Anda di halaman 1dari 10

MEMBANGUN RASA PERCAYA DIRI PADA ANAK

Oleh : Pdt. Kalis Stevanus,M.Th 1

Abstrak
Secara psikologis, perilaku seseorang akan searah dengan cara ia memandang dirinya.
Rasa rendah diri biasanya dapat muncul dalam berbagai perasaan negatif seperti merasa tidak
nyaman, merasa tidak mampu, takut gagal dan sebagainya. Jadi, rasa percaya diri sangat
berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang. Itulah sebabnya orangtua perlu terus
membangun rasa percaya diri anak-anak mereka supaya mereka tidak menilai dirinya terlalu
rendah, sebaliknya memiliki sikap yang positif pada dirinya, menghargai diri sendiri, dan
kemampuan yang dimilikinya. Rasa percaya diri sangat erat hubungannya dengan kesuksesan
belajar, tanggung jawab, kreatifitas dan pertumbuhan iman.

Kata Kunci : Rasa Percaya Diri, Anak

Pendahuluan
Orangtua memiliki tanggung jawab untuk menanamkan rasa percaya diri yang sehat
dan alkitabiah melalui sikap mereka terhadap anak-anak mereka. Saya ulangi lagi, kita
seringkali beranggapan bahwa anak-anak kita seharusnya sudah mengetahui betapa kita
mengasihi mereka. Tetapi karena anak-anak kita sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga
kita tidak boleh beranggapan demikian. Ternyata anak-anak kita tidak selalu dapat
menyadarinya. Untuk itu diperlukan usaha konkrit.

Pentingnya Rasa Percaya Diri


Rasa percaya diri seseorang dapat dilihat bagaimana ia melakukan berbagai hal. Jika
seorang anak memiliki rasa percaya diri rendah dan tidak mendapat dorongan dari orangtua,
maka kelak ia akan menjadi pribadi yang bertumbuh dalam perasaan rendah diri.
Perasaan rendah diri adalah menganggap diri kurang atau menilai dirinya terlalu rendah.
Sebenarnya, perasaan rendah diri dapat dialami oleh semua orang sebab memang tidak ada
orang yang sempurna. Semua orang bisa merasa di bawah orang lain, misalnya soal pakaian,
prestasi, kepandaian, kekayaan, uang, mobil, ketrampilan, dan lainnya.
Secara kejiwaan, perilaku seseorang akan searah dengan cara ia memandang dirinya.
Rasa rendah diri biasanya dapat muncul dalam berbagai perasaan negatif seperti merasa
tidak nyaman, merasa tidak mampu, takut gagal dan sebagainya. Jadi, rasa percaya diri
sangat berpengaruh besar terhadap perilaku seseorang. Itulah sebabnya orangtua perlu
terus membangun rasa percaya diri anak-anak mereka supaya mereka tidak menilai dirinya
terlalu rendah tetapi memiliki sikap yang positif pada dirinya, menghargai diri sendiri, dan
kemampuan yang dimilikinya.

1
Pdt. Kalis Stevanus,M.Th adalah Wakil Ketua 1 bidang Akademis dan Pengembangan STT Tawangmangu
Untuk melihat pentingnya membangun rasa percaya diri anak, saya akan
menghubungkan rasa percaya diri dengan perilaku dalam proses belajar, tanggung jawab
dan kreatifitas anak.

1. Rasa percaya diri dan proses belajar


Rasa percaya diri adalah modal dasar yang menentukan sukses seseorang dalam proses
belajar. Anak yang memiliki rasa percaya diri rendah cenderung mudah kehilangan
semangat dan minat belajar. Akibatnya mendapat hasil atau nilai yang buruk. Bahkan anak
yang cerdas pun, namun rasa percaya dirinya rendah bisa mendapat nilai buruk. Jadi, rasa
percaya diri rendah sangat menghambat prestasi belajar anak.

2. Rasa percaya diri dan tanggung jawab


Anak yang rasa percaya dirinya rendah cenderung menghindari tanggung jawab. Ia akan
berperilaku sedemikian rupa untuk menunjukkan ketidakmampuannya agar dikasihani.
Itulah cara ia menghindar dari tanggung jawab. Kalau pun mau menerima tanggung jawab,
biasanya memilih tanggung jawab yang ringan.
Anak yang menghindari tanggung jawab tidak bisa meningkatkan kemampuan yang
dimilikinya. Anak perlu dibimbing dan dimotivasi untuk mengembangkan talenta sebagai
kelebihan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

3. Rasa percaya diri dan kreatifitas


Kreatifitas muncul dari dalam diri seorang anak. Jika anak memiliki rasa percaya diri
rendah akan menghambat ia untuk mengekspresikan semua potensi di dalam dirinya secara
maksimal. Sebab ia dibayang-bayangi oleh rasa takut salah dan gagal serta rasa tidak
mampu. Akhirnya ia tidak berani mencoba.

4. Rasa percaya diri dan kerohanian


Orangtua bertanggungjawab membimbing anak kepada pengenalan akan iman Kristen,
sehingga perlu mempertimbangkan betapa pentingnya rasa percaya diri. Jika anak di
keluarganya disambut dan diterima dengan baik, membuat anak menjadi lebih kuat dalam
pertumbuhan keyakinannya.
Ada hubungan antara orangtua dengan gambaran tentang Allah. Ada orangtua yang
baik, setia, bertanggungjawab, mengasihi dan memperhatikan keluarganya. Sebaliknya juga
ada orangtua yang buruk, tidak mempedulikan keluarganya, memberikan kasih yang
bersyarat. Ada juga orangtua yang perfeksionis yang menuntut segala sesuatunya sempurna,
dan tidak pernah bisa merasa puas. Orangtua seperti ini memiliki standar penilaian yang
duniawi. Mengasihi anak karena (karena anak cantik, tampan, berprestasi,dll) adalah kasih
yang tidak tepat. Seharusnya kasih orang tua kepada anak adalah kasih yang meskipun
(meskipun anak kurang pintar, kurang cantik, ataupun cacat fisik, dll). Anak yang nilainya
di sekolah kurang baik dianggap mempermalukan orang tua. Anak sering dimarahi dan terus
dikritik. Orangtua tidak pernah merasa puas dengan hasil capaian anak. Karya anak selalu
dinilai kurang dan kurang. Orangtua yang demikian akan selalu menuntut, dan tidak pernah
bisa memuji anaknya. Menilai anak berdasarkan nilai raport, prestasi, penampilan
adalah kasih yang bersyarat. Anak yang mengalami kasih yang bersyarat dari orang
tuanya akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungannya dengan Allah.
Akibatnya anak terhambat pertumbuhan kerohaniannya.2
Hal senada diungkapkan oleh Haystead sebagai berikut:
“Hal penting yang dapat dilakukan oleh para orangtua untuk menolong terciptanya
suatu citra diri yang sehat dalam diri seorang anak adalah memiliki citra yang positif
dalam diri mereka sendiri. Terlalu banyak bekas luka yang diteruskan kepada anak-anak
oleh para orangtua melalui pengungkapan rasa frustasi, ambisi serta kebencian mereka
yang begitu berurat berakar”.3

Cara Orangtua Memupuk Rasa Percaya Diri Anak


Lingkungan pertama yang berpengaruh pada perkembangan anak adalah keluarga
terutama ayah ibunya. Kata-kata, sikap dan tindakan orangtua memengaruhi pertumbuhan
rasa percaya diri anak.
Kadang-kadang bahasa orangtua malah meruntuhkan perasaan harga diri dan nilai anak-
anak mereka. Dalam berbagai cara orangtua sering secara tidak sadar mengkomunikasikan
sikap memandang rendah atau secara tidak langsung memberi kesan bahwa mereka tidak
penting “karena mereka masih kanak-kanak. Padahal orangtua seharusnya menyadari bahwa
diri mereka bertindak sebagai pelindung bagi harga diri dan kehormatan diri anak-anak
mereka. 4

Berikut langkah praktis orangtua untuk memupuk rasa percaya diri anak:
1. Cintailah anak Saudara dengan kasih tanpa syarat
Orangtua yang tidak menerima dan mengasihi keberadaan anak secara apa adanya berarti
ia gagal mewariskan arti kehidupan yang sebenarnya kepada anak mereka. Janganlah berpikir
bahwa harta atau kekayaan adalah segalanya. Justru anak adalah berkat yang melebihi segala
kekayaan dunia. Orangtua yang menilai anak berdasarkan penampilan lahiriah adalah
orangtua bodoh sebab tidak menghargai anak sebagai berkat Tuhan.
Anak bukanlah pelengkap pernikahan melainkan berkat Tuhan yang harus diterima,
dididik dengan penuh tanggung jawab kepada-Nya. Kehadiran anak dirancang Tuhan untuk
membawa sukacita bagi orangtua. Firman Tuhan mengatakan,”Biarlah ayahmu dan ibumu
bersukacita, biarlah beria-ria dia yang melahirkan engkau” (Ams 23:25). Sebagai orangtua,
kami menunjukkan betapa berartinya anak-anak bagi kami, dan kehadirannya sungguh-
sungguh membuat kami bersukacita.
Untuk itu, cintailah anak Saudara dengan tulus tanpa syarat. Anak yang berada dalam
kasih sayang yang tulus akan tumbuh dengan ria/sukacita, percaya diri dan lebih mudah
dididik dalam kebenaran.
Menerima dan mencintai anak berdasarkan bakat atau kelebihan serta prestasi anak
adalah kasih yang bersyarat. Itu adalah kasih yang keliru! Tuhan memerintahkan orangtua
untuk menerima dan mencintai anak mereka dengan kasih yang tanpa syarat. Mencintai
sebagaimana keberadaan anak. Cinta yang tanpa syarat menciptakan suasana kondusif untuk

2
Kalis Stevanus, Jadilah Laki-laki (Salatiga:Widya Sari Press, 2013), 4-5
3
Wes Haystead, Mengajar Anak Tentang Allah (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1988), 28
4
Bruce Narramore, Mengapa Anak-anak Berkelakuan Buruk (Bandung : Kalam Hidup,1980), 114
perkembangan anak baik secara emosional maupun spiritual. Seorang anak yang tahu ia
diterima dan dicintai sebagaimana adanya akan merasa aman dan akan tetap berada dalam
hubungan yang terbuka, mempercayai dan berkomunikasi dengan ayah dan ibu mereka.
Haystead mengatakan sebagai berikut:
“Seorang anak perlu merasa bahwa tempatnya di dalam keluarga sama sekali tidak
bersyarat. Ia diterima sepenuhnya, seadanya dan seutuhnya tanpa kuatir ditolak ataupun
dibuang jika ternyata prestasinya tidak seperti yang diharapkan oleh orangtuanya. Hal-
hal ini menolong terbentuknya suatu dasar bagi rasa percaya diri”.5
Jadi diberkatilah orangtua yang mencintai tanpa syarat. Itulah orangtua yang bijak. Sikap
bijak ini akan membantu anak berkembang ke arah kepribadian yang benar dan sehat.
Dengan demikian anak memiliki harga diri dan rasa percaya diri yang benar dan sehat.
2. Pakailah perkataan yang baik untuk membangun
Kita tahu bahwa perkataan itu memiliki kekuatan dan dapat memengaruhi siapapun yang
kita ajak bicara. Perkataan bisa untuk menolong dan menyembuhkan, atau sebaliknya
menyakiti dan menghancurkan. Firman Tuhan mengatakan,”Ada orang yang lancang
mulutnya seperti tikaman pedang, tetapi lidah orang bijak mendatangkan kesembuhan” (Ams
12:18).
Orang Kristen dipanggil untuk mengucapkan kata-kata yang positif untuk
membangun,”Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan
yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya beroleh
kasih karunia” (Ef 4:29). Perkataan yang kotor itu melukai perasaan orang lain. Sebagai
orangtua, jangan sekali-kali mengucapkan perkataan kotor terhadap anak. Hal itu bukan
hanya akan melukai perasaan anak tetapi juga meruntuhkan rasa percaya diri anak. Jangan
pula mengucapkan kata-kata lelucon untuk merendahkan harga diri anak Saudara sendiri.
Perkataan-perkataan kotor yang keluar dari mulut orangtua akan menimbulkan banyak luka
yang akan berkembang menjadi kebencian, kepahitan, kedendaman bahkan permusuhan, dan
akhirnya menghancurkan hubungan dengan anak. Atau mungkin anak akan menyerang
kembali dengan cara lain untuk memsulihkan harga dirinya yang terluka. Akibatnya
hubungan orangtua dan anak semakin memburuk.
Jadi, janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu. Sebaliknya orangtua
mengucapkan perkataan yang baik untuk membangun rasa percaya diri anak agar dia bisa
sukses dalam aspek kehidupannya di masa depan.

3. Tanamkan tanggung jawab


Orangtua perlu mengembangkan kepemimpinan yang bertanggungjawab kepada anak-
anaknya. Untuk mengembangkan rasa tanggung jawab, kami memberi tugas-tugas tertentu
kepada anak-anak sedini mungkin. Misal untuk berpakaian sendiri, membersihkan kamar
tidur sendiri, dan berbagai tugas di rumah yang menjadi tanggung jawab mereka setiap hari.
Kami mulai memberi tugas kepada anak yang sulung supaya adiknya bisa mengikuti teladan
kakaknya.

5
Wes Haystead, Mengajar Anak Tentang Allah (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 26
Selain itu, kami juga memberi kepercayaan kepada mereka untuk mengelola uang. Istri
saya setiap hari memberi anak-anak uang: ada yang untuk ditabung, uang jajan dan
persembahan kepada Tuhan. Terkadang istri saya sengaja memberi uang lebih kepada
mereka. Jika anak belajar mengatur uang dengan baik sejak kecil, ia akan terbiasa
menggunakan uang tidak sesuka hati mereka sendiri.
Jadi, anak-anak pun hendaknya diajarkan pentingnya mengatur berkat Tuhan. Bila
orangtua membiarkan anak-anak mereka menghabiskan seluruh uang mereka untuk hal-hal
yang mereka ingini akan menumbuhkan sifat boros, tidak bijak dan disiplin. Kenyataannya
kebiasaan buruk ini tidak mudah diubah pada masa yang akan datang. Jangan anggap remeh
soal uang!

4. Berikanlah kesempatan anak untuk memilih dan membuat keputusan


Di rumah, perlu sekali diadakan musyawarah keluarga. Setiap orang dalam keluarga
adalah anggota keluarga. Di dalam musyawarah keluarga siapa saja boleh mengemukakan
pendapat atau ide, persoalan-persoalan, kesulitan-kesulitan, keluhan-keluhan maupun
menyangkut rencana-rencana untuk kegiatan keluarga atau liburan dan sebagainya.
Dengan melibatkan anak dalam musyawarah keluarga, akan berdampak positif di mana
anak merasa diterima, dihargai dan dihormati, pendapatnya didengarkan dan dihargai.
Tindakan orangtua ini sangat menolong anak membangun rasa percaya dirinya. Anak diberi
kesempatan untuk menyatakan pendapatnya secara bebas dan belajar mengambil keputusan
sendiri setelah mendengarkan pelbagai nasihat dari orangtua.
Dengan orangtua melibatkan anak dalam musyawarah keluarga akan meningkatkan rasa
percaya diri anak. Orangtua jangan terlalu kritis menanggapi gagasan,usulan atau pendapat
anak melainkan membimbing untuk mencari solusi yang terbaik. Tidak menutup
kemungkinan, anak memiliki cara pemecahan yang berbeda dengan orangtua. Berbeda
pendapat itu wajar. Sebagai orangtua, Saudara perlu menunjukkan kepada anak Saudara
bahwa Saudara cukup lapang dada dalam perbedaan pendapat ini. Katakanlah kepada anak
Saudara, bahwa Saudara bukanlah seorang yang sempurna. Saudara membutuhkan bantuan
orang lain, tentunya anak-anak Saudara.
Berikut pernyataan Bruce Narramore:
“Jika kita ingin menolong anak-anak kita agar mereka sepenuhnya menghargai diri
mereka, agar mereka merasa berarti dan berharga, kita harus mulai dengan menghargai
gagasan-gagasan dan pendapat mereka. Anak-anak perlu diberi kesempatan untuk
menyuarakan pandangan mereka dan mengetahui bahwa mereka pun didengar. Dengan
mendengarkan penilaian dan minat anak-anak kita, kita telah mengatakan kepada
mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang berharga yang patut didengar.
Walaupun anak-anak kita belum cukup dewasa untuk membuat keputusan-keputusan
yang terbaik, kita perlu menampung pandangan-pandangan mereka dan
mengikutsertakannya sebanyak mungkin dalam diskusi-diskusi kita. Jika kita melakukan
hal ini, maka kita meletakkan yang langgeng agar mereka mempunyai harga diri dan
perasaan bahwa dirinya berarti”.6

6
Bruce Narramore, Mengapa Anak-anak Berkelakuan Buruk (Bandung : Kalam Hidup, 1980), 117
Sejak kecil, anak-anak kami latih untuk memilih dan mengambil keputusan. Jika anak
dari sejak kecil jarang bahkan tidak diberi kebebasan untuk memilih dan mengambil
keputusan, ia akan cenderung turut arus saja. Contoh sehari-hari bisa menjadi kesempatan
untuk melatih anak memilih dan memutuskan sendiri. Kami mendampingi anak ketika
mereka memilih model sepatu atau warna baju, atau mau makan apa dan sebagainya. Jangan
paksakan anak selalu menuruti keinginan orangtua. Orangtua tidak boleh memaksakan
kehendaknya kepada anak “demi gengsi”. Itu adalah orangtua bodoh dan egois! Padahal
dengan mengajarkan anak memilih dan memutuskan, harapan kami kelak mereka akan bisa
menghargai hak orang lain sama seperti haknya dihargai.
Itulah pentingnya musyawarah keluarga menjadi bagian dari kegiatan Saudara sehari-
hari. Jika komunikasi sehari-hari berjalan dengan baik antara orangtua dan anak, niscaya
anak Saudara akan memperoleh manfaat besar dari kegiatan musyawarah keluarga tersebut
untuk meningkatkan hubungan yang hangat dan penuh kasih. Berilah kesempatan pada anak
Saudara untuk memilih dan mengambil keputusan, sehingga mereka merasa dihargai. Rasa
dihargai itu akan meningkatkan rasa percaya diri pada anak Saudara.
Saya tegaskan kembali bahwa dengan memberi kesempatan anak untuk mengambil
keputusan sendiri, bukan berarti Saudara harus melepaskan tanggung jawab sebagai
orangtua dan menyerahkan masalah pengambilan keputusan penting kepada anak-anak
Saudara. Ada kalanya, orangtua yang harus membuat keputusan. Dan ada saatnya pula
anak-anak terlibat penuh dalam pengambilan keputusan. Hal itu merupakan upaya orangtua
untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Dengan demikian, anak tidak merasa
kurang penting di keluarga.
Baiklah kita perhatikan peringatan berikut dari Narramore:
“Justru anak-anak yang mempunyai orangtua yang tidak menghargai pandangan
mereka dan tidak mau mengikutsertakan anak-anaknya dalam rencana-rencana
keluarga waktu anak-anak itu masih kecil, merekalah yang sering berbalik melawan
orangtuanya pada masa remaja. Karena mereka belum pernah memperoleh kesempatan
untuk membuat keputusan mereka sendiri, mereka merasa bahwa mereka harus
memberontak untuk mendapatkan identitas mereka dan membuktikan bahwa mereka pun
sanggup berfungsi sendiri”.7

5. Orangtua harus bisa berkata “tidak” kepada anak


Tidak dapat disangkal, seringkali orangtua tidak tegas di hadapan anak sehingga tidak
dapat berkata “tidak” kepada mereka. Orangtua tidak perlu takut kurang dikasihi anak
karena menolak permintaan mereka. Orangtua harus berani tegas memutuskan apakah
“boleh” atau “tidak” terhadap permintaan anak. Ingat, mengasihi bukan berarti
mengabulkan segala permintaan anak.
Terkadang juga anak tidak sungguh-sungguh mengingini segala sesuatu yang
dimintanya. Seringkali mereka sedang meminta pertolongan Saudara karena tidak bisa
memutuskan dan berharap Saudara akan mengatakan dengan tegas “boleh” atau “tidak”.
Seringkali orangtua diuji oleh anak-anak mereka. Anak akan merengek dan membujuk,
mencoba untuk melawan kehendak orangtuanya dan membuat orangtua mengubah

7
Bruce Narramore, Op.Cit., 121
pendiriannya. Tetapi jauh di dalam hatinya, mereka merasa kecewa sekali bila orangtuanya
tidak mau tetap berpegang teguh pada keputusannya. 8
Justru ketika orang berani berkata “tidak” terhadap permintaan anak, anak akan
mempunyai perasaan aman dan rasa percaya diri bahwa ada orang yang cukup
mengasihinya sehingga bersedia memberi batasan yang pasti supayaia dapat bertumbuh ke
arah yang benar. Sebenarnya dengan berkata “tidak” terhadap permintaan anak, Saudara
sedang meyakinkan bahwa Saudara mengasihinya. Anak Saudara perlu diyakinkan bahwa
Saudara mengasihinya. Dengan demikian, anak akan merasa yakin bahwa ia dikasihi
orangtuanya. Itulah salah satu cara membangun rasa percaya diri anak. Tuhan akan
menolong Saudara agar Saudara cukup peka untuk dapat melihat dan berbuat yang terbaik
untuk anak-anak Saudara dengan berani mengatakan “tidak”.

6. Berikan pujian yang tulus dan hindari komentar yang kritis terhadap tindakan anak
Pujian dapat membesarkan hati seseorang walaupun ia tidak selalu mengharapkan pujian
itu. Orangtua perlu memberi pujian yang tulus atas hasil atau tanggung jawab yang
dikerjakan dengan baik oleh anak. Setiap usaha dan kemajuan anak harus dihargai. Orangtua
tidak boleh pelit pujian jika memang anak berhak mendapatkannya.
Suatu kali, anak saya yang pertama tidak mendapat nilai seratus atas beberapa mata
pelajaran dan memperoleh ranking tiga (biasanya selalu ranking satu). Saya dapat melihat
kekecewaan di wajahnya. Saya dan istri, memberi pujian atas upayanya untuk mendapat nilai
yang terbaik. Kami selalu memuji kemajuannya. Hal itu membuat dia bersemangat lagi dan
merasa dikasihi, merasa aman dan diterima apa pun hasilnya. Akhirnya dia bisa mencapai
ranking satu kembali.
Saya dan istri, tidak selalu mengharapkan nilai seratus. Bagi kami yang terpenting
bukan pada hasil belajar (angka/nilai) melainkan proses belajar (bagaimana kesungguhan
anak untuk meraih nilai). Kenyataannya bahwa orang yang berprestasi secara angka/nilai
bukan jaminan keberhasilan. Ada unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah pertumbuhan
karakter, seperti kejujuran, keuletan, kerja keras, berdisiplin, tanggung jawab, dan
sebagainya.
Jika anak memperoleh nilai yang kurang memuaskan, dan kami terpaksa mengkritik,
maka kritik itu selalu yang membangun karakter anak. Istri saya selalu mengajarkan kepada
anak : kamu tentu bisa, coba tambah jam belajarmu. Dengan kritikan yang membangun
karakter anak, maka anak akan gemar belajar karena tahu kegunaannya atau alasannya.
Jadilah mitra belajar bagi anak. Jangan menyerah untuk terus memberi motivasi belajar
anak. Jika anak bermalas-malasan belajar, jangan dibiarkan saja. Anak yang malas dibiarkan
pasti akan malas terus, tidak termotivasi untuk gemar belajar.

7. Jangan memarahi anak di hadapan orang lain


Perlu diingat selalu walaupun anak masih kecil bukan berarti meraka belum punya rasa
malu. Saudara harus memperlakukan anak dengan hati-hati karena mereka sedang dalam
masa pertumbuhan bukan hanya fisiknya tetapi juga psikologisnya. Karena itu, kalau pun
Saudara harus menegur dan memarahi anak, hindarkanlah di tempat umum atau di hadapan

8
Beverly Lahaye,Op.Cit., 176
orang lain agar mereka tidak merasa malu dan direndahkan. Bila kejadian ini terjadi
berulang-ulang dapat membuat anak merasa rendah diri dan membenci orangtuanya serta
merasa tidak nyaman bila bersama orangtuanya.
Tegurlah anak pada tempatnya. Nasihatilah bahwa Saudara menegur dia demi
kebaikannya. Bila anak bersalah, memang ia perlu ditegur bahkan dimarahi tetapi bukan
dimusuhi dan dipermalukan di depan umum.
Orangtua perlu memperhatikan anak-anaknya sejak masih kecil termasuk cara menegur
dan memarahi dia. Ingat, perasaan anak itu sangat sensitif sekali walaupun masih kecil.
Menegur dan memarahi anak di hadapan umum atau orang lain adalah tindakan bodoh. Itu
hanya mempermalukan dan merendahkan harga diri anak. Anak yang kurang memiliki rasa
berharga tentu rasa percaya dirinya pun rendah. Lebih baik, ajaklah anak berbicara empat
mata tanpa ada orang lain. Berbicaralah secara pribadi dengan anak. Hal ini akan memupuk
rasa percaya diri anak karena anak merasa dihargai.

8. Doronglah anak untuk menghargai dirinya secara sehat


Seorang anak akan belajar menghargai dirinya secara sehat dan wajar kalau ia dihargai
dan tidak disepelekan oleh orangtuanya. Anak akan menyenangi dan mempercayai dirinya
jika ia merasakan bahwa orangtuanya menyenangi dan mempercayainya.
Selain itu, orangtua perlu membimbing anak agar ia bisa menerima keterbatasan dirinya
sebagai hal yang wajar. Setiap anak tentu memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Tidak ada manusia yang sempurna. Kegagalan dan keberhasilan harus dipandang sebagai hal
yang wajar. Kegagalan harus disikapi secara positif, tidak perlu putus asa, rendah diri dan
merasa gagal total.

9. Tanamkan rasa tanggung jawab sejak dini


Harris Clemes dan Reynold Bean mengatakan bahwa tanggung jawab bukan sifat yang
dibawa sejak lahir. Tanggung jawab harus dipelajari melalui pengalaman. Sejak dini sampai
dewasa, seorang anak harus meningkatkan kemampuan untuk memikul tanggung jawab.9
Karena rasa tanggung jawab bukan sifat bawaan sejak lahir, maka orangtualah yang
bertanggungjawab menanamkan dan melatih tanggung jawab terhadap anaknya. Dengan
menanamkan dan melatih rasa tanggung jawab kepada anak sejak dini, hal itu akan
berdampak positif untuk memupuk rasa percaya diri anak. Bila anak sejak dini tidak
ditanamkan dan dilatih bertanggungjawab, kelak akan bertumbuh menjadi pribadi yang egois,
malas dan bergantung pada orang lain.
Cara menanamkan dan melatih rasa tanggung jawab kepada anak, orangtua bisa
memberikan tanggung jawab atau tugas kepada anak untuk mengerjakan sesuatu sesuai
kemampuannya. Jika anak berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik, orangtua memberi
penghargaan atau pujian. Setiap kali kemampuan anak bertambah, orangtua bisa memberi
tugas lain yang lebih besar untuk meningkatkan rasa mampu atau untuk mempraktekkan
kecakapannya. Dengan cara ini rasa harga dirinya pun akan meningkat dan menjadi lebih
percaya diri.

9
Harris Clemes dan Reynold Bean, Melatih Anak Bertanggungjawab (Jakarta : Mitra Utama,2001), 9
Sebaliknya, jika anak gagal menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik sebaiknya
orangtua memotivasi dan mencoba membantunya dengan memberikan alternatif. Bantuan
yang diberikan orangtua itu akan membangkitkan rasa percaya diri anak untuk kembali
berusaha sebaik mungkin menggunakan kesempatan atau tugas-tugas yang baru.
Selain itu, untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak, orangtua bisa memberi
kesempatan anak untuk belajar memutuskan sendiri. Dengan memberi kesempatan-
kesempatan baru kepada anak untuk membuat pilihan dan keputusan, berarti orangtua
membantu anak untuk mempraktekkan kemampuannya. Ia akan bertumbuh menjadi pribadi
yang mandiri, lebih percaya diri dan bertanggungjawab.
Orangtua yang jarang memberi tugas atau kesempatan kepada anak untuk belajar
memikul tanggung jawab serta membuat keputusan, cenderung akan menjadi manja dan rasa
percaya dirinya lemah. Sehingga tekanan hidup yang kecil saja sudah mengeluh, frustrasi dan
tidak berusaha mencoba sesuatu yang baru.

10. Jangan memaksakan kehendak Saudara kepada anak


Terkadang ada orangtua memaksakan kehendak kepada anak. Anak dibentuk sedemikian
rupa untuk mewujudkan cita-cita atau harapan orangtua. Misal, salah satu orangtua pada
masa lalu gagal meraih cita-cita menjadi seorang insiyur. Kemudian ia mengharapkan
anaknya kelak bisa sukses menjadi insiyur seperti yang dicita-citakan orangtuanya.
Jika memang anak tertarik pada profesi sebagai insiyur, tidak menjadi persoalan. Tetapi
jika anak tidak berminat lalu dituntut untuk menggantikan cita-cita orangtuanya bisa merusak
rasa percaya diri anak. Bila anak gagal juga memenuhi harapan orangtua, anak bisa merasa
gagal, dan tidak berarti hidupnya. Jadi orangtua tidak boleh memaksakan kehendak pada
anak, melainkan mengarahkan anak ke profesi yang dia minati.

11. Jangan menilai anak berdasarkan hal-hal lahiriah semata


Penilaian orangtua yang berlebihan terhadap hal-hal lahiriah dapat membangun rasa
harga diri yang keliru. Hal-hal lahiriah seperti harta, pendidikan maupun penampilan adalah
penting tetapi tidak boleh dijadikan ukuran penilaian diri. Orangtua yang terlalu menekankan
materi, pendidikan maupun penampilan dapat menyebabkan seorang anak sedikit demi
sedikit tanpa disadari, ia belajar menilai harga dirinya dari harta yang dimilikinya; dari
pendidikannya maupun penampilannya.
Bila anak tidak memiliki harta banyak seperti yang dimiliki oleh orang lain, ia bisa
merasa dirinya tidak berharga atau minder. Bila anak tidak meraih nilai seperti yang dituntut
orangtuanya maka anak bisa merasa gagal menyenangkan orangtua bahkan bisa muncul
perasaan tertolak. Bila orangtua terlalu menekankan penampilan, anak akan belajar menilai
orang lain berdasarkan daya tarik fisik semata. Penilaian-penilaian demikian adalah keliru
dan merusak harga diri anak.

12. Jangan menuntut berlebihan pada anak


Orangtua yang menuntut anak secara berlebihan atau menuntut anak untuk melakukan
apa yang tidak bisa dia lakukan sangat berbahaya bagi perkembangan emosi dan masa depan
anak. Bila anak gagal memenuhi tuntutan orangtua yang tidak realistis sesuai bakat dan minat
anak hanya akan menghasilkan perasaan gagal dan rasa rendah diri pada anak. Padahal anak
hanya gagal di satu bidang tertentu saja. Di bidang-bidang lain ia sukses. Tetapi karena
tuntutan dan penilaian orangtua yang berlebihan terhadap kesuksesan di segala bidang ketika
anak gagal di satu bidang, ia merasa hidupnya telah gagal.

Penutup

Saya tahu menjadi orangtua bukanlah hal mudah. Tetapi jika Tuhan mempercayakan
anak kepada orangtua, maka sebagai orangtua harus fokus mendidik mereka semaksimal
mungkin dengan kekuatan, dan hikmat Tuhan. Membesarkan anak bukan hanya menyangkut
masalah makanan saja (hal jasmani), namu juga menyangkut jiwani dan rohani. Setiap
orangtua tentu ingin agar anaknya bertumbuh sehat dari segala segi. Secara jasmani, anak
bertumbuh sehat dan tidak sakit-sakitan. Secara kerohanian, anak bertumbuh dewasa dalam
pengenalan akan Tuhan dan hidup berkenan kepada-Nya (2 Ptr 3:18). Secara jiwani, yakni
emosi dan pikirannya bertumbuh normal, dan memiliki rasa percaya diri yang sehat dan benar
sesuai petunjuk Firman Tuhan sehingga anak dapat memenuhi tugas dan panggilan Tuhan
dengan baik sesuai talenta dan potensi bagi kemuliaan Tuhan.

Daftar Pustaka
Clemes, Harris dan Bean,Reynold Melatih Anak Bertanggungjawab (Jakarta : Mitra Utama,
2001)
Dargatz, Jan. 52 Cara Membangun Harga Diri dan Percaya Diri Anak (Jakarta : Pustaka
Tangga,1999)
Haystead, Wes. Mengajar Anak Tentang Allah (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1988)
Lahaye, Beverly. Membina Temperamen Anak (Bandung : Kalam Hidup,1993)
Narramore, Bruce. Mengapa Anak-anak Berkelakuan Buruk (Bandung : Kalam Hidup,1980)
Stevanus, Kalis. Jadilah Laki-laki (Salatiga:Widya Sari Press, 2013)
Stevanus, Kalis. CekCok Tapi Sudah Cocok (Salatiga: Widya Sari Press,2013)
Stevanus, Kalis. CekCok Tetapi Sudah Cocok (Yogyakarta: Andi,2014)

Anda mungkin juga menyukai