Anda di halaman 1dari 11

MENGEMBANGKAN KECERDASAN NILAI MORAL DAN AGAMA ANAK USIA DINI

PENDAHULUAN

      Pendidikan harus mempunyai landasan yang jelas dan terarah. Landasan tersebut sebagai
acuan atau pedornan dalam proses penyelenggaraan pendidikan, baik dalam institusi
pendidikan formal, non formal maupun informal. Yang dimaksud landasan yang jelas dan
terarah adalah bahwa pendidikan harus berprinsip pada pengokohan moral-agama anak didik
di samping aspek-aspek lainnya. Hal ini sangat diperlukan sebagai upaya untuk mengantarkan
anak didik agar dapat berpikir, bersikap, dan berperilaku secara terpuji (akhlak al-karimah).
Upaya tersebut bisa dilakukan oleh para pendidik (guru dan orang tua) pada program PAUD.
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan proses alami yang terjadi dalam kehidupan
manusia, dimulai sejak dalam kandungan samai akhir hayat. Pertumbuhan lebih
menitikberatkan pada perubahan fisik yang bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan yang
bersifat kualitatif berarti serangkaian perubahan progesif sebagai akibat dari proses
kematangan dan pengalaman.Manusia tidak pernah statis, semenjak pembuahan hingga ajal
selalu terjadi perubahan, baik fisik maupun kemampuan psikologis.[1] Kecerdasan merupakan
salah satu faktor utama yang menentukan sukses gagalnya peserta didik belajar di sekolah.
Peserta didik yang mempunyai taraf kecerdasan rendah atau di bawah normal sukar diharapkan
berprestasi tinggi. Tetapi tidak ada jaminan bahwa dengan taraf kecerdasan tinggi seseorang
secara otomatis akan sukses belajar di sekolah.[2]
Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk)

Teori Multiple Intelligences bertujuan untuk  mentransformasikan sekolah agar kelak sekolah


dapat mengakomodasi setiap siswa dengan berbagai macam pola pikirnya yang unik. Howard
Gardner (1993) menegaskan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki
banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa
depan seseorang.

Menurut Gardner, kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika,


kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik,
kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis.[3]

Pendidikan nilai-nilai moral dan keagamaan pada program PAUD merupakan pondasi yang
kokoh dan sangat penting keberadaannya, dan jika hal itu telah tertanam serta terpatri dengan
baik dalam setiap insan sejak dini, hal tersebut merupakan awal yang baik bagi pendidikan anak
bangsa untuk menjalani pendidikan selanjutnya. Bangsa Indonesia sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai moral dan keagamaan. Nilai-nilai luhur ini pun dikehendaki menjadi motivasi spiritual
bagi bangsa ini dalam rangka melaksanakan sila-sila lainnya dalam pancasila (Hidayat, 2007 :
7.9).
II.    PEMBAHASAN

A.    Perkembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini

Seiring dengan perkembangan sosial, anak-anak usia prasekolah juga mengalami


perkembangan moral. Adapun yang dimaksud dengan perkembangan moral adalah
perkembangan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Anak-anak ketika dilahirkan tidak
memiliki moral (imoral). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap berinteraksi
dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami
tentang perilaku mana yang baik, yang buruk, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana
yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.[4]

Selain kecerdasan yang ada, kecerdasan yang mendasari seluruh kecerdasan yaitu cerdas
spiritual. Karena anak yang shaleh (cerdas spiritual), maka dia pasti cerdas. Sementara anak
yang cerdas belum tentu shaleh. Dalam hal keshalehan ini yang perlu dilakukan orang tua
adalah bagaimana agar anak memiliki akhlakul karimah (akhlak mulia), dapat dipercaya,
memegang teguh prinsip kebenaran dan cerdas.

Keyakinan akan adanya sang pencipta atau Tuhan sebagai causa prima sangat membantunya
dalam membentuk pribadi yang baik.

Agama sebagian besar tidak berarti bagi anak-anak meskipun mereka menunjukkan minat
dalam ibadah agama, tetapi karena banyaknya masalah yang kepada anak-anak dijelaskan
dalam rangka agama seperti kelahiran, kematian dan lain-lain, maka keingintahuan mereka
tentang masalah-masalah agama menjadi besar sehingga mereka mengajukan banyak
pertanyaan. Anak-anak menerima jawaban terhadap pertanyaan mereka tanpa ragu-ragu,
sebagaimana sering dilakukan oleh anak yang lebih besar dan dewasa.

Keyakinan pada sang pencipta adalah hal penting yang harus diberikan kepada anak. Hal
penting yang perlu dipertanyakan sebagai orang tua adalah; mampukah orang tua melahirkan
generasi baru, anak-anak kita, yang kreatif, cerdas dan mengakselerasikan intelegensinya;
memiliki intregitas spiritual dan moral sekaligus.[5]

B.     Konsep-konsep Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini

Semua manusia dilahirkan dalam keadaan lemah, baik fisik maupun psikis. Walaupun dalam
keadaan yang demikian, ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat ”laten”. Potensi
bawaan ini yang memerlukan pengembangan dan pemeliharaan yang mantap, lebih-lebih pada
usia dini.

Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak menjadi dewasa memerlukan bimbingan
sesuai dengan prinsip yang dimilikinya, yaitu:

1.      Prinsip Biologi

Secara fisik anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah. Dalam segala gerak dan tindak
tanduknya, ia selalu memerlukan bantuan dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata
lain, ia belum dapat berdiri sendiri karena manusia bukanlah makhluk instinktif. Keadaan
tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan secara maksimal.

2.      Prinsip tanpa daya

Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, maka anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia
sama sakali tidak berdaya untuk mengurus diriya sendiri.

3.      Prinsip Eksplorasi

Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawanya sejak lahir,
baik jasmani maupun rohani memerlukan pertimbangan melalui pemeliharaan dan latihan.
Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi
mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan dan pemeliharaan
serta bimbingan dapat diarahkan kepada pengeksplorasian perkembangannya.[6]
Ada beberapa teori timbulnya jiwa keagamaan anak, yaitu:

Ø  Rasa Ketergantungan (sense of depende)

Manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat kebutuhan, yakni keinginan untuk perlindungan
(security), keinginan akan pengalaman baru (new experimence), keinginan untuk mendapatkan
tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan
kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan.
Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah
rasa keagamaan pada diri anak.

Ø  Instink keagamaan

Bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink, diantaranya instink keagamaan. Belum
terlihatnya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang
kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Dengan demikian pendidikan agama
perlu diperkenalkan kepada anak jauh sebelum usia 7 tahun. Artinya, jauh sebelum usia
tersebut, nilai-nilai keagamaan perlu ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Nilai keagamaan
itu sendiri bisa berarti perbuatan yang berhubungan antara manusia dengan Tuhan atau
hubungan antar-sesama manusia.[7]

Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak.
Maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:

1.      Unreflective (tidak mendalam)

Mereka mempunyai anggapan atau menerima terhadap ajaran agama dengan tanpa kritik.
Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan
mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.

2.      Egosentris

Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan
akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Semakin bertumbuh semakin
meningkat pula egoisnya.
3.      Anthromorphis

Konsep ketuhanan pada diri anak menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep
yang terbentuk dalam pikiran, mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan
manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu
berada dalam tempat yang gelap. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala
perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagaimana layaknya orang mengintai. Pada
anak usia 6 tahun, pandangan anak tentang Tuhan adalah sebagai berikut: Tuhan mempunyai
wajah seperti manusia, telinganya lebar dan besar, Tuhan tidak makan tetapi hanya minum
embun. Konsep ketuhanan yang demikian mereka bentuk sendiri berdasarkan fantasi masing-
masing.

4.      Verbalis dan Ritualis

Kehidupan agama pada anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan).


Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari Amalia
yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntunan yang diajarkan kepada
mereka. Perkembangan agama pada anak Sangay besar pengaruhnya terhadap kehidupan
agama anak itu di usia dewasanya. Banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan
praktek keagamaan yang dilaksanakan pada masa kayak-kanak mereka. Latihan-latihan bersifat
verbalis dan upacara keagamaan yang bersifat rutinitas (praktek) merupakan hal yang berarti
dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada anak-anak.  

5.      Imitatif

Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa
dan shalat, misalnya, mereka laksanakan karena hasil melihat realitas di lingkungan, baik
berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Dalam segala hal anak merupakan
modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.

6.      Rasa heran

Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir ada pada anak.
Rasa kagum yang ada pada anak sangat berbeda dengan rasa kagum pada orang dewasa. Rasa
kagum pada anak-anak ini belum bersifat kritis dan kreatif, sehingga mereka hanya kagum
terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan
kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal suatu pengalaman yang baru (new experince).
Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub pada
anak-anak. Dengan demikian kompetensi dan hasil belajar yang perlu dicapai pada aspek
pengembangan moral dan nilai-nilai agama adalah kemampuan melakukan ibadah, menganal
dan percaya akan ciptaan Tuhan dan mencintai sesama manusia.[8]

C.    Strategi dan Teknik Pengembangan Moral dan Nilai Agama Anak Usia Dini

Ada 3 strategi dalam pembentukan perilaku moral pada anak usia dini, yaitu: strategi latihan
dan pembiasaan, Strategi aktivitas dan bermain, dan Strategi pembelajaran (Wantah, 2005:
109).

1.      Strategi Latihan dan Pembiasaan

Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu
pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah
perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak
yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu
menghormati kakaknya atau orang tuanya.

2.      Strategi Aktivitas Bermain

Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola
untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam
Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi
melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan
mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian
anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan
yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan
yang berlaku.
3.      Strategi Pembelajaran

Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran
moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan
watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti
kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).

Pembelajaran moral dalam konteks ini tidak semata-mata sebagai suatu situasi seperti yang
terjadi dalam kelas-kelas belajar formal di sekolah, apalagi pembelajaran ini ditujukan pada
anak-anak usia dini dengan cirri utamanya senang bermain. Dari segi tahapan perkembangan
moral, strategi pembelajaran moral berbeda orientasinya antara tahapan yang satu dengan
lainnya. Pada anak usia 0 – 2 tahun pembelajaran lebih banyak berorientasi pada latihan
aktivitas motorik dan pemenuhan kebutuhan anak secara proporsional. Pada anak usia antara 2
– 4 tahun pembelajaran moral lebih diarahkan pada pembentukan rasa kemandirian anak
dalam memasuki dan menghadapi lingkungan. Untuk anak usia 4 – 6 tahun strategi
pembelajaran moral diarahkan pada pembentukan inisiatif anak untuk memecahkan masalah
yang berhubungan dengan perilaku baik dan buruk.

Secara umum ada berbagai teknik yang dapat diterapkan untuk mengembangkan moral anak
usia dini. Menurut Wantah (2005: 129) teknik-teknik dimaksud adalah: 1. membiarkan, 2. tidak
menghiraukan, 3. memberikan contoh (modelling), 4. mengalihkan arah (redirecting), 5.
memuji, 6. mengajak, dan 7. menantang (challanging).[9]

Beberapa cara yang dilakukan orang tua untuk mengasah kecerdasan spiritual anak adalah
sebagai berikut:

§  Memberi contoh

Anak usia dini mempunyai sifat suka meniru . karena orang tua merupakan lingkungan pertama
yang ditemui anak, maka ia cenderung meniru apa yang diperbuat oleh orang tuanya. Di sinilah
peran orang tua untuk memberikan contoh yang baik bagi anak, misalnya mengajak anak untuk
ikut berdoa. Tatkala sudah waktunya shalat, ajaklah anak untuk segera mengambil air wudhu
dan segera menunaikan sholat. Ajari shalat berjamaah dan membaca surat-surat pendek al-
Qur’an dan Hadis-hadis pendek.

§  Melibatkan anak menolong orang lain.

Anak usia dini diajak untuk beranjangsana ke tempat orang yang membutuhkan pertolongan.
Anak disuruh menyerahkan sendiri bantuan kepada yang membutuhkan, dengan demikian anak
akan memiliki jiwa sosial.

§  Bercerita serial keagamaan

Bagi orang tua yang mempunyai hobi bercerita, luangkan waktu sejenak untuk meninabobokan
anak dengan cerita kepahlawanan atau serial keagamaan. Selain memberikan rasa senang pada
anak, juga menanamkan nilai-nilai kepahlawanan atau keagamaan pada anak dan konsisten
dalam mengajarkannya. Dalam mengajarkan nilai-nilai spiritual pada anak diperlukan
kesabaran, tidak semua yang kita lakukan berhasil pada saat itu juga, adakalanya memerlukan
waktu yang lama dan berulang.[10]

D.    Pengembangan Nilai-nilai Agama Anak Usia Dini

Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase
(tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on Children, ia mengatakan bahwa
perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan, yaitu:[11]

1.      The fairy tale stage (tingkat dongeng)

Pada tingkatan ini dimulai pada anak usia 3-6 tahun. Pada anak dalam tingkatan ini konsep
mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkatan ini anak
menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan
pada masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama
pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng yang kurang masuk
akal.

2.      The realistic stage (tingkat kenyataan)


Tingkat ini dimulai sejak anak masuk SD hingga sampai ke usia (masa usia) adolesense. Pada
masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada
kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran
agama dari orang dewasa lainnya. pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.

3.      The Individual stage (tingkat individu)

Anak pada tingkat ini memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan
perkembangan usia mereka. Ada beberapa alasan mengenalkan nilai-nilai agama kepada anak
usia dini, yaitu anak mulai punya minat, semua perilaku anak membentuk suatu pola perilaku,
mengasah potensi positif diri, sebagai individu, makhluk social dan hamba Allah. Agar minat
anak tumbuh subur, harus dilatih dengan cara yang menyenangkan agar anak tidak merasa
terpaksa dalam melakukan kegiatan.[12]

[1] Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 12

[2]http://nuritaputranti.wordpress.com/2007/11/27/kecerdasan-majemuk-multiple-
intelligences/ senin,28mei2012,10.46wib

[3] http://belajarpsikologi.com/multiple-intelligences-atau-kecerdasan-ganda /sabtu,
12mei2012, 22.48wib

[4] Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2009), hlm. 149

[5] Partini, Pengantar Pendidikan Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2010),
hlm. 113-114

[6] Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 63-64

[7] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
47-48
[8] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam,  hlm. 53-55

[9] http://pg-paud.blogspot.com/2011/02/pengembangan-moral-dan-nilai-
nilai_06.html,sabtu,2 juni2012,08.44wib

[10] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, hlm. 50-51

[11] Jalaluddin, Psikologi Agama, hlm. 66

[12] Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, hlm. 48-50

Anda mungkin juga menyukai