0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
25 tayangan4 halaman
1. Perkembangan jiwa keagamaan remaja berubah seiring dengan bertambahnya usia, dari dipengaruhi lingkungan menjadi lebih mandiri, dan pada akhirnya mengalami keraguan akibat dorongan biologis dan rasionalisasi ajaran agama.
2. Pembinaan agama pada remaja perlu memahami dinamika psikologis mereka dan menjelaskan ajaran secara rasional tanpa menutup dialog.
3. Proses pencarian
1. Perkembangan jiwa keagamaan remaja berubah seiring dengan bertambahnya usia, dari dipengaruhi lingkungan menjadi lebih mandiri, dan pada akhirnya mengalami keraguan akibat dorongan biologis dan rasionalisasi ajaran agama.
2. Pembinaan agama pada remaja perlu memahami dinamika psikologis mereka dan menjelaskan ajaran secara rasional tanpa menutup dialog.
3. Proses pencarian
1. Perkembangan jiwa keagamaan remaja berubah seiring dengan bertambahnya usia, dari dipengaruhi lingkungan menjadi lebih mandiri, dan pada akhirnya mengalami keraguan akibat dorongan biologis dan rasionalisasi ajaran agama.
2. Pembinaan agama pada remaja perlu memahami dinamika psikologis mereka dan menjelaskan ajaran secara rasional tanpa menutup dialog.
3. Proses pencarian
Perkembangan jiwa agama pada masa ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang-orang yang ada disekitarnya. Secara singkat, perkembangan jiwa agama anak-anak remaja di usia ini, yaitu: (1) ibadah mereka karena dipengaruhi oleh keluarga, teman, lingkungan, dan peraturan sekolah. Belum muncul dari kesadaran mereka secara mandiri. (2) kegiatan keagamaan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi emosional dan pengaruh luar diri.
2. Masa Remaja Awal (usia 16-18 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada usia ini adalah menerima ajaran dan perilaku agama dengan dilandasi kepercayaan yang semakin mantap. Kemantapan jiwa agama pada diri mereka disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) Timbulnya kesadaran untuk melihat pada dirinya sendiri. Dengan semakin matangnya organ fisik, psikis, dan pikiran maka remaja semakin banyak merenungkan dirinya sendiri, baik kekurangan maupun kelebihannya, serta persiapan-persiapan masa depannya. Kesadaran ini akan mengarahkan mereka untuk berpikir secara mendalam tentang ajaran dan perilaku agamanya. (2) Timbulnya keinginan untuk tampil di depan umum (sosial) guna menunjukkan eksistensi diri dan belajar mengambil peran-peran sosial. Termasuk dalam bidang keagamaan, remaja di usia ini termotivasi untuk terlibat secara aktif, misalnya terlibat dalam kegiatan remaja Masjid, mengajar di Taman Pendidikan Al-qur’an (TPA) dan sebagainya. Keterlibatan mereka dalam kegiatan keagamaan bukan sekedar mencari pahala atau menebus dosa, namun lebih disebabkan karena keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya, dimana pengakuan tersebut penting untuk membangun kepercayaan diri dan kepuasan batin mereka. (3) Dengan semakin mantapnya jiwa keagamaan di usia ini dan dibarengi dengan kedalaman ilmu agama, maka remaja akan semakin berusaha meninggalkan segala bentuk bid’ah dan khurofat dalam beragama, seperti datang ke dukun, belajar ilmu kebal, atau memakai jimat. Mereka akan cenderung pada kegiatan keberagamaan yang bersifat formal. Namun sebaliknya pada remaja yang kurang mendalam ilmu agamanya dan kurang matang jiwa keagamaannya, mereka akan cenderung memilih hal-hal negative yang bertentangan dengan syari’at agama, misalnya dengan mendatangi dukun, atau memakai jimat untuk kekebalan tubuh. Perilaku yang tidak rasional ini mereka pilih sebagai salah satu upaya untuk mendapat pengakuan dari orang- orang disekitarnya agar mereka dianggap hebat dan memiliki kelebihan.
3. Masa Remaja Akhir (usia 18-21 tahun)
Perkembangan jiwa agama pada usia ini ibarat grafik yang bukan semakin naik justru semakin menurun apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Jiwa agama remaja akhir semakin menurun dipengaruhi oleh dorongan seksual yang kuat dari dalam diri mereka dan belum ada kesempatan untuk menyalurkannya ditambah dengan rasionalisasi ajaran agama yang semakin kuat serta realitas kehidupan masyarakat sekitarnya yang sering bertentangan dengan norma-norma agama. Kondisi tersebut menyebabkan jiwa agama yang sudah dipupuk sejak kecil akan mengalami penurunan. Terkait dengan masalah ini, Dr. Al-Malighy dalam salah satu laporan hasil penelitianya menemukan keraguan remaja dalam beragama cenderung terjadi pada usia 17- 20 tahun. Beberapa karakteristik perkembangan jiwa keagamaan remaja akhir; 1) Percaya terhadap kebenaran agama tetapi penuh keraguan dan kebimbangan 2) Keyakinan dalam beragama lebih dipengaruhi oleh faktor rasioanl daripada emosional 3) Pada masa ini mereka merasa mendapatkan kesempatan untuk mengkritik, menerima, atau menolak ajaran agama yang sudah diterima sejak kecil. Keraguan jiwa agama remaja semakin memuncak ketika memasuki usia 21 tahun. Pada usia akhir remaja, seseorang cenderung semakin tidak percaya sama sekali (mengalami peralihan) terhadap Tuhan maupun ajaran agama yang diyakini sebelumnya. Hal itu ditandai dengan: 1) Mengingkari terhadap Tuhan dan ingin mencoba mencari kepercayaan lain, tetapi hati kecilnya menolak dan masih percaya pada Tuhan yang sudah diyakini sebelumnya. 2) Jika pada usia sebelumnya, remaja tidak mendapatkan pondasi agama yang kuat maka bisa mengarah pada perilaku atheis (menafikan Tuhan)
Pembinaan Agama Pada Remaja
Semua perubahan fisik yang begitu cepat pada masa remaja akan menimbulkan kecemasan pada diri mereka, sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan keyakinan terhadap agama yang sudah dipupuk dari kecil juga dimungkinkan akan mengalami perubahan, karena mereka kecewa terhadap diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya yang sering melanggar norma-norma agama. Kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang menguat dan kadang menjadi ragu dan berkurang, hal ini bisa dilihat dalam aktivitas ibadah mereka yang terkadang sangat rajin dan terkadang bermalas-malasan atau bahkan meninggalkan sama sekali. Perasaan mereka kepada Tuhan sangat tergantung pada kondisi emosi mereka, terkadang mereka merasa sangat butuh sekali kepada Tuhan terutama ketika berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, misalnya ketika takut akan kegagalan atau takut akan akibat dari dosa- dosa. Namun terkadang mereka merasa tidak membutuhkan Tuhan lagi, terutama ketika sedang senang, bahagia, atau gembira. Pemahaman terhadap dinamika psikologis remaja sangat diperlukan oleh para orangtua dan guru terutama guru agama. Proses penanaman nilai-nilai agama tidak bisa disamakan dengan masa sebelumnya, dimana ketika sebelum remaja mereka masih cenderung imitave dan akan cenderung mematuhi segala himbauan yang berupa perintah maupun larangan dengan tanpa melalui proses rasionalisasi. Perkembangan intelektual remaja telah sampai pada kemampuan untuk memahami hal-hal yang bersifat abstrak, yaitu pada usia 12 tahun dan mampu mengambil kesimpulan yang abstrak dari realiats yang dia dengar atau dilihat. Maka pendidikan agama tidak akan mereka terima begitu saja tanpa melalui proses pemikiran dan pemahaman. Segala bentuk penjelasan yang pada usia anak-anak akan mereka terima begitu saja tanpa banyak bertanya, akan berubah pada usia remaja. Dimana anak remaja akan selalu mempertanyakan segala hal yang diajarkan, terutama jika dirasa tidak masuk akal. Mereka akan banyak mempertanyakan segala sesuatu yang bertentangan dengan cara berpikir mereka. Oleh karena itu, orang tua dan guru agama dituntut untuk mampu menjelaskan segala sesuatu yang terkait dengan ajaran agama secara kongkrit dan tidak mendeskriminasikan remaja dengan doktrin-doktrin keagamaan yang mematahkan rasa ingin tahu mereka. Misalnya dengan menggunakan dogma- dogma pahala dan dosa, atau dengan dogma surge dan neraka untuk menutup rasa penasaran mereka. Segala pemahaman terhadap agama hendaknya bisa dijelaskan secara jelas dengan tidak menutup proses dialogis dengan mereka. Proses pencarian kebenaran yang dibangun oleh remaja adalah sebuah proses panjang yang akan selalu mereka lewati untuk membentuk konsep yang benar tentang Tuhan dengan segala sifat-Nya. Pencarian kebenaran tersebut dibarengi dengan proses pencarian jati diri remaja. Jika orangtua dan guru agama mampu mengarahkan proses tersebut, maka kemungkinan akan kesalahan terhadap pendefinisian Tuhan akan bisa diminimalisir atau bahkan akan terbangun konsep keyakinan yang kokoh dalam diri remaja. Kekhawatiran akan penistaan terhadap Tuhan akan bisa diantisipasi jika orang-orang yang ada disekitar mereka mampu memberikan ruang untuk berdialog secara rasional dan empiris serta berusaha untuk memberikan teladan yang baik bagi mereka.