Anda di halaman 1dari 6

Orang Tua Selalu Merasa Dirinya Yang Paling Benar

Fenomena

Banyak yang bertanya-tanya, apakah seorang anak harus selalu mengalah dan
menuruti kemauan orang tuanya? Dan pernyataan jika orang tua selalu benar dan anak selalu
salah. Beberapa anak bahkan tidak dapat meraih cita-cita yang diinginkannya karena ego
orang tua yang mengharuskannya menjadi seseorang seperti yang mereka inginkan. Memang,
setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya, tapi terkadang anak pun
tidak suka jika setiap perilakunya harus didikte oleh orang tuanya.

Pola asuh seperti ini dinamakan pola asuh otoriter, yaitu pola asuh yang mendikte
perilaku anaknya dan memberikan hukuman berupa fisik ataupun verbal. Dampaknya bagi
anak adalah menurunnya rasa percaya diri, tidak mampu mengambil keputusan, menjadi
pribadi yang pemurung, dan tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Pada beberapa penelitian lainnya, anak yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung
menjadi pelaku bullying ataupun korban pembullian.

Melansir dari salah satu forum internet, quora. Beberapa orang menceritakan
pengalamannya mengenai orang tua yang ‘selalu merasa dirinya paling benar’. Mereka
menyebutnya sebagai orang tua yang toxic. Menurut mereka, walaupun orang tua memiliki
pengalaman hidup yang lebih lama dari anak, akan tetapi setiap pengalaman orang berbeda-
beda. Tidak setiap pengalaman hidup orang tua dapat disamakan dengan anak.

Berbeda dengan pendapat sebelumnya, menurut salah satu akun, seorang anak harus
menurut kepada orang tua karena hal tersebut merupakan perintah agama. Menurutnya
ucapan orang tua pasti didukung atau dikabulkan oleh Tuhan. Selain itu, dikarenakan orang
tua pasti merasa khawatir jika anaknya celaka atau memiliki pengalaman pahit seperti dirinya
(orang tua) dahulu. Hal tersebut dikarenakan rasa kasih sayang dan tanggung jawab kepada
anak. Maka dari itu, topik ini sangat menarik untuk dikaji lebih mendalam.

Pembahasan

Dalam tahapan perkembangan anak menurut Hurlock, masa remaja merupakan masa
pencarian jati diri dan masa eksplorasi. Maka dari itu, kebanyakan anak yang mulai beranjak
remaja sudah mulai tidak mendengarkan perkataan orang tuanya lagi. Setiap orang tua
memiliki kesulitan dan tantangan tersendiri dalam mendidik anaknya. Beberapa hal yang
mampu mempengaruhi pola asuh yang diterapkan kepada anak diantaranya karakter anak,
pola asuh sebelumnya yang diwariskan orang tua, kesadaran untuk mempelajari ilmu
parenting, dan pengalaman hidup yang telah dilalui orang tua. Orang tua yang selalu merasa
bahwa dirinya benar dan memaksa anak untuk mengikuti keinginannya atau mematuhinya
tanpa mengetahui perasaan anak, maka pola asuh yang diterapkan berarti pola asuh otoriter.

Hal tersebut dapat berdampak pada psikologis anak sehingga anak selalu merasa
tertekan, menarik diri dari keluarga dan sosial, menjadi agresif, kurang percaya diri, dan
bermasalah dalam hal belajar. Oleh karenanya, terdapat beberapa hal yang bisa dipersiapkan
untuk menjadi orang tua yang baik, yaitu:

1) Melakukan persiapan sebelum menjadi orang tua


Setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan tentunya memiliki
persiapan-persiapan yang harus dilakukan, salah satunya adalah persiapan pola asuh.
Setiap calon ayah dan calon ibu perlu untuk menentukan pilihan, impian, dan harapan
keluarga mereka. Maka dari itu diperlukan pengetahuan yang cukup untuk menjadi
orang tua yang baik bagi anak-anaknya. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
membangun keluarga yang berkualitas adalah: merencanakan pernikahan dan
keluarga bersama pasangan, memberikan teladan yang baik kepada anak, menerapkan
pola asuh yang baik untuk anak, serta melaksanakan fungsi keagamaan, perlindungan,
pendidikan, kasih sayang, dan ekonomi kepada anak,
2) Memahami peran orang tua
Sebagai orang tua, penting untuk menciptakan kedekatan dengan anak dan
memahami peran dan tanggung jawab nya. Maka dari itu, tidak baik untuk
menyerahkan pengasuhan anak kepada orang lain. Salah satu dampak positif
kedekatan orang tua dengan anak ialah tingginya kecerdasan emosional anak yang
berdampak pada peningkatan akademik, kemampuan pemecahan masalah, dan sosial.
Pengasuhan yang baik adalah pengasuhan yang menghasilkan kepribadian-
kepribadian baik kepada anak seperti percaya diri, mandiri, bertanggung jawab,
tangguh, cerdas, memiliki kemampuan berbicara dengan baik, tidak mudah
terpengaruh oleh lingkungan yang buruk, serta mampu menghadapi tantangan dalam
kehidupannya.
Pengasuhan yang berkualitas mencakup beberapa hal seperti perawatan,
kesehatan, pemenuhan gizi, kasih sayang, dan stimulasi. Keberhasilan dalam keluarga
bergantung pada pola pengasuhan yang diterapkan kedua orang tua. Maka dari itu,
penting untuk menetapkan tujuan pengasuhan di awal pernikahan. Pola asuh yang
menerima, membuat anak merasa disayang, dilindungi, dianggap berharga, dan diberi
dukungan oleh orang tuanya akan mendukung pembentukan kepribadian anak yang
percaya diri, prososial, mandiri, serta sangat peduli dengan lingkungan
3) Memahami konsep diri orang tua
Dalam menjalankan pola pengasuhan, orang tua perlu untuk memiliki
kepercayaan diri dalam mendidik anak-anaknya. Kepercayaan diri berasal dari konsep
diri yang positif.. Konsep diri adalah gambaran diri seorang tentang ciri-ciri yang
dimilikinya. Orang tua disarankan untuk menanamkan nilai-nilai positif seperti ‘saya
pandai’, ‘saya orang yang ramah’, ‘saya seorang juara’, ‘saya bisa melakukan hal
tersebut’, dan kalimat positif lainnya. Orang tua juga perlu memahami bahwa dirinya
tidak selalu benar sehingga membutuhkan masukan dari orang lain. Menekan anak
akan berdampak pada stress anak sehingga kompetensi yang dimiliki anak tidak akan
berkembang.
Mendidik anak bukan hanya memberikan pelajaran dan pengetahuan, akan
tetapi juga memberikan arahan agar anak dapat menempatkan dirinya pada
lingkungan sekitar sehingga anak memiliki karakter yang kuat dalam membentuk
kepribadiannya. Orang tua diharapkan tidak memberi cap pada anak seperti: “anak
bodoh”, “anak nakal”, “anak pemalas” dan sebagainya. Pemberian kalimat seperti ini
akan mempengaruhi pembentukan konsep dirinya sehingga anak akan berpikir bahwa
itu adalah gambaran dirinya.
4) Melibatkan peran ayah
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan sering hanya dianggap sebatas peran
pendukung ibu saja, padahal ayah juga dapat melakukan pengasuhan yang sama
baiknya dengan ibu. Seorang ayah dapat berperan sebagai guru, penasehat, serta
panutan bagi anak-anaknya. Ayah yang ikut serta memberikan pengasuhan kepada
anaknya dapat membuat anak cerdas di sekolah dan mempunyai nilai-nilai akademis
yang bagus, begitupun sebaliknya.

Menjadi seorang anak juga memiliki tantangan tersendiri, maka dari itu diperlukan
beberapa strategi untuk menghadapi perilaku orang tua yang merasa dirinya selalu benar,
yaitu:

1) Bicarakanlah permalasahan secara terbuka kepada kedua orang tua menggunakan


bahasa yang sopan
Ketika membicarakan permasalahan dengan orang tua, usahakan untuk
menggunakan bahasa yang sopan, dan intonasi suara yang stabil. Penggunaan bahasa
yang kasar dan membentak akan menyebabkan pertengkaran dan kesalahpahaman inti
dari maksud yang ingin disampaikan. Maka dari itu, perlu untuk menggunakan kata
yang sopan agar makna atau maksud yang ingin disampakan anak tersampaikan
dengan baik.
2) Mencoba untuk memahami alasan dibalik perkataan atau perbuatan orang tua
Setiap orang tua pasti memiliki alasan mengapa mereka mengucapkan atau
melakukan suatu hal. Hal itu dikarenakan orang tua telah mengalami berbagai
pengalaman kehidupan. Anak dapat menanyakan alasan mengapa orang tua selalu
merasa bahwa tindakan atau ucapannya adalah benar. Mintalah penjelasan kepada
orang tua dengan bahasa yang lembut dan sesopan mungkin.
3) Menahan emosi
Memiliki orang tua yang selalu merasa dirinya benar memang tidak mudah.
Meskipun terkadang anak sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjelaskan
maksudnya, namun orang tua bisa saja tidak memberikan respon yang baik sehingga
membuat anak tersulut emosinya. Maka dari itu, anak perlu menahan emosinya agar
tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Mintalah bantuan seseorang untuk memediasi
percakapan apabila emosi tidak dapat diatur sebaik mungkin.
4) Harus mengalah
Seorang anak harus mengetahui momen yang tepat untuk mengalah kepada
kedua orang tuanya. Ketika anak sudah memahami alasan dibalik perkataan atau
perbuatan orang tua, cobalah untuk menekan ego untuk tidak melakukan apapun.
5) Jangan mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan hati kedua orang tua
Meskipun orang tua memberikan sikap bahwa dirinya selalu benar, jangan
pernah mengatakan “orang tua egois” atau semacamnya. Perkataan tersebut mampu
memancing emosi anak dan orang tua sehingga berakhir tidak baik. Perbedaan antara
anak dan orang tua adalah wajar, akan tetapi cobalah untuk mengkomunikasikannya
tanpa menggunakan kata-kata ‘egois’, ‘keras kepala’, dsb. Harus selalu diingat bahwa
komunikasi yang baik adalah kunci hubungan yang baik.
6) Mencoba untuk bersabar dan menerima keputusan yang dipilih kedua orang tua
dengan hati-hati
Tidak ada salahnya mencoba untuk bersabar dan menuruti kemauan orang tua.
Apalgi perlu kita ingat bahwa orang tua sudah pernah melewati segala pahit manisnya
kehidupan sehingga membuat mereka mengambil keputusan tersebut. Yakinlah bahwa
orang tua akan memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Kesimpulan

Orang tua yang selalu merasa dirinya benar bahkan menuntut anak harus menuruti
kemauannya, maka dapat disimpulkan jika orang tua menerapkan pola asuh otoriter. Pola
asuh otoriter adalah pola asuh yang suka memberikan batasan anaknya termasuk perilaku,
kesenangan, minat, dan pendapat si anak tanpa terlebih dahulu berdiskusi dengannya. Pola
asuh ini menjadikan anak harus menjadi pribadi yang hormat dan patuh kepada orang tua dan
giat bekerja.

Orang tua memberikan kekuasaannya dalam rumah tangga dengan memberikan


hukuman kepada anak meskipun hanya kesalahan yang kecil, melontarkan hinaan serta
ancaman kepada anak yang membuat anak menjadi mudah marah, takut, murung dan stress
Pada salah penelitian menunjukkan hasil bahwa pola asuh demokratif memiliki hubungan
dengan intelegensi yang tinggi serta penalaran moral. Sedangkan pola asuh otoriter
berdampak buruk pada perkembangan kognitif, sosial, dan emosional anak.

Saran

Seorang anak perlu untuk mendengarkan ucapan orang tuanya sampai dalam tahapan
anak mampu mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya. Apabila anak sudah cukup
umur dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, orang tua hanya perlu
untuk mengarahkan saja, bukan membuatkan keputusan bagi anak. Ketika menerima
masukan, anak dapat menyaring informasi dan menjalankan perintah orang tua dengan penuh
pertimbangan. Orang tua tidak hanya berperan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan,
dan papan saja. Akan tetapi orang tua juga berperan dan bertanggung jawab dalam
memberikan pola asuh yang baik bagi anak.
DAFTAR PUSTAKA

Eva Y, A. (2021). 5 Cara Sopan Menghadapi OrangTua yang Selalu Benar.


https://dosenpsikologi.com/cara-menghadapi-orang-tua-yang-selalu-merasa-benar

Gómez-Ortiz, O., Romera, E. M., & Ortega-Ruiz, R. (2016). Parenting styles and bullying.
The mediating role of parental psychological aggression and physical
punishment. Child abuse & neglect, 51, 132-143.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S014521341500383X

Hurlock, E. B. (1997). Psikologi Perkembangan Suatu pendekatan rentang


kehidupan. Jakarta: Erlangga.

Janah, R. (2022). 6 Cara Menghadapi Orang Tua yang Selalu Merasa Benar.
https://dosenpsikologi.com/cara-menghadapi-orang-tua-yang-selalu-merasa-benar

Ngewa, H. M. (2021). Peran Orang Tua Dalam Pengasuhan Anak. EDUCHILD (Journal of


Early Childhood Education), 1(1), 96-115.
https://jurnal.iain-bone.ac.id/index.php/educhild/article/download/1305/799

Ningrum, P. M. (2015). Hubungan Inteligensi Tinggi dan Pola Asuh Demokratis dengan
penalaran Moral Siswa SMP Shafiyyatul Amaliyah.Tesis Disertasi. Universitas Medan
Area. https://repositori.uma.ac.id/handle/123456789/10153

Quora. Mengapa Orang Tua Selalu Merasa Paling Benar dan Anak Harus Nurut?.
https://id.quora.com/Mengapa-orang-tua-selalu-merasa-paling-benar-dan-anak-harus-
nurut

Anda mungkin juga menyukai