Anda di halaman 1dari 4

 

JIWA KEAGAMAAN PADA REMAJA

MATA KULIAH PSIKOLOGI AGAMA

DOSEN PENGAMPU : ATTARIKHUL KABIR, M. Pd. I

OLEH:

RAHMIDA YANTI

JURUSAN: PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEMESTER: IV (EMPAT)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-HIKMAH MEDAN


TAHUN AJARAN 2021
Jiwa keagamaan Pada Remaja

1. Masa Pra-Remaja (usia 13-16 tahun)


Perkembangan jiwa agama pada masa ini bersifat berurutan mengikuti sikap
keberagamaan orang-orang yang ada disekitarnya. Secara singkat, perkembangan jiwa agama
anak-anak remaja di usia ini, yaitu: (1) ibadah mereka karena dipengaruhi oleh keluarga,
teman, lingkungan, dan peraturan sekolah. Belum muncul dari kesadaran mereka secara
mandiri. (2) kegiatan keagamaan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi emosional dan
pengaruh luar diri.

2. Masa Remaja Awal (usia 16-18 tahun)


Perkembangan jiwa agama pada usia ini adalah menerima ajaran dan perilaku agama
dengan dilandasi kepercayaan yang semakin mantap. Kemantapan jiwa agama pada diri
mereka disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
(1) Timbulnya kesadaran untuk melihat pada dirinya sendiri. Dengan semakin matangnya
organ fisik, psikis, dan pikiran maka remaja semakin banyak merenungkan dirinya sendiri,
baik kekurangan maupun kelebihannya, serta persiapan-persiapan masa depannya. Kesadaran
ini akan mengarahkan mereka untuk berpikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku
agamanya. (2) Timbulnya keinginan untuk tampil di depan umum (sosial) guna menunjukkan
eksistensi diri dan belajar mengambil peran-peran sosial. Termasuk dalam bidang
keagamaan, remaja di usia ini termotivasi untuk terlibat secara aktif, misalnya terlibat dalam
kegiatan remaja Masjid, mengajar di Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA) dan sebagainya.
Keterlibatan mereka dalam kegiatan keagamaan bukan sekedar mencari pahala atau menebus
dosa, namun lebih disebabkan karena keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengakuan
dari lingkungan sekitarnya, dimana pengakuan tersebut penting untuk membangun
kepercayaan diri dan kepuasan batin mereka. (3) Dengan semakin mantapnya jiwa
keagamaan di usia ini dan dibarengi dengan kedalaman ilmu agama, maka remaja akan
semakin berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah dan khurofat dalam beragama, seperti
datang ke dukun, belajar ilmu kebal, atau memakai jimat. Mereka akan cenderung pada
kegiatan keberagamaan yang bersifat formal. Namun sebaliknya pada remaja yang kurang
mendalam ilmu agamanya dan kurang matang jiwa keagamaannya, mereka akan cenderung
memilih hal-hal negative yang bertentangan dengan syari’at agama, misalnya dengan mendatangi
dukun, atau memakai jimat untuk kekebalan tubuh. Perilaku yang tidak rasional ini mereka
pilih sebagai salah satu upaya untuk mendapat pengakuan dari orang- orang disekitarnya agar
mereka dianggap hebat dan memiliki kelebihan.

3. Masa Remaja Akhir (usia 18-21 tahun)


Perkembangan jiwa agama pada usia ini ibarat grafik yang bukan semakin naik justru
semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja akhir
semakin menurun dipengaruhi oleh dorongan seksual yang kuat dari dalam diri mereka dan
belum ada kesempatan untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama
yang semakin kuat serta realitas kehidupan masyarakat sekitarnya yang sering bertentangan
dengan norma-norma agama. Kondisi tersebut menyebabkan jiwa agama yang sudah dipupuk
sejak kecil akan mengalami penurunan. Terkait dengan masalah ini, Dr. Al-Malighy dalam
salah satu laporan hasil penelitianya
menemukan keraguan remaja dalam beragama cenderung terjadi pada usia 17- 20 tahun.
Beberapa karakteristik perkembangan jiwa keagamaan remaja akhir;
1) Percaya terhadap kebenaran agama tetapi penuh keraguan dan kebimbangan
2) Keyakinan dalam beragama lebih dipengaruhi oleh faktor rasioanl daripada emosional
3) Pada masa ini mereka merasa mendapatkan kesempatan untuk mengkritik, menerima,
atau menolak ajaran agama yang sudah diterima sejak kecil.
Keraguan jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun.
Pada usia akhir remaja, seseorang cenderung semakin tidak percaya sama sekali (mengalami
peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya. Hal itu ditandai
dengan:
1) Mengingkari terhadap Tuhan dan ingin mencoba mencari kepercayaan lain, tetapi hati
kecilnya menolak dan masih percaya pada Tuhan yang sudah diyakini sebelumnya.
2) Jika pada usia sebelumnya, remaja tidak mendapatkan pondasi agama yang kuat maka
bisa mengarah pada perilaku atheis (menafikan Tuhan)

Pembinaan Agama Pada Remaja


Semua perubahan fisik yang begitu cepat pada masa remaja akan menimbulkan
kecemasan pada diri mereka, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi,
kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan keyakinan terhadap agama yang sudah dipupuk dari
kecil juga dimungkinkan akan mengalami perubahan, karena mereka kecewa terhadap diri
mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya yang sering melanggar norma-norma agama.
Kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang menguat dan kadang menjadi ragu dan
berkurang, hal ini bisa dilihat dalam aktivitas ibadah mereka yang terkadang sangat rajin dan
terkadang bermalas-malasan atau bahkan meninggalkan sama sekali. Perasaan mereka kepada
Tuhan sangat tergantung pada kondisi emosi mereka, terkadang
mereka merasa sangat butuh sekali kepada Tuhan terutama ketika berada dalam kondisi yang
mengkhawatirkan, misalnya ketika takut akan kegagalan atau takut akan akibat dari dosa-
dosa. Namun terkadang mereka merasa tidak membutuhkan Tuhan lagi, terutama ketika
sedang senang, bahagia, atau gembira.
Pemahaman terhadap dinamika psikologis remaja sangat diperlukan oleh para
orangtua dan guru terutama guru agama. Proses penanaman nilai-nilai agama tidak bisa
disamakan dengan masa sebelumnya, dimana ketika sebelum remaja mereka masih
cenderung imitave dan akan cenderung mematuhi segala himbauan yang berupa perintah
maupun larangan dengan tanpa melalui proses rasionalisasi.
Perkembangan intelektual remaja telah sampai pada kemampuan untuk memahami
hal-hal yang bersifat abstrak, yaitu pada usia 12 tahun dan mampu mengambil kesimpulan
yang abstrak dari realiats yang dia dengar atau dilihat. Maka pendidikan agama tidak akan
mereka terima begitu saja tanpa melalui proses pemikiran dan pemahaman. Segala bentuk
penjelasan yang pada usia anak-anak akan mereka terima begitu saja tanpa banyak bertanya,
akan berubah pada usia remaja. Dimana anak remaja akan selalu mempertanyakan segala hal
yang diajarkan, terutama jika dirasa tidak masuk akal. Mereka akan banyak mempertanyakan
segala sesuatu yang bertentangan dengan cara berpikir mereka. Oleh karena itu, orang tua dan
guru agama dituntut untuk mampu menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan ajaran
agama secara kongkrit dan tidak mendeskriminasikan remaja dengan doktrin-doktrin
keagamaan yang mematahkan rasa ingin tahu mereka. Misalnya dengan menggunakan
dogma- dogma pahala dan dosa, atau dengan dogma surge dan neraka untuk menutup rasa
penasaran mereka. Segala pemahaman terhadap agama hendaknya bisa dijelaskan secara jelas
dengan tidak menutup proses dialogis dengan mereka.
Proses pencarian kebenaran yang dibangun oleh remaja adalah sebuah proses panjang yang akan
selalu mereka lewati untuk membentuk konsep yang benar tentang Tuhan dengan segala sifat-Nya.
Pencarian kebenaran tersebut dibarengi dengan proses pencarian jati diri remaja. Jika orangtua dan guru
agama mampu mengarahkan proses tersebut, maka kemungkinan akan kesalahan terhadap pendefinisian
Tuhan akan bisa diminimalisir atau bahkan akan terbangun konsep keyakinan yang kokoh dalam diri
remaja. Kekhawatiran akan penistaan terhadap Tuhan akan bisa diantisipasi jika orang-orang yang ada
disekitar mereka mampu memberikan ruang untuk berdialog secara rasional dan empiris serta berusaha
untuk memberikan teladan yang baik bagi mereka.

Anda mungkin juga menyukai