Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Riba
1. Pengertian Riba
Menurut bahasa Arab riba adalah lebih atau bertambah. Adapaun yang
dimaksud menurut istilah syara’ adalah akad yang terjadi dengan penukaran yang
tertentu, tidak diketahui sama atau tidaknya menurut aturan syara’, atau terlambat
menerimanya.1 Riba secara terminologi fiqh adalah tambahan khusus yang
dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat transaksi tanpa ada imbalan
tertentu.2
Kemudian pandangan ulama terutama menurut Syaikh Muhammad Abduh
bahwa riba merupakan penambahan yang sebelumnya telah diisyaratkan oleh
orang yang memiliki harta (uang) kepada orang yang meminjam hartanya
tersebut, karena telah terjadi pengunduran janji atas pembayaran pinjaman
tersebut oleh peminjam dari batas waktu yang telah ditentukan kedua belah
pihak.3

2. Hukum Riba
Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan riba, demikian pula
hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan yang menerangkan siksa bagi
pelaku riba. Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya
“Bahwasannya jual beli seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba”. (QS.Al Baqarah: 175).
Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan:

1
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: PT Sinar Baru Algensind, 2018), hlm.290.
2
Herlina Kusuma wardani, “Perilaku Riba Kebiasaan Masyarakat Sesat tidak Seuai Prinsip-
prinsip Syariah Islam” dalam Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam Vol. 03 No. 02, 2017. Hlm. 152.
3
Op Cit, Fiqh Islam, hlm. 290.
ٍّ ‫ِدرْ هَ ُم ِربَا يَأْ ُكلُهُ ال َّر ُج ُل َوهُ َو يَ ْعلَ ُم أَ َش ُّد ِم ْن ِس‬
ً‫ت َوثَاَل ثِي َْن ِز ْنيَة‬
“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui
(bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali
zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).

‫ َوإِ َّن‬,ُ‫ ُل أُ َّمه‬g‫ ُل أَ ْن يَ ْن ِك َح ال َّر ُج‬g‫ ُرهَا ِم ْث‬g ‫ا أَي َْس‬ggً‫ ْبعُوْ نَ بَاب‬g ‫ٌَ َو َس‬ng‫َة‬g َ‫ا ثَالث‬ggَ‫الرب‬
ِ
‫أَرْ بَى الرِّ بَا َعرْ ضُ ال َّر ُج ِل ْال ُم ْسلِ َم‬
“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti
seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah
mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
Riba itu haram. Dan itu terdapat dalam(transaksi) emas, perak dan bahan-
bahan makanan. Tidak boleh menjual emas (ditukar) emas dan perak dengan
perak, kecuali dengan timbangan yang sama dan dibayar kontan. Dan tidak boleh
menjual sesuatu yang dibeli dan belum diterima, dan tidak boleh menjual daging
(ditukar) dengan hewan. Boleh menjual emas (ditukar) dengan perak yang
berbeda timbangannya dengan kontan. Demikian pula bahan makanan, tidak boleh
jual beli bahan yang sejenis kecuali sama timbangan/takarannya dan tunai. Boleh
jual beli suatu jenis dari bahan makan dengan jenis yang lain, dengan timbangan
berbeda dan tunai. Dan jual beli menipu tidak diperbolehkan.4

3. Macam-macam Riba
Menurut pendapat sebagian ulama, riba itu ada empat macam:
1. Riba fadli, yaitu menukarkan barang yang sejenis dengan tidak
sama. contohnya tukar menukar emas dengan emas,perak dengan
perak, beras dengan  beras dan sebagainya.
2. Riba qardi, yaitu utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang
memberi utang. Contoh : Andi meminjam uang sebesar Rp. 15.000
kepada Anton. Anton mensyaratkan agar Andi mengembalikan

4
Abu Suja’ Ahmad, Abu Suja’ Ahmad, Matan Al Ghayah Wattaqrib, (Surabaya: Al Miftah,
2011), hlm. 111.
hutangnya kepada Anton sebesar Rp. 17.000 maka tambahan Rp.
2.000 .
3. Riba yad, yaitu berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima.
maksudnya : orang yang membeli suatu barang, kemudian sebelum
ia menerima barang tersebut dari si penjual, pembeli menjualnya
kepada orang lain. Jual beli seperti itu tidak boleh, sebab jual beli
masih dalam ikatan dengan pihak pertama.
4. Riba nasa’, yaitu disyaratkan salah satu dari kedua barang yang
dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya.5 Contoh : Aminah
meminjam cincin 10 Gram pada Ramlan. Oleh Ramlan disyaratkan
membayarnya tahun depan dengan cincin emas sebesar 12 gram,
dan apa bila terlambat 1 tahun, maka tambah 2 gram lagi, menjadi
14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan pembayaran satu
tahun.

4. Dampak Riba
1. Bagi jiwa manusia.
Hati manusia akan menjadi keras,memiliki sifat egois dan
menghilangkan rasa peduli kepada sesama.
2. Bagi kehidupan bermasyarakat.
Menimbulkan kesenjangan sosial, adanya sikap diskriminasi
terhadap sesama manusia.

B. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al ‘iwadhu atau berarti
ganti. Dalam bahasa arab, al-ijarah diartikan sebagai suatu jenis akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian sejumlah uang. Secara terminologi,
ada beberapa definisi al-ijarah yang dikemukakan oleh para ulama fiqh. Pertama,
ulama Hanafiyah mendefinisikan dengan transaksi terhadap suatu manfaat dengan

5
Op. Cit, Fiqh Islam.., hlm. 290.
imbalan. Kedua, ulama Syafi’iyah mendefinisikan dengan transaksi terhadap
suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan
dengan imbalan tertentu. Ketiga, ulama Malikiyah dan Hambaliyah
mendefinisikannya dengan pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam
waktu tertentu dengan suatu imbalan. Pada dasarnya keempat pendapat ulama
diatas memiliki pandangan yang sama terhadap pengertian al-ijarah.
Sedangkan menurut Sutan Remy al-ijarah adalah akad pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti
pemindahan kepemilikan (milkiyyah) atas barang itu sendiri. Definisi mengenai
prinsip ijarah juga telah diatur dalam hukum positif Indonesia yakni dalam Pasal
1 ayat 10 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 yang mengartikan
prinsip al-ijarah sebagai “transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau
upah mengupah atas jasa suatu usaha jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa menyewa atau imbalan jasa.
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000,
ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa
dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah
tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari
yang menyewakan kepada penyewa.
Dari beberapa pengertian diatas dapat dikatakan bahwa al-ijarah adalah
pemindahan hak guna atau manfaat terhadap suatu barang atau jasa dari seseorang
kepada orang lain dalam waktu tertentu sesuai kesepakatan.

2. Dasar Hukum Ijarah


a. Landasan Al- Qur’an
Dalil tentang kebolehan transaksi al-ijarah dapat dipahami dari nash Al-
Qur’an diantaranya QS. Ath-Thalaq: 6. Terjemahnya:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya”.
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “berikanlah kepada
mereka upahnya”, ungkapan tersebut menunjukkan adanya jasa yang diberikan
sehingga berkewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk
didalamnya jasa penyewaan atau leasing. Upah dalam ayat ini disebutkan dalam
bentuk umum, mencakup semua jenis sewa-menyewa (ijarah).
b. Landasan Al-Hadits
Kebolehan melakukan transaksi ijarah didasarkan juga kepada hadits,
diantaranya hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Aisyah ra. Terjemahnya:
“Nabi saw bersama Abu Bakar menyewa seorang penunjuk jalan yang
mahir dari Bani al-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi”. (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa sewa-menyewa atau ijarah hukumnya
boleh. Hal itu dipahami dari hadits fi’liyah Nabi saw yang menyewa dan
memberikan upahnya kepada penunjuk jalan yang memandu perjalanan beliau
bersama Abu Bakar ra. Sebab Nabi saw merupakan suri tauladan yang baik untuk
diikuti.

3. Prinsip-prinsip Transaksi al-Ijarah


Menurut islam prinsip-prinsip pokok al-ijarah haruslah dipenuhi oleh
seseorang dalam suatu transaksi al-ijarah yang akan dilakukannya. Prinsip-prinsip
pokok tersebut adalah:
1. Jasa yang ditransaksikan adalah jasa yang halal sehingga dibolehkan
melakukan transaksi al-ijarah untuk keahlian memproduksi barang-barang
keperluan sehari-hari yang halal seperti untuk memproduksi makanan,
minuman, pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Namun tidak
dibolehkan transaksi al-ijarah untuk keahlian membuat minuman keras,
narkoba, dan obat-obat terlarang atau segala aktifitas yang terkait dengan
riba.
2. Memenuhi syarat sahnya transaksi al-ijarah yakni orang-orang yang
mengadakan transaksi al-ijarah haruslah sudah mumayyiz yakni sudah
mampu membedakan baik dan buruk sehingga tidak sah melakukan
transaksi al-ijarah jika salah satu atau kedua belah pihak belum mumayyiz
seperti anak kecil dan transaksi atau akad harus didasarkan pada keridhaan
kedua pihak, tidak boleh karena ada unsur paksaan.
3. Transaksi ijarah haruslah memenuhi ketentuan dan aturan yang jelas yang
dapat mencegah terjadinya perselisihan antara kedua pihak yang
bertransaksi. Ijarah adalah memanfaatkan sesuatu yang dikontrak. Apabila
transaksi tersebut berhubungan dengan seorang ajir, maka yang
dimanfaatkan adalah tenaganya, sehingga untuk mengontrak seorang ajir
tadi harus ditentukan bentuk kerjanya, waktu, upah serta tenaganya. Oleh
karena itu, jenis pekerjaannya harus dijelaskan sehingga tidak kabur.
Karena transaksi ijarah yang masih kabur hukumnya fasid (rusak). Dan
waktunya juga harus ditentukan, misalnya harian, bulanan, atau tahunan.
Disamping itu upah kerjanya harus ditetapkan. Karena itu dalam transaksi
ijarah ada hal-hal yang harus jelas ketentuannya yang menyangkut:
a) Bentuk dan jenis pekerjaan (nau al-amal)
b) Masa kerja (muddah al-amal)
c) Upah kerja (ujrah al-amal)
d) Tenaga yang dicurahkan selama bekerja (al-juhd alladziy yubdzalu
fii al-amal)

4. Rukun al-Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun al-ijarah itu hanya satu, yaitu ijab
(ungkapan menyewakan) dan qabul (persetujuan terhadap sewa-menyewa). Akan
tetapi, jumhur ulama mengatakan bahwa rukun al-ijarah itu ada empat, yaitu:
a) Orang yang berakal
b) Sewa/imbalan
c) Manfaat
d) Shighat (ijab dan qabul).
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa orang yang berakal, sewa/imbalan,
dan manfaat termasuk syarat al-ijarah, bukan rukunnya. Hal itu menunjukkan
bahwa jika salah satu dari beberapa rukun sewa-menyewa tersebut tidak
terpenuhi, maka akad sewa-menyewanya dikategorikan tidak sah.6
5. Macam-macam al-Ijarah
Dilihat dari obyeknya, akad al-ijarah oleh para ulama dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Al-Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa rumah, took,
kendaraan, pakaian, dan perhiasan. Apabila manfaat itu merupakan
manfaat yang dibolehkan syara’ untuk dipergunakan, maka para ulama
fiqh sepakat menyatakan boleh dijadikan obyek sewa-menyewa.
2. Al-Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan
seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Al-Ijarah seperti ini menurut
ulama fiqh hukumnya boleh, apabila jenis pekerjaannya itu jelas.

6. Berakhirnya Akad al-Ijarah


Para ulama fiqh menyatakan bahwa akad al-ijarah akan berakhir jika:
1. Obyek hilang atau musnah
2. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.
Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada
pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa maka ia berhak
menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh semua ulama fiqh.
3. Menurut ulama Hanafiyah, wafatnya salah satu seorang yang berakad,
karena akad al-ijarah menurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan
menurut jumhur ulama, akad al-ijarah tidak batal dengan wafatnya
seorang yang berakad, karena manfaat menurut mereka boleh diwariskan.
4. Apabila ada uzur pada salah satu pihak.7

C. Qardh
1. Pengertian Qardh

6
Rosita Tehuayo. “ Sewa menyewa dalam sistem perbankan syariah” Vol. XIV No 1, Jurnal
Tahkim Juni 2018 , hlm. 86-89.
7
Ibid, hlm. 90
Qardh berarti pinjaman atau utang-piutang. Secara etimologi, qardh
bermakna (memotong).8 Disebut qardh karena terjadi pemotongan sebagian
kekayaan pinjam dengan memberikan pinjaman kepada penerima pinjaman .9
Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqad tathawwui atau akad
saling membantu dan bukan transaksi komersial. Secara syar’i para ahli fiqh
mendefinisikan Qardh sbb:
1. Menurut pengikut Madzhab Hanafi , Ibn Abidin mengatakan bahwa
suatu pinjaman adalah apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan
kepada yang lain kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam
baik hati.
2. Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari
sesuatu yang berharga untuk pembayaran kembali tidak berbeda atau
setimpal.
3. Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke
seseorang siapa yang akan memperoleh manfaat dengan itu dan
kembalian sesuai dengan padanannya.
4. Menurut Madzhab Syafi’i Qardh adalah Memindahkan kepemilikan
sesuatu kepada seseorang, disajikan ia perlu membayar kembali
kepadanya.

2. Dasar Hukum Qardh


Utang-piutang di bolehkan dalam islam berdasarkan al-Quran, al-hadis
maupun ijma‟ sebagai berikut:
1. Landasan al-Quran
QS. al-Baqarah [2] ayat 245:
َ ‫ا هَّللا‬g‫ض‬ ْ َ‫ي َرةً أ‬ggِ‫طُ يَ ْقبِضُ َوهَّللا ُ ۚ َكث‬g‫ْس‬
َ ‫هُ فَي‬gَ‫ َعافًا ل‬g‫ض‬
ً ْ‫نًا قَر‬g‫ا ِعفَهُ َح َس‬g‫ُض‬ ُ ‫ ِه َويَب‬g‫ونَ َوإِلَ ْي‬gg‫تُرْ َج ُع‬
‫يُ ْق ِرضُ الَّ ِذي َذا َم ْن‬

8
Ahmad wardi muslich, fikih muamalah, (Jakarta: Amzah,2013), hlm.273
9
Suttan remy sjahdeini, perbankan syariah : produk-produk dan aspek-aspek hukumnya, (Jakarta:
kencana,2004), hlm.342
“Barang siapa meminjami Āllah dengan pinjaman yang baik
maka Āllah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.
Āllah menahan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nyalah
kamu dikembalikan”.10
Ayat tersebut pada dasarnya berisi tentang anjuran untuk
melakukan perbuatan qardh (memberika utang) kepada orang
lain, dan imbalannya adalah akan dilipat gandakan oleh Āllah
SWT. Dari sisi muqridh (orang yang memberikan utang), Islam
menganjurkan kepada umatnya untuk memberikan bantuan
kepada orang lain yang membutuhkan dengan cara memberi
utang. Dari sisi muqtaridh, utang bukan perbuatan yang
dilarang, melainkan dibolehkan karena seseorang berutang
dengan tujuan untuk memanfaatkan barang atau uang yang
diutangny itu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan ia
akan mengembalikannya persis seperti yang diterimanya.11
2. Landasan Al-hadis
Diriwayatkan dari Ibn Mas‟ud sesungguhnya Nabi Saw,
berkata: Tidaklah seorang Muslim menghutangkan hartanya
kepada Muslim lain sebanyak dua kali kecuali perbuatannya
sama dengan sedekah.(HR. Ibnu Majah).
Dari hadits tersebut menunjukan bahwa qardh (utang atau
pinjaman) merupakan perbuatan yang dianjurkan, yang akan
diberi imbalan oleh Āllah SWT. Dalam hadits itu menjelaskan
bahwa memberikan utang atau pinjaman dua kali nilainya sama
dengan memberikan sedekah satu kali. Ini berarti bahwa qardh
(memberikan utang atau pinjaman) merupakan perbuatan yang
sangat terpuji karena bisa meringankan beban orang lain.
3. Ijma

10
Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jilid 1,( Jakarta: Widya Cahaya, 2011), hlm.
358
11
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat,( Jakarta: Amzah, Cet. 1, 2010), hlm. 275.
Para Ulama telah Ijma‟ tentang kebolehan utang piutang.
Hukum qardh sunat bagi orang yang memberikan utang serta
mubah bagi orang yang minta diberi utang. Seseorang boleh
berutang jika dalam kondisi terpaksa dalam rangka
menghindarkan diri dari bahaya, seperti untuk membeli
makanan agar dirinya terhindar dari kelaparan.12

3.Rukun dan syarat qardh


Rukun qardh menurut ulama Hanafiyah adalah ijab dan kabul. Sementara itu
menurut jumhur ulama rukun qardh ada tiga, yaitu:
1. Dua orang yang berakad yang terdiri dari: muqrud (yang memberikan
hutang) dan muqtarid (orang yang berhutang).
2. Barang yang dipinjamkan
3. Shigat ijab dan kabul.13
4. Manfaat Aqad Al-Qardh
Manfaat aqad al-qardh banyak sekali, diantaranya:
1. Memungkikan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk
mendapatkan dana talangan jagka pendek.
2. Al-qardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pemberi antara bank
syariah dan bank konvensionalyang didalamnya terkandung misi
sosial, disamping misi komersial.
3. Adanya misi-sosial kemasyarakatkatan ini akan meningkatkan citra
baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.
4. Risiko al-qardh terhitung tinggi karena ia di anggap pembiayaan yang
tidak ditutup dengan jaminan.14

12
Dalam buku Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah: Prinsip dan Implementasinya pada Sektor
Keuangan Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), hlm. 231
13
Ibid, hlm. 232
14
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank syariah (dari teori dan praktk, (Jakarta: Gema insani
press,2001), hlm. 134

Anda mungkin juga menyukai