Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam


Pembelajaran membelajarkan peserta didik menggunakan asas Pendidikan
maupun teori belajar, yang merupakan penentu utama keberhasilan Pendidikan.
Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai proses komunikasi dua arah mengajar
dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik sedangkan belajar dilakukan oleh
peserta didik atau murid. Pada intinya, pembelajaran merupakan proses
penambahan informasi dan kemampuan baru.
Pendidikan Islam tidak hanya dipahami sebatas “ciri khas” jenis
pendidikan yang berlatar belakang keagamaan. Tetapi jenis pendidikan yang
pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita
untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama
lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya.1
Pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas,
melainkan lebih mendasar lagi, yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai
yang paling ideal. Tujuan yang diidamkan tersebut adalah menyiapkan siswa agar
mampu mengemban misi yang diberikan oleh Allah. Sejalan dengan yang
dikemukakan Ali Ashraf, “The ultimate aim of muslim education lies in the
realization of complete submission to Allah on the level of the individual, the
community, and humanity at large.”2 Ungkapan tersebut berarti tujuan tertinggi
dari pendidikan muslim adalah merealisasikan kepasrahan penuh pada Allah pada
tingkat individual, komunitas, dan umat.
Pendidikan Agama Islam menurut Adul Majid dan Dian Andayani adalah
upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal,
memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam disertai dengan
tuntunan utnuk menghormati penganut Agama lain dengan hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.

1
A. Malik Fadjar, “Pengembangan Pendidikan Islan” dalam Kontektualisasi Ajaran Islam,
Jakarta: IPHI & Paramadina, 1993, hal. 507.
2
Ali Ashraf, Crisis in Muslim Education, Jeddah: King Abdul Aziz University, 1983, hal. 44
Pendidikan Agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan guru dalam
rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan
mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pelajaran atau pelatihan
yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.3
Dengan demikian pembelajaran PAI yaitu suatu upaya membuat peserta
didik dapat belajar, terdorong belajar, mau belajar dan tertarik untuk terus
menerus mempelajari apa yang teraktualisasikan dalam kurikulum Agama Islam
sebagai kebutuhan peserta didik secara menyeluruh yang mengakibatkan beberapa
perubahan yang relative tetap dalam tingkah laku seseorang baik dalam kognitif,
afektif, maupun psikomotorik.
Untuk mencapai pengertian tersebut, harus ada serangkaian yang saling
mendukung, yaitu:
1. Pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan
bimbingan, pengajaran dan atau latihan yang dilakukan secara berencana dan
sadar akan tujuan yang hendak dicapai.
2. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti
yang dibimbing, diajari dan atau dilatih dalam peningkatan keyakinan,
pemahaman, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam.
3. Pendidik/ Guru (GBPAI) yang melakukan kegiatan bimbingan, pengajaran
dan atau latihan secara sadar terhadap peserta didiknya untuk mencapai
tujuan tertentu.
4. Kegiatan PAI diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan terhadap peserta didik, yang di samping untuk
membentuk kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk
kesalehan atau kualitas pribadi, juga membentuk kesalehan sosial.

3
Elihami dan Abdullah Syahid, “Penerapan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Dalam
Membentuk Karakter Pribadi yang Islami”, Jurnal Pendidikan Edumaspul, Vol. 2, No. 1, 2018,
hlm. 85.

2
B. Orientasi Pendidikan Islam
1. Orientasi
Orientasi adalah suatu penetapan atau perasan tentang posisi seseorang
dalam kaitannya dengan lingkungan atau dengan orang tertentu atau sesuatu yang
khusus atau lapangan pengetahuan.
Adapun orientasi pendidikan islam itu sendiri bahwa islam lebih
mementingkan hidup masa depan yang bernilai duniawi-ukhrawi. Sebagaimana
dalam firman Allah SWT berikut ini:
‫ط‬ ‫ج‬
‫ت لِغَ ٍد َو َّات ُق وا اللَّ َه اِ َّن اللَّهَ َخبِْي ٌر مِب َ ا‬ ِ
َ ‫يَ آ أَيُّ َه ا الَّذيْ َن َآمُن ْوا َّات ُق وا اللَّهَ َو لَْتْنظُ ْر َم ا قَ د‬
ْ ‫َّم‬
‫َت ْع َملُ ْو َن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri manusia memperhatikan hal-hal yang diperbuatnya untuk
hari esok akhirat) bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hasyr: 18)

Ayat di atas memberikan indikasi kepada kita bahwa pendidikan islam itu
adalah adanya keseimbangan antara ilmu dunia dan akhirat. Sehingga ketika
seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka ia mempertimbangkannya
kembali. Sebab jika melakukan perbuatan itu, berarti ia telah merusak kehidupan
masa depannya.
Ada tiga sumber pokok orientasi pendidikan islam, antara lain:
1. Orientasi pengembangan kepada Allah Yang Maha Mengetahui, yang
menjadi sumbernya segala sumber ilmu pengetahuan.
2. Orientasi pengembangan ke arah kehidupan sosial manusia, di mana
hubungan antar manusia semakin kompleks dan luas ruang lingkupnya
akibat pengaruh kemajuan ilmu dan teknologi modern yang maju
pesat.
3. Orientasi pengembangan ke arah alam sekitar yang diciptakan Allah
untuk kepentingan hidup umat manusia, mengandung macam

3
kekayaan alam yang harus digali, dikelola dan dimanfaatkan oleh
manusia bagi kesejahteraan hidupnya di dunia untuk mencapai
kebahagiaan hidup di akhirat.
2. Orientasi Pendidikan Islam
Orientasi pendidikan islam adalah suatu cara penyebaran islam yang
dilakukan secara intensif atau secara bersungguh-sungguh. Para pendahulu
memaduan antara konteks keIndonesiaan dengan keIslaman. Tak heran jika pada
awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional. Namun, di zaman
modernisasi, pendidikan islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah
sebagai salah satu pendidikan islam selain pesantren.
Orientasi pendidikan islam yang filosofis Qurani adalah menggunakan
prinsip dasar-dasar Al-Quran sebagai bahan sandaran atau yang penulis maksud
adalah kebenaran yang hakiki (absolut). Adapun indikatornya dikembangkan ke
dalam metode-metode yang diterapkan dalam dunia pendidikan saat ini, dan
tentunya tanpa mengurangi dari esensi Al-Quran itu sendiri. Metode yang
digunakan adalah pembelajaran berbasis fitra. Yang ditekankan dalam metode
tersebut adalah mengendalikan dorongan hati dengan cara berdzikir, karena
dengan berdzkir akan memberikan kekuatan pada seseorang untuk berpikir positif,
selalu optimis, dan mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan derajat
kecemasan yang menggelayuti jiwanya.4

3. Penanaman Nilai di Sekolah


Sekolah merupakan bentuk formalisasi pendidikan. Pendidikan tidak
hanya sekedar mempertahankan nilai-nilai, tetapi juga sekaligus mengembangkan
nilai-nilai sehingga anak didik mampu mengembangkan diri sejalan dengan
perkembangan zaman dengan identitas kepribadian yang kokoh. Penanaman nilai
mempunyai arti menjaga stabilitas masyarakat yang diperlukan untuk pelestarian
nilai, tetapi dalam kehidupan modern yang berubah dengan cepat dibutuhkan
adanya upaya pengembangan nilai agar tidak tertinggal dari perubahan yang
terjadi.

4
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hal. 32.

4
Yang perlu diperhatikan adalah mengenai kualitas pendidikan yang mana
hal ini bersangkutan erat dengan mutu materi yang akan disampaikan serta mutu
para guru atau pendidikannya. Sebab jika kualitas gurunya tidak bermutu, maka
proses penerapan dan internalisasi nilai-nilai agama tidak akan berhasil dengan
baik.
Penanaman nilai kepada anak didik sudah barang tentu disesuaikan dengan
taraf perkembangan anak tersebut. Suatu model pendekatan tertentu mungkin
hanya sesuai untuk tahap perkembangan anak, tetapi belum tentu cocok untuk
tahap perkembangan lain. Dalam pembahasan pendidikan nilai terdapat berbagai
pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli.
Una Kartawisastra, dkk5 mengemukakan empat strategi, yaitu:
a. Strategi Tradisional
Dalam strategi ini, pembentukan nilai dengan jalan memberi nasihat
atau indoktrinasi. Para orang tua atau guru yakin akan nilai-nilai baik atau
luhur yang dianutnya karena itu mereka menghendaki agar anak didiknya
juga memiliki nilai-nilai tersebut.
b. Strategi Bebas atau Liberal
Strategi ini memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak untuk
memilih dan menentukan nilai-nilai yang akan diambilnya. Asumsi dari
strategi ini adalah belum tentu nilai yang baik bagi seseorang baik pula bai
orang lain.
c. Strategi Memberi Contoh
Orang tua atau guru yang telah meyakini nilai-nilai yang dianutnya,
akan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini,
pembentukan nilai dapat melalui dua teknik. Pertama, memberi contoh
dalam tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai yang dianut. Kedua,
mengajarkan nilai-nilai sehingga anak dapat membedakan nilai-nilai yang
baik dan yang tidak baik.
d. Strategi Klarifikasi Nilai

5
Una Kartawisastra, Strategi Klasifikasi Nilai, (Jakarta: P3G, 1980), hal. 4-6

5
Pendekatan ini merupakan salah satu usaha untuk membentuk anak
dalam pembentukan nilai-nilai yang akan dipilihnya yang juga merupakan
pelengkap dari strategi memberi contoh. Dalam pendekatan ini, guru
berperan sebagai orkestrator dari situasi pembelajaran yang
memungkinkan terjadinya perkembangan. Guru lebih berfungsi sebagai
teknisi yang mendorong perkembangan serangkaian keahlian teknis.6

Berdasarkan praktek pendidikan, setiap orientasi pendidikan dapat dikaji


berdasarkan empat dimensi yang ada, yakni dimensi status anak didik, dimensi
peran guru, dimensi mata pengajaran, dan dimensi manajemen pendidikan.7

6
Syafrudin, “Orientasi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum”, Jurnal Lentera Pendidikan,
vol. 16, no. 2, Desember 2013, hal. 238
7
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000), hal. 35.

Anda mungkin juga menyukai