Anda di halaman 1dari 12

METODE PENGEMBANGAN KETAUHIDAN AUD

“TAHAP PERTUMBUHAN & PERKEMBANGAN AGAMA ANAK USIA DINI”

DOSEN PENGAMPU: PUTRI ANI DALIMUNTHE, M. Pd. I

OLEH:

KELOMPOK 3

RAHMIDA YANTI
YUSNI TANJUNG

JURUSAN: PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEMESTER: V (LIMA)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIKMAH MEDAN


TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji dan syukur kami sembahkankehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan
karunianya hingga saya bisa menyelesaikan makalah saya dalam Metode Pengembangan
Ketauhidan AUD yang berjudul “Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Agama Anak Usia
Dini”.
Rasa terima kasih juga saya sampaikan pada dosen pengampu Metode Pengembangan
Ketauhidan AUD yaitu Ibu Putri Ani Dalimunthe M.Pd.I Karena telah membimbing saya
dalam memahami pelajaran ini.

Rasa terima kasih juga saya sampaikan kepada keluarga dan teman-teman yang telah
mendukung saya dalam menyelesaikan makalah ini. Terima kasih kepada para keluarga yang
telah memberikan semangat kepada saya untuk menempuh pendidikan ini.

Mungkin akan banyak terdapat kekurangan dalam makalah yang telah saya buat ini,
namun saya penulis telah mengupayakan sesuai kemampuan saya untuk menyelesaikan
makalah ini. Saya mohon maaf untuk segala kekurangan yang ada dalam makalah saya.
Semoga makalah ini bias bermanfaat bagi pembaca maupun penulis.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Hormat Kami

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I Pendahuluan 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1

BAB II Pembahasan 2
A. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak 2
B. Perkembangan Agama pada Anak-Anak 3
C. Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak 5
D. Sifat-Sifat Agama pada Anak 6

BAB III Penutup 7


A. Kesimpulan 7
B. Saran 7
Daftar Pustaka8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dilahirkan dalam keadaan lemah fisik maupun psikis. Walaupun dalam
keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat fitrah. Potensi
bawaan ini memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan yang
mantap lebih-lebih pada usia dini, karena pada umumnya agama seseorang ditentukan
oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kecilnya.
Zakiah (1970: 58) mengemukakan bahwa masa pertumbuhan pertama terjadi pada usia
0 – 12 tahun, seyogianya sejak masa kandungan pun orang tua harus memasukkan nilai
keagamaan pada diri anak bersamaan dengan pertumbuhan pribadinya. Sebab, melalui
orang tua dan lingkungan keluarganya, anak mulai mengenal Tuhannya.Kata-kata, sikap,
tindakan dan perbuatan orang tua sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan keagamaan pada anak.
Dalam hal ini, kami akan membahas bagaimana timbulnya kepercayaan agama pada
anak-anak, faktor-faktor yang mempengaruhinya dan perkembangannya serta sifat-sifat
agama pada anak.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana timbulnya jiwa keagamaan pada anak?

2. Bagaimana perkembangan agama pada anak?

3. Apa saja faktor-faktor pembentuk jiwa keagamaan pada anak?

4. Apa saja sifat-sifat agama pada anak?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui timbulnya jiwa keagamaan pada anak

2. Untuk mengetahui perkembangan agama pada anak

3. Untuk mengetahui faktor-faktor pembentuk jiwa keagamaan pada anak


4. Untuk mengetahui sifat-sifat agama pada anak
BAB II
PEMBAHASAN

A. Timbulnya Jiwa Keagamaan pada Anak


Sesuai dengan prinsip pertumbuhannya, seorang anak yang tumbuh dewasa
menurut Jalaluddin (2004: 64), memerlukan bimbingan sesuai dengan prinsip yang
dimilikinya, yaitu sebagai berikut:

1. Prinsip Biologis
Secara fisik, anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan lemah. Dalam segala
gerak dan tindak-tanduknya ia selalu memerlukan bantuan dari orang dewasa
sekelilingnya karena keadaan tubuhnya belum tumbuh secara sempurna dan difungsikan
secara maksimal.

2. Prinsip Tanpa Daya


Sejalan dengan belum sempurnanya pertumbuhan fisik dan psikisnya, anak yang baru
dilahirkan hingga menginjak usia dewasa selalu mengharapkan bantuan dari orang
tuanya. Ia sama sekali tak berdaya untuk mengurus dirinya sendiri.

3. Prinsip Eksplorasi
Kemantapan dan kesempurnaan perkembangan potensi manusia yang dibawa sejak lahir,
baik jasmani maupun rohani memerlukan pengembangan melalui pemeliharaan dan
latihan. Jasmaninya baru akan berfungsi secara sempurna jika dipelihara dan dilatih.Akal
dan fungsi mental lainnya pun baru akan menjadi baik dan berfungsi jika kematangan
dan pemeliharaan serta bimbingan dapat diarahkan pada pengeksplorasian
perkembangannya.

Jalaluddin (2004: 65-66) mengemukakan beberapa teori mengenai pertumbuhan


agama pada anak, yaitu antara lain:

1. Rasa Ketergantungan (sense of dependent)


Teori ini dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes-nya. Menurut Thomas,
manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan, yaitu: keinginan untuk
perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan
untuk mendapat tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognition). 
Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, sejak dilahirkan
bayi hidup dalam ketergantungan, kemudian dia melampaui pengalaman-pengalaman
yang diterimanya dari lingkungan dan akhirnya terbentuklah rasa keagamaan pada
dirinya.
2. Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink,
diantaranya instink keagamaan. Belum tampaknya tindak keagamaan pada diri anak
karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan belum berfungsi
sempurna.
3. Fitah keagamaan
Pendapat ini berdasarkan konsep Islam yang didasarkan pada hadist Nabi yang
berbunyi:

‫ َفأ َ َب َوا ُه ُي َهوِّ دَان ِِه َو ُي َنص َِّران ِِهأ َ ْو ُي َمجِّ َسا ِن ِه‬،ِ‫ىالف ِْط َرة‬
ْ ‫ُكلُّ َم ْولُو ٍديُو َل ُد َع َل‬

“Setiap anak dialhirkan dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang
membuatnya menjadi Yahudi, atau Nasrani aau Majusi”.

Fitrah dalam hadist ini diartikan sebagai “potensi”. Fitrah ini baru berfungsi
dikmudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap
berikutnya. (Jalaluddin 2002:65, Sururin, 2004:48).

B. Perkembangan Agama pada Anak-Anak

Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan


pengalaman yang dilaluinya, terutama pada masa-masa pertumbuhan yang pertama
dari umur 0 – 12 tahun. Seorang anak yang pada masa itu tidak mendapat didikan
agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, nantinya setelah dewasa
akan cenderung kepada sikap negatif terhadap agama.
Ramayulius (2004: 51-52) dalam bukunya The Development of Religius on
Children mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui tiga
tingkatan, antara lain:
1. The Fairy Tale Stage (Tingkatan Dongeng)
Tingkatan ini dimulai pada anak usia 3 – 6 tahun, konsep mengenai Tuhan lebih
banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini, anak
menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
2. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia adolesense.
Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realitas).
3. The Individual Stage (Tingkatan Individu)
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usianya. Konsep keagamaan yang individualistis ini terbagi
atas tiga golongan, yaitu:

a. Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan dipengaruhi


sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh pengaruh luar.
b. b.Konsep ketuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam pandangan yang
bersifat personal (perseorangan).
c. Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik. Agama lebih menjadi etos humanis
pada diri mereka dalam menghayati ajaran agama.

Pemikir Islam Imam Bawani membagi fase perkembangan agama pada masa
anak menjadi empat bagian, yaitu :

1. Fase dalam kandungan, perlu dicatat bahwa pada fase ini seorang bayi yang
berada dalam kadungan sudah berjanji pada Rabbnya, sebagaimana yang telah
tertulis dalam Firman Allah:

"‫ظ" ُه" و" ِ"ر" ِه" ْم" ُذ" "ِّر َّي" َت" ُه" ْم" َ"و" أَ" ْش" َه" َد" ُه" ْم" َع" َل" ٰ"ى‬ ُ "‫ك" ِم" ْ"ن" َب" ِن" ي" آ" َ"د" َم" ِم" ْ"ن‬ "َ "‫َ"و" إِ" ْ"ذ" أَ" َ"خ" َ"ذ" َ"ر" ُّب‬
"‫ت" ِب" َ"ر" ب"ِّ ُك" ْم" ۖ" َق" ا"لُ"و"ا" َب" َل" ٰ"ى" ۛ" َش" ِه" ْ"د" َن" ا" ۛ" أَ" ْ"ن" َت" قُ" و"لُ"و"ا" َي" ْ"و" َم" ا" ْل" ِق" َي" ا" َم" ِة" إِ" َّن" ا" ُك" َّن" ا‬ "ُ "‫أَ" ْن" فُ" ِ"س" ِه" ْم" أَ" َل" ْ"س‬
"‫َ"ع" ْ"ن" ٰ" َه" َذ" ا" َغ" ا" ِف" لِ" ي" َ"ن‬

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak


Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. Al A’raf:
172)

2. Fase Bayi, isyarat pengenalan keagamaan tercermin pada memperdengarkan suara


adzan pada telinga bayi.
3. Fase Kanak-kanak, pada masa ini anak mengenal Tuhan melalui ucapan-ucapan
orang-orang disekelilingnya. Anak pada usia ini tidak memahami dalam
melaksanakan ajaran agama Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua sangat
penting untuk membimbing dan mengenalkan serta mengarahkan mengenai
tindakan-tindakan keagamaan pada anak untuk perkembangan agama anak pada
masa selanjutnya. 
4. Fase Masa anak Sekolah, di masa ini dalam jiwa anak telah membawa bekal rasa
agama yang terdapat dalam kepribadiannya dari orang tua.

C. Faktor Pembentuk Jiwa Keagamaan pada Anak

Adapun faktor yang membentuk anak mulai mengenal dan mendalami agama
yaitu:

1. Faktor intern (bawaan)


Perbedaan hakiki antara manusia dan hewan adalah bahwa manusia memiliki
fitrah (potensi) beragama. Setiapa manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih
primitif (bersahaja) maupun yang modern; baik yang lahir di negara komunis
maupun beragama; baik yang lahir dari orang tua yang shalih maupun yang jahat,
sejak Nabi Adam sampai akhir zaman, menurut fitrahnya mempunyai potensi
beragana, keimanan kepada Tuhan, atau percaya terhadap suatu dzat yang
mempunyai kekuatan yang menguasai dirinya atau alam dimana dia hidup.
Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah
dan ada yang mendapat bimbingan dari agama, sehingga fitrahnya itu berkembang
secara benar sesuai dengan kehendak Allah Swt.

2.      Faktor lingkungan (external)


a. Lingkungan keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak oleh karena itu
kedudukan keluarga dalam pengembangan kepribadian anak sangatlah
dominan.Menurut Hurlock (1959 :434) keluarga merupakan “training centre” bagi
penanaman nilai-nilai.Pengembangan fitrah atau jiwa beragama anak, seyogyanya
bersamaan dengan perkembangan kepribadianya, yaitu sejak lahir bahkan lebih dari
itu sejak dalam kandungan.Pandangan ini di dasarkan pengamatan para ahli jiwa
terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa, ternyata mereka itu di pengaruhi oleh
keadaan emosi atau sikap orang tua (terutama ibu) pada masa mereka dalam
kandungan.
b. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lembaga formal yang mempunyai progam yang sitematik yang
melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan kepada anak (siswa) agar mereka
berkembang sesuai dengan yang di harapkan.Dalam kaitannya dengan proses
pengambanagan keagamaanpara siswa, maka sekolah berperan penting dalam
mengembangkan wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau akhlak
melalui pelajaran agama. 
c. Lingkungan masyarakat
Yang di maksud lingkungan masyarakat di sini adalah situasi atau kondisi interaksi
sosial dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan
fitrah beragama atau kesadaran beragama individu.Di dalam masyarakat, individu
akan melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat
lainya. Oleh karena itu di sini dapat di kemukakan bahwa kualitas perkembangan
kesadaran beragama bagi anak sangat bergantung pada kulaitas perilaku atau pribadi
orang dewasa atau warga masyarakat.
D. Sifat-Sifat Agama pada Anak

Dalam kaitannya dengan perkembangan agama, muncul sifat-sifat agama yang


dimiliki oleh anak antara lain:
1. Unreflective (tidak mendalam), yaitu kebenaran agama yang diterima anak tidak begitu
dalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan
yang kadang-kadang kurang masuk akal.
2. Egosentris, yaitu dalam masalah keagamaan anak lebih menonjolkan kepentingan dirinya
dan lebih menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan dirinya.
3. Anthromorphis, yaitu konsep mengenai tuhan berasal dari hasil pengalaman di kala ia
berhubungan dengan orang lain. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran mereka,
anak mengaggap bahwa keadaan tuhan itu sama dengan manusia.
4. Verbalis dan Ritualis, yaitu dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama
pada anak-anak sebagaimana tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan-ucapan). Latihan-
latihan bersifat verbal dan upacara keagamaan yang bersifat ritual (praktek) merupakan
hal yang berarti dan merupakan salah satu ciri dari tingkat perkembangan agama pada
anak-anak.
5. Imitatif, yaitu Keagamaan pada anak-anak bersifat meniru seperti gerakan sholat, berdo’a
dan lain-lain.
6. Rasa heran, yaitu sifat ini merupakan tanda sifat keagamaan yang terakhir pada anak, rasa
kagum pada anak-anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum
terhadap lahiriyah saja. Perasaan kagum ini dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang
menimbulkan rasa takjub.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari kajian yang telah dipaparkan dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan rasa agama pada anak telah mulai sejak si anak lahir dan bekal itulah yang
dibawanya ketika waktu sekolah untuk pertama kali dan pengembangannya ditentukan
oleh pendidikan, pengalaman dan latihan-latihan.
Seorang yang pada waktu kecilnya tidak pernah mendapatkan didikan agama, pada
masa dewasanya seorang anak tidak akan merasakan pentingnya agama dalam hidupnya.
Lain halnya dengan orang yang diwaktu kecilnya mempunyai pengalaman agama, maka
orang-orang itu akan dengan sendirinya mempunyai kecenderungan kepada hidup dalam
aturan-aturan agama, terbiasa menjalankan ibadah, takut menjalankan larangan-larangan
agama dan dapat merasakan betapa nikmat hidup beragama.
Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi
milik mereka yang mereka pelajari dari orang tua, guru dan lingkungan mereka.

B. Saran
Dari kesimpulan tersebut, kami menyarankan bahwa sebagai orang tua harus
dapat menanamkan jiwa keagamaan kepada anak-anak dimulai sejak dalam
kandungan.Kata-kata, sikap, tindakan dan perbuatan orang tua harus menjadi
contoh yang baik karena sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan pada anak.
Seorang guru agama hendaknya mendekatkan ajaran agama ke dalam kehidupan
anak sehari-hari dengan menonjolkan sifat Pengasih dan Penyayang-Nya.
Daftar Pustaka

Bambang Syamsul Arifin, Drs., Psikologi Agama, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2008
H. M. Hafi Anshari, Drs., Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama. Penerbit Usana Offset Printing, Surabaya,
1991
WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Penerbit Airlangga University Press, 1980
Zakiah Daradjat, Dr., Ilmu Jiwa Agama. Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1996
http://www.majalah pendidikan.com/perkembangan pendidikan anak.
http://greenzonekampus.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai