Anda di halaman 1dari 6

Islamic Spiritual Parenting

Setiyo Purwanto**

Agama Islam adalah agama yang telah memberikan landasan yang kuat tentang
pendidikan anak. Hal ini terlihat dari berbagai Firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah
SAW yang menyinggung tentang bagaimana mendidik anak. Kita umat Islam
sebenarnya cukup beruntung sebab landasan tersebut ––setelah dikaji secara
mendalam dan dipraktekkan secara langsung–– memiliki dampak yang sangat kuat
terhadap orang tua dan anak.

Pendidikan anak dalam Islam sangat menekankan unsur-unsur spiritual disamping


juga aspek-aspek religiusitasnya. Unsur spiritualitas benar-benar dengan sangat nyata
terlihat semisal dalam kisah Lukmanul Hakim yang tercantum dalam salah satu ayat di
dalam Alquran. Digambarkan dalam ayat itu bahwa Luqman diperintahkan untuk
mengenalkan anak-anaknya kepada Allah SWT. Kita mungkin juga bertanya-
tanya kenapa justru yang menjadi penekanan adalah ’mengenalkan anak kepada Allah’.
Ada banyak alasan tentunya mengapa aspek ’mengenalkan’ ini penting, di antaranya
adalah :

1. Pendidikan Islam tidak membuat anak didik ”hanya sekadar tahu” atau hanya
mentargetkan menciptakan ’anak yang tahu’. Namun pendidikan Islam
mengajarkan bahwa ilmu yang bermanfaat (baca: bukan sekadar ’ilmu
pengetahuan’, tapi ilmu atau al-'ilm, yang memuat unsur al-'alm/pengalaman).
Nah, ilmu mengenal Allah ini menjadi basic utama dari segala ilmu. Karena jika
ilmu mengenal Allah ini sudah tertanam, maka apapun ilmu yang didapat anak
akan bermanfaat bagi anak.

2. Ilmu mengenal Allah adalah juga basic untuk pendidikan akhlak anak.
Anak akan menjadi sangat berakhlak ketika perbuatan baiknya didasarkan pada
ketundukan kepada Allah, bukan kepada orang tua. Sementara perilaku tunduk
kepada Allah akan menstimulasi atau mendorong anak untuk selalu berbuat baik.

3. Kita sudah mengenal bahwa kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia adalah
kecerdasan spiritual, baru kemudian kecerdasan emosi dan intelektual.
Kecerdasan spiritual ini jika benar-benar tertanam, maka akan membuat emosi
dan intelektual akan ikut cerdas juga. Karena itulah, Islam menempatkan
’mengenal Allah’ sebagai inti dari pendidikan anak. ’Mengenal Allah’ baik
orang tua dan anak inilah yang kita maksud dengan pendidikan
spiritual.

Menjadi orang tua yang spiritualis

Orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya, tentunya harus “selangkah di


depan” atau “selangkah lebih maju” dalam memahami spiritual dibanding anak
yang menjadi sasaran didiknya. Jika orang tua akan mendidik anak secara spiritual,
maka orang tua harus berspiritual terlebih dahulu. Pendidikan spiritual ini tidak
dapat diwakilkan kepada orang lain. Ini berbeda dengan model pendidikan lain ––
katakanlah semisal ilmu matematika. Meski orang tua tidak dapat mengerjakan
matematika, orang tua masih bisa mewakilkan kepada orang lain untuk
mengajarkan matematika kepada si anak. Ini tidak berlaku bagi model pendidikan
spiritual. Pendidikan spiritual harus langsung dari orang tua kepada anak.
Untuk itu orang tua harus memiliki suatu kemampuan untuk bagaimana
meningkatkan kualitas spiritualnya, sehingga nanti dapat diterapkan kepada anak.

Ada satu metode yang cukup baik menurut saya yang bisa orang tua gunakan
sebagai jalan meningkatkan kualitas spiritualnya. Metode tersebut adalah metode
shilatun atau metode sambung (Inggris: to connect) kepada Allah SWT. Prinsip dari
metode tersebut adalah kita mengggunakan ke-IMAN-an kita, kemudian kita
gunakan ke-IMAN-an tersebut untuk berkomunikasi dengan Allah (shilatun)
sehingga akan muncul rasa IHSAN. Dengan rasa IHSAN inilah kita akan
mendapatkan kekuatan spiritual untuk mengasuh atau mendidik anak.

Pendidikan spiritual Islam yang harus dikuasai orang tua ada empat hal :

1. Amanah
2. Shilaturahmi
3. Ridho, dan
4. Syukur

Secara teoretik 4 (empat) hal tersebut harus dipahami, sehingga dalam penerapan
metode Spiritual Parenting ini sesuai dengan kaidah Islam.
Amanah

Amanah menjadi basic dari mendidik atau mengasuh anak menurut Islam. Dengan
amanah ini, kita akan paham bahwa anak merupakan titipan Allah, bukan milik
orang tua. Orang tua malah berkewajiban untuk mendidik dan membesarkan
sebagai wujud tanggungjawabnya. Prinsip amanah mengajarkan bahwa pendidikan
dan proses pengasuhan anak merupakan bentuk melaksanakan amanah. Jadi,
pengasuhan bukan lagi karena kasih sayang orang tua, namun karena amanah.
Kasih sayang orang tua dalam hal ini dikesampingkan. Hal yang menjadi poin utama
adalah menjaga titipan Allah dan mengemban amanah membesarkan anak.

Pada orang tua yang menjalankan amanah, dalam dirinya akan memiliki suatu
kekuatan di dalam mendidik anak-anak dan membesarkannya. Kekuatan itu berupa
kekuatan spiritual dimana dalam proses mengasuh, orang tua selalu berpegang
pada prinsip sebagai wakil Allah: Orang tua memandang diri selaku wakil Allah
(khalifatullah) dalam mengasuh anak.

Dengan predikat wakil, tentu tidak ada beban sama sekali di dalamnya. Juga, tidak
ada istilah ’gagal’, karena hal yang menjadi prioritas adalah menjalankan amanah
dengan sebaik-baiknya, bukan hasilnya. Ini hal sangat penting yang harus dipahami
orang tua saat ini dimana gaya mendidik anak orang tua secara umum cenderung
hanya mementingkan hasil dari pada proses. Sebagai misal saja, orang tua lebih
mementingkan ranking di kelas daripada usaha belajar anak tiap harinya.

Orang tua yang amanah dalam menjalankan tugas dari Allah akan mendahulukan
perintah Allah daripada kasih sayang orang tua tersebut, sehingga dengan demikian
orang tua dalam mendidik bisa lebih “objektif”. Anak tidak dimanja, anak tidak disia-
siakan, dan orang tua mampu menghargai anak apapun kondisi anak.

Shilaturahmi

Hubungan shilaturahmi merupakan hubungan jiwa dengan jiwa, merupakan


hubungan jiwa orang tua dengan jiwa anak. Hubungan ini dilandasi hubungan
spiritual, yaitu kasih sayang yang bersumber dari Allah SWT. Rasa sayang orang tua
kepada anak merupakan rasa sayang yang diberikan Allah kepada orang tua.
Demikian juga sebaliknya: kasih sayang anak kepada orang tua juga berasal dari
Allah. Keyakinan yang demikian akan memperkuat tali shilaturahmi diantara orang
tua dan anak. Ini seperti halnya kisah Nabi Ibrahim AS dengan putranya, Nabi Ismail
AS dimana keduanya sama-sama (seiring dan sejalan) bersedia menjalankan
perintah Allah. Nabi Ibrahim bersedia menyembelih putranya dan Nabi Ismail
bersedia untuk disembelih oleh ayahnya. Kedua-duanya ikhlas karena menjalankan
perintah Allah.

Pendidikan shilaturahmi ini juga sangat nampak pada hubungan seorang Ibu
dengan anaknya yang masih bayi. Hubungan jiwa antar keduanya begitu sangat
dekatnya (pada level terdekat), sehingga anak secara kejiwaan mengerti betul
perasaan ibunya. Ketika ibunya “galau”, maka si bayi juga merasa galau (dalam
wujud rewel), dan demikian juga sebaliknya. Nah, hubungan shilaturahmi ini akan
berkurang seiring bertambahnya usia anak dan orang tua juga lebih banyak
menggunakan bahasa verbal daripada kesambungan kasih sayang
(shilaturahim). Dalam situasi tidak ada shilaturahim ini, anak akan banyak
mendapatkan instruksi dari orang tua tanpa orang tua mau mengerti apa yang
dikehendaki si anak. Juga, anak tidak paham apa yang diinginkan orang tua.
Kalaupun si anak paham, ia justru malah menentangnya. Anak memahami perintah
orang tua, tapi tidak mau mengikutinya.

Ridho

Ridho orang tua menyebabkan ridho Allah SWT. Dalam pelaksanaan pengasuhan
anak, sikap ridho kepada anak ini harus dipegang terus-menerus. Anak yang kadang
baik dan kadang tidak baik, harus di-ridho-i orang tua. Ridho ini adalah sikap batin.
Anda bisa marah dengan anak, tapi hati Anda tidak boleh “tidak ridho”. Anda harus
tetap mempertahankan ridho kepada anak. Dengan sikap ridho ini, meski Anda
memarahi anak, anak akan melihat sisi positif dari rasa marah Anda. Jika Anda
ridho, ketika Anda marah, apa yang ditangkap atau dipersepsi oleh anak adalah:
”Meski Ibu marah padaku, ibu tetap baik kepadaku, karena marahnya ibu
adalah untuk kebaikanku”. Coba bandingkan dengan ketika Anda marah tapi
disertai kejengkelan! Apa yang ditangkap anak pasti adalah: ”Ibu marah-marah
dan ibu jahat”. Tentunya kita tidak ingin menanamkan dalam bawah sadar anak
kita dengan hal yang demikian. Mungkin sekarang orang tua belum merasakan
akibatnya, namun suatu saat ketika si anak sudah besar, akumulasi persepsi
“bahwa ibu jahat” yang tertanam dalam alam bawah sadar anak ini akan muncul
dalam perilaku yang lebih menjengkelkan orang tua.
Syukur

Syukur merupakan pancaran energi positif kepada anak ketika orang tua mampu
mensyukuri anak. Biasanya anak disyukuri ketika anak berperilaku positif. Namun
ketika berperilaku negatif, respon orang tua justru sebaliknya. Islam mengajarkan
bahwa anak adalah karunia dan anak adalah rizki atau rejeki. Karena itu, apapun
keadaan atau apapun yang terjadi pada anak, kita tidak boleh mencela, apalagi
memaki. Ingat, ada satu ayat yang menegaskan bahwa barang siapa yang
bersyukur, maka akan ditambah nikmatnya, dan barang siapa yang kufur,
maka adzab Allah sangat pedih. Ini bermakna: bahwa ketika kita mensyukuri
anak, maka anak tersebut akan menjadi lebih positif, atau berkurang perilaku
negatifnya. Dan jika orang tua kufur, maka anak akan berubah perilakunya menjadi
negatif, atau menjadi lebih negatif.

Syukur dapat memberikan vibrasi positif bagi anak. Orang tua tentunya
menginginkan anaknya selalu baik dan positif. Salah satu dukungan spiritual yang
dapat diberikan orang tua agar anak memiliki daya positif tidak lain adalah dengan
”mensyukuri anak”.

Cara bersyukur ketika anak berperilaku negatif adalah: Pertama, dengan


mendoakan anak. Isi doa yang kita sampaikan kepada Allah adalah apa yang kita
ingin dan harapkan untuk anak. Kedua, dengan meyakini bahwa Allah mengabulkan
permintaan atau doa orang tua untuk anaknya. Dan, ketiga (terakhir), orang tua
mensyukuri anak bahwa Allah telah memproses ke arah seperti apa yang diingin dan
harapkan orang tua bagi anaknya tersebut. Sikap mensyukuri ini harus dilakukan
secara terus-menerus, sampai anak-anak benar-benar menjadi baik.

Demikian singkat cerita dari pendidikan spiritual yang saya trainingkan, saya
berharap orang tua benar benar memiliki daya spiritual untuk bekal pengasuhan.
Lelah rasanya jika kita mendidik tanpa ada daya, semakin banyak anak, semakin
anak berulah, semakin kebutuhan anak banyak orang tua semakin lelah dan
semakin pusing dibuatnya. Tidak dalam spiritual parenting ini Allah kita tempatkan
di depan, kalau masalah rejeki tentu kita paham bahwa tiap anak akan membawa
rejeki, kalau masalah bagiamana anak menjadi baik, tentu kita paham bahwa
Allahlah sang pemberi petunjuk, sehingga menjadi orang tua tidak perlu khawatir,
tidak perlu stress. Akhir kata selamt mengikuti training ISLAMIC SPIRITUAL
PARENTING, dan semoga anda menjadi orang tua yang sukses mendidik anak-anak
sehingga menjadi anak sholeh sholehah yang cerdas dan berkah bagi anda dunia
akhirat, amiin[]
** Setiyo Purwanto, S.Psi., M.Si.
Pengajar dan Konsultan Psikologi Islam dan Psikospiritualitas Islam,
di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Solo

Anda mungkin juga menyukai