Anda di halaman 1dari 29

ETIKA DAN METODE BELAJAR

(Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi mata kuliah Hadits Tarbawi)

Dosen Pengampu : Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 10

Hafifuddin Herdiansyah NIM : 11190110000112

Salsabila Salwah Syahrastani S. NIM : 11190110000118

Alwi Maulana Rachman NIM : 11190110000128

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2020 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Segala puji hanyalah milik Allah SWT, Tuhan semesta alam Yang
Maha Luas Ilmu-Nya, karena dengan Rahmat-Nya penulisan makalah yang
berjudul “Etika dan Metode Belajar” ini dapat berjalan lancar.
Makalah ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk
melaksanakan tugas Hadits Tarbawi. Banyak pihak yang telah memberi
bantuan, dorongan dan motivasi selama proses penyusunan makalah ini
berlangsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini pemakalah mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu sehingga
makalah ini bisa selesai dengan baik.
Pemakalah menyadari sepenuhnya akan segala keterbatasan
pengetahuan dan kemampuan yang pemakalah miliki, sehingga dalam
penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan hasilnya masih jauh dari
kesempurnaan, namun demikian pemakalah telah berusaha maksimal agar
mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kemampuan yang penulis
miliki.
Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan, diganti dengan
kebaikan yang jauh lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata, semoga
penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan
bagi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 12 November 2020

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................2

C. Tujuan Penulisan Makalah.........................................................................3

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................4

A. Taat Kepada Allah dan Rasul.....................................................................4

B. Bertanya dan Menghargai Perbedaan.......................................................10

C. Belajar Bersama.......................................................................................15

D. Tekun Belajar...........................................................................................20

BAB III KESIMPULAN............................................................................24

A. Simpulan..................................................................................................24

B. Saran……………………………........………………………………….25

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerjaan mencari ilmu adalah pekerjaan mulia. Karena kemuliaannya
orang yang menuntut ilmu diangkat derajatnya oleh Allah SWI sebagaimana
firman-Nya dalam QS. al-Mujaadilah (58): 11, Allah menjanjikan beberapa
derajat yang tinggi bagi mereka yang berilmu dan beriman baik di dunia
maupun di akhirat. Ayat di atas menjelaskan bahwa ilmu yang terangkat
derajatnya adalah ilmu yang disertai iman atau iman yang disertai ilmu, IImu
yang dapat memperkuat keimanan atau iman yang diperkuat dengan keilmuan.
Untuk memperoleh ilmu yang disertai iman yang tinggi itu perlu diusahakan
sejak dini dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SW'T baik melalui
etika yang baik, maupun melalui moral, perilaku, perbuatan, dan ucapan yang
baik pula. Etika itu baik berhubungan dengan Allah maupun 1 berhubungan
dengan yang terkait dengan ilmu seperti guru, buku, dan ilmu itu sendiri.

Dalam salah satu Hadis Rasulullah SAW bersabda:

‫أ ًّدبي َربِّي فأحْ َس َن َتأديي )أخر جه العسكري عن عل(ي‬

“Tuhanku mengajarkan adab kepadaku maka Dialah yang memperindah


adabku."(HR, al- Askariy dari Ali)

A-Zarkasiy dalam Faydh al- Qadir Syarah al-Jami' al-Shaghir


menyebutkan bahwa Hadis ini sekalipun dha' if tetapi maknanya shahih. Kata
ta'dib pada umumnya lebih banyak digunakan pada Pendidikan yang bersifat
keterampilan lahir yakni latihan dan keterampilan. la berasal dari kata adab,
yang berarti etika, sopan santun dan budi pekerti lebih tepat diartikan
mengajarkan adab atau diartikan memberi pelajaran atau hukuman. Bertolak
dari itu, etika belajar penting dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah
agar memperoleh ilmu yang bermanfaat. Bahkan ada sebuah buku yang
membimbing pelajar dalam beretika seperti kitab Ta'lim al-Muta’allim Thariq

1
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi Hadis-hadis Pendidikan, (Jakarta: Penada Media Group,
2012), h. 296.
al- Tha’alum karya al-Zarnujiy, kitab Ihya Ulum al-Din karya al- Ghazaliy
dan lain-lain.

Metode pembelajaran yang ditawarkan Ta'lim ada dua, yaitu metode


rasional atau fisik dan metode irasional atau nonfsik. Metode rasional atau
fisik pada umumnya di kalangan santri disebut usaha lahir. Adapun metode
irasional atau nonfsik disebut usaha batin. Metode fisik sebagaimana yang
diajarkan dalam pendidikan modern, seperti metode drill, trail and error, dan
lain-lain. Metode irasional adalah metode etika yang berbentuk akhlak dalam
budi pekerti seperti yang sekaligus merupakan tujuan pendidikan. Metode
berganda inilah diantara keistimewaan metode kitab Ta’lim yang dipraktikkan
oleh mayoritas santri di berbagai pesantren di Indonesia yang juga merupakan
kepribadian santri, seperti tawadu', hormat kepada guru, dan lain-lain.

Dalam kehidupan santri sehari-hari tidak lepas dari double method


dalam meraih suatu ilmu yakni metode lahir dan batin. Metode lahir ntuk
menempuh ilmu kasbiy sedang metode etika dan akhlak untuk mencapai ilmu
wahbiy atau laduniy. Keseimbangan antara dua metode tersebut dijadikan
suatu metode untuk mencapai ilmu baik kasbiy dan laduniy. Karena pada
dasarnya manusia tidak bisa membedakan anta dua ilmu tersebut setelah
dimilikinya, keduanya secara substansial datangnya dari Allah. Dengan buku-
buku itu diharapkan dapat mendidik seseorang menjadi manusia yang beretika
dan berakhlak yang baik dalam belajar sehingga memperoleh ilmu yang
bermanfaat. Pada bab ini akan memaparkan beberapa Hadis yang menjelaskan
perlunya etika dan metode belajar bagi seorang pelajar yang ingin
mendapatkan ilmu yang bermanfaat yaitu antara lain taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, banyak bertanya dan menghargai perbedaan, belajar bersama dan
ketekunan dalam belajar.2

B. Rumusan Masalah
Didalam pembuatan makalah ini ada permasalah yang akan ditinjau
dan dijadikan bahan penerangan dalam makalah ini, yaitu:

1. Bagaimana penjelasan hadits tentang taat kepada Allah dan Rasul?


2
Ibid., h. 298- 299.
2. Bagaimana penjelasan hadits tentang bertanya dan menghargai perbedaan?
3. Bagaimana penjelasan hadits tentang belajar bersama?
4. Bagaimana penjelasan hadits tentang tekun belajar?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui penjelasan hadits tentang taat kepada Allah dan Rasul.
2. Untuk mengetahui penjelasan hadits tentang bertanya dan menghargai
perbedaan.
3. Untuk mengetahui penjelasan hadits tentang belajar bersama.
4. Untuk mengetahui penjelasan hadits tentang tekun belajar.
1.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Taat Kepada Allah dan Rasul

1. Kosakata

2. Terjemahan

Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Ketika turun kepada Rasulullah SAW ayat Al-
Qur’an (al Baqarah (2): 284). Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di
langit dan apa yang ada di Bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di
dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya,niscaya Allah akan membuat
perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Para sahabat merasa
sangat cemas karenanya. Maka mereka pergi menghadap kepada Rasulullah
SAW kemudian berlutut dihadapan beliau seraya berkata: “Iya Rasulullah,
kami telah dibebani tugas tugas yang kami mampu melaksanakannya, yaitu
shalat, puasa, jihad, dan sedekah(zakat).” Lalu ayat ini diturunkan kepada
engkau, sedangkan kami tidak mampu melaksanakannya”. RasulullahSAW
bersabda :”Apakah kamu ingin berkata seperti yang dikatakan dua ahli kitab
sebelum kamu (Yahudi dan Nasrani) yaitu perkataan : Kami mendengar dan
kami durhaka (tidak taat)? Akan tetapi katakanlah: Kami mendengar dan kami
taat, ampunilah dosa kami wahai Tuhan kami dan kepada engkaulah tempat
kembali kami”. Setelah mereka membacanya, mulut mereka tidak berbicara
apa apa lagi. Lalu Allah menurunkan ayat berikutnya al Baqarah(2): 285:
Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari
tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.., “Ampunilah kami ya
Tuhan kami dan kepada engkaulah tempat kembali”.
Setelah mereka melakukannya, Allah menasakh (menghapus hukum) ayat
tersebut dengan menurunkan ayat (al Baqarah (2): 286): “Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat
pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa ): “Ya Tuhan kami, janganlah
engkau hokum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Allah menjawab:
”Ya”. Ya Tuhan kami, janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang
berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum
kami”. Allah menjawab : “Ya”:”Ya Tuhan kami janganlah engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami,
ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. Allah menjawab: “Ya”. (HR.
Muslim).

3. Penjelasan (Syarah Hadits)

Hadis di atas menggambarkan bagaimana kepatuhan para sahabat kepada


Allah dan Rasul-Nya ketika mendengar ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan
kepada mereka atau ketika mendengar petunjuk- petunjuk dari Rasul, Tetapi
ketika turun ayat Al-Qur'an surat Al- Bagarah (2): 284 yang menjelaskan
babwa Allah akan memperhitungkan (hisab amal) segala ucapan manusia
termasuk yang masin tersembunyi dalam hati mereka keberatan dan terus
terang menghadap kepada Nabi bahwa mereka tidak mampu mengamalkan
ayat tersebut. Hadis di atas menjelaskan ketaatan para sahabat ketika turun
wahyu dari Allah SWT dan sekaligus menjadi Asbabun Nuzul (sebab-sebab
turunnya ayat) QS. Al-Baqarah (2):284-286.

Untuk lebih mudah memahami Hadis yang panjang di atas berikut ini
dipaparkan secara kronologis yang merupakan tahapan kepatuhan para sa
habat dalam mengamalkan wahyu ter utama ayat tersebut:

a. Kepatuhan Para Sahabat

Para sahabat adalah generasi yang paling patuh kepada Rasu diantara
sekian banyak generasi yang ada. Apa pun perintah dan larangan yang datang
dari Allah dan Rasul-Nya mereka siap melaksanakan. Suatu contoh ketika
datang ayat Al- Qur 'an al-Maaidah (5) : 90 tentang keharaman minuman keras
(al-Khamr) dalam banyak riwayat Imam Ahmad yang disebutkan dalam tafsir
Ibn Katsir. Di antara sahabat ada yang sedang berjualan minuman keras begitu
sampai informasi tentang keharaman khamr, langsung khamr dituang dan
dibuang. Di antara mereka ada yang sedang minum khamr begitu sampai
informasi tentang keharamannya lansung dimuntahkan dari mulutnya dan
seterusnya. Begitu kepatuhan para saha bat terhadap segala wahyu yang
datang dan Allah dan Rasul-Nya, Begitu kepatuhan mereka sangat tinggi
kepada Allah dan Rasul-Nya.

b. Sikap Keberatan Sahabat Terhadap Ayat 284

Para sahabat merasa keberatan ketika turun QS. Al Baqarah (2): 284
yang menjelaskan bahwa Allah akan memperhitungkan segala ucapan
manusia termasuk yang masih tersembunyi dalam hati. Mereka menghadap
Nabi duduk berlutut untuk menyampaikan ketidaksanggupan karena hanya
Rasul yang bisa memecahkan persoalan tersebut.

c. Nabi SAW Memantapkan Keimanan Mereka

Sikap para sahabat yang merasa keberatan turunnya ayat 284 surat al-
Bagarah ditanggapi Nabi dengan sabdanya: "Apakah kalian akan berkata
seperti apa yang dikatakan dua ahli kitab sebelum kalian yakni Yahudi dan
Nasrani?" Orang-orang Yahudi dan Nasrani Ketika datang perintah dari
Tuhannya mereka berkata: "Kami mendengar dan kamti tidak patuh".
Akan tetapi katakanlah: - "Kami mendengar dan kami taat'. Lantas
mereka segera mengatakannya.

Demikianlah petunjuk Rasulullah dalam menyelesaikan permasalahan


yang dihadapi para sahabat yang menekankan kepada kepatuhan terlebih
dahulu yakni mendengar dan patuh. Kalau seseorang itu dasarnya mau
mendengar dan patuh apa pun yang disampaikan kepadanya kiranya dapat
diterima dan dilaksanakan. Berbeda dengan orang yang tidak patuh jika toh
mendengar hanya mendengar belaka dan tidak mematuhinya. Inilah di antara
ciri-ciri orang beriman sebagaimana imannya para sahabat begitu mendengar
perintah atau larangan dari Allah atau dari Nabi-Nya segera mendengat,
memerhatikan dan mematuhinya tidak seperti yang dilakukan oleh orang-
orang Yahudi dan Nasrani. Sesuai juga dengan QS. An- Nur (24): 51 Allah
berfirman:

‫ُون‬ َ ‫ِين إِ َذا ُدعُوا إِلَى هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه لِ َيحْ ُك َم َب ْي َن ُه ْم أَنْ َيقُولُوا َسمِعْ َنا َوأَ َطعْ َنا ۚ َوأُو ٰلَ ِئ‬
َ ‫ك ُه ُم ْال ُم ْفلِح‬ َ ‫ان َق ْو َل ْالم ُْؤ ِمن‬
َ ‫إِ َّن َما َك‬

Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada


Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka
ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-
orang yang beruntung.

d. Nabi meringankan beban mereka

Setelah ayat diatas sudah dibaca dengan lancer sudah tidak dirasa berat
maka turunlah ayat berikutnya QS al Baqarah ayat 285 yang menjelaskan
keadaan orang orang yang beriman adalah yang mengimani Allah, malaikat,
para rasul dan kitab-kitab suci.

Setelah mereka melaksanakannya, datanglah ayat 286 yang menasakh


ayat yang dirasa berat, bahwa Allah tidak membebani seseorang diluat
kemampuan sebagai manusia, Allah juga tidak mengambil tindakan perbuatan
karena lupa atau bersalah, mereka tidak dibebani yang berat seperti umat
dahulu dan tidak dibebani suatu beban yang tidak mampu dilaksanakan.

Allah yang menciptakan manusia tentunya lebih mengetahui kapasitas


kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas dan beban yang
diberikannya. Demikian juga, Allah Maha Mengetahui esensi dan segala
hikmah yang terkandung dalam tugas-tugas tersebut. Karena keimanan mereka
yang mendorong ungkapan "kami mendengar dan kami patuh”, inilah
kemudian Allah dengan kasih sayang iya menghapuskannya dengan ayat
berikutnya tersebut yakni meringankan beban yang dirasa berat semula. Ayat
di atas sekalipum bentuknya berdoa tetapi maknanya adalah menghapus
tuntutan kata hati yang belum direalisasikan dalam bentuk kerja nyata.
Kata hati ini sekalipun tidak ada tuntutan, namun dalam beberapa
Hadis lain diperhitungkan dalam hal-hal yang menguntungkan bagi manusia
sebagai kasih sayang Tuhan. Sebagaimana Hadis tentang niat, rencana (azam)
atau cita-cita (himmak) sudah tercatat sebagai amal yang diperhitungkan
pahalanya

Demikian kepatuhan seseorang yang intinya bergantung kepada


keimanan seseorang kepada Allah dan Rasl Nya jika seseorang sungguh-
sungguh beriman, maka menjadi kuat pula kepatuhannya, demikian juga
sebaliknya. Penanaman keimanan menjadi sangat penting dalam kehidupan
orang orang mukmin. Segala keraguan, keberatan dan kemalasan dapat
dibasmi dengan keimanan tersebut sehingga terungkap dengan sendirinya
kalimat:"Kami mendengar dan kami taat: TIidak seperti ungkapan orang-
orang yang tidak beriman "Kami mendengar dan kami durhaka”.

Beberapa sifat kepribadian kesantrian yang disebutkan dalam kitab


Ta'lim sebagai upaya atau model pembelajaran santri untuk mengimbangi
model rasional yakni model akhlak dan etika yang sesuai dengan kaidah ajaran
agama Islam. Al-Shabuni dalam bukunya al-Shafwat al Tafasir menjelaskan,
bahwa ilmu ada dua macam yaitu :

1. Ilmu Kasbiy, ilmu yang harus diusahakan melalui pembelajaran yang


tekun.
2. Ilmu Wahbiy, ilmu pemberian Allah tanpa melalui usaha pembelajaran
(autodidak).

Ilmu pertama diperoleh dengan kesungguhan, ketekunan, dan


muzakarah. Sedang ilmu kedua dengan jalan kecerdasan takwa dan amal saleh
sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Bagarah (2): 282:

‫َوا َّتقُوا هَّللا َ ۖ َوي َُعلِّ ُم ُك ُم هَّللا ُ ۗ َوهَّللا ُ ِب ُك ِّل َشيْ ٍء َعلِي ٌم‬

Dan takwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.

Ilmu ini juga disebut ilmu laduni sebagaimana hrman-Nya QS. al-Kahfi
(18):65:
‫َو َعلَّمْ َناهُ مِنْ لَ ُد َّنا عِ ْلمًا‬

Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Maksudnya ilmu yang bermanfaat yang diberikan kepada orang-orang


yang dikehendaki Allah dari para hamba yang takwa kepada-Nya.3 Demikian
juga syair al-Syaf'i tentang pengaduan nya kepada guru tentang hafalannya
yang kurang baik;

Aku mengadu kepada Imam Waki' tentang hafalanku yang lemah.

Maka ia memberi petunjuk kepadaku agar aku tinggalkan segala maksiat.

Beliau menceritakan kepadaku, bahwa ilmu itu cahaya.

Dan cahaya Allah tidak ditunjukkan kepada orang-orang yang maksiat.

Syair al-Syaf'i di atas juga dikutip oleh al-Zarnujiy dalam kitab Ta’lim
al-Muta’alim.4 Hal ini menunjukkan adanya kesamaan antara pemikiran al-
Syaf'i, Muhammad Ali al- Shabuni dan al-Zarnujiy tentang perlunya
pendekatan kepada Allah bagi para penuntut ilmu atau para santri untuk
memperoleh ilmu yang bermanfaat.

4. Pelajaran yang dapat dipetik dari Hadis


a. Kepatuhan kepada allah dan rasulnya secara absolut tak ada batas tertentu
berbeda dengan kepatuhan selainnya.
b. Kepatuhan dan ketaatan hanya didasarkan kepada keimanan seeorang
kepada allah dan Rasulnya.Jika ada iman pasti ada kepatuhan dan jika
tidak ada iman maka tidak ada pula kepatuhan.
c. Allah memuliakan umat Muhammad Saw dengan memberikan keringanan
beban yang tidak seperti umat sebelumnya .
d. Kondisi para sahabat sangat mematuhi hukum syara’ yang diturunkan
kepada mereka.
e. Kata hati yang belum direalisasikan dalam bentuk perbuatan atau
perkataan tidak ada tuntutantetapi dalam kebaikan sudah dihargai pahala
sebagai kemurahan Allah kepada umat muhammad Saw.
3
Al-Shabuni, Shafwat al-Tafasir, (Darus Sobuni, 2009), h. 165.
4
Ibrahim bin Ismail, Ta’lim al-Muta’alim Thariq al-Ta’allum, (Semarang: Taha Putra, tt), h. 14.
B. Bertanya dan Menghargai Perbedaan

1. Kosakata

2. Terjemahan

“Dari Ubai bin Ka’ab berkata: Rasulullah SAW telah membacakan kepadaku
suatu surat. Kemudian ketika aku duduk di masjid dan mendengarnya seorang
laki-laki membacanya berbeda dengan bacaanku, maka aku katakana
kepadanya: Siapa yang mengajarkan engkau surat ini? Ia menjawab:
“Rasulullah SAW” Aku berkata: Kalau begitu jangan berbeda dengan
bacaanku, sehingga kami dating kepada Rasulullah. Aku dating dan bertanya:
Ya Rasulullah! Orang ini berbeda bacaannya dengan bacaanku pada surat
yang engkau ajarkan kepadaku. Maka Rasul bersabda: “Hai Ubai baca!” Aku
pun membacanya. Beliau memujiku: “Bagus kamu” Kemudian beliau
bersabda kepada seorang laki-laki tersebut: “Baca!” Ia membaca yang berbeda
dengan bacaanku. Beliau juga memujinya: “Bagus kamu” Kemudian beliau
bersabda: “Hai Ubai! Sesungguhnya Al-Quran diturunkan atas tujuh huruf
semuanya benar dan cukup.” (HR. an Nasa’i)5

3. Penjelasan (Syarah Hadits)

Hadis di atas memberitakan bahwa Nabi SAW mengajarkan cara membaca


Al- Qur'an secara langsung (musyafahah) kepada para sahabat. Namun pernah
terjadi perbedaan cara membaca suatu ayat. Mereka komplain, kepada Nabi
mana yang benar di antara bacaan mereka. Semua dinilai benar oleh
Rasulullah SAW. Para sahabat sangat memerhatikan apa yang datang dari
Nabi. Jika mereka tidak mengalami perbedaan tidak segan-segan bertanya

5
HR. an-Nasa’I, kitab: al-Iftitah, Bab: Jami’ ma ja’a fi al-Qur’an, nomor hadits 931.
kepada Nabi. Demikian juga ketika mereka tidak paham sesuatu agama, atau
mengalami kesulitan memahami wahyu dan lain-lain.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Ubai bin Ka' ab ta, bahwa ia diajari
membaca Al-Qur'an oleh Nabi SAW. Ka' ab berkata:

"Rasulullah SAW telah membacakan kepadaku suatu surat"

Rasulullah membacakan Al-Qur'an Ubai mendengarkan bacaan beliau


kemudian mengikutinya. Cara mengajar Al-Qur'an Rasulullah yang
membacakan ayat-ayat itu dihadapan para sahabat. Sebagaimana pula setiap
turunnya Al-Qur an Jibril a.s. membacakan di hadapan Nabi SAW. Ini adalah
metode pengajaran yang paling baik, guru membacakan terlebih dahulu dan
mendengarkan dan menirukan bacaannya yang disebut dengan metode al-
Sama'. Dengan demikian, bacaan murid dapat persis sama dengan bacaan guru
atau mendekati bacaan guru. Setelah metode ini dilakukan metode al- Qira'ah,
murid membaca dan guru mendengar, kalau terjadi kesalahan dalam bacaan
murid diluruskan guru.

Suatu ketika Ubai duduk di masjid mendengar bacaan seorang sahabat


yang berbeda bacaannya pada ayat dan surat yang sama, Lantas terjadi dialog
dan diskusi antara dua orang sahabat tersebut. Ubai bertanya:

"Siapa yang mengajarkan engkau surat ini?"


Orang itu menjawab; "Rasulullah"
Ubai: Wah tidak boleh kita berbeda dalam bacaan, kita harus datang
kepada Rasulullah untuk mendiskusikan hal ini.

Mereka berdua menghadap Rasulullah SAW mempertanyakan


Peristiwa tersebut. Ya Rasulullah! Orang ini berbeda bacaannya denganku
pada surat yang engkau ajarkan. Kemudian keduanya disuruh membaca
Rasulullah: "Ha Ubai baca!" Ubai membaca. Beliay memuji: "Bagus
bacaanmu." Kemudian Beliau menyuruh membaca sahabat yang satu lagi :
"Baca!" Ia pun membaca yang berbeda dengan bacaan Ubai. Beliau juga
memuji:"Bagus bacaanmu.”
Kedua bacaan yang berbeda itu dibenarkan Rasulullah, karena
Rasulullah tidak memaksakan beban di luar kemampuan seseorang asal tidak
sampai mengubah makna. Mereka para sahabat datang dari berbagai negara
telah membawa bentuk dialek yang berbeda. Kalau di negara kita umpama
lisan Jawa, Sunda, Betawi, Aceh, Bali, dan lain-lain suka terjadi perbedan
dialek bacaan sekalipun tidak mengubah makna.

Dari beberapa penjelasan di atas yang perlu digarisbawahi dalam


konteks etika seorang pelajar adalah:

a. Bertanya ketika tidak tahu.

Banyak sekali dalam Hadis yang menjelaskan bahwa para sahabat laki-
laki maupun perempuan jika menghadapi suatu masalah atau mereka tidak
mengetahuinya selalu bertanya dan bertanya. Adapun Hadis yang mencela
orang banyak pertanyaan karena tujuannya menyeleweng seperti yang terjadi
pada Bani Israil. Rasulullah SAW bersabda pada Hadis yang diriwayatkan
Abu Hurairah:

‫ َفإِ َذا َن َه ْي ُت ُك ْم َعنْ َشىْ ٍء‬، ‫اخ ِتالَف ِِه ْم َعلَى أَ ْن ِب َيائ ِِه ْم‬
ْ ‫ان َق ْبلَ ُك ْم ِبس َُؤال ِِه ْم َو‬
َ ‫ك َمنْ َك‬ َ َ‫ إِ َّن َما َهل‬، ‫دَ عُونِى َما َت َر ْك ُت ُك ْم‬
‫ َوإِ َذا أَ َمرْ ُت ُك ْم ِبأ َ ْم ٍر َفأْ ُتوا ِم ْن ُه َما اسْ َت َطعْ ُت ْم‬، ُ‫َفاجْ َت ِنبُوه‬

Biarkanlah apa yang aku tinggalkan. Sesungguhnya yang menyebabkan


kebinasaan umat dahulu sebelum kamu adalah karena banyaknya
pertanyaan mereka dan perselisihan mereka terhadap para nabinya. Oleh
karena itu, jika aku melarang sesuatu kepada kamu jauhilan dan jika aku
perintah sesuatu kerjakanlah sekuat tenagamu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Demikian juga kitab Ta'lim al-Muta allim menganjurkan murid


bertanya kepada guru dengan memelihara etika. Bahkan menampilkan
pendapat Ibnu Abbas ketika ditanya:

"Dengan apa Anda mendapatkan ilmu? Ia menjawab: Dengan lisan banyak


bertanya dan akal banyak berpikir." 6

b. Menghargai perbedaan
6
Burhan al-Din l-Zarnujiy, Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum, Editor : Marwan Qabbaniy,
(Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1996), h. 96.
Setelah Ubai dan sahabatnya mendapat penjelasan dari Rasulullah
bahwa kedua bacaan yang berbeda itu benar semua. Bacaan Ubai benar dan
bacaan temannya juga benar. Mereka menerima dua kebenaran itu dan
memahami bahwa kebenaran itu tidak mesti satu, bisa jadi dua dan tiga, dan
seterusnya dalam masalah khilafiyah. Dengan demikian mereka tidak fanatik
dalam satu pendapat tetapi toleran dan menghargai pendapat lain itu, Mereka
menyadari bahwa perbedaan itu sebagai rahmat boleh memilih salah satunya
mana yang sesuai dengan kondisinya. Bahkan Rasulullah memperjelas
perbedaan itu dengan sabdanya:

"Hai Ubai! Sesungguhnya Al- Qur'an diturunkan atas tujuh huruf semuanya
benar dan cukup."

Para ulama berbeda pendapat mengartikan tujuh huruf di sini antara


lain disebutkan oleh Manna' al-Qathan dalam kitab Mabahits fi Ulum Al-
Qur'an sebagai berikut:

a. Tujuh bahasa Arab dalam satu makna. Tujuh itu Quraisy, Hudzayl, Tsaqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman.
b. Tujuh Bahasa Arab Al-Qur'an diturunkan.
c. Tujuh bentuk kata: amar (perintah), nahi (Jarangan), wa’ad (janji), wa'id
(ancaman), jadal (perdebatan), gashash (cerita), dan
matsal(perumpamaan),
d. Tujuh Perubahan yang diperselisihkan:
1) Perubahan kata benda dari mufrad (tunggal), tatsniyah (dua), jamak
(ban-yak), mudzakkar (Ik.) dan muannats (pr.).
2) Perubahan i rab; marfu', manshub, makhfudh, dan majrur.
3) Perubahan tashrif (perubahan kata); fi'il madhi (bentuk lampau), fi'il
muhari (bentuk sedang atau yang dihadapi), mashdar (kata benda), dan
lain-lain,
4) Perubahan mendahulukan dan mengakhirkan kata.
5) Perubahan baca karena penggantian huruf.
6) Perubahan menambah dan mengurang.
7) Perbedaan dialek baca tebal (tafkhim), tipis (tarqiq),izhar, idgham,
hamz, dan tashil.
e. Tujuh lambang kesempurnaan tidak perlu makna lain.
f. Tujuh qiraat yang disebut dengan qira'ah sab'ah.

Dari beberapa perbedaan pendapat di atas yang paling kuat ada


pendapat pertama yakni tujuh bahasa Arab dalam satu makna, karena
banyaknya dukungan beberapa periwayatan Hadis. Al-Sundiy pensyarah
Sunan al- Nasai menyatakan bahwa Al- Qur'an diturunkan pada tujuh bahasa
Arab yang terkenal kefasihannya itu pada awal islam sebagai dispensasi
(ukhsah) bagi umat Islam awal. Tetapi kemudian dipersatukan oleh Utsman
bin Affan ketika beliau khawatir berbeda bacaan dan khawatir pendustaan
sebagian mereka terhadap bahasa Quraisy yang pertama kali diturunkan. 7
Pendapat terakhir yang mengatakan bahwa makna Hadis tujuh huruf diartikan
tujuh qira'ah yang disebut qira'ah tujuh (qira'ah sab' ah) adalah pendapat yang
lemah.

Keragaman pendapat memberi pelajaran pendidikan, bahwa murid


diberi hak demokrasi untuk berpendapat dan menentukan pilihan yang lebih
tepat untuk dirinya dan untuk masyarakat. Keragaman bacaan tujuh oleh
imam tujuh yang disebut qiraah sab' ah memberikan kesempatan umat Islam
untuk memilih sebagian atau salah satunya. Semuanya dibenarkan para qurra
karena ragam bacaan itu didasarkan pada periwayatan yang mutawatir dari
Rasulullah SAW, tanpa ada rasa eksklusif, tidak merasa paling benar sendiri,
sehingga tidak menghargai pendapat lain yang tidak sama.

Para ulama mazhab menjunjung akhlak yang tinggi, sekalipun mereka


berbeda dalam berpendapat tetapi tetap menghargai perbedaan itu dan tetap
hormat kepada sesamanya. Imam Syaf’i r.a. ketika shalat Shubuh di dekat
makam Imam Hanafi tidak membaca doa kunut. Ketika ditanya, beliau
menjawab, aku hormat kepada guru saya yakni Imam Hanafi. Abuya Hamka
ketika menjadi im am shalat Shubuh berJamaah membaca doa kunut dalam

7
Al-Sundiy, Sunan al-Nasa’iy bi Syarh al-Sundiy,h. 625.
satu kloter jemaah haji Bersama K.H. Idham Khalid. Ketika ditanya, beliau
menjawab hormat kepada Kiai dan seterusnya.

Rasulullah SAW bersabda:

"Perbedaan umatku adalah rahmat."

Hadis ini sekalipun tidak shahih dan tidak jelas kualitasnya, tetapi
maknanya sangat baik yakni menyadari perbedaan dan perbedaan itu tidak
menimbulkan fitnah justru sebagai rahmat, yakni kita boleh memilih salah
satu pendapat yang berbeda itu sesuai dengan kondisi yang ada.

4. Pelajaran yang Dipetik dari Hadits

a. Perlunya berguru dan belajar membaca Al-Qur’an,karena membaca Al –


Qur’an tergolong ilmu riwayah.
b. Guru sebagai narasumber dalam pengajaran.
c. Anjuran murid bertanya kepada guru ilmu yang belum dipahami atau
ketika menghadapi suatu keraguan dalam kebenaran asal dengan
memelihara kesopanan.
d. Murid menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan menjunjung
tinggi persaudaraan.

C. Belajar Bersama
‫ ُد‬A‫ا َل اَل َي ْق ُع‬AA‫لَّ َم أَ َّن ُه َق‬A‫ ِه َو َس‬A‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬A‫ص‬ َ ِّ‫ ِهدَا َعلَى ال َّن ِبي‬A‫ير َة َوأَ ِبي َسعِي ٍد ْال ُخ ْد ِريِّ أَ ْن ُه َما َش‬ َ ‫عن أَ ِبي ه َُر‬
‫ر ُه ْم هللا‬Aَ A‫كِي َن ُة َو َذ َك‬A‫الس‬ َّ ‫ت َعلَي ِْه ْم‬ َ ‫َق ْو ٌم َي ْذ ُكر‬
ْ َ‫ُون هللا َع َّز َو َج َّل إِاَّل َح َّف ْت ُه ْم ْال َماَل ِئ َك ُة َو َغشِ َي ْت ُه ْم الرَّ حْ َم ُة َو َن َزل‬
،‫هللا‬
ِ ‫اب‬A َ Aُ‫هللا َي ْتل‬
َ A‫ون ِك َت‬A ِ ‫ت‬ ِ ‫و‬AA‫ت مِنْ ُب ُي‬ َ A‫ا اجْ َت َم‬AA‫ َو َم‬: ‫فِي َمنْ عِ ْن َدهُ (أخرجه مسلم) وفي رواية‬
ٍ ‫و ٌم فِي َب ْي‬Aْ A‫ع َق‬A
َ ‫ َو َذ َك‬A،‫ ُة‬A‫ َو َح َّف ْت ُه ُم ال َماَل ِئ َك‬، ‫ ُة‬A‫يت ُه ُم الرَّ حْ َم‬A‫كِي َن ُة َو َغ ِش‬A‫الس‬
ُ‫ر ُه ُم هللا‬A َّ ‫ت َعلَي ِْه ُم‬ َ ‫ إِاَّل َن‬،‫و َن ُة بينهم‬A‫َار ُس‬
ْ َ‫زل‬A َ ‫َو َي َتد‬
ُ‫ِف ْي َمنْ عِ ْن َده‬

1. Kosakata
a. ‫َق ْو ٌم‬ : kaum, orang banyak laki-laki maupun perempuan.
َ ‫ َي ْذ ُكر‬: mereka berdzikir, ingat kepada Allah.
b. ‫ُون‬
c. ‫ َو َح َّف ْت ُه ُم‬: mereka dikepung.
d. ‫ َو َغشِ يت ُه ُم‬: mereka ditutup, diliputi.
e. ‫ ال َّسكِي َن ُة‬: ketenangan.
2. Terjemahan
Dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al- Khudriy r.a. bahwa mereka
menyaksikan Rasulullah SAW bersabda: “Tidak duduk suatu kaum berdzikir
kepada Allah melainkan mereka dikepung oleh para malaikat, maka diliputi
rahmat dan turunlah ketenangan atas mereka dan disebut-sebut didepan
malaikat yang berada di sisi-Nya.”(HR. Muslim), dalam satu riwayat (bagi
Muslim juga dari Abu Hurairah): “Tidak berkumpul suatu kaum di suatu
rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca kitab Allah dan
mempelajari antara mereka. Melainkan turun atas mereka ketenangan, diliputi
rahmat, dikepung malaikat, dan dan disebut-sebut di hadapan makhluk
(malaikat) di sisi-Nya.”

3. Syarah Hadits

Hadis memberikan motivasi kepada umat Islam agar berzikir kepada


Allah SWT secara berkelompok dan belajar secara berkelompok sehingga
mendapatkan berbagai keuntungan di antaranya akan mendapatkan rahmat,
ketenangan, dan ketenteraman serta sifat-sifat kebanggaan. Dalam beberapa
buku pendidikan kerja kelompok atau belalajar berkelompok merupakan salah
satu metode Pendidikan atau metode pembelajaran, betapa pentingnya makna
belajar kelompok dalam pembentukan kepribadian. Kelompok belajar adalah
kumpulan beberapa individu secara pedagogis yang di dalamnya terdapat
adanya timbal balik atau kerja sama antara individu serta saling memercayai.
Dengan kegiatan belajar bersama ini akan meningkatkan kualitas kepribadian
seperti kerja sama, toleransi, kritis, disiplin, bergairah, menyenangkan, dan
pendistribusian keilmuan.8

Dua Hadis di atas diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Sa' id al-
Khudriy dan Abu Hurairah pada Hadis pertama dan dari Abu Hurairah pada
Hadis kedua. Rasulullah SAW bersabda:

‫اَل َي ْق ُع ُد َق ْو ٌم‬

"Tidak duduk suatu kaum atau pada riwayat lain."

‫هللا‬
ِ ‫ت‬ ٍ ‫َو َما اجْ َت َم َع َق ْو ٌم فِي َب ْي‬
ِ ‫ت مِنْ ُبيُو‬
8
Zuhairini et al, Metodik Khusus Pendidikan Agama, cet. Ke-7, (Malang: Biro Ilmiah Fakultas
Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1981), h. 88-89.
"Tidak berkumpul suatu kaum di suatu rumah dari rumah-rumah Allah."

Kata "kaum” bentuk kata plural (isim jenis jamak) maknanya orang
banyak minimal tiga orang baik laki-laki atau perempuan. Mereka duduk
berkumpul di suatu rumah dari rumah-rumah Allah. Hadis ini menunjukkan
keutamaan zikir atau belajar bersama dengan cara duduk, karena dengan
duduk inilah akan mendapatkan kekhusyukan dalam berzikir dan
mendapatkan ketenangan dalam pembelajaran. Demikian juga tempat berzikir
afdhalnya di rumah Allah atau sesamanya seperti masjid, mushala, majelis
taklim, madrasah , dan pesantren, karena tempat-tempat ini memang dibangun
khusus untuk berzikur atau untuk belajar ilmu.

َ ‫َي ْذ ُكر‬
‫ُون هللا َع َّز َو َج َّل‬

"Berzikir kepada Allah SWT dalam periwayatan kedua."

‫َار سُو َن ُة بينهم‬


َ ‫ َو َي َتد‬،‫هللا‬
ِ ‫اب‬ َ ُ‫َي ْتل‬
َ ‫ون ِك َت‬

“Mereka membaca kitab Allah dan mempelajari antara mereka”

Mereka kaum yang berkumpul duduk bersama dan berzikir Bersama


kepada Allah SWT. Dalam periwayatan berikutnya mereka membaca Kitab
Allah yakni Al-Qur'an dan bermudzakarah atau mempelajarinya secara
Bersama. Makna belajar bersama adakalanya mempelajari bacaan Al-Qur'an
secara bersama-sama atau memahami maknanya, Memahami kandungan Al-
Qur'an dalam perkembangan berikutnya terbagi kepada beberapa bidang,
dalam bidang hukum, ibadah dan muamalah biasanya disebut fikih. Dalam
bidang keimanan biasanya disebut tauhid dan dalam bidang bersikap dan
bertingkah laku disebut akhlak, ayat-ayat tentang alam disebut kawniyah dan
seterusnya. Kajian tersebut perlu adanya kerja sama dari berbagai bidang
sesuai dengan keahliannya, Demikian juga dalam bacaan Al- Qur'an baik
membaca bersama atau saling mendengarkan bacaan untuk dikuti dan jika
terjadi kesalahan dibenarkan. Inilah yang disebut ahli Qurra' sebagai sima’an
yakni saling mendengarkan bacaan temannya untuk mengingat hafalannya
atau untuk dikuti bacaannya yang benar. Atau pembaca kedua mengikuti
bacaan pembaca pertama sebagaimana mudarasah yang dilalukan antara Nabi
dan Jibril pada setiap bulan suci Ramadhan.

َ ْ‫ار ُس ُه القُر‬
)‫آن (أخرجه البخاري‬ ِ َ‫ان َفيُد‬
َ ‫ض‬َ ‫َو َك َن َي ْل َقاهُ فِي ُك ِّل لَ ْيلَ ٍة مِنْ َر َم‬

“Jibril bertemu dengan Nabi pada setiap malam Ramadhan dan saling
mempelajari Al-Qur'an." (HR.al-Bukhari)

Makna mudarasah dapat diartikan mengkaji maknanya, seperti


bersekolah, pengajian, pengkajian, seminar, diskusi, mudzakarah,
musyawarah,dan lain-lain dalam rangka mempelajari keislaman yang
bersumber dari Al- Qur'an dan Hadis Rasulullah SAW.

Hadis ini menyebutkan keutamaan orang yang berzikir dan belajar bersama :

a. Dikepung para malaikat

Dalam kitab Dalil al-Farihin Syarah Riyadh al Shalihin disebutkan


bahwa maksud dari kata “al malaikat” adalah para malaikat yang bertugas ikut
zikir, atau malaikat yang bertugas membawa rahmat dan berkah dating ke
bumi untuk mengagungkan dan hormat kepada mereka. Atau malaikat ikut
berjubel bersama mereka yang berzikir sehingga tidak ada tempat bagi setan
untuk mengganggu

b. Diliputi rahmat

Mereka diliputi rahmat dari berbagai segi dan arah secara


menyeluruh.Menurut Syeikh ‘Alan, rahmat maksudnya adalah kebaikan,
karunia dan pemberian nikmat.

c. Diturunkan ketenangan

Ketenangan (sakinah) diberikan Allah kepada mereka. Hadis ini sama


dengan firman Allah QS al Fath (48): 4,

ُ ‫ان ٱهَّلل‬A ِ ْ‫ت َوٱأْل َر‬


َ A‫ض ۚ َو َك‬ َّ ‫و ُد‬AA‫ا م ََّع إِي ٰ َمن ِِه ْم ۗ َوهَّلِل ِ ُج ُن‬AA‫زدَ اد ُٓو ۟ا إِي ٰ َم ًن‬A
ِ ‫ ٰ َم ٰ َو‬A‫ٱلس‬ َ ‫ؤ ِمن‬Aْ A‫ب ْٱل ُم‬
ْ A‫ِين لِ َي‬ َ َ‫ِى أ‬
ِ ‫نز َل ٱل َّسكِي َن َة فِى قُلُو‬ ٓ ‫ه َُو ٱلَّذ‬
‫َعلِيمًا َحكِيمًا‬
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mukmin supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yg
sudah ada)”

Ada tiga pengertian kata "sakinah" dalam Hadis di atas, yaitu:

1. Kondisi hati yang menenangkan. Hati tidak terkejut dan tidak down dan
tidak stres ketika ada terdengar ujian atau bencana menimpa kepadanya,
karena ia mengetahui bahwa segala kejadian yang terjadi adalah
kehendak dan ketentuan Allah, Hatinya tenang dan optimis untuk
mendapatkan janji pahala Allah besok di akhirat.
2. "Al-Sakinah" nama malaikat yang turun ke dalam hati mukmin
membawa kedamaian dan kebaikan.
3. Sakinah diartikan rahmat, ketenangan, ketenteraman, damai, dan lain-
lain. Maksud ketenangan hati karena menerima ketentuan Allah atau
takdir-Nya bukan tenang lawan bergerak yakni diam, tenang justru aktif
tidak pasif.

d. Disebut-sebut Allah

Nama mereka disebut karena mereka dibanggakan Allah behwa


mereka adalah orang-orang yang berzikir kepada Allah dan mencintai-Nya.
Sifat kebanggaan dihadapan makhluk adalah derajat yang sangat tinggi
sebagaimana kedudukan zikir yang memiliki derajat yang tinggi pula.

4. Pelajaran yang Dipetik dari Hadits


a. Anjuran model belajar bersama,muzakarah bersama,diskusi bersama,dan
zikir bersama.
b. Keutamaan zikir bersama,berdiskusi,muzakarah dan belajar bersama.
c. Orang yang belajar bersama ,berdiskusi,muzakarah dan berzikir bersama
dijaga para malaikat,mendapatkan rahmat dan ketenangan.
d. Banyak kelebihan belajar bersama yang dapat dirasakan dalam pendidikan
minimal menambah kegairahan dalam pembelajaran.
D. Tekun Belajar
ِ ‫ب القُرْ َء‬
‫ان‬ َ ‫ إِ َّن َما َم َث ُل‬: ‫وعن أبن عمر رضي هللا عنهما أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال‬
ِ ‫صا ِح‬
ْ ‫َك َم َث ِل اإْل ِب ِل ْال ُم َع َّقلَ ِة إِنَّ َعا َه َد َعلَ ْي َها أَ ْم َس َك َها َوإِنْ أَ ْطلَ َق َها َذ َه َب‬
)‫ت (متفق عليه‬

1. Kosakata
ِ ‫ب القُرْ َء‬
a. ‫ان‬ ِ ‫صا ِح‬
َ : Teman al-Qur’an atau pemiliknya disini dimaksudkan
pembaca, penghafal al-Qur’an.
b. ‫َعا َه َد َعلَ ْي َها‬ : berhati-hati,memerhatikan, dan merawat.
c. ‫اإْل ِب ِل ْال ُم َع َّقلَ ِة‬ : unta yang diikat dengan tali.
d. ‫أَمْ َس َك َها‬ : maksudnya dipegang dan terus-menerus dipegang.
e. ‫أَ ْطلَ َق َها‬ : melepaskannya, tidak mengikat.
2. Terjemahan

“Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya


perumpamaan pemilik (menguasai) Al-Qur’an itu adalah seperti menguasai
seekor unta yang terikat, bila ia memerhatikannya maka ia akan tetap tertahan
dan bila ia membiarkannya, maka lepaslah ia.” (HR. Mutafaq alaih)

3. Syarah Hadits

Rasulullah SAW menegaskan perlunya kesungguhan dalam


memelihara ilmu yang bersumber dari Al-Qur'an atau memelihara Al-Qur’an
itu sendiri baik dengan cara hafalan (tahfizh) ayat-ayatnya maupun segi
pemahaman dan pengamalannya. Memelihara Al- Qur'an merupakan
kewajiban bagi seluruh umat Islam. Al- Qur'an sejak diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan kemudian disampaikan kepada para sahabat selalu
dingat dan dihafal oleh umatnya, Para sahabat yang pandai tulis-menulis
memang ditunjuk Nabi sebagai penulis wahyu (kuttab al-wahyi), tetapi tulisan
itu dijadikan dokumentasi bukan dijadikan bacaan yang kemudian disimpan di
bilik Aisyah. Para sahabat membacanya secara hafalan. Demikian juga umat
Islam pada generasi berikutnya, dari generasi ke generasi senantiasa berusaha
menghafal Al-Qur'an.

Para ulama sepakat bahwa menghafal Al- Qur'an diwajibkan bagi


seluruh umat Islam secara kifayah. Artinya di antara umat Islam yang tinggal
di sebuah kampung harus ada yang menghafal Al-Quran. Jika tidak, maka
semua yang tinggal di kampung tersebut berdosa semua. Para ulama sudah
berusaha memberikan motivasi dan memberi kesempatan yang besar bagi
sebagian umat Islam yang berminat, misalnya dengan penyelenggaraan
pesantren-pesantren Al-Qur'an atau perguruan tinggi Al-Qur'an dan lain-lain.
Semua itu dimaksudkan untuk memelihara Al-Qur'an.

Rasulullah menyadari sulitnya mengingat atau menghafal Al-Qur’an


utama bagi umat yang tidak terbiasa menghapal. Namun demikian pekerjaan
menghafal Al-Qur'an adalah suatu pekerjaan yang terpuji dan merupakan
keharusan bagi umat Islam, terutama dibaca dalam rakaat shalat. Pada Hadis
di atas Rasulullah SAW menggambarkan sulitnya membaca atau menghafal
Al Qur'an, sebagaimana sabda Beliau:

‫ان َك َم َث ِل اإْل ِب ِل ْال ُم َع َّقلَ ِة‬


ِ ‫ب القُرْ َء‬ َ ‫إِ َّن َما َم َث ُل‬
ِ ‫صا ِح‬

"Sesungguhnya perumpamaan pemilik (menguasai) Al-Qur'an adalah seperti


menguasai seekor unta yang terikat."

Kata innama (‫ ;)إِ َّن َما‬sesungguhnya berfungsi sebagai peringkas makna


(adat al-hashr). Artinya sesungguhnya perumpamaan orang yang membaca
atau menghafal Al- Qur'an hanya seperti menguasai unta. Perumpamaan ini
mengundang perhatian pendengarnya bagaimana perumpamaan itu terjadi dan
bagaimana titik temu antara dua hal yang dibuat perumpamaan tersebut.

Maksud pemilik Al- Qur'an adalah pembaca tulisan mushaf Al-Qur'an


atau pembaca di luar kepala, yakni penghafal. Pembaca Al-Qur'an yang rutin
secara kontinu akan lancar lisannya dan mudah bacaannya. Sebaliknya jika
seseorang tidak pernah membaca Al- Qur'an atau pernah membacanya tetapi
kemudian ditinggalkannya, maka lisannya menjadi sulit dan berat
membacanya. Demikian juga hafalan seseorang jika diulang-ulang dan dirawat
dengan baik, maka hafalannya akan terjaga dengan baik dan tidak terlupakan.

Perumpamaan penghafal Al-Qur'an diumpamakan menguasai unta,


sebagaimana sabda Beliau:

‫َك َم َث ِل اإْل ِب ِل ْال ُم َع َّقلَ ِة‬


"Adalah seperti menguasai seekor unta yang terikat."

Perumpamaan pembaca atau penghafal Al- Qur'an seperti menguasai


seekor unta. Unta dijadikan perumpamaan karena karakter binatang unta
adalah binatang ternak yang sangat cepat larinya dan jika sudah lari sangat
sulit ditangkap kembali. Titik temu persamaan dua hal tersebut adalah sama-
sama sulit ditangkap, kalau sudah dapat diangkap hendaknya diikat dengan tali
yang kuat, tali Al- Qur'an adalah diingat-ingat atau dihafal siang dan malam,
baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Unta yang telah dapat dikuasai
diikat agar tidak lepas demikian juga seorang yang telah hafal Al-Qur'an
hendaknya diikat dengan cara diulang-ulang, dibuat tadarus, dibaca dalam
shalat shalat. Pemeliharaan keduanya handaknya selalu dilakukan, agar
keduanya dapat dikuasai.

Titik temu pemeliharaan keduanya dilanjutkan pada uraian Hadis berikutnya:

ْ ‫ َوإِنْ أَ ْطلَ َق َها َذ َه َب‬، A‫إِنْ َعا َهدَ َعلَ ْي َها أَمْ َس َك َها‬
‫ت‬

"Bila ia memerhatikannya maka ia akan tetap tertahan dan bila ia


membiarkannya, maka lepaslah ia."

Jika seseorang memerhatikan untanya maka unta itu tertahan tidak


menghilang, perhatiannya adalah mengikat dengan kuat. Ibarat orang yang
memerhatikan hafalan Al- Qur'an kalau ada talinya yang mengikat hafalannya
akan bertahan, tali hafalan adalah mengingat-ingat dan mengulang-ulang
dijadikan wirid. Sebaliknya, jika unta itu dilepas tidak diikat dengan tali, maka
unta segera terlepas dan menghilang. Ibarat hafalan Al-Qur 'an yang tidak
diikat dengan tali ulang-ulang da sima' an siang malam, hafalan tersebut tidak
akan tahan lama.

Demikian juga ilmu akan tahan jika ada talinya, bahkan Sebagian
ulama mengumpamakan ilmu seperti binatang buas sebagaimandisebutkan
dalam syair berikut:

‫ال ْال َوا ِث َق ْة‬


ِ ‫ك ِب ْال ِح َب‬ ُ ‫ َقي ِّْد‬# ُ‫ص ْي ٌد َو ْال ِك َتا َب ُة َق ْي ُده‬
َ َ‫صيُود‬ َ ‫ْالع ِْل ُم‬

‫ َو َت َف ُّك َها َبي َْن ْال َخاَل ئِق َطالِ َق ْة‬# ‫َفم َِن ْال ُح َما َق ِة اَنْ َتصِ يْدَ غَ َزالَ ًة‬
Ilmu itu bagaikan binatang buas sedang tulisan bagaikan talinya.

Ikatlah binatang buaranmu dengan tali yang kuat.

Diantara sifat bodoh, engkau memburu binatang,

dan kamu lepas di tengah-tengah makhluk.

Ragam tali ilmu adakalanya dicatat di buku atau dicatat dalam hati,
dicatat dalam buku yakni ditulis, disimpan, didokumentasikan dan direkam.
Dari penjelasan Hadis di atas, bahwasanya ilmu itu akan senantiasa melekat
dan tidak akan hilang dari pemiliknya apabila sering diulang-ulang diamalkan
dan diajarkan kepada orang lain. Tetapi sebaliknya ilmu akan hilang dengan
sendirinya jika pemiliknya tidak pandai menjaga atau memeliharanya.
Rasulullah telah mengibaratkan A-Qur'an atau ilmu itu bagaikan binatang
buruan yang sulit didapat. Maka ketika mendapatkan binatang buruan
tersebut, hendaknya sang pemburu mengikat atau memasukkan buruannya ke
dalam sangkar agar tidak lepas. Begitu pun dengan ilmu, jika seseorang
mendapatkan ilmu maka hendaknya ditulis, dipahami, diingat-ingat,
diamalkan dan diajarkan kepada orang lain agar ilmu semakin melekat pada
dirinya dan tersebar ke seluruh manusia.

4. Pelajaran yang Dipetik dari Hadits


a. Dorongan sungguh – sungguh mencari ilmu dengan cara
membaca,mencatat atau menulis ilmu dari berbagai referensi ilmu
pengetahuan yang bermanfaat.
b. Perintah Membaca secara berulang – ulang sehingga lancar,tidak lupa dan
fasih membacanya.
c. Perintah menghafal Al –Qur’an serta larangan melalaikannya.
d. Perawat Al – Qur’an dan ilmu disamakan dengan perawat unta.
e. Persamaan antara kedua hal tersebut,sama – sama merawat dengan
baik,mengikat dengan tali yang kuat agar tidak lepas.
f. Unta aman tidak akan lari bila di ikat,demikian juga ilmu dan Al – Qur’an
tidak akan hilang kalau dipelihara dengan baik yakni catat,dipahami,dan
diamalkan.
BAB III
KESIMPULAN
A. Simpulan
Dalam Pendidikan islam etika dan metode belajar menjadi hal penting
di bahas, karena keduanya dapat membantu anak didik dalam mempermudah
tercapainya ilmu yang bermanfaat baik ilmu kasbiy maupun ilmu wahbiy.
Ilmu Kasbiy, ilmu yang harus diusahakan melalui pembelajaran yang tekun.
Sedang ilmu Wah biy, ilmu pemberian Allah tanpa melalui usaha
pembelajaran (autodidak). Ilmu pertama diperoleh dengan
kesungguhan,ketekunan, dan mudzakarah. Sedang ilmu kedua dengan jalan
kecerdasan takwa dan amal saleh sebagaimana firman Allah dalam QS. al-
Baqarah (2): 282, Di antaranya:

1) Taat beragama, yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya melaksa perintah-
perintah dan menjauhi segala larangan-Nya yang disebut dengan takwa.
Sebagai anak didik hendaknya melatih dirinya kecil untuk patuh beragama
menjawab segala isi Al- Qur'an dan nah dengan ucapan dan perbuatannya:
“Kami mendeng kami taat, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat
Ketika mendengar wahyu disampaikan Rasul. IImu datangnya dari Allah
diberikan kepada orang yang patuh kepada-Nya."
2) Banyak bertanya dan menghargai perbedaan. Para sahabat Ketika
menjumpai suatu masalah langsung bertanya kepada Rasulullah SAW
dengan penuh kesopanan Rasulullah sebagai guru yang baik juga
membuka kesempatan tanya jawab kepada siapa saja yang menghadapi
suatu masalah termasuk menyelesaikan complain tentang perbedaan
bacaan Al-Qur'an antarpara sahabat. Rasulullah mengakomodasi dan
membenarkan perbedaan itu dengan jawaban yang bijak: "Sesungguhnya
Al- Qur'an diturunkan atas tujuh huruf semuanya benar dan cukup", Para
sahabat menerima dapat menghargai perbedaan tersebut.
3) Belajar bersama salah satu metode belajar yang diperintahkan baik dalam
membaca Al-Qur'an maupun kajian isi kandungannya. Belajar bersama
mempermudah belajar karena ada unsur tukar pikiran (take and give),
diskusi, mudzakarah dan musyawarah. Banyak keuntungannya di
antaranya turunnya rahmat dari Allah SWT, mendapatkan sakinah dan
dibanggakan di hadapan para malaikat.
4) Tekun atau sungguh-sungguh belajar, tidak boleh mengabaikan ilmu
sedikit pun baik setelah didapat. Memelihara IImu bagaikan memelihara
unta, unta perlu dikat dan diperhatikan jika tidak ia cepat lari,

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hadits Tarbawi. Semoga bisa bermanfaat bagi para pembaca. Makalah ini
kami buat dengan segenap hati agar para pembaca bisa mengerti dan paham
atas yang kami sampaikan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kesalahan,
baik dari segi tulisan maupun pembahasan. Oleh karena itu, kami meminta
saran dan kritik agar bisa memotivasi kami dalam pembuatan makalah
selanjutnya agar bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Khon, Abdul Majid. 2012. Hadis Tarbawi Hadis-hadis Pendidikan. Jakarta:


Penada Media Group.

Al-Shabuni. 2009. Shafwat al-Tafasir. Darus Sobuni.

Ismail, Ibn Ibrahim. Ta’lim al-Muta’alim Thariq al-Ta’allum. Semarang: Taha


Putra.

Al-Zarnujiy, Burhan al-Din. 1996. Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum.


Editor : Marwan Qabbaniy. Beirut: al-Maktab al-Islamiy.

Al-Sundiy. Sunan al-Nasa’iy bi Syarh al-Sundiy.

Zuhairini. et al. 1981. Metodik Khusu Pendidikan Agama. Cet. ke-7. Malang:
Biro Ilmiah FakultaS Tarbi-yah IAIN Sunan Ampel.

Anda mungkin juga menyukai