Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Perkembangan Keberagaman Individu Pada Usia 5-12 Tahun

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

Disusun oleh:
NIFDELMITA
NIM.

Dosen Mata Kuliah :


RENA MUSLINA, M.Pd

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM
(STIT-YPI) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A.   PENGANTAR
Usia anak-anak adalah masa dimana segala sesuatu dengan mudah dibentuk dan
akan sangat menentukan bagaimana selanjutnya dimasa yang akan datang. Hal itulah
yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian dilakukan sehingga kita
tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam membentuk karakter anak yang
tentunya akan menjadi penerus kita menjadi khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi
khalifah atau pemimpin itu adalah sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai
pertanggungjawabanya kelak, sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan
sedini mungkin terhadap anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Dapat dikatakan bahwa sikap atau kepribadian seseorang ditentukan oleh
pendidikan, pengalaman, dan latihan-latihan yang dilalui pada masa kanak-kanak.
Seseorang yang pada masa kecilnya mendapatkan pendidikan, pengalaman dan latihan-
latihan terhadap hal-hal yang religius, santun dan ringan tangan (suka membantu)
terhadap sesama, empatik terhadap kesusahan dan segala masalah persoalan sosial di
lingkungan sekitarnya, maka setelah dewasa nanti akan merasakan pentingnya nilai-
nilai agama didalam hidupnya (religius) dan kepribadian (private). Metode pendidikan
pada usia ini ditekankan pada permainan yang dapat merangsang kecerdasan anak dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. Pada masa kanak-kanak, orang yang
paling berperan pada pendidikan adalah orang tua terutama seorang ibu, sehingga harus
mempersiapkan metode yang tepat dalam mendidik amalnya sesuai dengan
perkembangan psikisnya dan perkembangan keberagamaan pada usia anak tersebut.
Pendidikan agama haruslah ditanam sejak dini. Karena pendidikan agama sangat
penting untuk tumbuh kembang jiwa anak maupun remaja. Dengan agama yang
berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak maupun remaja ke
perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya diharapkan adanya implikasi
dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.

B.   RUMUSAN MASALAH


1.      Apa pengertian dari anak-anak?
2.      Bagaimana perkembangan keberagamaan pada usia anak?
3.      Bagaimana sifat-sifat agama pada anak?

C.   TUJUAN PENULISAN


1.      Mengetahui penfertian atau definisi usia anak
2.      Mengetahui perkembangan keberagamaan pada usia anak
3.      Mengetahui sifat-sifat agama pada anak
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN ANAK-ANAK


Dalam rentang kehidupan terdapat beberapa tahap perkembangan. Menurut
Elizabeth B. Hurlock tahap perkembangan manusia dibagi menjadi beberapa
periode, yaitu:
1.      Masa prenatal, saat terjadinya konsepsi sampai lahir.
2.      Masa neonates, saat kelahiran sampai akhir minggu kedua.
3.      Masa bayi, akhir minggu kedua sampai akhir tahun kedua.
4.      Masa kanak-kanak awal, umur 2-6 tahun.
5.      Masa kanak-kanak akhir, umur 6-10 atau 11 tahun.
6.      Masa pubertas (pra adolescence), umur 11-13 tahun.
7.      Masa remaja awal, umur 13-17 tahun.
8.      Masa remaja akhir, umur 17-21 tahun.
9.      Masa dewasa awal, umur 21-40 tahun.
10.  Masa setengah baya, umur 40-60 tahun.
11.  Masa tua, umur 60 tahun keatas.
Dalam makalah ini hanya akan membahas masa anak-anak. Anak adalah
makhluk sosial seperti juga orang dewasa. Anak membutuhkan orang lain untuk dapat
membantu mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala
kelemahan segingga tanpa orang lain anak tidak mungkin dapat mencapai taraf
kemanusiaan yang normal. Menurut John Locke (dalam Gunarsa, 1986) anak adalah
pribadi yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan-rangsangan yang berasal dari
lingkungan. Sobur (1988), mengartikan anak sebagai orang yang mempunyai pikiran,
perasaan, sikap dan minat berbeda dengan orang dewasa dengan segala keterbatasan.
Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan makhluk yang
memerlukan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya.
Semua uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa anak-anak adalah masa
perkembangan manusia sebelum berumur 12 tahun. Anak merupakan makhluk social
yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya,
Anak juga memiliki perasaan, pikiran, kehendak tersendiri yang kesemuanya itu
merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur yang berlainan pada tiap-tiap fase
perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).

B.     PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN PADA USIA ANAK


Menurut penelitian Ernest Harms perkembangan agama anak-anak itu
melalui beberapa fase (tingkatan). Dalam bukunya The Development of Religious on
Children, ia mengatakan bahwa perkembangan agama pada anak-anak itu melalui
tiga tingkatan, yaitu:
1.      The Fairy Tale Stage (Tingkat Dongeng)
Konsep mengenai tuhan pada tingkat ini lebih banyak dipengaruhi oleh emosi
dan fantasi. Seorang anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat
perkembangan intelektualnya. Pada fase ini, seorang anak banyak dipengaruhi oleh
konsep fantasi yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Fase
ini biasanya ketika seorang anak baru berumur 3-6 tahun.
2.      The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga sampai ke usia
(masa usia) adolesense. Pada masa ini die ke Tuhanan anak sudah mencerminkan
konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul 
melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa
lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak di dasarkan  atas dorongan
emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
Berdarkan hak itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga
keagamaan  yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan
mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya
dengan penuh minat.
3.      The Individual Stage (Tingkat Individu)
Pada tingkat ini akan telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan
dengan perkembangan usia mereka. Konsep keagamaan yang individualistis ini
terbagi atas tiga golongan: Pertama konsep ke Tuhanan yang konvensional dan
konservatif dengan dipengaruhi sebagian kecil fantasi. Hal tersebut disebabkan oleh
pengaruh luas. Kedua, Konsep ke Tuhanan yang lebih murni yang dinyatakan dalam
pandangan yang bersifat personal (perorangan). Ketiga, Konsep Ke Tuhanan yang
bersifat humanistic. Agama telah menjadi etos humanis pada diri mereka dalam
menghayati ajaran agama. Perubahan ini setiap tingkatan dipengaruhi oleh factor
intern yaitu perkembangan usia dan factor ekstern berupa pengaruh luar yang
dialaminya.
Nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelun bersekolah,
akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak, pada masa kecil hingga ia
menjadi dewasa. Mengapa banyak terjadi gejala negative misalnya, dalam kehidupan
anak dan orang muda tidak berdisiplin, sikap menentang orang tua menimbulkan
berbagai kesulitan disekolah dan sebagainya. Para ahli berpendapat bahwa yang
menjadi sumber utama ialah karena orang tua telah melalaikan pendidikan rohani bagi
kehidupan anak itu. Pada masa kecil mereka tidak diberi pendidikan supaya mengenal
Tuhan.
 Pengalaman anak tentang Tuhan, pertama kali melalui orangtua dan lingkungan
keluarganya. Kata-kata, sikap dan tindakan orangtua, sangat mempengaruhi
perkembangan pada anak. Uswatun Hasanah yang ditampilkan orangtua berpengaruh
signifikan pada kesadaran perkembangan anak, yang selanjutnya berimplikasi pada
sikapnya dalam beragama. Dalam fase ini si anak hanya menstransfer dalam dirinya,
apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Proses pemasukan data pengalaman ini,
meraka lakukan secara alami, tanpa ada reserve sama sekali si anak tidak memiliki
kemampuan untuk memikirkannya.
Pengalamana empiris tersebut selanjutnya akan berpengaruh pada sikap
keagamannya, apakah anak akan menjadi penganut agama yang taat atau tidak. Asumsi
ini diperkuat oleh James, bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara tingkah laku
keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya.
Berdasarkan gambaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perkembangan
keberagaman anak adalah bagian dari proses perkembangan anak untuk bertuhan.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan, pendidikan, pengalaman-
pengalaman yang dilalui terutama pada terutama pada masa-masa pertumbuhan.
Pengalaman yang telah mengendap dalam bawah sadar tersebut, membentuk pola pikir
yang selanjutnya teraktualisasikan dalam tindakan keberagamannya.
Perkembangan agama kepada anak yang paling dominan sejatinya karena
pengaruh lingkungan. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang mempengaruhi
perkembangan agama kepada anak. Prof. Dr. Zakiah Darajat dalam buku Ilmu Jiwa
Agama menjelaskan, guru agama di sekolah dasar menghadapi tugas yang tidak ringan
dalam pengembangan agama pada anak. Sebab, seorang anak dalam satu kelas
membawa sikap sendiri-sendiri dalama agamanya, sesuai dengan pengalaman agama
yang diajarkan di rumah.
Selanjutnya guru disekolah memiliki tugas untuk mengembangkan jiwa
keagamaan kepada anak secara sehat. Dia dapat memupuk anak yang pertumbuhan
agamanya baik menjadi lebih baik dan yang kurang baik menjadi lebih baik sesuai
dengan yang diharapkan.
Sedangkan menurut Imam Bawani, perkembangan keagamaan pada anak-anak
beliau membagi menjadi empat bagian (fase), yaitu:
1.      Fase dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi
yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa
perkembangan agama bermula sejak Alloh meniupkan ruh pada bayi, tepatnya
ketika terjadinya perjanjian manusia atas Tuhannya, sebagaimana firman Alloh:
‫وا‬AA‫هدنا ان تقول‬AA‫وا بلى ش‬AA‫واد اخد ربك من بنى ادم من ظهور هم ذريتهم واشهد هم على انفسهم الست بربكم قا ل‬
‫ يوم القيامة انا كنا عن هذا غا فلين‬             
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam
dari Sulbi mereka, dan Alloh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya)
berfirman: ”Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka menjawab: “Betul” (Engkau
Tuhan Kami), “kami menjadi saksi (kami melakukan demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan.          QS.Al-A’raf: 172.
2.      Fase Bayi
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama
seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam
hadist, seperti memperdengarkan adzan dan iqomah saat kelahiran anak.
3.      Fase Kanak-Kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai
keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal
yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang disekelilingnya. Ia melihat
perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia
kanak-kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam,
akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak
dalam melakukan tindakan-tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
Tindakan demikian sangat penting guna perkembangan agama pada masa
selanjutnya.
4.      Masa Anak Sekolah
Seiring dengan perkembangan aspek-aspek jiwa lainnnya perkembangan
agama juga menunjukan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan
dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
Masa sekolah yaitu dimana anak sudah mulai dianggap matang untuk
mengikuti pelajaran di sekolah dasar, kalau anak tersebut perkembangannya normal.
Adapun tanda-tanda kematangan itu antara lain:
a.       Ada kesadaran terhadap kewajiban dan pekerjaan dan berkesanggupan untuk
menjalankan tugas-tugas yang diberikan oleh orang lain kepadanya walaupun
sebenarnya dia tidak menyukainya.
b.      Perasaan social kemasyarakatan sudah mulai tumbuh dan berkembang, dimana hal
ini dapat dilihat dalam pergaulan anak dengan teman-temannya dan saling bekerja
sama.
c.       Telah memiliki perkembangan jasmani yang cukup kuat didalam rangka
melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.
d.      Telah memiliki perkembangan intelek yang cukup besar, hingga memiliki minat,
kecekatan serta pengetahuan.

C.    SIFAT-SIFAT AGAMA PADA ANAK


Agama masa kanak-kanak membawa cirri masa kanak-kanak dan menampakan
pasang surut kognitif, afektif, dan volisional, khas pada pergulatan awal yang tercakup
dalam proses pemisahan dari rahim ibu dan pembebasan menjadi pribadi mandiri.
Dengan kelahiran, bayi direnggut dari keberadaan yang aman dan memulai perjalanan
hidup yang panjang dan tidak selalu aman. Perkembangan religious dalam diri anak
merupakan bagian dari paket perjuangan untuk memperkembangkan pribadi nyata
dengan namanya dan wataknya sendiri di tengah-tengah lingkungan yang kerap
mengancam untuk menelan dan menghancurkan identitas personal.[9]
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama
pada anak-anak. Sifat agama anak mengikuti pola ideas concept on authority, artinya
konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh factor luar diri mereka. Orang tua
mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsip eksplorasi yang mereka
miliki. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun
belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut.
Berdasarkan hal itu maka bentuk dan sifat agama pada diri anak sebagaimana
ditulis oleh Jalaluddin dalam buku Psikologi Agama dapat dibagi sebagai berikut:
1.      Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak
73 % mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah
bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Santa Klaus memotong jenggotnya untuk
membuat bantal. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja
mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu
mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan
keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa
orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran  untuk menimbang
pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan contoh tentang hal itu :
“Seorang anak perempuan diberitahukan tentang doa yang dapat menggerakan
sebuah gunung. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka pada suatu kesempatan anak
itu berdoa selama beberapa jam agar Tuhan memindahkan gunung-gunung yang ada di
daerah Washington ke laut. Karena keinginannya itu tidak terwujud maka semenjak itu
ia tak mau berdoa lagi.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia
perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya.
Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka tumbuh keraguan pada
rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoisnya. Sehubungan
dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan
dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan
pribadinya. Seorang anak yang kurang mendapat kasih sayang dan selalu mengalami
tekanan akan bersifat kekanak-kanakan (childish) dan memiliki sifat ego yang rendah.
Hal yang demikian menganggu pertumbuhan keagamaannya.
3.      Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai ke Tuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa
konsep ke Tuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan.
Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa
perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan
menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap.
Surge terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa
Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai
layaknya orang mengintai. Pada anak yang berusia 6 tahun menurut penelitian Praff,
pandangan anak tentang Tuhan adalah bahwa Tuhan  mempunyai wajah seperti
manusia, telinganya lebar dan besar. Tuhan tidak makan tetapi hanya minum embun.
Konsep ke Tuhanan yang demikian itu mereka bentuk sendiri berdasarkan
fantasi masing-masing.
4.      Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak
sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara
verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka
laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka.
Sepintas lalu hal tersebut kurang ada hubungannya dengan perkembangan agama pada
anak di masa selanjutnya tetapi menurut penyelidikan hal itu sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan agama anak itu di usia dewasanya. Bukti menunjukkan bahwa
banyak orang dewasa yang taat karena pengaruh ajaran dan praktek keagamaan yang
dilaksanakan pada masa anak-anak mereka. Sebaliknya belajar agama di usia dewasa
banyak mengalami kesuburan.
5.      Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan
yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat
misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa
pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa
dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal
yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
Menurut penelitian Gillesphy dan Young terhadap sejumlah mahasiswa di
salah satu perguruan tinggi menunjukkan, bahwa anak yang tidak mendapat pendidikan
agama dalam keluarga tidak akan dapat diharapkan menjadi pemilik kematangan agama
yang kekal.
6.      Rasa heran
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan  yang terakhir
pada anak. Berbeda dengan rasa heran pada orang dewasa, rasa heran pada anak belum
kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum pada keindahan lahiriah saja. Untuk itu perlu
diberi pengertian dan penjelasan pada mereka sesuai dengan tingkat perkembangan
pemikirannya. Dalam hal ini orang tua dan guru agama mempunyai peranan yang
sangat penting.
Ringkasnya penjelasan diatas, masa kanak-kanak merupakan periode yang
dinamis secara psikologis bagi perkembangan religius.  Anak-anak mempunyai
kemampuan yang luar biasa untuk meniru perilaku orang dewasa, dan agama beserta
lembaga-lembaganya seyogyanya menyediakan model-model cara hidup dan perilaku
yang anak-anak dapat menirunya. Peniruan anak atas gagasan dan perbuatan orang
dewasa berharha. Tetapi pengalaman religious anak yang lebih penting dan bertahan
lama terjadi pada tingkat yang lebih mendalam dan personal, dan mempunyai cirri masa
kanak-kanak sendiri yaitu egosentrisitas, antropomorfisme konkret, dan eksperimentasi
atau percobaan yang dapat aneh.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Anak-anak adalah masa perkembangan manusia sebelum berumur 12 tahun.
Anak merupakan makhluk social yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan
tempat bagi perkembangannya, Anak juga memiliki perasaan, pikiran, kehendak
tersendiri yang kesemuanya itu merupakan totalitas psikis dan sifat-sifat serta struktur
yang berlainan pada tiap-tiap fase perkembangan pada masa kanak-kanak (anak).
Perkembangan keberagamaan anak melalui beberapa fase (tingkatan), menurut
Ernest Harms: the fairy tale stage (tingkat dongeng), the realistic stage (tingkat
kenyataan), dan the individual stage (tingkat individu). Sedangkan menurut Imam
Bawami adalah: fase dalam kandungan, fase bayi, fase kanak-kanak, dan fase masa
anak sekolah.
Sifat-sifat keagamaan pada anak yaitu: unreflective (tidak mendalam),
egosentris, antromorphis, verbalis dan ritualis, serta imitative.
DAFTAR PUSTAKA

Sururin, 2004. Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Jalaluddin, 2012. Psikologi Agama, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Robbert W. Crapps, 1994. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Kanisius.

Hafi Anshari, 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya: Usaha Nasional.

Anda mungkin juga menyukai