anak yang kurang mendapatkan perhatian dapat merasa
kurang percaya diri dan tidak maksimal saat bekerja.

2. Efek Emosional

Setiap anak akan selalu teringat jika pernah diperlakukan dengan tidak adil oleh orangtuanya. Hal ini
mampu menimbulkan rasa benci pada orangtuanya yang mungkin terbawa hingga dewasa. Anak ini juga
lebih cenderung menunjukkan agresi dan perilaku yang tidak pantas di sekolah, bahkan dengan saudara
kandungnya. Selain itu, Si Kecil juga dapat menunjukkan tanda-tanda depresi sejak dini. Maka dari itu,
penting untuk mengisi kekosongan dalam hidup anak dengan perhatian.

3. Anak yang Disukai Tumbuh Menjadi Anak Manja

Biasanya anak yang mendapatkan pilih kasih dari orangtuanya menjadi seorang yang manja. Si Kecil
dapat menunjukkan emosi yang tidak perlu, terlalu banyak menuntut, dan perilaku yang keras kepala
sejak kecil. Selain itu, anak ini juga kerap merasa superior dan merasa mampu melanggar aturan yang
ada. Semua masalah ini dapat berdampak buruk terkait hubungannya dalam status sosial.

4. Persaingan antar Saudara

Saat pilih kasih terus dilakukan, secara tidak sadar orangtua telah membentuk persaingan di antara
anak-anaknya. Seorang anak yang kurang mendapatkan kasih cenderung memicu hal ini dengan saudara
kandungnya. Saat tumbuh, anak yang cemburu bahkan bisa mencoba menyakiti maupun melukai anak
lainnya. Maka dari itu, setiap orangtua perlu paham jika anak perlu mendapatkan perhatian dan kasih
sayang yang sama satu sama lain.

Jangan hanya melihat kekurangan anak namun juga pujilah usahanya


anna surti ariani, psikolog

anak sejak kecil mempunyai kebiasaan beraktivitas bersama maka akan merasakan kedekatan dan
kenyamanan bersama orangtuanya. Sebagai ibu harus bisa memanfaatkan momen premium bonding
setiap ada kesempatan, tidak hanya di satu waktu yang dianggap penting atau bersejarah saja. Apalagi
saat ini kemudahan teknologi bisa membantu dan menyelesaikan tugas dengan cepat, sehingga ibu bisa
menggunakan waktu yang ada untuk bonding bersama mereka.

Anak-anak yang diberikan apresiasi akan menjadi lebih percaya diri dan mandiri sehingga menjadikan
anak yang peduli terhadap orang lain. Sebagai orangtua perlu lebih sensitif pada prestasi anak sehari-
hari seperti ketika anak bisa makan sendiri atau menghabiskan makannya. Atau anak yang lebih besar
usianya apresiasi bisa ditingkatkan lagi tingkatannya.

Bentuk apresiasi yang diberikan bisa melalui kata dan non kata. Kalau lewat kata tentunya siapa pun
bisa mengungkapkannya, tetapi non kata di sini juga perlu diperhatikan juga seperti :

1. Raut wajah

Memberikan pujian pada anak juga harus tulus dari hati yang diperlihatkan melalui raut wajah. Ada
kalanya orangtua sibuk dan memberikan pujian dengan wajah datar. anak juga bisa menangkap signal
dari orangtua apakah memebrikan apresiasi dengan tulus atau tidak.

2. Gerak

Gerak di sini bisa diungkapkan dengan sentuhan, belaian, dan pelukan hangat untuk anak.

3. Intonasi

Pernah gak memuji anak tapi intonasinya jutek? Nah, hal seperti ini perlu dihindari karena intonasi juga
mempunyai peranan penting ketika memberikan pujian pada anak.

Masa Kecil Anak Hanya Sekali, Jangan Lewatkan Masa emasnya


hijrahdulu.com

Masa Kecil Anak dan Kewajiban Orang Tua untuk Mendidik

Masa kecil anak cuma sekali. Saya ingin mengajak teman-teman untuk mulai menggunakan waktu itu
sebaik-baiknya, untuk mendidik anak-anak dengan agama. Tanggung jawab paling besar untuk
membangun keluarga ini ada pada sosok sang ayah. Sebagai seorang kepala rumah tangga, seorang ayah
haruslah mampu menjadi teladan yang baik. Sehingga setiap anggota keluarga akan menjadi seseorang
yang baik. Apabila setiap anggota keluarga telah mengerti dan memahami agama islam dengan baik
maka keluarga yang didambakan akan terwujud.

Sosok Ayah sebagai Seorang Kepala Keluarga

Setiap laki-laki adalah pemimpin. Terutama ketika ia sudah memulai membangun rumah tangga.
Katakanlah, “Aku harus bertanggung jawab atas keluargaku.” Setiap raja adalah pemimpin di
kerajaannya. Setiap suami pun memiliki kewenangan yang sama, ia adalah sosok pemimpin atas
keluarganya. Kemudian istri memiliki peran. Ia adalah pemelihara untuk rumah dan anak-anak.

Seorang pemimpin harus berusaha untuk senantiasa menjadi sosok yang alim dan shalih. Sebisa
mungkin disetiap harinya selalu bertambah ilmu dan mengamalkannya. Sosok Ayah harus menjadi
contoh untuk keluarganya. Ia adalah sosok teladan dan pembimbing. Dimana ia harus memberikan
contoh dengan mengamalkan apa yang diperintahkan, serta menjauhkan diri dari segala hal yang
dilarang Allah ‘Azza wa Jalla.

Cara Mendidik Anak secara Islami

Sebagai sosok orang tua, tentu kita tahu bahwa masa kecil si anak hanya sekali. Tentu saja dalam
memberikan pendidikan padanya jangan tanggung-tanggung. Berikut ini adalah cara mendidik anak,
diantaranya: Berikan pendidikan pada anak dengan baik dan sabar. Pastikan agar anak-anak kita
mengenal dan mencintai Allah mulai dengan mengajarkan Tauhid. Ajarkan anak-anak sejak dini untuk
mengenal bacaan Al Qur’an. Sehingga anak akan dengan mudah untuk menghafalnya. Tentu saja mulai
dari surat pendek.

Perintahkan anak untuk mulai belajar shalat. Bimbing mereka agar shalat bisa menjadi prioritas
utamanya dalam kehidupan. Berikanlah penjelasan bahwa shalat adalah tiang agama islam yang nanti
pertama kali akan dihisab oleh Allah di akhirat kelak. Perhatikan perkembangan anak dengan baik.
Pastikan agar seorang ayah dan ibu selalu memberikan perhatian lebih kepada anaknya. Orang tua harus
mengajarkan akhlak yang mulia. Mulai dari melatih kejujuran, cara berbicara, bagaimana bersopan
santun dan sebagainya.
Perhatikan teman pergaulan anak-anak. Seorang anak cenderung mengikuti kebiasaan apa yang mereka
lihat. Temannya sehari-hari akan menjadi contoh atas perilaku mereka suatu saat nanti. Hal ini akan
berimbas pada akhlak anak, karena itu pastikan agar anak-anak berada dijalur pergaulan yang baik agar
tidak terjerumus di jurang kenistaan. Selalu berikan do’a kepada Allah ‘Azza wa Jalla untuk anak-anak
pada waktu yang mustajab. Setelah kita telah berikhtiar, maka selanjutnya adalah berserah diri kepada
Allah. Orang tua bisa mulai memanjatkan do’a pada waktu-waktu di setiap sepertiga malam terakhir.

Tujuh Rahasia Menjadi Ayah Hebat

Irwan Rinaldi, pegiat parenting

1. Komitmen

Ayah harus komitmen bahwa "Dia adalah anak saya". Maka ayah bertanggung jawab terhadap masa
sekarang dan masa depannya terhadap aqliah, jasadiah, ruhiyah anak. Jangan lewatkan masa emas 0-3
tahun: lewat pintu mata, telinga, hati. Beri masukan hal-hal yang baik. Bacakan Al Quran. Kenalkan 20
sahabat nabi. Dari 700 ayah yg disurvei yg komit hanya 0-3% saja. Padahal kondisi pada usia 16-17
tergantung apa yang diperoleh anak saat 0-3 tahun!

2. KENALI DAN FAHAMI ANAK

Kapan anak merasa susah? Siapa nama kawan anak paling dekat? Apa motivasi terbaik anak saat drop?
Kapan saat,anak rasakan hal paling pahit saat hidupnya? Terangkan kelemahan dan kelebihan anak?
Kapan saat anak kecewa? Ada Ayah yang kenali anak secara umum. Ada yang kenali anak secara khusus.
Apa dampak nya? 0-7 tahun masa pengenalan kosakata. pinjamkan mulut kita. 7-12 tahun.

3. KONSISTEN

Konsisten dalam value dan agama, Konsisten dalam suasana hati, Konsisten dalam hadir secara jiwa,
Konsisten dalam menepati janji, Konsisten jaga lisan, Jadwalkan saat bertemu anak.

4. MELINDUNGI DAN MENYEDIAKAN

Agar anak : Tahu pintu keluar kalau ada, kebakaran di rumah. Tahu nomor panggilan darurat. Tahu
barang yg beresiko. Tahu saat rumah bocor. Tahu bahaya,narkoba, pornografi, pergaulan bebas. Apakah
yg kita, lakukan saat lihat anak perempuan kita yg pulang dibonceng cowok
5. CINTAI IBU MEREKA

Visi pengasuhan, Pahami pasangan, Komitmen pernikahan, Pahami tahap-tahap perjalanan dan
perkawinan

6. MENDENGAR AKTIF

7. KEKUATAN SPIRITUAL

Dengan belajar lebih banyak, Ayah sebagai pemimpin spiritual anak. Ibn Qoyim al Jauziyah : salah asuh
salah asih salah asah adalah akrab dengan ayah. 0_10 usia penanaman karakter. Bagaimana kalau
terlambat? Berbaik sangka kepada Allah, Berbaik sangka kepada isteri, Segera bayar hutang dengan
action, bukan dengan verbal. Syarat sekolah bagi anak kita: Pendidikan yang patut, Adanya pengasuhan.

Memahami Pola Membela Diri Pada Anak

Elly Risman, Psikolog

Orang tua kerap menjumpai masalah anak yang mengalami perlakuan buruk dari teman sebayanya,
seperti dipukul. Terkadang hal ini menimbulkan dilema, bagaimana orang tua seharusnya bersikap
menghadapi situasi tersebut. dalam merespons aduan anak, penting untuk menguraikan emosi anak
terlebih dahulu dibandingkan merespons tindak kekerasan yang dialami. Sebab dalam kondisi itu
terkadang anak merasa kesal, marah, sedih, sekaligus takut. Menguraikan emosi dapat memperbaiki
perasaan anak menjadi lebih baik.

Selesaikan dulu emosi anak karena dia lagi ga bisa berpikir. Kalau disuruh membalas memukul anak
akan bekerja dengan emosi, tidak merespon dengan kemampuan berpikirnya. jika orang tua langsung
menyarankan untuk membalas pukulan tersebut, alih-alih menumbuhkan keberanian justru tindakan itu
membuat anak berpikir bahwa setiap tindakan yang salah harus diselesaikan dengan emosi atau
kekerasan pula. Dengan respons seperti ini yang terus menerus, anak akan melegalkan kekerasan
nantinya. Maka langkah pertama penting untuk mengurangi tekanan emosi dalam diri anak, dengan cara
memberikan perhatian.
Lalu jika anak mulai tenang, orang tua dapat bertanya kronologi kejadian. Jika anak dipukul tanpa alasan
yang jelas, bantu anak untuk kembali mengasah kemampuan berpikirnya, “menurut kakak bagaimana
baiknya kalau kamu dipukul?”. Jika anak kesulitan mengambil keputusan, berikan arahan untuk
mengelak atau menangkis pukulan, lalu berani berkata “Stop, saya tidak suka dipukul”, ini adalah bagian
dari upaya melindungi diri. Kemudian ajarkan anak untuk berani bertanya mengapa ia dipukul.

Menumbuhkan rasa keberanian dimulai dengan mengasah kemampuan berpikir dan kemampuan
menganalisis. Bantu anak berpikir mengapa temannya tersebut mudah memukul orang lain, apakah
temannya sering mengalami kekerasan di rumah. Ini yang dimaksud membangun kemampuan
menganalisis. Bantu anak menganalisis bahwa mungkin temannya mendapat perlakuan yang salah,
sehingga ia sebagai anak yang mendapat perlakuan baik dari orang tua, disayang dan aman di rumah
yang harus bersikap lebih tenang.

Kemampuan berpikir dan menganalisis akan membuat anak terbiasa untuk menyelesaikan masalah
dengan lebih bijak tanpa melakukan kekerasan. Jadi itu yang harus dibangun dalam diri anak. Jangan
mengekspresikan marah dengan tindakan dengan kata-kata yang buruk. Lalu, kapan anak boleh
membalas perlakuan buruk dari temannya? Jika anak sudah merasa terancam anak harus membela diri.
Perlawanan dalam kondisi terancam juga dibutuhkan agar anak tidak menjadi sasaran perundungan
atau bullying.

Sebenarnya, tanpa balik melakukan perlawanan dengan kekerasan, berani berkata “stop” dan bertanya
alasan ia dipukul, atau menangkis pukulan juga masuk dalam upaya perlawanan. para pelaku bullying
tidak akan menyerang anak yang bisa memberikan perlawanan balik. Oleh karena itu sangat penting
membekali anak yang mampu secara persuatif membela dirinya.

Ingin Mendidik Anak agar Kuat Mental? Stop Lakukan 5 Hal Ini

Amy Morin, Psikolog

1. Meminimalkan perasaan anak

Ketika mengatakan hal-hal seperti, 'Jangan khawatir tentang itu. Ini bukan masalah besar', Bunda
menyiratkan bahwa perasaan anak salah atau itu tidak masalah. Anak-anak perlu tahu, tidak apa-apa
untuk merasakan berbagai macam emosi. Dan kunci untuk menjalani kehidupan terbaik mereka adalah
tentang mengelola emosi bukan menekannya. Akan lebih baik jika Bunda mengatakan pesan seperti,
'Bunda tahu sekarang kamu merasa takut, tetapi Bunda juga tahu kamu cukup kuat untuk menghadapi
ketakutanmu.'
2. Mengharapkan kesempurnaan

Meskipun ekspektasi tinggi baik untuk anak-anak, menetapkan standar terlalu tinggi cenderung menjadi
bumerang. Harapan yang terlalu tinggi pada anak misal di bidang olahraga atau bidang akademisnya,
akan membuat mereka berhenti mencoba ketika tidak berhasil.

Mereka juga lebih cenderung berjuang dengan masalah harga diri karena mereka akan merasa seolah-
olah mereka tidak cukup baik. Sebaliknya, Bunda harus bantu anak membidik sasarannya, tetapi
pastikan sasaran itu realistis. Dan gunakan kesalahan, kegagalan, dan kemunduran untuk mengajarkan
keterampilan hidup yang penting.

3. Melindungi kesalahan anak

Meskipun sulit untuk melihat anak-anak gagal, tapi melindunginya dari kesalahan akan merugikan untuk
mereka. Mencegah konsekuensi bisa merampas anak-anak dari belajar pelajaran yang berharga.
Terkadang, lebih baik kita membantu anak untuk membangun mentalnya dengan menyingkir, atau
membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Ini memberi mereka kesempatan untuk
membangun mental.

4. Mengalah saat anak merengek

Sangat menggoda untuk menyerah ketika anak merengek atau mengamuk, terutama pada hari-hari
ketika kita tidak punya waktu atau tenaga untuk mengatasi masalah tersebut. Tetapi setiap kali kita
memberi apa yang mereka inginkan, kita mengajarkan anak bahwa perilaku buruk mereka adalah cara
yang efektif untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Jika ingin membesarkan anak-anak yang kuat secara mental, patuhi batas kemampuan kita. Ajari bahwa
mereka dapat mengatasi ketidaknyamanan mereka dan belajar cara-cara yang lebih sehat untuk
mengelola emosi mereka.

5. Terlalu memanjakan anak

Mungkin kita berpikir baik untuk menghabiskan banyak uang untuk anak, karena menunjukkan betapa
kita perhatian padanya. Tapi, banyak penelitian menunjukkan, segala yang berlebihan untuk anak-anak
sangat tidak sehat. Jika mereka selalu mendapatkan semua yang mereka inginkan, mereka kehilangan
belajar keterampilan hidup yang berharga, seperti disiplin diri. Mereka juga akan lebih cenderung
tumbuh menjadi materialistis, yang dikaitkan dengan menurunnya tingkat kebahagiaan di masa dewasa.

Tetapkan batasan pada apa yang diberikan kepada anak. Biarkan mereka tahu bagaimana rasanya
mengalami kekecewaan, dan ajari mereka cara bekerja untuk mendapatkan hal-hal yang mereka
inginkan.

Anak Tak Cukup Hanya Cerdas, Tapi Juga Tangguh

Fauzil Adhim, pakar parenting

biasanya para orang tua akan selalu membanggakan anak-anaknya, terutama dalam soal nilai sekolah.
Tidak ada yang salah dengan hal itu, tapi kita harus sadar bahwa pintar saja tidaklah cukup. Sekadar
pintar dengan nilai-nilai sempurna dalam ruang kelas tidak cukup untuk menyiapkan anak dalam
menghadapi tantangan jaman di masa depannya. Ya, anak-anak akan hidup di masa yang sama sekali
berbeda dengan masa orang tua. Sungguh anak-anak akan hidup di zaman yang berbeda dengan zaman
orang tuanya.

sekadar memberi anak-anak uang dan memasukkannya di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat
anak-anak itu menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, lanjutnya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang
kokoh bangunannya. Mereka mendapakan apa saja dari orang tuanya, kecuali, perhatian, ketulusan dan
kasih sayang. anak-anak yang begitu seperti ayam potong. Yang mendapatkan berbagai macam fasilitas
namun yang sebenarnya terjadi adalah pelemahan jiwa karena tak pernah menghadapi tantangan,
dukungan, dorongan, dan apresiasi seimbang.

Ternyata cerita yang orang tua bawakan atau bacakan untuk anak-anak tidak hanya sekadar mampu
membangun bonding antara orang tua dan anak. Tapi juga mampu menumbuhkan jiwa mereka. akan
mampu berbicara lebih banyak dibandingkan nasehat bertubi-tubi pada saat jiwa anak belum
tergerakkan. Sebuah cerita yang menginspirasi akan membuka mata anak bahwa ada yang harus mereka
kerjakan. Cerita akan menginspirasi anak untuk berbuat sesuatu seperti yang mereka dengar.

Mereka akan berimajinasi tentang perbuatan-perbuatan kepahlawanan, dan mereka akan menirunya.
Nilai-nilai itu akan tertanam dalam diri anak. Cerita yang menginspirasi, dan dibawakan dengan penuh
cinta oleh orang tua akan membangkitkan jiwa anak. Orang tua pun tidak lagi fokus pada kekurangan
yang dimiliki oleh anaknya, namun menjadi motivator yang hebat bagi anaknya. Tidak memarahi anak
saat nilainya buruk, tapi memberikan semangat agar anak mampu unggul dalam bidang lainnya.
Tidak mengeluhkan kekuarangan anak, namun juga selalu membawakan cerita tentang orang-orang
besar yang juga memiliki kekurangan. Tidak hanya sekadar menjejali anak dengan berbagai tuntutan,
tapi juga mengapresiasi setiap pencapaian anak dengan baik. Tidak hanya ingin anaknya cerdas, tapi
juga tangguh jiwanya.

Ajarkan Anak Terima Kekalahan & Sportivitas

Donna Agnesia, Aktris

Menerima kekalahan memang tidak mudah, terlebih bagi usia anak-anak. menjadi tugas orangtua untuk
menumbuhkan jiwa sportif dan lapang dada pada anak ketika mendapat suatu kekalahan. Memang
sangat mudah ketika kita menjadi juara, ketika kita menjadi yang terbaik, tidak terkalahkan atau apa, itu
sangat mudah untuk bisa menerima.

Tapi memang sulit sekali, jangankan anak-anak, kita aja kadang kalau gagal, kalah, pasti ada rasa
kecewa. perlu waktu untuk memberikan pengertian pada anak-anak. Terlebih untuk menumbuhkan
kekuatan baik dari dalam diri anak untuk bisa menerima sebuah kekalahan atau kegagalan.

Salah satu yang paling penting adalah berkomunikasi yang baik dengan anak-anak. Dan kita harus sering
tanyakan apa yang kamu rasakan. Kadang orangtua suka lupa sebenarnya perasaan anak seperti apa.
Kenapa kok bisa kalah? kebanyakan malah begitu, kata dia.

hal pertama yang harus dilakukan ketika anak mengalami kegagalan, justru orangtuanya lah yang harus
bisa menerima itu terlebih dahulu. Kadang, dalam sebuah pertandingan ada yang anaknya gak papa,
malah orangtuanya yang udah ngotot duluan. Jadi memang karakter baik itu harus ditumbuhkan dari
dua sisi, dari anak-anak dan juga orangtua.

jika orangtua sudah memiliki karakter baik dari dalam, kita sebagai orangtua akan lebih mudah
memperkenalkan dan menggali kekuatan baik dari dalam anak. Gimana caranya untuk bisa menerima,
kenapa tadi mungkin mereka sudah mau menciptakan gol tapi gak jadi gol misalnya. Itu memang butuh
waktu dan setiap anak dalam fase usia mereka, cara menjelaskannya, cara untuk menumbuhkan itu pun
pasti berbeda.

Ibu merupakan Madrasah Pertama untuk Anak

Oki Setiana Dewi


seorang ibu zaman sekarang sangat beragam terutama seiring dengan berkembangnya kemajuan
teknologi dan informasi. seorang ibu harus memiliki kecerdasan dalam mendidik anak. Pada dasarnya,
seorang ibu merupakan madrasah pertama bagi anaknya. Artinya ibu juga harus cerdas karena dengan
akhlaknya yang baik dapat membuat anak-anaknya menjadi generasi yang baik.

Pendidikan yang baik terhadap anak tidak akan tercapai apabila ibu tidak memiliki pendidikan yang baik
pula. Maka, seorang ibu harus mempersiapkan diri sedari dini dengan ilmu-ilmu tentang parenting.
Bahkan, penguasaan ilmu parenting akan lebih baik dipelajari saat belum menikah.

Dalam mendidik anak, yang paling penting bukan dari masa kandungan tapi saat memilih pasangan.
Karena, ketika memilih pasangan itu harus memiliki visi misi yang sama sehingga dapat membentuk
generasi yang hebat.

Maka, menjadi ibu yang ideal juga tidak bisa terlepas dari peran seorang ayah. Ibu harus mampu
berkomunikasi dengan ayah mengenai metode yang akan diterapkan dalam pengasuhan anak. Menjadi
ibu yang ideal adalah ibu yang paham akan tugas utamanya yaitu melayani suami dan mendidik anak-
anaknya.

Ayah, Lakukan 3 Hal Ini agar Dekat Dengan Anakmu

Irwan Rinaldi, Pegiat Parenting

Ayah adalah orang yang sering keluar rumah untuk mencari nafkah buat keluarga tercinta. Dengan
demikian risiko yang bisa terjadi pada ayah adalah jarang memiliki waktu bersama anak yang ada di
rumah. Meski begitu, membangun kedekatan dengan anak adalah sebuah keharusan agar anak tidak
terasa jauh dengan ayahnya sendiri. Jadi perlu dilakukan usaha agara anak tetap dekat dengan ayahnya
sendiri meski sang ayah jarang ada di rumah dan bertemu dengannya. Setidaknya anak harus tetap
merasakan sosok ayahnya meski kuantitas waktu bertemu mereka jarang terjadi. Berikut adalah
pemaparannya:

1. Perhatikan ucapan anda saat anak bangun dan akan tidur

Ayah bisa membangunkan anak dengan lembut dan disarankan untuk mengantar anak ke kamar saat
hendak tidur malam hari. Bertanya tentang hal menarik yang mungkin dialaminya hari itu serta jangan
lupa untuk memberi apresiasi pada anak.
2. Tidak bisa secara kuantitas, masih ada kualitas.

Ayah yang jarang memiliki waktu dengan anak bisa membuat kebersamaan dengan anak yang
berkualitas. Misalnya dengan membacakan dongeng atau bermain bersama anak. Pengasuhan pada
anak, tidak bisa disamakan. Beda usia maka beda pengasuhan. Maka pahami cara pengasuhan sesuai
dengan usia anak anda.

3. Cintai apa adanya

Pastikan untuk mencintai anak dalam kondisi apapun. Bukan hanya mencintai anak saat mendapat
prestasi atau hal baik lainnya Tapi tunjukkan rasa cinta pada anak dalam setiap kondisi apapun.

Usia 0-5 Tahun Anak Punya Daya Tiru yang kuat

Irwan Rinaldi, Pegiat Parenting.

jangan main-main pada usia 0-15 tahun, karena saat usia 0-15 tahun, merupakan usia perkembangan
anak, dimana anak, memiliki daya meniru yang hebat. cintai anak apa adanya tanpa syarat. Saat anak
tidak mau makan, jangan pernah katakan, nak ayah capai cari uang, tapi kamu tidak mau makan. Hal ini
tidak boleh diucapkan pada anak, ajak ia dengan baik-baik. ayah dan bunda adalah pelatih terbaik anak,
dan baiknya ayah bunda menjadi modeling atau keteladan bagi anak-anaknya. Agar anak yang tumbuh
menjadi anak yang baik.

Rahasia Mudah Mengikat Hati Anak

Ustadz Bendri Jaisyurrahman

Orangtua mana yang tidak ingin anaknya selalu patuh dan berbakti kepadanya. Caranya mudah, ikatlah
hatinya dan buatlah ia jatuh hati dengan orangtuanya. Jika seorang anak sudah terlanjur jatuh hati
dengan orangtuanya, otomatis anak akan tunduk dan patuh sepenuh hati dengan semua perkataan
orangtua.

Sehingga semua nasehat, permintaan, serta do’a orangtua akan selalu dirindukan dan dinanti sang anak.
Dan inilah benih-benih surga bagi si anak kelak. kesuksesan orangtua saat mendidik anak usia 0-7 tahun
ialah dengan memperbanyak mengikat hati anak. Bukan terlalu banyak memberikan nasehat. Karena Ali
bin Abi Thalib pernah berkata, Didiklah anakmu layaknya raja agar hatinya mudah terikat.
Ikatan hati anak akan terbentuk sejak ia masih di dalam kandungan hingga ia dilahirkan. Fase awal
tumbuh kembang bayi, akan diawali dengan berfungsinya indera pendengaran, lalu penglihatan, dan
seterusnya.

Pesannya adalah siapa yang di fase-fase awal perkembangan manusia, suaranya lebih sering didengar,
maka ialah yang akan dekat dengan anaknya. Sehingga yang harus pertama kali didengar anak adalah
suara kedua orangtuanya. Selanjutnya upayakan untuk sering berhadapan muka dengan anak. Agar anak
dapat mengingat muka orangtuanya. Karena inilah fase dipenden atau ikatan hati yakni sejak anak
berusia dini.

Trik Mengikat Hati Anak: Cintai anak sepenuh hati ; Perbanyak kontak fisik, memberi sentuhan kasih
sayang; Perbanyak komunikasi face to face dengan anak; Belajarlah bersabar dan perbanyak menimba
ilmu parenting; Terus doakan kebaikan untuk anak.

Memberikan Kebebasan Bertanggungjawab kepada Anak

Abah Ihsan

1. Ajak Anak Diskusi tentang Kebebasan

Kebebasan yang terlalu bebas malah membuat manusia terlalu rapuh. Untuk menjadi kuat, manusia
justru harus tidak bebas. Harus berkolaborasi/ mengikat dirinya terhadap sesuatu agar bisa bertahan
hidup. Bayangkan ketika kita bebas main HP dan nonton televisi kapan pun, yang ada sebenarnya bukan
kebebasan yang didapatkan. Kita justru akan ketergantungan pada HP dan televisi. Sekalinya mati lampu
atau koneksi internet mati, apa yang kita rasakan? Jengkel, marah dan merasa bosan karena tidak tahu
harus melakukan apa.

2. Ngobrol tentang Perlunya Aturan di Rumah

Si kakak saat umurnya 4 tahun pernah bertanya, kenapa di rumah temannya diperbolehkan main gadget
setiap hari, tapi di rumah kami hanya boleh pegang gagdet tiap Sabtu dan Minggu. Momen saat anak
bertanya seperti ini adalah momen terbaik untuk mengajak anak ngobrol dari hati ke hati tentang
pentingnya sebuah keluarga harus ada aturan. Karena kebebasan satu orang bertemu dengan
kebebasan orang lain. Maka agar kebebasan ini tidak berbenturan, maka dibentuklah aturan yang bisa
mengakomodir/ mengkolaborasikan. Misal, kita suka mendengarkan musik keras, tapi tetangga kita
belum tentu suka dan bisa jadi mengganggu. Maka agar sampai tidak mengganggu, harus ada aturan.

3. Takut Anak Terkekang karena Aturan?

Jika aturan menghalangi kebaikan, maka akan ada kondisi terkekang dan Jika aturan tidak diberi unsur
kebebasan, maka di situlah muncul kondisi terkekang. Oleh karenanya buatlah aturan yang tidak
menjadikan anak terkekang. Caranya yaitu buat aturan yang tetap ada unsur kebebasan dan
tanggungjawab.

Contohnya, anak-anak boleh kok main HP tapi di jam atau hari tertentu. Anak-anak boleh minta jajan
tapi di jadwal yang sudah ditentukan. Anak-anak boleh mainan air, tapi hanya satu kali sepekan.

4. Kapan Aturan Dibuat?

tidak perlu dibuat jika tidak ada ketidakaturan. Aturan dibuat saat ada ketidakharmonisan, dan ada
kebebasan yang saling berbenturan. Aturan bisa jadi wajib dan tidak wajib, tergantung kondisi rumah
masing-masing. Contoh, dulu saat kakak berusia tiga tahun, kami tak memberikan jadwal jajan. Karena
kakak typical anak yang nggak pernah minta jajan. Dia selalu merasa cukup dengan snack time yang
diberikan. Namun ketika mulai bersekolah dan melihat teman-temannya jajan ke warung. Mulailah ia
merengek minta jajan seperti teman-temannya, apa saja yang lewat ingin dirasakan. Sejak saat itu
dibuatlah jadwal jajan di rumah untuk melatih kakak bertanggungjawab.

Agar Tak Meninggalkan Luka Batin dalam mendidik Anak

Darcia Narvaes, psikologi

1. Resonance (Resonansi)

Anak-anak selalu menangkap resonance (resonansi) atas energi, perasaan, dan pikiran orang tuanya.
Anak-anak butuh terpapar resonansi kasih sayang yang memberikan kehangatan dan ketenangan
emosional dari orang tua. Hal itu bisa berupa ekspresi cinta dalam bentuk verbal seperti kata-kata
‘Mama/Papa sayang sekali kepadamu’, kontak mata, pelukan, sentuhan fisik, memberikan waktu yang
berkualitas, maupun kegiatan interaktif.

Anak-anak bisa merasakan resonansi pikiran orang tua yang tidak menghakimi dan tidak terus menerus
mengevaluasi mereka. Resonansi ini akan memberikan mereka rasa aman. Di samping itu, resonansi
kasih sayang orang tua akan menumbuhkan mereka menjadi anak yang memiliki kecerdasan
interpersonal dan empati atau welas asih.

2. Recognition (Pengakuan)

Pengakuan berarti menghormati martabat anak sebagai ‘subjek’ terpisah, bukan produk atau objek yang
akan diperlakukan untuk tujuan orang tua. Pengasuh yang tidak memberikan pengakuan kepada anak
bisa menimbulkan kerusakan besar yang sering kali dapat berlangsung seumur hidup. Kurangnya
pengakuan menyebabkan diri anak terluka.

Pengakuan dari orang tua dalam pengasuhan menjadi sangat penting karena pemahaman anak tentang
dirinya pada awal kehidupannya dibentuk oleh pengasuhan yang diterima dari Mama, Papa, dan orang
lain di sekitarnya. Bila mereka diakui secara positif, mereka juga akan memiliki nilai diri atau self esteem
yang positif.

3. Respect (Rasa Hormat)

Anak-anak butuh diperlakukan dengan penuh rasa hormat oleh orang tua. Hukuman, bentakan, pukulan,
sindiran di depan orang lain adalah perlakuan orang tua yang tidak menghormati harga diri anak. Sering
kali, orang tua melakukannya karena merasa anaknya tidak bisa diatur atau tidak menghormati
keputusan/aturan yang dibuatnya.

Padahal, ketika anak berbuat ulah, hal itu bisa jadi tanda ketidaknyamanannya dengan kondisi yang
harus dihadapi. Bila orang tua berharap anak selalu bisa menghormati mereka, maka orang tua juga
harus menghormati anak. Dengan demikian, hubungan orang tua dan anak jadi lebih terikat

Ayah, Lakukan Ini agar Pertumbuhan Psikologis Anak Optimal

klikdokter.com

Secara umum, ibu memang lebih terlibat dalam proses pengasuhan anak yang lebih kentara, seperti
menyusui, mengurus kebutuhan dasar seperti mandi dan mengganti popok, menyiapkan makan, dan
lain-lain. Sedangkan, ayah cenderung lebih banyak terlibat dalam aspek lainnya seperti bermain. Karena
itu, banyak yang melupakan pentingnya peran ayah dalam pertumbuhan psikologis anak.

Namun jika melihat generasi ayah zaman sekarang, tampaknya peran ayah sudah jauh lebih luas. Kini
para ayah sudah lebih banyak terlibat dalam proses pengasuhan eksplisit, seperti turut mengantar anak
ke dokter dan bergantian bangun malam dengan ibu untuk menimang saat anak menangis.

Tiap ayah perlu memahami dan menjalankan perannya sejak dini, yakni sejak awal kehidupan anak.
Kontak kulit dengan kulit (skin-to-skin) dengan bayi, terutama pada masa awal kehidupannya, sangat
penting untuk perkembangan psikologis. Bayi yang mendapat cukup sentuhan dari orang tuanya akan
lebih jarang menangis dan tidur lebih nyenyak pada malam hari. Kebanyakan orang mengasosiasikan
kontak ini hanya antara anak dengan ibu. Padahal ayah pun bisa menjadi figur yang memberikan
kenyamanan kontak skin-to-skin dengan anak.

Sangat banyak manfaat yang didapat oleh anak saat sang ayah berperan aktif dalam proses
pertumbuhannya. Dalam sebuah penelitian yang dikutip dalam buku The Role of the Father in Child
Development, anak dengan ayah yang aktif terlibat sejak usia satu bulan cenderung memiliki skor
kognitif yang lebih tinggi pada usia satu tahun. Saat anak memasuki usia yang lebih tua, peran ayah pun
semakin penting.

Penelitian menyatakan bahwa ayah yang terlibat dalam kegiatan harian, seperti makan malam dan
bermain sehari-hari, memiliki dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan ayah yang hadir
sesekali (meski mengajak bertamasya). Kehadiran ayah pun akan memberikan pengalaman yang
berbeda bagi anak. Karena sikap yang tidak terlalu overprotektif, anak yang sering bermain dengan
ayahnya cenderung memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengeksplor lingkungan dengan bebas.

Bagi Anda ayah yang ingin mendukung pertumbuhan psikologis anak dengan optimal, berikut beberapa
hal yang dapat Anda lakukan: Terlibat aktif sejak anak masih dalam kandungan, Turut mengambil peran
dalam proses pengasuhan eksplisit bersama ibu, seperti membantu mengerjakan pekerjaan rumah dan
bergantian bangun pada malam hari, Meluangkan waktu setiap hari meski sebentar untuk berinteraksi
dengan anak, baik itu bermain, berbincang, atau sekadar duduk bersama.

Bersama ibu menyepakati pola didik bersama untuk anak. Anak dengan figur ayah yang dekat dan kuat,
tentunya akan berkembang menjadi anak yang lebih stabil secara emosi dan memiliki kemampuan
kognitif yang juga lebih baik. Mengasuh anak merupakan tugas bersama ayah dan ibu, dan keduanya
memiliki pengaruh masing-masing dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama secara
psikologis.

Jangan Sering tuntut ibu Serba Sempurna

Ajeng Raviando, Psikolog

Banyak tuntutan yang sering ditujukan kepada para ibu. Misalnya, ibu dituntut untuk sempurna dalam
mendampingi anaknya, menyediakan semua kebutuhan keluarganya, anaknya tidak pernah sakit,
kemampuan anaknya setara dengan anak lain, anaknya berprestasi sesuai keinginannya dan bisa
dibanggakan, rumahnya selalu bersih, anaknya makan dengan lahap, jago memasak, keluarganya
tampak harmonis, sering pergi berlibur seperti keluarga lain di medsos. Apakah benar itu semua adalah
tanda kesempurnaan ibu?

Tak hanya itu, ibu juga dituntut untuk selalu bahagia, tidak boleh marah atau sedih. bahwa itu adalah
tuntutan yang mustahil. Sebab, semua emosi termasuk emosi negatif adalah hal yang wajar dirasakan
setiap manusia. “Itu manusiawi.

Bahagia Bersyarat dan Dampak Selalu Ingin Serba Sempurna

Mungkin Anda berpikir bahwa ketika selalu berusaha mencapai kesempurnaan dan berusaha memenuhi
tuntutan dari semua orang, maka Anda akan bisa menjadi ibu yang bahagia. hal tersebut sebagai
‘bahagia bersyarat’, yakni kita baru bisa merasa bahagia bila semua hal sesuai dengan ekspektasi kita.

“PR banget, tuh. Ibu-ibu, kan, biasanya mengharapkan kesempurnaan, ya. Inginnya, segala urusan dari
pola pengasuhan, mengatur rumah tangga, urusan domestik, pasangan, segala macam inginnya
perfect,” ujar Ajeng. Keinginan untuk serba sempurna inilah yang dapat membuat seorang ibu terjebak.
Sering kali hal tersebut bukannya menghadirkan kebahagiaan malah justru membuat Mama mengalami
kelelahan fisik dan emosional atau yang sering dikenal dengan moms fatigue.

Siapakah Ibu yang Bahagia?


ibu yang bahagia justru adalah mereka yang bisa menerima dirinya beserta kekurangan dan
kelebihannya. “Jadi, self acceptance-nya bagus. Biasanya, kalau sudah bisa punya self acceptance bagus,
biasanya dia tidak mengharapkan kesempurnaan. Ternyata tidak mengharapkan kesempurnaan bikin
kita lebih bahagia.

Dalam Dukung Tumbuh-Kembang Anak, sebenarnya Ibu juga Butuh Support System

Dessy Ilsanti, Psikolog

Ibu adalah garda terdepan pengasuhan anak. Sejak hamil, ibu selalu memenuhi kebutuhan nutrisi dan
menjaga kebugaran agar janin berkembang dengan baik. Saat si kecil lahir, ibu senantiasa memberikan
asupan terbaik dan memberikan stimulasi agar tumbuh kembangnya baik. Untuk melakukan itu semua,
tentu tidak mudah.

Setelah menjadi ibu, waktu tidur jadi berkurang, waktu istirahat tak pernah maksimal, bahkan tak sedikit
yang kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri demi mengasuh anak. Hal itu tentu juga dapat
berpengaruh terhadap kondisi psikologis ibu menjadi rentan stres, merasa tidak bahagia karena
kehilangan kesempatan aktualisasi diri. kebahagiaan ibu adalah kuci sukses pengasuhan. Ibu yang
bahagia akan mendukung proses tumbuh-kembang anak lebih optimal.

Ibu Butuh Support System

Untuk menjalankan tanggung jawab besar tersebut, ibu tentu tidak bisa sendiri. Ibu butuh support
system. bentuk support system terbaik bagi seorang ibu bisa didapatkan melalui komunitas maupun
lingkungan terdekatnya. Menurutnya, support system menjadi salah satu sumber penguat bagi para ibu.

Seorang ibu pastinya ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya, termasuk pemenuhan nutrisi yang
baik untuk anak agar dapat tumbuh menjadi anak yang hebat.

Perbaiki Pola Asuh Anak agar Tak Ketinggalan Zaman!


Diana Baumrind, Psikolog Klinis

Lingkungan sosial pertama yang ditemui oleh individu sejak lahir ke dunia adalah keluarga. Hubungan
dalam keluarga atau antara individu dengan kedua orangtuanya merupakan hubungan timbal balik
sehingga terjadi interaksi.

Orangtua tentunya menginginkan anak menjadi versi terbaik bagi dirinya. Untuk mewujudkannya,
terdapat peran orangtua yang akan membentuk pola asuh yang ditanamkan kepada anak-anak.

pola asuh pada prinsipnya yaitu bagaimana orangtua mengontrol, membimbing, dan mendampingi
anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya menuju proses pendewasaan. Orang
tua bisa mengajarkan arti kepercayaan pada anak, misalnya dengan membiarkan anak bersosialisasi
dengan teman-temannya di luar rumah. Dengan catatan harus diberi pengertian seperti tidak boleh
bermain terlalu jauh dari rumah.

Orangtua pasti khawatir anak kecanduan, tetapi tidak bisa serta merta melarang anak agar menjauhi
gadget. Oleh karena itu, berilah pengertian misalnya dengan menerapkan batas waktu atau boleh
bermain jika didampingi.

orangtua harus melek teknologi, karena zaman sekarang banyak permainan yang mudah diakses anak
padahal bukan diperuntukkan untuk usianya. Sebagai orangtua, kita tidak bisa menyamaratakan pola
pengasuhan zaman dahulu dan sekarang. Jika dahulu kita main kapal-kapalan bisa sendiri, sekarang
kehadiran gadget mengubah gaya permainannya.

Marah pada Anak juga punya batasan

Nessi Purnomo, Psikolog

Pekerjaan Anda sedang banyak sekali. Tiba-tiba saja si kecil membuat ulah. Apa yang ia lakukan, dengan
mudah membuat kepala Anda “berasap”. Anda pun jadi lepas kendali dan marah. Tak berselang lama
setelah marah-marah, Anda dihantui perasaan bersalah. Apakah boleh marah? Boleh. Tapi, alasannya
harus jelas.” Orang tua tentu saja tidak bisa serta-merta marah pada si kecil hanya karena sedang lelah,
misalnya saja dengan melontarkan kalimat, “Jangan bikin Mama marah, deh!.

Penting bagi orang tua untuk berpegang pada kesepakatan atau aturan yang sudah dibuat bersama
anak. Hanya pelanggaran kesepakatan lah yang bisa dijadikan alasan Anda tegas pada si kecil.
Selain itu, ada juga hal lain yang harus diperhatikan oleh orang tua. Yakni, setelah kelepasan marah,
orang tua harus memberi penjelasan pada anak. “Harus ada penjelasan detail pada anak tentang apa
yang membuat kita marah agar anak tidak berpikir bahwa orang tuanya tidak menyayanginya.

Penjelasan ini tentu harus menggunakan kesepakatan atau aturan sebagai dasarnya. Anda bisa
mengatakan pada si kecil, “Mama kesal, lho, ketika kita punya kesepakatan seperti ini, tapi kamu malah
melakuan hal lain.

Marah itu harus selektif. Boleh marah, tapi jangan jadi pemarah.” Artinya, orang tua harus kembali ingat
bahwa ketegasan harus sejalan dengan kesepakatan atau aturan yang sudah dibuat. Hindari selalu
marah-marah hanya karena anak tidak bisa mengerjakan sesuatu yang hasilnya sesuai dengan standar
orang tua. Jangan sampai, Anda mengeluarkan kalimat seperti, “Masa begitu saja nggak bisa!” ketika
anak sudah berusaha mengikuti kesepakatan.

Sebab, ada hal yang berbahaya dari kebiasaan marah, yakni anak-anak bisa jadi kebal. “Anak-anak akan
berpikir, ah, bukan Mamaku namanya kalau nggak marah-marah. Jadi mereka cuek, dibiarin aja, nanti
juga balik sendiri. Hal ini tentu bukan pertanda baik dalam upaya mendisiplinkan anak-anak.

Tidak ada Anak yang Salah Gaul, yang ada Salah Didikan

Ustadz Harry Santosa

Banyak orangtua atau pendidik menyalahkan lingkungan sebagai penyebab buruknya akhlak atau
perilaku anak atau siswa. Merekaa sangat khawatir akan ancaman lingkungan. Benarkah? Tidak bisa
dipungkiri bahwa tentu ada pengaruh lingkungan pada perilaku dan akhlak seseorang. Namun
sebenarnya berapa persen pengaruh lingkungan pada keburukan anak? Manusia satu satunya makhluk
yang diberi otoritas sebagai khalifah di muka bumi.

Untuk tugas itu Manusia juga merupakan ciptaan yang diciptakan khas dan berbeda dari makhluk
lainnya bahkan versi paling sempurna. Kesempurnaan itu diantaranya adalah bahwa manusia punya
kemampuan memilih (ikhtiyar) dalam hidupnya. Dalam memilih, manusia memiliki kemungkinan untuk
benar memilih atau salah memilih sehngga berpotensi mendamaikan manusia dan melestarikan alam,
atau sebaliknya, separahnya menumpahkan darah dan merusak alam. Sementara malaikat selalu
memilih benar, dan iblis selalu memilih salah.
Setiap anak lahir dengan membawa fitrahnya. Sesuatu kebaikan yang secara bawaan diinstal dalam diri
manusia untuk mengenal Tuhan dan menjadi baik. Dalam definisi lain adalah sifat, karakter, konstitusi,
kondisi yang dipersiapkan utk menerima Dien atau Kitabullah. Jadi tugas orangtua menguatkan,
mengaktifiasi, merawat, menumbuhkan fitrah ini sesuai tahapan tahapannya dan dipandu Ilmu yang
benar agar ananda tetap pada fitrahnya, semakin paripurna, indah dan berbahagia.

Anak anak kita tak mungkin steril dari melihat hal atau perilaku buruk, namun jangan khawatir
sepanjang orientasinya benar selalu kepada Allah, rujukan ILMU dan keteladanannya benar, termasuk
keteladanan orangtuanya dan keluarganya baik, serta FITRAHnya senantiasa terawat dengan baik, maka
insyaAllah akan imun dari keburukan bahkan mampu memperbaiki keburukan sekitarnya.

Jadi tiada anak yang salah gaul, yang ada adalah salah didik. Mendidik anak menjadi shalih
sesungguhnya dan seharusnya lebih mudah, karena bekal bekal kebaikan jauh lebih banyak daripada
agen keburukan. Manusia atau anak yang fitrahnya terawat dan tumbuh paripurna, seperti ikan hidup di
samudera, bertahun tahun berenang di samudera namun tak menjadi asin tubuhnya.

Tetapi anak atau manusia yang fitrahnya tak tumbuh paripurna ia bagai ikan mati, hanya perlu beberapa
hari di air garam untuk menjadi ikan asin. Maka mari rawat dan tumbuhkembangkan fitrah ananda
dengan benar sesuai tahapan tahapannya, jangan lebai dan jangan lalai, pandulah dengan Kitabullah
sehingga tumbuh semakin indah, sempurna dan berbahagia.

Menjadikan Anak-Anak Tangguh di Usia 0-15 Tahun

Irwan Rinaldi, pegiat Parenting

mengasuh anak ibarat mata air. Karenanya jika ingin di hilirnya jernih, maka hulunya pun harus jernih.
jika ingin anak kita shaleh, orangtuanya pun harus sholeh.” Jika ingin anak kita tangguh, orangtuanya
pun harus ajarkan nilai-nilai ketangguhan, lewat keteladanan di dalam keluarga. anak tidak melihat apa
yang dikatakan orangtua, namun apa yang dikerjakan oleh orangtuanya. Dan lagi-lagi, anak adalah
cerminan dari orangtuanya.
Nah, untuk menjadikan anak tangguh dibutuhkan stimulan maskulin dan feminin yang biasa didapat dari
orangtua. Dalam hal ini anak membutuhkan sosok kedua orangtua dan tidak boleh berat sebelah.

“Hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak laki-laki patokannya adalah keluarga Nabi Ibrahim AS.
Sedangkan dalam mendidik anak perempuan, patokannya adalah keluarga Imron. Selain itu, orangtua
pun harus selalu serius mendidik anak sejak kecil. Dan pola pengasuhan dalam mendidik anak yang
paling hebat yakni ketika usia anak 15 tahun ke bawah.

Sebaiknya saat usia anak mencapai 8-15 tahun, yang perlu dibangun adalah qowwam. Di masa tersebut,
anak lelaki akan cepat merekam bagaimana cara si ayah menyelesaikan masalah.

Sebab itu, jika seorang anak datang ke bundanya dengan membawa aduan masalah, sebaiknya jangan
terburu-buru menyelesaikan. Dan panggilah si ayah untuk membantu memberi solusi atas permasalahan
anak tersebut.

Jika Ibu ingin Percaya Diri, maka Jalankan Peran dengan Bebas Stigma

Putu Andani, Psikolog

Pada dasarnya, setiap ibu selalu ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Namun apa yang
diupayakan para ibu, kadang tidak terlihat cukup baik di mata orang lain maupun masyarakat. Tak
jarang, kaum ibu pun menjadi objek stereotype masyarakat akibat pola asuh, konsekuensi dari peran
ganda ibu, juga bahkan kekurangan fisik yang dimiliki ibu. Ibu pun kemudian dianggap tidak cukup baik
menjalankan peran sebagai seorang ibu. Stigma yang kerap melunturkan kepercayaan diri seorang ibu.

Padahal seorang Ibu perlu membangun self love atau mencintai diri sendiri. dalam melakukan
pengasuhan Ibu tidak perlu berpatokan pada standar kesempurnaan seorang ibu di mata masyarakat
maupun terusik stereotype yang ada. Justru standar ini dapat memunculkan tekanan sosial yang
membuat rasa percaya diri ibu terus menurun. Lama-lama kita merasa semakin jauh dari sempurna.
Merasa stres dan kalau berkepanjangan bisa menjadi burn out bahkan depresi.

menjadi seorang ibu memang perlu memiliki pengetahuan soal pengasuhan dan cara merawat anak
yang baik, namun kondisi dan kebutuhan setiap anak itu tidak sama. Oleh karena itu, pola asuh terbaik
adalah yang sesuai dengan karakter dan perkembangan anak itu sendiri. "Tidak ada ibu juara. Baik ibu
bekerja maupun ibu rumah tangga, tantangannya tentu berbeda. Selain itu, para ibu juga sebaiknya
tidak mematok goals pengasuhan atau ekspektasi terhadap anak dengan ukuran anak orang lain.

Sebaiknya, semua disesuaikan dengan kondisi anaknya sendiri. Dan yang tak kalah penting,
mewujudkan cinta Ibu yang sempurna itu bukan hanya melulu memenuhi kebutuhan anak, ibu juga
perlu memenuhi kebutuhan dirinya untuk bahagia. Dengan menjadi ibu yang bahagia, anak-anak juga
akan lebih bahagia bertumbuh bersama ibu.

Pola asuh Anak Perempuan menurut psikolog

Dian Ibung, Psi., Psikolog

Sebetulnya istilah perbedaan tidak bisa dikaitkan pada gender. Terbentuknya karakter setiap individu,
baik anak perempuan maupun anak laki-laki, lebih didominasi oleh faktor genetik serta faktor ‘bawaan’
psikologis. Faktor ‘bawaan’ ini memang sudah ada di dalam diri anak secara alami, serta dari informasi
yang didapatkan dalam keluarga. Biasanya, informasi ini lebih masyarakat kenal dengan istilah turunan.
Lebih lanjut, bagaimana sifat turunan ini muncul dan berkembang menjadi pribadi anak akan sangat
dipengaruhi oleh pola asuh serta kondisi lingkungan.

Jika ada persepsi yang menyatakan pola asuh anak perempuan dan anak laki-laki berbeda, tanggapan
tersebut terlanjur tertanam mungkin berkat budaya, tuntutan, serta harapan sosial atas peran anak
perempuan dan anak laki-laki. Setiap anak, baik anak perempuan maupun laki-laki, sebaiknya
mendapatkan cara didik dan pola asuh yang sama. Sikapi tuntutan sosial yang beragam dengan
menekankan peran mereka masing-masing dalam lingkungan serta sebagai dirinya sendiri untuk
kehidupan mereka kelak. Misalnya, anak laki-laki harus menjadi kepala keluarga yang bertanggung
jawab, tangguh, serta penyayang.

Maka, orang tua pun harus membenamkan dan mencontohkan nilai-nilai tersebut sesuai dengan
usianya. Sementara itu, anak perempuan diharapkan agar menjadi ibu yang baik, cerdas, kuat, dan
mandiri. Maka, ajarkan serta tunjukkan tanggung jawab untuk tumbuh percaya diri menjadi sosok ibu
dambaan. Agar dalam lingkup tema sebagai ibu, kelak ia sanggup menjalani tanggung jawab besar.

Pada realitanya, dengan menerapkan pola asuh yang sama antara anak perempuan dan anak laki-laki,
banyak orang tua yang menemukan tingkat disiplin dan ketaatan yang sama dalam figur anak
perempuan juga anak laki-laki mereka. Membangun kedekatan dengan anak dibutuhkan berbagai trik,
demi mencegah gesekan konflik.

Anda mungkin juga menyukai