Anda di halaman 1dari 21

METODE IJTIHAD

ISTINBAT BAYANIY II
A. LAFAZ dari SEGI DILALAH (PETUNJUKAN) atas
HUKUM.

1.Pembahasan Umum tentang Dilalah

Arti dilalah (‫ ) الد اللة‬secara umum adalah : “memahami


sesuatu atas sesuatu”.
Kata “sesuatu” yang disebukan pertama diswebut
“madlul”/ ‫( مدلول‬yang ditunjukan). Dalam hubungannya
dengan hukum yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu
sendiri.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan, dilalah
ada 2 macam :

a. Dilalah lafziyyah
(Pentunjukan berbentuk lafadz)yaitu dilalah dengan dalil
yang digunakan untuk memberi petunjukan kepada
sesuatu dalam bentuk lafadz, suara atau kata. Dengan
demikian lafadz, suara, dan kata, menunjukan kepada
maksud tertentu.
Penunkan kepada maksud tertentu melalui 3 hal
1. melalui hal-hal yang beersifat alami yang menunjuk
kepada maksud tertentu.
2. melalui akal. Maksudnya dengan perantaraan akal
pikiran.
3. melalui istilah yang dipahami dan digunakan bersama
untuk maksud tertentu.
b. Dilalah ghairu lafzhiyah /
‫الداللة غير الفظية‬

Dilalah bukan lafadz yaitu dalil yang digunakan


bukan dalam bentuk suara, bukan lafadz dan bukan
pula dalam bentuk kata.
diamnya suatu itu dapat diketahui maksudnya melalui
hal hal sebagai berikut :
A. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat
dipahami sam orang
dimana saja.
B. Melalui akal meskipun tidak ada suara dan kata,
C. Melalui kebiasaaan dalam menggunakan sesuatau
2. Dilalah dalam Pandangan ulama Hanafiyah

Dilalah lafziyah dalam pengertian ini, ialah yang


menjadi dalil adalah lafadz menurut lahirnya. Dilalah
ghairu lafzhiyah ialah yang menjadi dalil bukan melalui
lafaz menurut lahirnya.
1. Dilalah lafzhiyah
dibagi 4 macam yang berbeda sebagai berikut :
A. Dilalah ibarah atau disebut juga ibarat nash.
B. Dilalah isyarah disebut juga isyarah nash.
C. Dilalah al-dilalah disebut juga dilalah al-nash.
D. Dilalah al-iqtidha disebut juga iqtidha al-nash.
3. Dilalah dalam Pandangan Ulama syafi’iyah
A. Dilalah
Manthuq (‫) المنطوق‬
Dalam pandangan ulama syafi’iyah adalah :
ِ ‫ُكم ال َمذ ُك‬
‫ور‬ ِ ‫َدالَلَةُاللَّف ِظ‬
ِ َّ‫فى َم َح ِل الن‬
ِ ‫طف َعلَى ح‬

penunjukan lafaz menurut apa yang diucapkan atas hukum


menurut apa yang disebut dalam lafadz itu.
Definisi ini mengandung pengertian bahwa bila kita memahami
“suatu hukum” dari apa yang langsung tersurat dalam lafadz itu,
maka di sebut pemahaman secara “munthuq”.
B. Dilalah Mafhum (‫) المفهوم‬
DIlalah Mafhum adalah : Penujukkan lafaz yang tidak dibicarakan atas
berlakunya hukum yang disebutkan atau tidak berlakunya hukum yang
disebutkan.
Mafhum terbagi menjadi 2 :
Mafhum Muwafaqah : Mafhum yang lafaznya menunjukkan bahwa hukum

yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaznya.
Mafhum Mukhalafah : Mafhum yang menujukkan bahwa hukum yang tidak

disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.


4. Berhujah dengan Mafhum Mukhalafah

Mafhum mukhalafah adalah suatau istilah yang populer dalam


pembahasan ushul fiqh.namun tentang penetapan hukum melalui cara
mafhum mukhalafah terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Beberapa bentuk afhum tersebut :
 Jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum yang memberi

petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan


kepada suatu sifat syarat bilangan / limit waktu yang mempunnyai
kekuatan kejadian.
 Ulama hanafiyah berpendapat bahwaa nash syara yang

menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu


siafat syarat bialangan dan batas waktu maka mempunyai kekuatan
hukum tersebut.
5. Syarat Berhujah dengan Mafhum
Mukhalafah

 ADA LIMA SYARAT MAFHUM MUKHALAFAH


1. Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil
manthuq atau mafbum muwafaqah karena keduanya lebih kuat
untuk digunakan dalam istidlal.
2. Hukum tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekedar
merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
3. Hukum yang terdapat dalam nash tidak merupakan jawaban
atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku
waktu itu.
4. Dalil manthuq-nya ( yang tersurat ) disebutkan secara
terpisah.seandainya manthuq tidak terpisah dan disebukan
sebagaoi rangkain dalil lain.
5. manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku.
B. Lafaz dari Segi Sighat Taklif
Telah dijelaskan bahwa hukum syar’i itu adalah kitab (titah) Allah yang berhubungan
dengan perbuatan Mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan, dan ketentuan.
Kittab dalam bentuk tuntutan ada dua bentuk :
 Tuntutan untuk meninggalkan atau larangan disebut “nahi”

 Tuntutan untuk mengerjakan atau perintah disebut “Amr”


1. Amar
a. Hakikat Amar

Kata amar mengandun arti “Ucapan” atau


“perkataan”.
Banyak pula kata amar yang tidak mengandung arti
ucapan, diantaranya seperti untuk arti “sesuatu” atau
“urusan” atau “perbuatan”.
Karen ada beberapa arti dari pemakaian kata amar,
maka jadilah perbincangan dikalangan ulama. Para
ulama Ushuul telah sepakat bahwa kata amar itu secara
hakiki digunakan untuk “ucapan tertentu”, yaitu kata
yang wazan (seimbang).
b. Definisi Amr
Dalam setiap kata Amar mengandung tiga unsur :
 Yang mengucapkan kata amar atau yang menyuruh

 Yang dikenai kata amar atau yang disuruh

 Ucapan yang digunakan dalam suruhan itu


Perbincangan mengenai hal tersebut menyebabkan adanya perbedaan
pendapat dikalangan ulama Ushul dalam merumuskan definisi amar :
 Diantara ulama, termasuk ulama Mu’tazilah mensyaratkan kedudukan pihak yang
menyuruh harus lebih tinggi dari pihak yang disuruh.
 Qadhi Abu Husein tidak mensyaratkan kedudukan yang menyuruh harus lebih
tinggi, tetapu mensyaratkan sikap ketika menyuruh dalam aksen ucapan meninggi
dengan menggunakan suara yang lebih keras.
 Sebagian besar ulama, termasuk Qadhi Abu Bakar dan Husein haranain
mendefinisikan amar sebagai suatu ucapan yang menuntut kepatuhan dari yang
disuruh untuk mengerjakan suatu perbuatan yang disuruhnya.
c. Sighat Amar

Dikalangan ulama ushul diperbincangkan tentang apakah dalam menggunakan amar ada
ucapan yang dikhususkan untuk itu

Sehingga dengan ucapan itu akan diketahui bahwa maksudnya ialah perintah untuk
berbuat.
Kalangan ulama yang berpendapat bahwa amar itu baru disebut amar apabila yang
menyuruh menghendaki yang disuruh untuk berbuat, mengemukakan alasan sebagai
berikut :
 Lafaz amar mengandung banyak kemungkinan arti

 Para pakar bahasa telah sepakat mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara

ucapan seseorang
 Suatu amar tidak terlepas dari 2 hal yaitu lafaz amar dan lafaz amar itu dijadikan

amar karena sighatnya memang untuk amar atau karena tidak adanya qarinah
d. Amar dari Segi Dilalah (penunjukkan) dan Tuntutanya
Setiap lafaz amar menunjuk kepada dan menuntut suatu maksud
tertentu. Maksud tersebut dapat diketahui dari sighat lafaz itu sendiri.

Berikut adalah beberapa bentuk tuntutan dari kata amar :


 Untuk hukum wajib, artinya lafaz amar itu menghendaki pihak

yang disuruh wajib melaksanakan apa yang diebutkan dalam


lafaz itu
 Untuk hukum Nadb atau sunnah, artinya hukum yang timbul

dari amar itu adalah nadb, bukan untuk wajib.


 Untuk suruhan bersifat mendidik.

 Untuk hukum Ibahah atau boleh.

 Untuk Tahdid atau menakut-nakuti

 Untuk Imtinan atau merangsang keinginan


 Ikram atau memuliakan yang disuruh
 Taskhir, yang berarti menghinakan

 ta’jiz yang berarti menyatakan ketidakmampuan seseorang

 Ihanah, artinya mengejek dalam sikap merendahkan

 Tswiyah, artinya menyamakan pengertian antara berbuat

atau tidak berbuat


 Untuk doa

 Tamanni, mengangankan sesuatu yang tidak terjadi

 Ihtiqar, artinya menganggap enteng terhadap yang disuruh

 Takwin, penciptaan

 Takhyir, memberi pilihan


2. Nahi
a. Definisi Nahi (larangan)
Para ulama merumuskan definisi nahi sebagai
berikut :
 Ulama yang mensyaratkan kedudukan yang lebih

tinggi bagi yang menyuruh memberikan definisi yaitu


tuntutan untuk meninggalkan dari pihak yang lebih
tinggi kepada yang lebih rendah
 Ulama mensyaratkan adanya sikap meninggi waktu

menyampaikan nahi sebagai tuntutan untuk


meninggalkan meninggi
b. Penunjukkan atau Tuntutan Nahi

Dalam Al-quran nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa maksud :

 Untuk hukum haram


 Makruh
 Mendidik
 Do’a
 Merendahkan
 Penjelasan akibat
 keputusan
c. Tuntutan lafaz nahi atas kesegeraan berbuat

Pembicaraan dikalangan ulama yang berhubungan dengan tuntutan amar atas kesegeraan berbuat berlaku
pula pada nahi, apakah nahi itu menghendaki kesegeraan meninggalkan larangan atau boleh ditangguhkan

 Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan kesegeraan untuk


dilakukan, berpendapat bahwa nahi juga tidak menghendaki kesegeraan untuk
ditinggalkan.
 Ulama yang berpendapat bahwa amar itu menuntut kesegeraan untuk dilakukan,
berpendapat bahwa nahi juga menuntut kesegeraan untuk meinggalkan apa yang
dilarang.
 Ulama yang bersikap tawaqquf dalam amar, demikian juga pendapatnya tentang
nahi.
d. Nahi atas beberapa pilihan (alternatif) Larangan
Bila amar kadang ditujukan atas sesuatu dari bebrapa pilihan, nahi
pun kadang ditunjukkan untuk salah satu dari beberapa pilihan.
 Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan hanya berlaku untuk salah satu dari
beberapa pilihan
 Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa nahi tersebut menghendaki meninggalkan
keseluruhan yang dilarang, mereka mengemukakan argumen sebagai berikut :
 Pada surah al-insan (76):24, meskipun larangan dalam ayat tersebut dinyatakan
secara pilihan dengan menggunakan kata penhubung “atau”, namun ayat itu berarti
tidak boleh mematuhi mereka yang berdosa dan juga tidak boleh yang kufur
 Dalam menjauhi kedua hal yang dilarang itu terdapat tindakan yang lebih hati-hati
sehingga sama sekali terhindar dari dosa.
e. Hubungan Timbal Balik antara Amar dan Nahi
Amr tentang sesuatu berarti tuntutan mengerjakan sesuatu itu, sedangkan nahi atas sesuatu berarti
tuntutan menjauhi sesuatu itu. Bila suatu perbuatan disuruh dikerjakan apakah berarti sama dengan
kebalikannya berupa larangan untuk meninggalkan perbuatan tersebut

 Segolongan ulama berpendapat bahwa bila datang


larangan mengerjakan satu perbuatan da ia hanya
mempunyai satu lawan kata, berarti disuruh
melakukan lawan kata itu dari segi artinya.
 Kebanyakan ulama, diantaranya Imam Haramain, al-
ghazali, al-Nawawi, al-jujani dan lainnya berpendapat
bahwa amar nafsi (tentang sesuatu tertentu), baik
hukumnya wajib atau nadb bukanlah berarti larangan
mengerjakan lawan sesuatu itu dan juga tidak
merupakan kelaziman bagi lawannya, baik larangan
itu menghasilkan hukum haram atau karahah.

Anda mungkin juga menyukai