PSIKOLOGI AGAMA
Tentang :
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Dosen Pengampu :
1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Swt karena berkat limpahan
nikmat dari-Nya sehingga makalah saya yang berjudul “Pertumbuhan
Agama Pada Ankal-Anak” dapat diselesaikan, shalawat serta salam tak lupa
kita kirimkan atas junjungan Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam
yang telah membawa ummat ini dari alam gelap gulita menuju alam yang
terang benderang.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf atas segala
kekhilafan dan kesalahan. Kiranya segala bantuan pengorbanan yang telah
diberikan oleh semua pihak, mendapat ridho dari Allah Subhanahu Wataala.
Aamiin….
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………….
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN
…………………………………………………...
A. Latar Belakang……………………………………………………………
B. Rumusan Masalah………………………………………………………...
C. Tujuan
Penulisan………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………….
A. Kesimpulan……………………………………………………………….
B. Saran……………………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Timbulnya Agama Pada Anak.
b. Untuk Mengetahui Agama Pada Anak.
c. Untuk Mengetahui Sifat Agama Pada Anak.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Prinsip biologis
Secara fisik, anak yang baru dilahirkan dalam keadaan lemah,
dalam segala gerak dan tindak tanduknya, selalu memerlukan bantuan
dari orang-orang dewasa sekelilingnya. Dengan kata lain ia belum dapat
berdiri sendiri karena manusia bukanlah merupakan makhluk instinktif.
Keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna untuk difungsikan
secara maksimal.
2. Prinsip Tanpa Daya
Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan
psikisnya, maka anak yang baru dilahirkan hingga menginjak usia
dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang tuanya. Ia sama sekali
tidak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.
3. Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia
yang dibawanya sejak lahir, baik jasmani maupun rohani memerlukan
pengembangan melalui pemeliharan dan latihan. Jasmaninya baru akan
berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih. Akal dan fungsi
mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika
kematangan dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan kepada
pengeksplorasian perkembangannya.
Kesemuanya itu tidak dapat dipenuhi secara sekaligus melainkan melalui
pentahapan.
Dengan demikian rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak adalah
bersifat instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang
lainnya. Rasa keagamaan itu ada dengan sendirinya dalam diri anak yaitu
rasa pengakuan adanya kekuatan dari sesuatu di atas kekuatan dirinya dan
alam.
Hal ini mudah dipahami, karena semakin dewasa mereka akan dihadapkan
kepada banyak persoalan ilmu pengetahuan, atau pergaulan sesama teman
yang tidak percaya adanya Tuhan atau mereka yang tidak beragama.
Apabila seorang anak sudah menerima pelajaran agama sejak kecil, yang
diberikan dengan sabar dan teliti oleh orang tuanya, maka hal ini berarti
bahwa ia telah dilengkapi dengan suatu kekuatan rohani untuk mengahadapi
pengaruh-pengaruh anti agama yang akan dijumpainya kemudian hari.
Betapa besar malapetaka yang akan menimpa kehidupan seorang anak pada
masa pertumbuhan sampai ia menjadi dewasa, apabila ia sama sekali tidak
diberi pelajaran agama pada masa kecilnya.3
2
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm.
70-71.
3
Drs. H.M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991), hlm.
72.
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan sangat ditentukan oleh
pendidikan dan pengalaman. Dan seorang anak yang tidak mendapat
pendidikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka
ia nanti setelah dewasa akan cenderung terhadap sikap negatif terhadap
agama. Hubungan anak dengan orang tuanya, mempunyai pengaruh dalam
perkembangan agama anak, karena anak akan merasakan hubungan hangat
dengan orang tuanya, merasa bahwa ia disayangi dan dilindungi, serta
mendapat perlakuan yang baik. Mereka akan mudah menerima dan
mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selanjutnya akan cenderung kepada
agama.4
Setelah anak mencapai umur lebih 7 tahun maka pandangan anak tentang
Tuhan semakin positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi
dengan rasa percaya dan rasa aman, sehingga sedikit demi sedikit
kegelisahan yang dirasakan oleh anak semakin menipis, dan anak-anak
betul-betul ingin mengetahui rahasianya. Sampai kira-kira umur 8 tahun
hubungan anak-anak dengan Tuhan adalah hubungan individual, hubungan
emosional antara ia dengan sesuatu yang tidak terlihat, yang dibayangkan
dengan cara sendiri. Adapun kepercayaan tentang Tuhan dan keyakinan
yang diajarkan oleh lingkungannya pada umur ini, belum betul-betul
menjadi bagian dari pembinaan pikirannya, kecuali pada usia yang lebih
besar lagi.
Dasar yang sudah ada di dalam diri anak dalam mengenal Tuhan dapat
dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman dan latihan, yang pada
saatnya anak itu sendiri nanti akan memperoleh keyakinan yang dapat
diterimanya sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Berdasarkan gambaran psikis
pada masa anak-anak, maka dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran anak
tentang Tuhan bukanlah keyakinan sebagaimana yang terdapat pada diri
orang dewasa, atau satu hipotesa, tetapi sikap emosi yang lebih dekat pada
kebutuhan jiwa anak dan pemikiran tentang Tuhan adalah pemuasan dari
kebutuhan si anak akan seorang pelindung.5
8
Dr. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 69-71.
9
Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
hlm. 22.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Selain ditentukan oleh peran orang tua, perkembangan agama pada anak
juga sangat ditentukan oleh pendidikan dan pengalaman. Seorang anak yang
tidak mendapat pendidikan agama dan tidak pula mempunyai pengalaman
keagamaan, maka ia nanti setelah dewasa akan cenderung terhadap sikap
negatif terhadap agama. Dengan demikian nilai-nilai ajaran agama dalam
kehidupan seorang anak sebelum bersekolah, atau sebelum mereka remaja
akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak itu, sampai ia
menjadi dewasa.
B. Saran
Raharjo. 2002. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Semarang: Pustaka Rizki Putra.