Anda di halaman 1dari 16

Bab I

Pendahaluan

A. Latar Belakang

Menurut Zakiah(1970:58) masa pertumbuhan pertama masa anak-anak terjadi pada usia 0-12
tahun.Bahkan bias lebih dari itu,kondisi dan sika orang tua telah mempunyai pengaruh terhadap
pertumbuhan jiwa keagamaan anaknya.Meskipun sebagaian ahli berpendapat bahwa ketika anak
dilahirkan itu bukan mahlu yang religious, bagi meraka anak yang baru dilahirkan itu sama seperti hewan.

Melalui orang tua dan lingkuan keluarga,anak mulai mengenal tuhannya.Perkatan,sikap,tindakan


dan perbuatan orang tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuan dan perkembangan keagaman pada
anak.Meskipun sang anak belum bias berbicara tetapi sang anak dapat melihat dan mendengar kata-
kata.Walupun secara verbal belum mengetahui maknanya,tetapi dia dapat memahami dari ekpsresi orang
tuanya ketika mengucapkannya.Ketidakmampuan untuk menyimak secara verbal ini dapat dipahami pada
usia bertumbuhan pertama,sebab pada masa itu,manusia masih berada dalam kondidi lemah,baik fisik
maupun psikis.namun demikian anak telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten atau dalam
istilah islam disebut fitra keagamaan, dan Fitrah keagamaan tersebut tidak akan berubah.Potensi ini
memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliaran yang mantap sejak dini.

Menurut Jalaluddin (2004:64) sesuai dengan prisip pertumbuhannya,seorang anka yang tumbuh dewasa
memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang di miliki sebagai beriku:

1. Prinsip Biolagis secara fisik,anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan yang lemah.

2. Prinsip Tanpa daya sejalan dnegan belum sempurnanya pertumbuan fisik dan psikisnya anak yang
baru dilahirkan hingga mengijak usia dewasa selalu mengharapan bantuan orang tuanya.

3. Prinsip Eksporasi kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa
sejak lahir,baik jasmani maupun roani,memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan
latihan.

B. Rumusan Masalah

1. Kapan timbulnya agama pada anak ?

2. Apa saja faktor berpengaruh dalam perkembangan agama pada anak-anak?

3. Apa saja pendidikan agama pada anak-anak?

4. Bagaimana pembinaan pribadi pada anak?

1
C. Tujuan Masalah

1. Mengetahui kapan timbulnya agama pada anak

2. Mengetahui apa saja faktor yang berpengaruh dalam perkembangan agama pada anak-anak

3. Mengetahui pendidikan agama pada anak-anak

4. Mengetahui pembinaan pribadi pada anak

2
Bab II

Pembahasan
A. Timbulnya Agama Pada Anak

Terlepas dari dualisme pendapat mengenai keberadaan kejiwaan anak yang baru dilahirkan,apakah
sebagai mahluk religius atau bukan, kenyataan teks-teks dan pengalaman keagamaan yang dilalui manusia
menunjukkan bahwa anak yang baru dilahirkan pun telah membawa fitrah keagamaan, meskipun fungsinya
baru tampak setelah berada pada tahap kematangan di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan.

Menurut tinjauan pendapat ini, tanda-tanda keagamaan pada diri anak tumbuh terjalin secara integral
dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya. Jika demikian, apakah faktor yang dominan dalam
perkembangan ini? Berkenaan dengan masalah tersebut, berikut ini Jalaluddin (2004:65-66) mengemukakan
beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak itu antara lain:

1. Rasa Ketergantungan (Sense of Dependent)

Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes-nya. Menurut Thomas, manusia dilahirkan
ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan
pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk
dikenal (recognation). Berdasarkan kenyataan dan kerja sama dari keempat keinginan itu, sejak dilahirkan
bayı hidup dalam ketergantungan, kemudian dia melampaui pengalaman-pengalaman yang diterimanya
dari lingkungan dan akhirnya terbentuklah rasa keagamaan pada dirinya.

2. Instink Keagamaan

Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink, di antaranya instink
keagamaan. Belum tampaknya tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang
menopang kematangan belum berfungsi sempurna. Sebagai contoh, instink sosial pada anak yang
merupakan potensi bawaannya sebagai makhluk bomo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat
bergaul dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi, instink sosial itu bergantung pada kematangan fungsi
lainnya. Demikian pula, instink keagamaan.

3
B. Faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Agama pada Anak-Anak

Menurut penelitian Ernest Harms, yang dikemukakan oleh Ramayulius (2004:51-52), perkembangan
agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan) dalam bukunya The Development of religious on
children,ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga tingkatan.

1. The Fairy Tale Stage (Tingkatan Dongeng)

Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini, konsep mengenai Tuhan
lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini, anak menghayati konsep
ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak
dipengaruhi kehidupan fantasi, hingga dalam menanggapi agama pun, anak masih menggunakan konsep
fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.

2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)

Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada
masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan
(realitas).Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa
lainnya. Pada masa ini, ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat
melahirkan konsep Tuhan yang formalis Berdasarkan hal itu, pada masa ini, anak-anak tertarik dan senang
pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala
bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh manit.

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pada tingkat ini, anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan
usianya. Konsep keagamaan individualisis ini terbagi atas tiga golongan, yaitu:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif deng dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal
tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.

b. Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalan pandangan yang bersifat personal
(perseorangan)

c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka
dalam menghayati ajaran agama

Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu perkembangan usia dan faktor
eksternal berupa pengaruh luar yang dialaminya. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi
agama sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi

4
kepada Sang Pencipta. Dalam terminologi Islam, dorongan ini dikenal dengan bidayat al-Diniyat (baca
hidayatud diniyyah), berupa benih-benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
dengan adanya potensi bawaan ini, manusia pada hakikatnya adalah makhluk beragama,

Kajian antropologi budaya telah membuktikan kebenaran ini. Edward B. Taylor menyebutnya dengan
istilah believe in spirtual being (kepercayaan kepada zat adikodrati). Menurut pendapatnya, dorongan ini
merupakan cikal bakal tumbuhnya kepercayaan atau agama pada manusia. Dalam pengamatan lapangan
yang dilakukannya, pakar antropologi ini menemukan kenyataan seperti itu pada suku-suku primitif (yang
masih berbudaya asli). Berangkat dari kemampuan berpikir yang anthromorfistis, zat adikodrati itu mereka
wujudkan dalam bentuk benda konkret, seperti patung atau benda-benda alam lainnya.

Stanley Hall juga menemukan kecenderungan yang hampir sama pada konsep totemisme. Dalam
kehidupannya, beberapa suku Indian mengaitkan klan (suku) mereka dengan binatang suci yang dipercaya
sebagai reinkarnasi leluhur atau nenek moyang mereka. Binatang totem ini dianggap suci dan menjadi
lambang ritual keagamaan suku tersebut. Keterikatan mereka kepada konsep ini sangat kental sehingga
nama binatang totem sering diletakkan di belakang nama warga dari suku masing-masing.

Ternyata, kecenderungan seperti itu tak hanya terjadi di kalangan masyarakat primitf. Di kalangan
masyarakat modern pun, hal serupa dapat dijumpai. Namun, bentuknya berubah dalam bentuk "kekaguman
terhadap tokoh". Istilah idola merupakan bukti adanya kecenderungan masyarakat modern untuk
mengultusindividukan seseorang yang dikagumi.Bentuk kekaguman tersebut umumnya dikaitkan dengan
ideologi yang dikenal dengan isme.Dorongan untuk mengabdi yang ada pada diri manusia pada hakikat-
nya merupakan sumber keberagamaan yang fitri. Untuk memelihara dan menjaga kemurnian potensi fitrah,
Tahan Sang Maha Pencipta mengutus para nabi dan rasul. Tugas utama mereka adalah mengarahkan
pengembangan potensi bawaan itu ke jalan sebenarnya, seperti yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Bila
tak diarahkan oleh utusan Tuhan, dikhawatirkan akan terjadi penyimpangan.

Konsep ajaran Islam menegaskan bahwa pada hakikatnya penciptaan jin dan manusia adalah untuk
menjadi pengabdi yang setia kepada penciptanya (QS. 51:56). Agar tugas dan tanggung jawab tersebut
dapat diwujudan secara benar, Tuhan mengutus Rasul-Nya sebagai pemberi pengajaran, contoh, dan
teladan. Dalam estafet berikutnya, risalah kerasulan ini diwariskan kepada para ulama. Akan tetapi,
tanggung jawab utamanya dititikberatkan pada kedua orangtua. Dipesankan rasul bahwa bayi dilahirkan
dalam keadaan fitrah, yaitu dorongan untuk mengabdi kepada Penciptanya. Namun, benar tidaknya cara
dan bentuk pengabdian yang dilakukannya, sepenuhnya bergantung pada kedua orangtua masing- masing.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa dorongan keberagaman merupakan faktor bawaan manusia.
Apakah setelah dewasa seseorang akan menjadi sosok penganut agama yang taat, hal itu sepenuhnya
bergantung pada pembinaan nilai-nilai agama oleh kedua orangtua. Keluarga merupakan pendidikan dasar
bagi anak-anak, sedangkan lembaga pendidikan hanyalah sebagai pelanjut dari pendidikan rumah tangga.
Dalam kaitan dengan kepentingan ini pula, terlihat peran strategis dan peran sentral keluarga dalam
meletakkan dasar-dasar keberagamaan bagi anak-anak.

5
Sigmund Frued bahkan menempatkan "bapa" sebagai sosok yang memiliki peran penting dalam
menumbuhkan agama pada anak. Melalui konsep father image (citra kebapaan), ia merintis teorinya
tentang asal mula agama pada manusia. Menurutnya, keberagamaan anak akan sangat ditentukan oleh sang
"bapa". Tokoh bapa ikut menentukan dalam menumbuhkan rasa dan sikap keberagamaan seorang anak.
Dalam pandangan anak, memang bapa menjadi tokoh panutan yang Kebanggaan anak terhadap "bapa"
demikian kuat dan berpengaruh. diidolakan hingga ikut menumbuhkan citra dalam dirinya (Jalaluddin,
2004:21)

Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk beragama. Namun, keberagamaan tersebut
memerlukan bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar. Untuk itu, anak-anak
memerlukan tuntunan dan bimbingan sejalan dengan tahap perkembangan yang mereka alami Tokoh yang
paling menentukan dalam menumbuhkan rasa keberagamaan itu adalah orang tua.

C. Pendidikan Agama bagi Anak-Anak

Meskipun para ahli masih belum memiliki kesepakatan tentang asal- usal jiwa keagamaan pada
manusia. pada umumnya mereka mengaku peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap
keberagamaan pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya
menanamkan rasa keagamaan pada seseorang anak, dan melalui pendidikan pula, pembentukan sikap
keagamaan tersebut dilakukan.

1. Pendidikan Keluarga

Barang kali sulit untuk mengabaikan peran keluarga dalam pendidikan Anak-anak sejak masa bayi
hingga usia sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
jika Gilbert Highest (196178) menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar
terbentuk oleh pendidikan keluarga. Sejak bangun tidur hingga saat akan tidur kembali, anak-anak
menerima pengaruh dan pendidikan dan lingkungan keluarga

Bayi yang baru lahir merupakan makhluk yang tak berdaya, namun ia dibekali oleh berbagai
kemampuan yang bersifat bawaan (Clark, 19642) Di sini, terlihat adanya dua aspek yang kontradiktif. Di
satu pihak, bayi berada dalam kondisi tanpa daya, sedangkan di pihak lain, bayi memiliki kemampuan
untuk berkembang (eksploratif).Akan tetapi, menurut Walter Houston Clark (1964:2), perkembangan bayi
tak mungkin dapat berlangsung secara normal tanpa adanya intervensi dari luar, walaupun secara alami, ia
memiliki potensi bawaan. Seandainya bayi dalam pertumbuhan dan perkembangannya hanya diharapkan
menjadi manusia normal sekalipun, ia masih memerlukan berbagai kondisi tertentu dan pemeliharaan yang
berkesinambungan. Pendapat ini menunjukkan bahwa tanpa bimbingan dan pengawasan yang teratur, bayi
akan kehilangan kemampuan untuk berkembang secara normal. walaupun ia memiliki potensi untuk
tumbuh dan berkembang serta potensi-potensi lainnya.

Dua ahli psikologi anak dari Perancis bernama Itard dan Sanguin pernah meneliti anak anak asuhan
serigala. Mereka 6789menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok serigala di sebuah gua
Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak. Namun, mereka tak menunjukkan

6
kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak. Mereka tak mampu
mengucapkan kata-kata, kecuali suara auman layaknya seekor serigala. Mereka juga berjalan merangkak
dan makan dengan cara menjilat. Gigi serinya paling pinggir tampak lebih menyerupai taring serigala.
Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan serigala
tersebut tak dapat menyesuaikan diri, akhirnya mati.

Kejadian hampir serupa juga pernah dijumpai di India. Anak lelaki asuhan serigala dijumpai setelah
berusia sekitar 14 tahun. Ternyata, kehidupan ala serigala telah memengaruhi sikap, perilaku, dan
kemampuan indrawinya. Gigi serinya juga agak tajam menyerupai taring, penciumannya lebih tajam,
lidahnya selalu menjulur, dan berjalan merangkak, serta sanggup bertahan terhadap cuaca tanpa busana.

Anak laki-laki ini kemudian diberi nama Manu. Ia dikembalikan ke lingkungan manusia untuk
dibimbing dan dididik agar dapat hidup seperti manusia normal. Ternyata, pengaruh lingkungan dan
pemeliharaan serigala yang sudah demikian lama telah melekat menjadi sifat dan kebiasaan Manu. Sulit
bagi dirinya untuk mengingat dan melafalkan kosa kata yang diajarkan kepadanya. Kalaupun bisa, waktu
yang digunakan cukup lama. Perkembangan kemampuan inteligensinya sangat rendah, sehingga Manu
mengalami sejumlah hambatan untuk hidup kembali sebagai manusia normal. Akhirnya, Manu pun
mengalami nasib yang sama seperti anak asuhan serigala lainnya. Setelah beberapa tahun dalam
pemeliharan dan pengawasan manusia, Manu meninggal (Jalaluddin, 2004:220-221)

Contoh di atas menunjukkan pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun
pembentukan kebiasaan, terhadap masa depan perkembangan seorang anak. Meskipun Manu manusia yang
dibekali potensi kemanusiaan, di lingkungan pemeliharaan seorang serigala potensi tersebut tak
berkembang Bahkan, menurut WH. Clark bayi (1964:3), para psikolog umumnya berpendapat, bayi yang
baru lahir keadaannya lebih mendekati binatang ketimbang keadaan manusia. Bahkan, anak kera yang
tumbuh dengan baik dalam hal-hal tertentu lebih banyak memperlihatkan sifat-sifat yang lebih menyerupai
sifat manusia dibandingkan dengan bayi manusia yang baru lahir, jika bayi manusia itu semata-mata dilihat
dan segi bentuk tubuhnya dan bukan dilihat dari esensinya.

Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan, dan
bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya berjalan secara baik dan benar.
Manusia memang bukan makhluk instinktif secara utuh, sehingga ia tak mungkin berkembang dan tumbuh
secara instinktif sepenuhnya. Oleh karena itu, menurut W.H. Clark (1964:2), bayi memerlukan kondisi
kondisi pengawasan tertentu dan pemeliharaan yang terus-menerus sebagai latihan dasar dalam
pembentukan kebiasaan dan sikap sikap tertentu agar ia memiliki kemungkinan untuk berkembang secara
wajar dalam kehidupan di masa datang.

Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya
adalah kedua orangtua. Orangtua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-
anaknya karena secara kodrau, ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri
orangtua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orangtua kepada anak-anak mereka, hingga

7
secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi,
dan membimbing keturunan mereka.

Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan
agama menurut W.H. Clark (1964:4), berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk
diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia sangat rumit dan kompleks.
Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan
terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah, agama itu berkembang.
Dalam kaitan itu pulah, terlihat peran pendidikan keluarga dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Rasul yang mulia menekankan tanggung jawab itu pada
kedua orangrua (Al-Bukhariy, juz III, 1993:616)

Menurut Rasulullah SAW, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu membentuk arah keyakinan
anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama,
namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan,
pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.

2. Pendidikan Kelembagaan Formal

Pada masyarakat primitif, tak ada lembaga pendidikan: secara khus Anak-anak umumnya dididik di
lingkungan keluarga dan masyaraka lingkungannya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum
diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Jika anak dilahirkan di lingkungan keluarga
tani, ia akan menjadi petani seper orang tua dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula, anak seorang
nelayan, ataupun anak masyarakat pemburu.

Kemampuan untuk menguasai cara bertani, menangkap ikan ataupan berburu binatang diperoleh anak
melalui bimbingan orang tua dan masyarakat lingkungannya. Karena kehidupan masyarakat bersifat
homogen, kemampuan profesional di luar tradisi yang diwariskan secara turun-temurun tak mungkin
berkembang. Oleh karena itu, lembaga pendidikan khusus menyatu dengan kehidupan keluarga dan
masyarakat

Sebaliknya, pada masyarakat yang telah memiliki peradaban modem tradisi seperti itu tak mungkin
dipertahankan. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, seseorang
memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu, dibentuklah lembaga khusus yang
menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan. Dengan demikian secara kelembagaan, sekolah-sekolah pada
hakikatnya merupakan lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).

Selain itu, sejalan dengan fungsi dan perannya, sekolah sebagai kelembagaan pendidikan merupakan
pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anaknya, anak
anak mereka diserahkan ke sekolah-sekolah. Sejalan dengan kepentingan dan masa depan anak-anak,
terkadang para orangtua sangat selektif dalam menentukan tempat untuk menyekolahkan anak-anak

8
mereka. Mungkin saja, para orangtua yang berasal dari keluarga yang taat beragama akan memasukkan
anaknya ke sekolah-sekolah agama. Sebaliknya, para orang tua lain lebih mengarahkan anak mereka untuk
masuk ke sekolah-sekolah umum. Para orang tua yang sulit mengendalikan tingkah laku anaknya akan
memasukkan anak-anak mereka ke sekolah agama dengan harapan secara kelembagaan, sekolah tersebut
dapat memberi pengaruh 4 membentuk kepribadian anak-anak tersebut (Jalaluddin, 2004:223)

Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai sebena jauh pengaruh pendidikan agama
melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak. Berdasarkan penelitian
Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan
dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak (Jalaluddin dan Ramayulis, 1993:38), pendidikan agama
yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak.
Kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan.
yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren,
seminari maupun vihara. Pendidikan keagamaan (religions pedagogyc) sangat memengaruhi tingkah laku
keagamaan (religious behaviour), menurut Young

Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi pembentukan
jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh tersebut sangat bergantung pada
berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab, pendidikan agama
pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama lebih di titik beratkan
pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.

Kebiasaan adalah cara bertindak atau berbuat seragam. Dan pem- bentukan kebiasaan ini menurut
Wetherington melalui dua cara. Pertama, dengan cara pengulangan dan kedua, dengan disengaja dan
direncanakan (M. Buchori-1982:115-116). Jika melalui pendidikan keluarga pembentukan jiwa keagamaan
dapat dilakukan dengan menggunakan cara yang pertama, maka melalui kelembagaan pendidikan cara
yang kedua tampaknya akan lebih efektif. Dengan demikian, pengaruh pembentukan jiwa keagamaan pada
anak di kelembagaan pendidikan, barangkali banyak bergantung pada bagaimana perencanaan pendidikan
agama yang diberikan di sekolah (lembaga pendidikan).

Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan pada anak, antara lain sebagai
pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri anak yang
tak diterima di keluarga. Dalam konteks ini, guru agama harus mampu mengubah sikap anak didiknya agar
menerima pendidikan agama yang diberikannya.

Menurut Mc Guire, yang dikutip oleh Djamaludin Ancok (1994:40- 41), proses perubahan sikap dari
tak menerima menjadi sikap menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Proses pertama
adalah perhatian; kedua, pemahaman; dan ketiga, penerimaan.

Dengan demikian, pengaruh kelembagaan pendidikan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak
sangat bergantung pada kemampuan para pendidik untuk menimbulkan ketiga proses itu. Pertan pendidikan
agama yang diberikan harus dapat menarik perhatian peseru didik. Unnik menopang pencapaian itu, guru
agama harus merencanakan materi, metode, serta alat-alat bantu yang memungkinkan anak-anak

9
memberikan perhatiannya. Kedua, para guru agama harus mampu memberikan pemahaman kepada anak
didik tentang materi pendidikan yang diberikannya. Pemahaman ini lebih mudah diserap jika pendidikan
agama yang diberikan dikaitkan dengan kehidupan sehari hari. Jadi, tak terbatas pada kegiatan yang
bersifat hapalan semata. Ketiga, penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang diberikan.
Penerimaan in sangat terkait dengan hubungan antara materi dengan kebutuhan dan nila bagi kehidupan
anak didik Sikap menerima tersebut pada garis besarnya banyak ditentukan oleh sikap pendidik itu sendiri,
antara lain memilik keahlian dalam bidang agama dan memiliki sifat-sifat yang sejalan dengan ajaran
agama seperti jujur dan dapat dipercaya. Kedua cin ini akan sanga menentukan dalam mengubah sikap para
anak didik.

3. Pendidikan di Masyarakat

Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa
lapangan pendidikan yang iku memengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan
pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga) lapangan pendidikan ini akan memberi
dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.

Seperti diketahui, bahwa dalam keadaan yang ideal, pertumbuhan seseorang menjali sosok yang
memiliki kepribadian terintegrasi dalam berbagai aspek yang mencakup fisik, psikis, moral, dan spiritual
(M. Buchori, 1982:155). Oleh karena itu, menurut Wetherington, yang dikutip oleh Buchori (1982:156),
untuk mencapai tujuan itu diperlukas pola asuh yang serasi. Menurutnya, dalam mengasuh pertumbuhan
terdapat lima aspek, yaitu:

1) fakta-fakta asuhan

2) alat-alatnya

3) regularitas

4) Perlindungan

5) unsur waktu

Wetherington memberi contoh mengenai fakta asuhan yang diberikan kepada anak kembar yang
diasuh di lingkungan yang berbeda. Hasilnya ternyata menunjukkan bahwa ada perbedaan antara keduanya
sebagai hasil pengaruh lingkungan. Selanjutnya, ia mengutip hasil penelitian Newman tentang adanya
perbedaan dalam lingkungan sosial dan pendidikan menghasilkan perbedaan-perbedaan yang tak dapat
disangkal. Dengan demikian menurutnya, kehidupan rumah (keluarga) yang baik dapat menimbulkan
perubahan-perubahan yang penting dalam pertumbuhan psikis (kejiwaan) dan dalam suasana yang lebih
kaya pada suatu sekolah, perubahan-perubahan semacam itu akan lebih banyak lagi.

Selanjutnya, karena asuhan terhadap pertumbuhan anak harus berlangsung secara teratur dan terus
menerus, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan pertumbuhan itu. Jika
10
pertumbuhan fisik akan berhenti saat anak mencapai usia dewasa, pertumbuhan psikis akan berlangsung
seumur hidup. Hal ini menunjukkan bahwa masa asuhan di kelembagaan pendidikan (sekolah) hanya
berlangsung selama waktu tertentu. Sebaliknya, asuhan oleh masyarakat akan berjalan seumur hidup.
Dalam kaitan ini pula, terlihat besarnya pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan
sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang
memuat norma-norma kesopanan tak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Juga mengutip dari
Emerson, M. Buchori, (1982:157) mengemukakan bahwa norma-norma kesopanan menghendaki adanya
norma-norma kesopanan pula pada orang lain.

Dalam ruang lingkup yang lebih luas, dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam
lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh adalah hasil penelitian Masri
Singarimbun yang dikutip oleh Djamaluddin Ancok (1994:27), tentang kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia
menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadap hidup
bersama tanpa nikah. Dan kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang
menentang pola hidup seperti itu.

Di sini terlihat hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama.
Lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan
dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma
keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan
sangat terkait dengan seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri

D. Pembinaan Pribadi Anak

Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai
kepribadian yang kuat, dan sikap mental yang sehat, serta akhlak yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan
melalu pendidikan, baik formal (di sekolah) maupun informal (di rumah oleh orang tua). Setiap
pengalaman yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran maupun perlakuan yang diterima
akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.

Orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam kehidupan anak. Kepribadian orang tua, sikap
dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan tak langsung, yang dengan sendirinya akan
masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama
di sekolah sangat dipengaruhi oleh sikap orang tuanya terhadap agama dan guru agama khususnya.

Hubungan orang tua sesama mereka sangat memengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang
serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa pada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka
dan mudah dididik, karena ia mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang
Sebaliknya, hubungan orang tua yang tak serasi, banyak perselisihan dan percekcokan akan membawa
anak pada pribadi yang sukar dan tak mudah dibentuk, karena ia tak mendapatkan suasana yang kondusif

11
untuk berkembang tentunya, semua itu akan berpengaruh pada jenjang pendidikan berikutnya di sekolah,
yang terealisasikan dalam sikapnya terhadap guru, termasuk kepada guru agamanya.

Guru agama mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu ikut membina pribadi anak di samping
mengajarkan pengetahuan agama kepada anak. Guru agama harus membawa anak didik ke arah pembinaan
pribadi yang sehat dan baik. Setiap guru agama harus menyadan bahwa segala yang terefleksi dari dirinya
akan menjadi unsur pembinaan yang lebih dominan bagi anak didik daripada pengajarannya secara
langsung

Memang benar bahwa tugas pembinaan pribadi anak di sekolah dasar bukan tugas guru agama saja,
tetapi tugas guru pada umumnya, di samping tugas orangtua. Namun, peranan guru agama dalam hal ini
sangat menentukan. Guru agama dapat memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh orang tua, kemudian
bersama guru-guru lain membantu pembinaan anak sehingga perkembangan moralnya terkontrol (Daradjar,
1978:56-57)..

Perkembangan moral pada awal masa kanak-kanak masih dalam tingkat yang rendah. Hal ini
disebabkan perkembangan intelektual anak- anak belum mencapai titik di mana ia dapat mempelajari atau
menerapkan prinsip-prinsip abstrak tentang benar dan salah. Ia juga tak mempunyai dorongan untuk
mengikuti peraturan-peraturan karena tak mengerti manfaatnya sebagai anggota kelompok sosial.

Karena tak mampu mengerti masalah standar moral, anak-anak harus belajar berperilaku moral dalam
berbagai situasi tertentu. Ia hanya belajar bagaimana bertindak tanpa mengetahui mengapa Sekalipun
sangat cerdas, ingatan anak-anak cenderung kurang baik sehingga belajar bagaimana berperilaku sosial
yang baik memerlukan proses yang panjang dan sulit. Anak-anak dilarang melakukan sesuatu pada suatu
hari, tetapi keesokan hari atau dua hari sesudahnya mungkin ia lupa. Jadi, anggapan orang dewasa sebagai
tindakan tak patuh sering hanya merupakan masalah lupa saja.

Awal masa kanak-kanak ditandai dengan apa yang oleh Piaget disebut "moralitas melalui paksaan".
Dalam tahap perkembangan moral ini, anak- anak secara otomatis mengikuti peraturan-peraturan tanpa
berpikir atau menilai, dan ia menganggap orang-orang dewasa yang berkuasa sebagai mahakuasa. Ia juga
menilai semua perbuatan sebagai benar atau salah berdasarkan akibat-akibatnya dan bukan berdasarkan
pada motivasi yang mendasarinya. Menurut sudut pandang anak-anak, perbuatan yang "salah" adalah yang
mengakibatkan hukuman, baik oleh orang lain maupun oleh faktor-faktor alam atau gaib.

Kohlberg merinci dan memperluas tahap-tahap perkembangan moral yang dikemukakan oleh Piaget
dengan memasukkan dua tahapan dari tingkat perkembangan pertama ini yang disebutnya sebagai
"moralitas prakonvensional". Dalam tahap pertama, anak-anak berorientasi patuh- dan-hukuman dalam arti
ia menilai benar-salahnya perbuatan berdasarkan akibat-akibat fisik dari perbuatan itu. Dalam tahap kedua,
anak-anak menyesuaikan diri dengan harapan sosial agar memperoleh pujian.Dengan berakhirnya awal
masa kanak-kanak, kebiasaan untuk patuh harus dibentuk agar anak-anak mempunyai disiplin yang
konsisten sekalipun demikian, anak-anak belum mengembangkan hati nurani sehingga ia tak merasa

12
bersalah atau malu bila melakukan sesuatu yang diketahui sebagai sesuatu yang salah. Bahkan, ia takut
dihukum atau berusaha membenarkan perbuatannya untuk menghindari hukuman Disiplin merupakan cara
untuk mengajarkan kepada anak-anak perilaku moral yang diterima kelompok. Tujuannya adalah
memberitahukan kepada anak-anak perilaku mana yang baik dan mana yang buruk

dan mendorongnya unnak berperilaku sesuai dengan standar-standar ini.

Ada tiga unsur penting dalam disiplin, yaitu:

1) peraturan dan hukum yang berfungsi sebagai pedoman bagi penilaian yang baik

2) hukuman bagi pelanggaran peraturan dan hukum

3) hadiah untuk perilaku yang baik atau usaha untuk berperilaku sosial yang baik.

Selama awal masa kanak- kanak, aspek pendidikan dan disiplin harus ditekankan dan hukuman hanya
diberikan kalau terbukti anak -anak mengerti apa yang diharapkan, terlebih lagi kalau ia sengaja melanggar
harapan harapan ini. Cara meningkatkan keinginan anak anak untuk belajar berperilaku sosial baik adalah
dengan memberikan hadiah.

Ada tiga cara yang umum dilakukan untuk mendisiplinkan anak-anak

1) disiplin otoritet. Cara ini merupakan bentuk disiplin tradisional dan didasarkan pada ungkapan kuno
yang mengatakan bahwa "menghemar cambukan berarti memanjakan anak". Di dalam disiplin yang
bersifat otoriter, orangtua dan pengasuh yang lain menetapkan peraturan- peraturan dan
memberitahukan kepada anak bahwa ia harus mematuhi peraturan-peraturan tersebut. Tak ada
usaha untuk menjelaskan kepada anak-anak mengapa ia harus paruh dan ia pun tak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat tentang adil atau tidaknya peraturan- peraturan atau
apakah peraturan-peraturan tersebut masuk akal atau tidak Kalau anak tak mengikuti peraturan, dia
akan dihukum dan hukuman ini yang sering kali kejam dan keras dan dianggap sebagai cara untuk
mencegah pelanggaran peraturan di masa mendatang. Alasan mengapa pelanggaran peraturan oleh
anak tak pernah dipertimbangkan adalah bahwa dia mengetahui peraturan itu dan sengaja
melanggarnya, juga tak perlu dibenkan hadiah karena telah mematuhi peraturan. Hal ini dianggap
sebagai kewajibannya dan tiap pemberian hadiah dipandang dapat mendorong anak untuk
mengharapkan upah ketika melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh masyarakat.

2) disiplin yang lemah. Disiplin yang lemah berkembang menjadi proses disiplin otoriter yang dialami
oleh banyak orang dewasa di masa anak-anaknya. Filsafat yang mendasari teknik disipilin ini
adalah bahwa melalui akibat dari perbuatannya sendiri, anak belajar bagaimana berperilaku secara
sosial. Dengan demikian, anak tak diajarkan peraturan- peraturan, tak dihukum karena sengaja
melanggar peraturan, juga tak ada hadiah bagi anak-anak yang berperilaku sosial yang baik. Banyak
orang dewasa saat ini yang cenderung meninggalkan bentuk disiplin ini karena tak berhasil
memenuhi tiga unsur penting dari disiplin.

13
3) disiplin demokratis. Kecenderungan untuk menyenangi disiplin yang berdasarkan prinsip-prinsip
demokratis meningkat Prinsip ini menekankan hak anak untuk mengetahui mengapa peraturan-
peraturan dibuat dan memperoleh kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri apabila ia
menganggap bahwa peraturan itu tak adil. Sekalipun masih sangat muda, dari si anak tak
diharapkan perilaku yang paruh secara buta. Diusahakan agar anak mengerti apa arti peraturan-
peraturan dan mengapa kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan- peraturan
tersebut. Di dalam disiplin yang demokratis, hukuman disesuaikan dengan "kejahatan", dalam arti
diusahakan bahwa hukuman yang diberikan berhubungan dengan kesalahan perbuatannya, tak lagi
diberikan hukuman badan. Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk memenuhi harapan masyarakat
yang tercakup di dalam peraturan- peraturan diperlihatkan melalui pemberian hadiah, terutama
dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial.

Terlepas dari jenis disiplin yang digunakan, hampir semua anak pernah dihukum bentuk hukuman
yang umum digunakan mencakup hukuman tubuh dalam bentuk tepukan, tamparan, dan pukulan,
mengucilkan anak- anak di kamar, menyuruh tidur, kadang kadang tanpa makan; menyuruh duduk di kursi
di pojok ruangan sehingga semua orang dapat melihat, melarang kegemaran seperu menonton acara TV
yang digemari; me- ngancam untuk meninggalkannya atau tak mencintainya; membandingkan dengan
saudara-saudara yang lebih baik; mengomeli dan berulang-ulang mengomentari pelanggarannya Lebih dari
sepuluh tahun yang silam, tamparan dianggap sebagai "hukuman yang kejam" dan sekarang terdapat bukti
bahwa hal itu kembali digunakan.

Hadiah dalam bentuk mainan, gula-gula, ajakan pergi atau pemberian sesuatu yang menyenangkan
digunakan secara hemat oleh orangtua dan juga oleh mereka yang lebih menyukai disiplin yang
demokratis. Mereka takut kalau hal ini akan memanjakan anak atau takut cara ini dianggap sebagai bentuk
penyuapan "yang merupakan teknik disiplin yang buruk Lalai menggunakan cara pemberian hadiah
menyebabkan surutnya semangat anak-anak untuk belajar berperilaku sosial yang baik. Penelitian
mengenai akibat disiplin pada anak-anak menunjukkan bahwa jenis disiplin yang berbeda akan
memberikan akibat yang berbeda (Hurlock, 992:13-150)

14
Bab III

Penutup

A. Kesimpulan

Timbulnya Agama Pada Anak yakni di dasari oleh rasa Ketergantungan (Sense of Dependent) dan
Instink Keagamaan.Menurut penelitian Ernest Harms, yang dikemukakan oleh Ramayulius (2004:51-52),
perkembangan agama anak-anak itu melalui beberapa fase (tingkatan) dalam bukunya The Development of
religious on children,ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga
tingkatan.

1. The Fairy Tale Stage (Tingkatan Dongeng)

2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)

3. The Individual Stage (Tingkat Individu)

Pendidikan Agama bagi Anak-Anak memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa
keagamaan pada seseorang anak, dan melalui pendidikan pula, pembentukan sikap keagamaan tersebut
dilakukan.

15
Daftar Pustaka
Arifin,Bambang Syamsul,2008,Psikologi Agama.Bandung : Pustaka Setia

16

Anda mungkin juga menyukai