Anda di halaman 1dari 12

FASAKH DAN KHULU’

Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Fiqih Munakahat dan Mawaris

Dosen Pengampu :

Drs. Rusdi Jamil, M.Ag.

Disusun Oleh:

Laela Septiana Nur Hidayanti (11190110000048)

Aini Rahma Sari (11190110000115)

Alwi Maulana Rachman (11190110000128)

Alfaldee Hama (11190110000132)

KELAS 3D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2020 M/1442 H
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kepada kami kekuatan dan
petunjuk untuk menyelesaikan makalah ini. Tanpa pertolongan-Nya kami tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul Fasakh dan Khulu’ ini dapat
berjalan dengan lancar.

Makalah ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk melaksanakan tugas Fiqih
Munakahat dan Mawaris. Banyak pihak yang telah memberi bantuan, dorongan dan motivasi
selama proses penyusunan makalah ini berlangsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini
pemakalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu
sehingga makalah ini bisa selesai dengan baik.

Pemakalah menyadari sepenuhnya akan segala keterbatasan pengetahuan dan


kemampuan yang pemakalah miliki, sehingga dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan dan hasilnya masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian pemakalah telah
berusaha maksimal agar mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kemampuan yang
penulis miliki.
Semoga bantuan dan dukungan yang telah diberikan, diganti dengan kebaikan yang
jauh lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata, semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan bagi Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 28 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah....................................................................................................1

C. Tujuan Masalah........................................................................................................1

D. Metode Penulisan.....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................2

A. Pengertian Fasakh........................................................................................................2

B. Sebab-sebab Terjadinya Fasakh..................................................................................2

C. Pelaksanaan Fasakh.....................................................................................................4

D. Putusnya Perkawinan oleh Sebab Lain........................................................................6

BAB III...................................................................................................................................8

PENUTUP..............................................................................................................................8

A. Kesimpulan..................................................................................................................8

B. Saran............................................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap Manusia yang ada di atas permukan bumi ini pada umumnya selalu
menginginkan bahagia, dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Tetapi
kebahagiaan itu tidak dapat di capai dengan mudah tanpa mematuhi peraturan-peraturan yang
telah di gariskan Agama, diantaranya mesti individu-individu dalam masyarakat itu saling
menunaikan hak dan kewajibannya masing-masing.

Salah satu jalan untuk mencapai bahagia adalah dengan jalan perkawinan, dengan
adanya perkawinan terbentuklah suatu rumah tangga. Didalam perkawinan pasti ada banyak
menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan suami tidak
sanggup memberi nafkah lahir kepada istrinya seperti perbelanjaan sehari-hari. Dan istri yang
tidak saling pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan
kekurangan ekonomi yang telah muncul di hadapan kelarganya dan akhirnya menimbulkan
pertengkaran.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Fasakh?
2. Apa Saja Sebab-sebab Terjadinya Fasakh?
3. Bagaimana Pelaksanaan Fasakh?
4. Apakah Khulu’ itu?
5. Apa Saja Hikmah Fasakh dan Khulu’?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Pengertian Fasakh.
2. Untuk mengetahui Penyebab Fasakh.
3. Untuk mengetahui Cara Pelaksanaan Fasakh..
4. Untuk mengetahui Pengertian Khulu’
5. Untuk mengetahui Hikmah Fasakh dan Khulu’.

D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan oleh pemakalah ialah merujuk pada jurnal yang telah diketahui
sumber kebenarannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fasakh
Fasakh berasal dari bahasa arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti
membatalkan,1 atau juga fasakh berarti mencabut atau menghapuskan, 2 atau membatalkan
akad nikah dan melepaskan hubungan yang terjalin antara suami isteri. Sedangkan secara
terminologi, fasakh dapat diartikan sebagai perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal
hal yang dianggap berat oleh suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup
untuk melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.3

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, fasakh adalah hak pembatalan ikatan
pernikahan oleh pengadilan agama berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yg dapat
dibenarkan oleh pengadilan agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi
hukum pernikahan.

Sedangkan menurut Amir Syarifudin, fasakh berarti putusnya perkawinan atas


kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada
istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.4

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fasakh ialah putusnya perkawinan oleh
suatu sebab yang dapat dibenarkan oleh pengadilan agama dengan adanya bukti-bukti yang
menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak dapat dilanjutkan.

B. Sebab-sebab Terjadinya Fasakh


Fasakh terjadi karena disebabkan oleh kerusakan (cacat) atau tidak terpenuhinya
syarat-syarat ketika akad nikah berlangsung, ada juga yang disebabkan oleh hal-hal yang
datang kemudian yang menyebabkan akad pernikahan tersebut tidak dapat dilanjutkan.5
Berikut pemakalah akan menjelaskan mengenai kedua sebab tersebut:

a. Fasakh yang disebabkan oleh adanya kerusakan atau tidak terpenuhi syarat-syarat
dalam akad nikah, antara lain:

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.190.
2
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islsam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 212.
3
Ibid.
4
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm.197.
5
Slamet Abidin, Fiqih Munakahat II, (Bandung : Pustaka Setia, 1989), cet. I, h. 73.

2
1) Setelah pernikahan berlangsung, dikemudian hari baru diketahui bahwa suami
istri tersebut adalah saudara sekandung, seayah, seibu, atau saudara
sepersusuan (radha’ah).
2) Apabila selain ayah atau kakek menikahkan seorang anak laki-laki dengan
anak perempuan yang keduanya diketahui masih dibawah umur, maka setelah
kedua anak tersebut beranjak dewasa mereka berhak menghentikan pernikahan
tersebut atau meneruskannya. Ulama Fiqh mengatakan bahwa hak pilih seperti
ini dinamakan khiyar al-bulugh.6
b. Fasakh yang disebabkan oleh adanya penghalang setelah berlangsungnya pernikahan,
antara lain:
1) Salah seorang diantara keduanya murtad (keluar dari agama Islam).
2) Apabila keduanya menganut agama non Islam dan kemudian sang istri
memeluk agama Islam (mualaf), maka akad pernikahan itu dengan sendirinya
batal. Sedangkan jika sang suami yang masuk Islam dan istrinya tersebut ahli
kitab, maka pernikahan tersebut tidak batal. Sebab perkawinan dengan ahli
kitab dari semuanya dipandang sah.7
3) Salah satu pihak mempunyai penyakit serius atau cacat, sehingga menghalangi
keduanya dalam kehidupan seksual yang wajar.
4) Suami tidak mampu memberi nafkah.
5) Suami menghilang dalam waktu yang lama sekiranya 4 bulan.8

Sedangkan dalam buku ilmu fiqih, disebutkan beberapa alasan terjadi fasakh dalam
pernikahan, antara lain:

a) Tidak adanya nafkah bagi istri. Imam Maliki, Asy-Syafi’i, dan Ahmad berpendapat
bahwa hakim berhak menetapkan putusnya perkawinan tersebut dikarenakan sang
suami tidak memberi nafkah, baik karena tidak ada lagi uang yang cukup untuk
menafkahi, ataupun memang suami menolak untuk menafkahi.
b) Terjadi cacat atau penyakit. Jika terjadi cacat atau penyakit pada salah satu pihak
sehingga mengganggu kelestarian hubungan suami istri sebagaimana mestinya, atau
menimbulkan penderitaan batin pihak yang satunya, maka yang bersangkutan berhak

6
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Pusat, Ilmu Fiqih, Jilid II, 1984/1985, h. 73.
7
Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid I, Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996, cet. I, h.
317.
8
Ibid. h. 320.

3
mengadukan hal tersebut kepada hakim, kemudian pengadilan memfasakh
perkawinan mereka.
c) Istri yang menderita fisik atau batin dikarenakan tingkah suaminya. Misalnya suami
meyakiti badan dan menyengsarakan sang istri, suami menghilang dan tidak diketahui
keberadaannya, suami dipenjara dan lain sebagainya, sehingga karena hal tersebut
sang istri menderita lahir maupun batin. Maka dalam hal ini, istri berhak mengadu
kepada hakim yang kemudian pengadilan memutuskan perkawinanya.

Dapat disimpulkan bahwa hak untuk memutuskan suatu pernikahan dengan jalan
fasakh melalui kekuasan pengadilan agama, dilakukan dengan cara sang suami maupun istri
sebagai penggugat harus menyertakan bukti-bukti kuat yang menyatakan bahwa pernikahan
tersebut tidak dapat diteruskan.

C. Pelaksanaan Fasakh
Apabila kondisi penyebab fasakh itu jelas dan dibenarkan syara’, maka untuk
menetapkan fasakh tidak diperlukan putusan pengadilan. Misalnya bahwa suami isteri
tersebut masih saudara kandung, saudara susuan, dan lain sebagainya.
Akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka pelaksanaannya adalah:

a) Jika suami tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya sedang hakim telah
memaksa untuk itu, maka dalam hal ini terlebih dahulu diadukan ke pihak yang
berwenang agar dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Sebagimana yang
dijelaskan dalam riwayat berikut:

‫عن عمر رضي اهلل عنه انه كتب ايل امراء االجناد يف رجال غابوا عن النساءهم ان ياخذوهم بان ينفقوا او‬

‫رواه الشافعي والبيحقي‬ ‫يطلقوا فان طلقوا بعثوا بنفقة ما حسبوا‬


“Dari Umar r.a bahwa ia pernah mengirim surat kepada pembesar-pembesar
tentara, tentang laki-laki yang telah jauh dari isteri-isteri mereka supaya pemimpin-
pemimpin itu menangkap mereka agar mereka mengirimkan nafkah atau
menceraikan isterinya. Maka bila mereka telah menceraikannya, hendaklah mereka
kirim semua nafkah yang telah mereka tahan.” (HR. Asy-Syafi’i dan Al-Baihaqi).

b) Setelah isteri mengadu dan hakim memberi jangka waktu 3 hari, tetapi sang suami
tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim memfasakh nikahnya. Atau dia
sendiri yang memfasakh di depan hakim setelah mendapat persetujuan.

4
Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda tentang yang tidak
memperoleh apa yang telah dinafkahkan kepada isteri, bolehlah keduanya bercerai.”
(HR. Darutqutni dan Al-Baihaqi).
Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat mengenai waktu pelaksanaan fasakh
akad nikah. Abdurrahman al-Zajiri mengemukakan pendapat ulama Hanbaliah bahwa apabila
suami murtad bersama-sama sebelum atau setelah dukhul, maka nikahnya batal dan harus
diceraikan. dan nikahnya tidak putus sebelum masa iddahnya habis, sehingga masih ada
waktu untuk bertobat. Apabila masih dalam kemurtadannya, maka pernikahannya fasakh.9
Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah menurut Hasbi Ash-Shidiqie dalam
suatu riwayat mengatakan jika dari salah satu suami atau istri murtad, perceraiannya harus
disegerakan demi menjaga tauhid dari salah satunya.
Ada persyaratan-persyaratan tertentu dalam penyelesaian proses fasakh, yakni:

1) Mengajukan perkara kepada hakim atau pengadilan.


2) Keadaan suami sudah mukallaf.
3) Pihak istri keberatan dengan keadaan suaminya yang murtad, demikian pula pihak
suami merasa kemurtadan istri dan berbagai penyakit yang dideritanya.

Di Indonesia, masalah pembatalan perkawinan diatur dalam kompilasi hukum Islam


(KHI) sebagai berikut:10

1) Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila


pernikahan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
2) Seorang suami dan isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila pada
waktu berlangsungnya pernikahan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
3) Apabila ancaman telah berhenti, namun dalam jangka waktu 6 bulan masih bersuami
isteri dan tidak mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Adapun yang berhak mengajukan permohonan pembatalan pernikahan adalah:

1) Para keluarga dalam garis keturunan.


2) Suami dan isteri.

9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). H. 108-109.
10
Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminudin, Fiqih Munakahat II, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 81.

5
3) Pejabat yang berwenang mengatasi permasalahan pernikahan menurut Undang-
undang.
4) Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat pernikahan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

D. Putusnya Perkawinan oleh Sebab Lain


A. Pengertian Khulu’
Secara etimologi kata khulu’diambil dari kata Khala’a yang berarti mencopot atau
menanggalkan, maksudnya ialah suami menceraikan istri dengan suatu pembayaran yang
dilakukan oleh istri atas kehendak dan permintaan istri. Kata khulu’ tersebut diistilahkan
dengan kata khal’a ats-Sauba yang berarti menanggalkan atau melepaskan pakaian dari
badan (pakaian yang dipakai). Kata yang “dipakai” diartikan, dengan “menanggalkan istri”,
karena istri adalah pakaian dari suami dan suami adalah pakaian dari pada istri. 11
Sebagaimana firman Allah SWT dalam kutipan ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 187
yang berbunyi:

ِ ِ
ٌ َ‫اس لَّ ُك ْم َوأَنتُ ْم لب‬
‫اس هَّلُ َّن‬ ٌ َ‫ُه َّن لب‬

Artinya: “….Mereka (perempuan) adalah pakaian bagimu (laki-laki), dan kamupun


adalah pakaian bagi mereka (perempuan)…”

Khulu’ menurut terminologi ilmu fiqh berarti menghilangkan atau membuka buhul akad
nikah dengan kesediaan istri membayar ‘iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu
(suami) dengan menggunakan perkataan cerai atau khulu’, iwadhnya berupa pengembalian
mahar oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang, atau sesuatu yang dipandang
mempunyai nilai yang kesemuanya itu telah disepakati oleh kedua belah pihak.12

Dalam Islam Khulu’ dapat dilakukan apabila ada sebab yang menghendakinya, seperti
suami buruk akhlaknya atau tidak menunaikan haknya atau istri takut jauh dari Allah SWT
dalam bergaul dengan suami, jika tidak ada sebab yang mendorongnya, maka
khulu’dilarang.13

Dari beberapa penjelasan tersebut, kiranya pemakalah dapat menyimpulkan


bahwasanya khulu’ adalah perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atas dasar

11
As-Sho’ani, Subulus Salam, terj. Abu Bakar Muhammad, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 598.
12
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 18.
13
Selamet Abiddin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 86.

6
kehendak istri dengan istri memiliki kesanggupan untuk membayar ‘iwadh kepada suaminya,
yang dilakukan atas dasar kesepakaatan kedua belah pihak.

B. Tata Cara Menjatuhkan Khulu’


Secara umum khulu’dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: pertama, menggunakan
kata khulu’; kedua, menggunakan kata cerai (talak); ketiga, menggunakan kata kiasan yang
disertai dengan niat.

Menurut jumhur fuqoha’, khulu’itu termasuk talak. Seperti halnya pendapat Imam
Maliki dan Abu hanifah mempersamakan khulu’ dengan fasakh. Sedangkan Imam Syafi’i
berpendapat bahwa khulu’ termasuk fasakh. Begitu juga pendapat dari Imam Ahmad dan
Daud, serta Ibnu Abbas dari kalangan sahabat. Imam Syafi’I juga meriwayatkan bahwa
khulu’merupakan kata-kata sindiran (kinayah). Jadi dengan kata kinayah tadi suami
menghendaki talak, maka talakpun terjadi, begitupula sebaliknya jika tanpa adanya niatan
maka khulu’pun menjadi fasakh.14

C. Hikmah Fasakh dan Khulu’


Adapun hikmah fasakh antara lain:

1) Untuk menjamin hak dan perlindungan kepada kaum wanita sekiranya mereka
teraniaya.
2) Menyadarkan kaum lelaki bahwa perceraian bukan hanya dimiliki secara mutlak oleh
suami saja.
3) Menunjukkan keunggulan syari’at Allah SWT yang Maha mengetahui akan keperluan
hamba-Nya.

Mengenai hikmah khulu’, Al Jurjawi mengatakan: hikmah khulu’sebenarnya dibenci


oleh syariat yang mulia seperti halnya talak. Semua akal sehat dan perasaan sehat menolak
khulu’ hanya saja Allah Maha Bijaksana memperbolehkannya untuk menolak bahaya ketika
tidak mampu menegakkan hukum-hukum Allah. Hikmah yang terkandung dalam khulu’
adalah menolak bahaya yaitu apabila perpecahan anatara suami dan istri telah memuncak dan
dikhawatirkan keduanya tidak dapat menjaga syariat-syariat dalam kehidupan suami istri,
maka khulu’dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah merupakan penolakan terjadinya
permusushan dan untuk menegakkan hukum-hukum Allah.

14
Ibid., hlm. 82.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fasakh adalah hak pembatalan ikatan pernikahan oleh pengadilan agama
berdasarkan dakwaan (tuntutan) istri atau suami yg dapat dibenarkan oleh pengadilan
agama, atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan. Fasakh
dapat terjadi karena disebabkan oleh kerusakan (cacat) atau tidak terpenuhinya syarat-
syarat ketika akad nikah berlangsung, ada juga yang disebabkan oleh hal-hal yang datang
kemudian yang menyebabkan akad pernikahan tersebut tidak dapat dilanjutkan.
Khulu’ berarti menghilangkan atau membuka buhul akad nikah dengan kesediaan
istri membayar ‘iwadh (ganti rugi) kepada pemilik akad nikah itu (suami) dengan
menggunakan perkataan “cerai” atau “khulu”, iwadhnya berupa pengembalian mahar
oleh istri kepada suami atau sejumlah barang, uang, atau sesuatu yang dipandang
mempunyai nilai yang kesemuanya itu telah disepakati oleh kedua belah pihak. Khulu’
dapat dilakukan apabila ada sebab yang menghendakinya, seperti suami buruk akhlaknya
atau tidak menunaikan haknya atau istri takut jauh dari Allah SWT dalam bergaul dengan
suami.

B. Saran
Kami menyadari bahwa masih terdapat kesalahan dalam pembuatan makalah serta
kekeliruan dalam menyampaikan materi. Oleh karena itu, kami meminta saran dan kritik
dari pembaca yang akan memotivasi kami agar dapat lebih baik lagi nantinya.

8
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, S. (1989). Fiqih Munakahat II. Bandung: Pustaka Setia.

Aminudin, D. S. (1999). Fiqh Munakahat II. Bandung: Pustaka Setia.

As-Shoani. (1995). Subulus Salam. Surabaya: Al-Ikhlas.

Dahlan, A. A. (1996). Ensiklopedia Hukum Islam Jilid I. Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve.

Muchtar, K. (1993). Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang.

Syarifuddin, A. (2006). Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai