Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan dalam islam memperoleh tempat dan posisi yang sangat tinggi, karena
melalui pendidikan orang dapat memperoleh ilmu, dan dengan ilmu orang dapat mengenal
Tuhannya, mencapai ma’rifatullah, peribadatan sesorang juga akan hampa jika tidak
dibarengi dengan ilmu. Demikian juga tinggi rendahnya seseorang, disamping iman, juga
sangat ditentukan oleh
kualitas keilmuan (kearifan) seseorang. Karena ilmu  sangat menentukan,
maka pendidikan sebuah proses perolehan ilmu menjadi sangat penting.
Pendidikan islam dipahami sebagai sebuah proses transformasi dan internalisasi nilai-
nilai ajaran islam terhadap peserta didik, melalui proses pengembangan fitrah agar
memperoleh keseimbangan hidup dalam semua aspeknya.[1]
Sebagai agama, islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan komperensif
dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya.
Sebagai agama yang paling sempurna, ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup
sepanjang zaman.
Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah
dan penyerahan diri kepada Allah saja. Melainkan juga mengatur cara mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, termasuk didalam mengatur masalah pendidikan.
Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah Al-Qur’an dan
Sunnah. Sebagai sumber ajaran, Al-Qur’an sebagai sumber ajaran sebagaimana telah
dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah
pendidikan dan pengajaran.
Demikian pula dengan hadis, sebagai sumber ajaran islam, diakui memberikan
perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad Saw. telah
mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education). Islam sebagai agama
yang ajaran-ajarannya bersumber pada Al-Qur’an dan hadis sejak awal telah menancapkan
revolusi dibidang pendidikan dan pengajaran.
Sdemikian pentingnya pendidikan sehingga harus dilkukan secara terus-menerus oleh
manusia sampai akhir hayatnya. Dan yang paling penting pendidikan dalam keluarga, karena
dari pendidikan keluarga jugalah yang paling berperan untuk mendidik  seorang anak 
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaiman konsep islam tentang pendidikan dalam keluarga?
2.      Bagaiman pola asuh orang tua kepada anak yang perlu dikembangkan dalam membentuk
Ahklakul karimah?

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Konsepsi Tentang Pendidikan Keluarga
Dalam islam, keluarga dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan  nasb. Keluarga dapat
diperoleh melalui keturunan perkawinan , persusuan dan pemerdekaan.[2] Dalam pandangan
antropologi, keluarga adalah suatu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia
sebagai mahkluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerja sama ekonomi,
berkembang, mendidik, melindungi, merawat, dan sebagainya, sedangkan inti keluarga
adalah ayah, Ibu, dan bapak.[3]  
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama, dimana orang
tua menjadi pendidiknya yang paling bertanggunag jawab terhadap perkembangan anaknya
terutama dalam pembentukan ahklakul karimah.kaidah ini ditetapkan secara kodrati, karena
mereka ditakdirkan menjadi orang tua anak yang dilahirkan. Dan Al-Qur’an disinyalir adanya
do’a anak kepada Tuhan untuk kebahagiaan orang tuanya, yang didalamnya terbawa serta
tinggi rendah tingkat identitas dan kesungguhan usaha pendidikan oleh orang tua kepada
anak.
Secara sederhana kewajiban orang tua hanyalah mengembangakan apa yang secara
primordial sudah ada pada anak, yaitu nature, kebaikannya sendiri sesuai dengan fitrahnya.
Tetapi disisi lain orang tua juga mempunyai peranan menentukan dan memikul beban
tanggung jawab utama jika sampai tarjadi anak menyimpang dari nature dan potensi
kebaikannya itu sehingga menjadi manusia ciri-ciri kualitas rendah. Sebuah hadis yang
terkenal mengaskan “ bahwa setiap anak dilahirkan dalam fitrah (nature, kesucian),
kemudian ibu bapaknya yang mungkin membuat menyimpng dari fitrah itu.
Pada dasarnya, setiap orang tua juga menginginkan anaknya menjadi orang yang
berkembang secara sempurna, mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menajdi
orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Intinya bahwa tujuan
pendidikan dalam rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal,
meliputi seluruh aspek perkembangan jasmani, akal dan rohani. Dari tiga perkembangan
tersebut, Ahmad Tafsir menyatakan bahwa kunci pendidikan dalam keluarga adalah
pendidikan kalbu (rohani) atau pendidikan agama. Ini disebabkan karena pendidikan agama
islam  sangat besar pengaruhnya dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Pendidikan
agama diarahkan pada dua arah, yaitu:
1.      penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani
dan akalnya.
2.       Penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam mengahrgai guru dan pengetahuan di
sekolah.[4]
Jika digali ayat-ayat Al-Qur’an, maka kewajiban orang tua kepada anak-anaknya
antara lain:
1)      Mendo’akan anak-anaknya dengan do’a yang baik (QS. 25: 74), dan tidak sekali-kali
mengutuk anaknya dengan kutukan yang tidak manusiawi;
2)      Memelihara anak dari api neraka (QS. 66: 6).
3)      Menyerukan shalat pada anaknya (QS. 20: 132).
4)      Menciptakan kedamaian dalam rumah tamgga (QS. 4: 128).
5)      Mencintai dan mencintai anak-anaknya 9QS. 3: 140).
6)      Bersikap hati-hati kepada anak-anaknya (QS. 64: 14).
7)      Memberi nafkah yang halal (QS. 2: 233).
8)      Mendidik anak agar berbakit kapada ibu bapak (QS.4: 36).
9)      Memberi air susu sampai dua tahun (QS. 2: 233).[5]
Sementara itu, menurut An-Nahlawikewajiban orang tua dalam pendidikan anak-
anaknya, yaitu:
1)        Menegakkan hukum-hukum Allah Swt.[6]pada anaknya (QS. 2: 229-230.
2)        Merealisasikan ketenteraman dan kesejahteraan jiwa keluarga (QS. 7: 189, 30: 21).
3)        Melaksanakan perintah agama dan perintah Rasulullah  Saw (QS. 66: 6).
4)        Mewujudkan rasa cinta kepada anak-anaknya melalui pendidikan.
Nurcholis Madjid menyatakan pentingnya pendidikan agama dalam lingkungan
keluarga.[7] Pendidikan agama disini dimaksudkan bukan hanya  dalam bentuk ritus dan
formalitas, tapi harus dilihat dari tujuan dan makna haqiqinya, yaituupaya mendekatkan
(taqarrub) kepada Allah dan membangun budi pekerti yang baik sesama manusia (akhlak al-
karimah). Sebab itu perlu ditekankan pada pendidikan bukan pengajaran, pengajaran dapat
dilimpahkan pada lembaga pendidikanapi pendidikan , tetap menjadi tanggung jawab orang
tua.
Adapun dasar-dasar pendidikan yang diberikan kepada anak didik dai orang tuanya,
menurut Ali Saifullah adalah:
a)         Dasar-dasar pendidikan budi pekerti, memberi norma pandangan hidup tertentu walaupun
masih dalam bentuk sederhana kepada anak didik.
b)        Dasar pendidikan sosial, melatih anak didik dalam tatacara bergaul yang baik terhadap
lingkunagan sekitarnya.
c)         Dasar pendidikan intelek, anak diajarkan kaidah pokok dalam percakapan, bertutur bahasa
yang baik, kesenian dan disajikan dalam bentuk permainan.
d)        Dasar pembentukan kebiasaan, pembinaan keperibadian yang baik dan wajar, yaitu
membiasakan kepada anak untuk hidup yang  teratur bersih, tertib, disiplin, rajin, dan
dilakukan secara berangsur-angsur tanpa unsur paksaan.
e)         Dasar pendidikan kewarganegaraan, memberikan norma nasionalisme, dan patriotisme, cinta
tanah air dan keperimanusiaan yang tinggi.[8]
Melihat tugas dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan anaknya, maka harus
dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupin non formal, harus dilihat
sebagi kelanjutan rumah tangga,sedangkan para pelaku pendidikan seperti guru-guru dan
kaum pendidik adalah wakil-wakil oran tua dan pelanjut peran orang tua menumbuhkan dan
mengembangkan anak mereka.
A.       Pola Asuh dan Pembentukan Akhlakul Karimah

Pola asuh adalah merupakan suatu cara tebaik yang dapat ditempuh orang tua dalam
mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak dimana tanggung
jawab untuk mendidika anak merupakan tanggung jawab perimer.karena akan merupaka
buah dari kasih sayang yang diikat dalam tali perkawinan antara suami istri dalam suatu
keluarga. Keluarga adalah suatu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi
sosial terpenting dan meruapakan unit sosial yang utama melalui individu-individu di siapkan
nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang utama.[9]

Demikian peran eluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dari tinjauan
agama, tinajauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.yang menjadi persoalan
sekarang bukan lagi pentingnya pendidikan keluarga, melainkan bagaimana pendidikan
keluarga dapat dapt berlangsung dengan baik sehingga mampu menumbuhkan perkembangan
keperibadian anak menjadi mansia dewasayang memilki sikap positif terhadap agama,
keperibadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang
berkembang secara optimal.cara mendidik seperti ini, dapat dilihat dari tiga [ola asuh orang
tuaterhadap anak yakni pola asuh yang demokratis, otokratik, dan permisive
.
Menurut Khon, pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan
ananknya, sikap ini dapat dilihat dalam berbagai segi, antara lain dari cara orang tua
memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hukuman dan hadiah, cara orang tua
memberikan otoritas dan orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan
anak.[10] Dengan demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara
mendidi orang tua kepada anak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan
dengan pembentukan keperibadian, kecerdasan, dan keterampilan yang dilakukan secara
sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman penciptaan situasi maupun pemberian
hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam keadaan seperti ini yang diharapkan muncul dari anak
adalah efek instruksional yakni respons-respons anak terhadap aktifitas pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari, baik
tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antar keluarga,
masyarakat, hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi
dimana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.

Hourlock mengemukakan ada tiga jenis pola asuh asuh orng tua terhadap ananknya,
yaitu:
a)      Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang
ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan
untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan
bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sedah
benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang bersifat otoriter
juga ditandai dengan penggunaan hukum yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman
badan, anak juga diatur segala keperluan dengan segala aturan yang ketat dan masih
diberlakukan meskipun sudah menginjak dewasa. Orang tua punya kewajiban untuk
menolong anaknya memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi tidak boleh berlebih-lebihan
dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri (mandiri).
[11]
b)        Pola asuh demokratis
Pola asuh seprti ini ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap
kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua.
Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi
dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang
menyangkut kehidupan anak itu sendiri.anak diberi kesempatan untuk mengembangkan
kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada
diri sendiri.anak dilibatkan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.
Namun tidak semua orang tua harus mentolelir terhadap anak, dalam hal-hal tertentu
orang tua orang tua perlu ikut campur  tangan, misalnya:
v  Dalam keadaan membahayakn hidupnya atau kesehatan anak;
v  Hal-ahal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang lahir;
v  Permaina yang menyenangkan bagi anak, tetapi menyebabkan keruhnya suasana yang
mengganggu ketenangan umum.
Demikian pula kepada hal-hal yang sangat prinsif sifatnya mengenai pilihan agama,
pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, orangtua dapat memaksakan
kehendaknya kepada anak, karena anak belum memiliki wawasan yang luas dan cukup
mengenai hal itu.karena itu tidak semua materi pendidikan agama harus seluruhnya diajarkan
secara demokratik kepada anak. Jika dikembalikan dengan kisah lukman sebagaiman
disebutkan dalam Al-Qur’an, nampak bahwa pendidikan aqidah islamiyah tidak harus
disajikan secara demokratis, melainkan secara dogmatis.
c)         Pola asuh yang permisif.
Pola asuh yang ketiga ini, adalah pola asuh yang ditandai dengan cara orangtua
mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewas/muda, ia diberi kelonggaran
seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak
sanagt lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anak.semua apa
yang dilkukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan, dan
bimbingan.
Cara mendidik yang demikian ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang
sudah matang pemikirannya, tetapi tidak sesuai jika diterapkan kepada anak-anak remaja.
Apabila diterpkan untuk pendidikan agama, banyak hal yang harus disampaikan secara
bijaksana.
Dalam menghadapi anak usia remaja, Sumadi Suryabrata memberikan beberapa
petunjuk, antara lain:
1)        Jangan berdiri didepan mereka, tetapi berdirilah disamping mereka;
2)        Jangan menunjukkan otoritas, tetapi tunjukkan simpati;
3)        Usahakan mendapatkan kepercayaan dari mereka dan selanjutnya beri mereka bimbingan;
4)         Supaya menghadapi mereka dengan bijaksana.[12]
Keluarga merupakan bagian dari pranata sosial begitu juga dengan pendidikan.
Pengaruh keluargasangat mempengaruhi keperibadian anak, sebab waktu terbanyak anak
adalah keluarga, dan didalam keluarga itulah diletakkan sendi-sendi dasar pendidikan.
Pendidikan keluarga yang dapat membentuk karakter anak didik memiliki maksud
sebagai berikut:
1)        Pendidikan dan anak;
2)        Pengaruh sekolah selama tahun-tahun pertama;
3)        Pendidikan selama remaja;
4)        Pengaruh sosialisasi atau pergaulan;[13]
Setiap siswa mempunyai latar belakang sosial yang berbeda-beda, ada yang berasal
dari lingkungan perkotaan, ada pula yang berasal dari lingkungan pedesaan, yang sudah tentu
dua lingkungan yang berbeda ini memberikan pengaruh yang berbeda pula terhadap siswa
terutama dalam hal psikisnya, dan hal ini sudah tentu memberikan pengaruh yang cukup
besar terhadap prestasi belajar siswa. Dan lingkngan ekonomi pun diindikasikan mempunyai
pengaruh terhadap perkemabangan prestasi siswa, karena dengan adanya kesenjangan
ekonomi, memberikan peluang adanya perbedaan gaya hidupyang sudah tentu hal ini dapat
memberikan dampak yang signifikan terhadap prestasi belajar siswa. Dan sangat berpengaruh
pada pendidikan keluarga.
Faktor internal yaitu keadaan yang mempengaruhi keberhasilan siswa yamg berasal
dari dalam, istilah ini menunjukkan adanya pembawaan yang di miliki siswa, yang meliputi
aspek psikologis, seperti kesehatan pisik, kesehatan psikis,minat, bakat dan sikapnya.
Kesehatan fisik jelas berpengaruh sekali terhadap proses pembelajaran siswa,
bagaimana mungkin seorang siswa dapat berkonsentrasi dalam belajar apabila ia tidak merasa
nyaman yang disebabkan kondisi tubuhnya yang tidak sehat.
Kondisi kesehatan psikis pun merupakan hal yang sangat penting sebagai kontrol
kemampuan berfikir seseorang secara sadar, bagaimana mungkin seorang siswa mampu
berfikir dan mencerna materiyang disampaikan apabila pola pikirnya tidak dapat berfungsi
dengan baik.
Minat merupakan salah satu faktor yang memberi motifasi untuk dapat belajar dengan
baik, karena dengan adanya minat ini seorang siswa akan melakukan proses pembelajaran
dengan senang hati, tanpa adanya keterpaksaan sehingga semua perhatiannya akan terfokus
secara menyeluruh terhadap materi pembelajaran.
Bakat berfungsi sebagai modal pembelajaran, dengan adanya bakat seorang siswa
akan jauh lebih mudah mencerna bahan pembelajaran bahkan tanpa hadirnya seorang
pendidik sekalipun.
Terakhir sikap, saat berlangsung proses belajar mengajar, sikap berperan sebagai alat
pengendalian diri, misalnya dengan adanya sikap yang baik seseorang akan mempu
menempatkan diri dengan situasi yang dihadapinya. Sikap merupakan faktor internal yang
berpengeruh dalam kebiasaan belajar, namun perkembangan kebiasaan belajar tidak terlepas
dari faktor proses pendidikan baik langsung maupun tidak langsung., sikap merupakan
kesiapan mental individu yang mempengaruhi, mewarnai, bahkan menentukan kegiatan
individu yang bersangkutan dalam memberikan respon dalam obyek atau situasi yang
memberi arti baginya (Rochman Nata Widjaya. 1987:40).
Seorang siswa yang memiliki sikap positif pada materi pelajaran, dalam hal ini
pelajaran akidah akhlak, maka ia akan berupaya secara maksimal untuk membiasakan belajar
dengan baik. Bahkan sikap positif itu memungkinkan pula termanifestasi dalam bentuk
pengalamannya. Karena dalam pembelajaran akidah akhlak banyak materiyang berupaya agar
siswa memiliki pemahaman dan pengalaman yang baik, untuk menanamkan sikap positif
dalam mata pelajaran tersebut.
Dari uraian tersebut diatas, telah dijelaskan  bahwa  pola asuh sebagai cara mendidik
remaja yang baik adalah pola demokratis, tetapi tetap mempertahankan prinsip-prinsip nilai
yang universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan agam islam.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidikan islam dalam keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan sekolah
yang diselenggrakan dalam keluarga, dan memberikan keyakina agama, nilai budaya, nilai
moral, dan keterampilan. Sebab itulah pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan
yang utama dan pertama, artinya bahwa pendidikan pertama kali dan memberikan arti
terhadap perkembangan akhlak anak ataupun prestasi anak adalah penaiaikan dala
keluarga.mengingat demikian penting dan strategisnya pendidikan dalam keluarga, maka
orang tua yang secara kodrati bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anaknya, harus
semaksimal mungkin mendidik anaknya menuju pertumbuhan dan perkembangan fitrahnya.
Kesalahan dalam pendidikan anknaknya tersebut akan berakibat fatal yakni sianak dapat
menyimpang dari fitrah (nature) dan potensi kebaikannya berubah menjadi  manusia yang
mempunyai kualitas rendah (Yahudi, Nasrani, Majusi, dan seterusnya).
Demikian pentingnya peran orangtua, tugas dan tanggung jawab orang tua, maka
kemudian harus dipahami bahwa lembaga-lembaga pendidikan formal maupun non formal
yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dan guru-guru tenaga pendidikan
lainnya adalah merupakan pelanjut peran orang tua dalam menumbuhkan dan
mengembangkan anak mereka.
Terdapat tiga pola asuh orang tua terhadap anaknya, yaitu pola asuh demokratis,
otoriter, dan permisif. Di antara ketiga pola asuh tersebut yang dianggap sebagi cara
mendidik yang baik adalah pola asuh demokratis dengan cara mempertahankan prinsip-
prinsip nilai yang universal dan absolut terutama yang berkaitan dengan agama islam. Pola
otoriter layak dilakukan jika terkait dengan persoalan aqidah dan ibadah serta hal-hal yang
dianggap membahayakan bagi anak. Sementara pola permisif juga dapat diterapkan pada
anak usia dewasa.
Namun demikian, yang paling berpengaruh terhadap sikap dan perilaku anak ataupun
perkembangan akhlak anak, adalah tingkat pendidikan dan kesadaran orang tua dalam
mendidik anaknya, karena sikap dan perilaku anak sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan
dan kesadaran orang tua dalam mendidik anaknya, bukan tingkat status sosial secara umum. 

DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul El-Qussy, 1975. Pokok-Pokok Kesehatan Mental/Jiwa, Jakarta: Bulan Bintang.


Ali, Saifullah, 1989. Pendidikan Pengajaran Kebudayaan, Surabaya: Usaha
Nasioanal.
Ahmad, Tafsir, 1994. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Idi, Abdullah , 2011.  Sosiologi Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muhaimin, dkk. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya.
-------------------, 1993. Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung: Trigenda Karya.
Mastuhu,  1994. Dinamika Sistim Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS.
Nurcholis, Madjid, 1997. Masyarakat religius, Jakarta: Paramadina.
Rahman, Fazlur, 1996.  Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
-------------------, 1996. Islam, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka.
Tim Depag RI, 1988.  Islam Untuk Disiplin Ilmu Antropologi, Jakarta: P3AI-PTU.

[1] Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 136


[2] Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), hlm. 36-37
[3] Mastuhu, Dinamika Sistim Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994), hlm. 1.
[4] Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
1994), hlm. 157
[5] Tim Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Antropologi, ( Jakarta: P3AI-PTU, 1988), hlm. 55-56
[6] Muhaimin, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), hlm. 292
[7] Madjid Nurcholis, Masyarakat Religius,  (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 122-123
[8] Saifullah Ali, Pendidikan Pengajaran Kebudayaan, (Surabaya: Usaha Nasioanal, 1989),
hlm. 111
[9] Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1986),
[10] Khon, M.L .”Sosial Class and Perent    Child Relationship:an Interpretation”, dalam M.
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1971). Hlm. 67.
[11] El-Qussy, Abdul Aziz, Pokok-Pokok Kesehatan Mental/Jiwa, (Jakarta:Bulan Bintang,
1975), hlm. 220
[12] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1984).
[13] H. Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.
168.

Anda mungkin juga menyukai