Anda di halaman 1dari 19

BUAH TASAWUF

Disusun Oleh:

Kelompok 10

NAMA NIM
ALFIYYAH 0301172410
AMRIZAL 0301171279
MEGA PERTIWI SILALAHI 0301172414
RIZKIAR RAHMAN 0301172405

Dosen Pengampu: Drs. Miswar Rasyid Rangkuti, MA.


Mata Kuliah: Akhlak Tasawuf
Kelas: PAI 2 2017

Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan


Prodi Pendidikan Agama Islam
UIN Sumatera Utara
T.A 2018

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan seluruh alam. Karena tanpa rahmat dan kasih sayang-
Nya, saya tidak akan dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Dan tak lupa,
sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, nabi agung
Muhammad Saw.Makalah ini kami buat dengan maksud untuk menunaikan tugas kami mengenai
“BUAH TASAWUF”. Harapan kami makalah ini dapat memberi banyak manfaat dan
memperluas ilmu pengetahuan.

Kami berterima kasih kepada Bapak Dosen Pembimbing mata kuliah Akhlak Tasawuf
yaitu Bapak Drs. Miswar Rasyid Rangkuti, MA. yang telah membimbing kami dalam menyusun
makalah ini, serta kepada seluruh pihak yang telah membantu kami ucapkan terima kasih.

Dalam penyusunan perbaikan makalah ini, kami menyadari adanya banyak kekurangan
serta kesalahan yang bertebaran di dalamnya, maka kami harapkan kritik serta saran yang
membangun sehingga di kemudian hari akan menjadi lebih baik. Kami berharap bahwa makalah
ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2018

Pemakalah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. MAHABBAH..................................................................................................
B. KASYAF.........................................................................................................
C. ILHAM............................................................................................................
D. KAROMAH....................................................................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan......................................................................................................
B. Saran................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan tentang tasawuf sampai detik ini masih menjadi isu yang menarik untuk di
diskusikan, terutama di kalangan mahasiswa, meskipun sebenarnya perkembangan tasawuf
sudah dimulai sejak abad pertama dan kedua hijriah, yang mana ajarannya bercorak akhlaqi,
yakni berupa pendidikan moral dan mental dalam rangka pembersihan jiwadari pengaruh-
pengaruh duniawi. Dengan berbagai literature yang menjelaskan bahwa tidak sedikit tokoh-tokoh
yang matinya dibunuh karena ajaran-ajarannya dianggap kontradiktif ulama-ulama fiqih. Hal
inilah yang membuat menarik ajaran-ajaran tasawuf untuk selalu di diskusikan.

Kemudian masuk di abad ketiga dan keempat ajaran tasawuf berkembang luas yang artinya
tidak hanya berkutat pada wilayah pendidikan moral dan mental, akan tetapi sudah merambah
pada pembahasan tingkah laku dan upaya peningkatan pensucian jiwa, serta pengalaman intuitif
kepada Allah swt.

BAB II
PEMBAHASAN

A. MAHABBAH
Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung maksud cinta kepada Tuhan (Allah swt).
Lebih luas lagi bahwa Mahabbah memuat pengertian yaitu:
a. Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap yang melawan pada Tuhan.
b. Berserah diri kepada Tuhan.
c. Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali Zat Yang Dikasihi.

Tentang “Mahabbah” dapat dijumpai dalam Alquran antara lain:

a. Surah Ali Imran ayat 31


Artinya: “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencinntai Allah, ikutilah aku, niscaya
Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
b. Surah Al-Maidah ayat 54
Artinya: “Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya.”
c. Hadis
Artinya: “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan
hingga Aku cinta padanya. Orang yang Ku-cintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku.”

Dalam ajaran Tasawuf, Mahabbah dikaitkan dengan ajaran yang disampaikan oleh
seorang sufi wanita yang bernama Rabiah al-Adawiyah. Mahabbah adalah paham Tasawuf yang
menekankan perasaan cinta kepada Tuhan.

Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi sebaliknya sebagai zat yang harus
dicintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekat dengan Tuhan, maka sekarang harus
banyak melakukan peribadatan dan meninggalkan kesenangan duniawi. Ketahuilah, manusia
yang paling beruntung keadaannya di akhirat adalah manusia yang paling kuat rasa cintanya
terhadap Allah SWT karena arti dari akhirat sesungguhnya adalah menghadap kepada Allah
SWT dan menemukan kebahagiaan menemui-Nya.

Berbagai sebab yang mengutamakan rasa cinta Allah SWT:


1. Memutuskan interaksi duniawi dan mengeluarkan rasa cinta kepada Allah SWT dari hati.
Karena hati dapat diibaratkan seperti sebuah bejana yang tidak akan muat untuk
menampung sebuah cuka, jika tidak dikeluarkan semua air darinya. Firman Allah:
Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya.”
(QS. Al-Ahzab ayat 4)
Kesempurnaan rasa cinta terdapat jika kita mencintai Allah dengan segenap hati.
Dan selama dia berpaling kepada selain Allah, berkuranglah rasa cintanya terhadap
Allah. Sepadan dengan air yang masih tersisa dalam sebuah tempayan, berkuranglah
banyaknya cuka yang dituangkan kepadanya.
Firman Allah:
Artinya: “Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian (sesudah kamu
menyampaikan Alquran kepada mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam
kesesatannya.” (QS. Al-An’am: 91)
Dan dengan firman selanjutnya:
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami adalah Allah,
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” (QS, Fussilat: 30)
Bahkan dia merupakan arti dari ucapanmu. “La ilaha illa Allah”, dalam arti tidak
ada yang berhak disembah dan dicintai selain Dia, karena sesungguhnya hanya Dia-lah
yang berhak disembah. Sesungguhnya seorang hamba merupakan seorang yang dibatasi,
dimana yang disembah itulah yang membatasinya. Setiap orang yang mencintai akan
dibatasi dengan apa yang dicintainya. Dan karena itulah Rasulullah SAW bersabda:
Artinya: “Barangsiapa mengucapkan “La ilaha illallah” secara ikhlas, dia masuk surga.”
Arti dari ikhlas adalah jika dia memurnikan hatinya terhadap Allah, sehingga
didalamnya tidak tersisa sebuah penyekutuan terhadap selain Allah. Sehingga Allah akan
ada sebagai kekasih hatinya. Sebab yang paling penting dalam melemahkan rasa cinta
terhadap Allah didalam hati adalah kuatnya rasa cinta terhadap harta dunia, cinta
terhadap istri, anak, harta kerabat, bahkan rasa gembira dengan mendengarkan kicauan
burung yang merdu dan nyamannya hembusan angin sepoi diwaktu fajar, semua itu akan
mengacu kepada berbagai kenikmatan duniawi, berkuranglah rasa tentramnya terhadap
Allah SWT.
2. Kuatnya rasa cinta adalah kuatnya pengenalan Allah SWT, keluasannya dan dominasinya
terhadap hati. Hal itu dapat terjadi setelah mensucikan hati dari segala kesibukan duniawi
dan berbagai interaksinya, berjalan seperti peristiwa peletakan sebuah benih dibumi
setelah membersihkannya dari rerumputan, di mana dia merupakan bagian kedua.
Kemudian dari benih itu tumbuhlah pohon cinta dan ma’rifat yaitu kalimah yang baik
yang dicontohkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:
Artinya: “Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit.” (QS. Ibrahim: 24)
Dan kepadanyalah Allah mengisyaratkan dengan firman-Nya:
Artinya: “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik.” (QS. Fatir: 10)
Dalam arti ma’rifah, selanjutnya Allah berfirman:
Artinya: “Dan amal shaleh dinaikkan-Nya.”
Yang pertama adalah ilmu sosial, dimana tujuannya adalah amal perbuatan. Sementara
tujuan hubungan sosial adalah kebersihan dan kesucian hati, agar di dalamnya tampak
keagungan Sang kebenaran dan dia akan menghiasinya dengan ilmu ma’rifat yaitu
pengetahuan terbukanya segala rahasia. Ketika kema’rifatan ini diperoleh, secara pasti
rasa cinta akan mengikutinya. Seperti halnya, seorang lelaki melihat seorang gadis cantik
dan menemukan matanya, dia akan mencintainya dan cenderung mendekatinya. Ketika
dia mencintainya, dapatlah sebuah kenikmatan yang diikuti oleh rasa cinta. Tidak
mungkin mencapai tingkatan ma’rifat setelah melepaskan semua kesibukan duniawi dari
hati kecuali dengan pemikiran yang bersih, senantiasa berzikir, dan sangat tekun dalam
mencari dan memandang secara kontinius di dalam Allah SWT, sifat-sifat-Nya, kerajaan
langit dan semua ciptaan-Nya.1

B. KASYAF
1. Pengertian Kasyaf
Kasyaf menurut bahasa artinya terbuka atau tidak tertutup. Sedangkan menurut istilah,
kasyaf adalah kehidupan emosi keagamaan. Pada cermin kalbu setelah bersih dari
kotoran-kotoran dosa dan kerusakan nafsu syahwat. Kasyaf merupakan istilah paling luas
bagi terbukanya hijab (tabir) rahasia mistik.

1
Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h.240-246
Tingkatan kemanusiaan ini dikelompokkan kedalam 3 tingkatan:
1. Mujahadah. Pada tingkatan ini akal manusia dikendalikan oleh bukti objektif
kebendaan (burham). Oleh karena itu, tingkatan ini dapat mencapai ‘ilm al-yaqin
yang masih dalam ruang lingkup pemikiran nasional.
2. Mukasyafah. Pada tingkatan ini manusia mampu menerima pengetahuan
berdasarkan eksplansi (pencarian, penjelasan, bayan). Orang yang mencapai
tingkat ini akan dapat mencapai ‘ain al-yaqin, yakni pandangan kebenaran objektif
yang mengacu pada kebenaran yang mungkin.
3. Musyahadah. Tingkatan ini adalah pengalaman pribadi manusia (Ma’rifat) yang
langsung bisa menyaksikan sesuatu hal. Pengalaman pribadi ini merujuk pada
pengalaman mistik berkat kedekatannya kepada Tuhan, sehingga dapat terbuka
baginyam pengetahuan haqq al-yaqin. Yang terakhir ini adalah bayangan
langsung Tuhan dan acapkali disebut dengan al-mu’aiyana.

Untuk mencapai kebahagiaan sejati dalam kasyf, terlebih dahulu komponen-komponen


rohani manusia harus mampu menyimpan hal yang ihwal yang diperlukan untuk
mencapai kebahagiaan yang sejati itu. Jika keseluruhan komponen rohani itu telah
mampu menyimpan Islam, Iman, Ma’rifat, dan Tauhid, maka manusia baru akan sampai
pada tingkatan kasyf, sehingga terbuka hijab yang menyelubungi rahasia hati nurani dan
rahasia illahi, komponen-komponen rohani yang dimaksud adalah: sadr atau dada, yakni
Islam (QS. 39: 22) qalb (kalbu) atau hati, merupakan tempat bersemayamnya iman. (QS.
49: 7, QS. 16: 106): fu’ad atau hati. Yakni ma’rifat (QS.53:11) dan lubb (jamaknya
albab) atau lubuk hati yang paling dalam merupakan tempat bersemayamnya tauhid (QS.
3:190). Para Sufi seringkali menambah unsur ini, yakni getaran jiwa yang paling dalam
tempat petunjuk illahi itu dialami. Apabila seluruh unsur rohaniyah itu bekerja, dan
mampu menampung ihwal-ihwal diatas, maka akan terciptalah Kasyf.

2. Tingkatan Kasyaf

Berdasarkan terminologi tradisional, kasyf dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:

a. Al-Kasf Al-Kauni, adalah terbukanya rahasia atas unsur-unsur yang diciptakan.


Tingkatan ini merupakan akibat perbuatan-perbuatan shaleh dan kesucian roh yang
lebih rendah. Pengalaman ini menjelma kedalam mimpi-mimpi dan kewaspadaan.
b. Al-Kasf Al-Illahi, adalah terbukanya rahasia ketuhanan, yang merupakan buah dari
ibadah manusia yang terus menerus dan pembersihan hati sampai benar-benar bersih,
suci dan cemerlang. Hal ini merupakan hasil dari perilaku perjalanan roh dalam zikir
yang mendalam, sehingga ia dapat melihat rahasia hal-hal yang tersembunyi dan
bahkan mampu memahami pikiran-pikiran yang tersembunyi.
c. Al-Kasf Al-‘Aqli, adalah terbukanya rahasia oleh akal pikiran, yang merupakan
pengetahuan intuitif (ilham) paling rendah. Hal ini akan dapat dicapai dengan
membersihkan perilaku yang tercela yang dialami oleh “ahli batin” dan dapat juga
oleh para filusuf (yang pada umumnya ahli olah batin).
d. Al-Kasyf Lal-Imani, adalah terbukanya rahasia melalui kepercayaan. Tingkatan ini
merupakan buah dari iman yang sempurna setelah manusia berusaha mendekati
kesempunaan-kesempurnaan kenabian.
3. Macam-macam Kasyaf
a. Kasyaf Mata. Mata dapat melihat alam mawaraulmaddah atau disebut juga alam gaib.
Mata dapat melihat perkara-perkara yang tidak dapat dilihat manusia biasa seperti
malaikat, jin, dan setan. Kasyaf inilah yang menjadikan Sayyidina Umar bin Khattab
ra, dapat melihat apa yang sedang terjadi pada Sariahnya (Pasukan).
b. Kasyaf Telinga, disebut juga hatif. Seseorang yang dianugerahi kasyaf semacam ini
dapat mendengar suara-suara gaib, tetapi tidak terlihat wujudnya. Misalnya, suara jin,
malaikat atau sesama waliyullah. Suara itu adakalanya membawa berita kabar
gembira, adakalanya sebaliknya. Tujuannya ialah, Allah hendak menghibur orang
yang mendapatkannya. Kalau itu berita gembira, sang waliyullah akan gembira. Dan
kalau berita duka, juga akan menggembirakannya, karena dia tahu terlebih dahulu,
sehingga bisa menyiapkan diri dalam menghadapi ujian tersebut.
c. Kasyaf Mulut. Allah memberi kelebihan seseorang dari ucapannya, seperti doanya
makbul, atau apa yang diucapkannya akan terjadi. Dengan ucapannya itu, sang
Waliyullah berdakwah, mengajar, dan memberi nasihat. Dan dengan ucapannya pula,
dia dapat mengubah hati seseorang. Karamah seperti ini biasanya dikaruniakan kepada
pemimpin dan para juru dakwah.
d. Kasyaf Akal. Seorang Waliyullah mendapat berbagai macam ilmu tanpa harus belajar,
membaca, dan sebagainya. Ilmu ini disebut ilmu laduni.
e. Kasyaf Hati atau dinamakan firasat. Inilah kasyaf tertinggi diantara kasyaf-kasyaf
lainnya. Biasanya dikaruniakan kepada pemimpin, itupun tidak banyak, karena Allah
mengaruniakan hanya kepada pemimpin yang sangat shalih, sabar dalam menanggung
ujian yang begitu berat. Kasyaf hati ialah rasa hati atau gerakan hati yang tepat lagi
benar. Dia juga dapat membaca hati atau pikiran seseorang.2

C. ILHAM
Al-Jurjani berkata, "Ilham adalah sesuatu yang dibisikkan ke dalam hati melalui limpahan
karunia ilahiah. Dikatakan juga bahwa ilham adalah sasuatu yang ada dalam hati, berupa ilmu
pengetahuan yang mengajak kepada amal, tanpa didasarkan pada ayat dan tanpa melihat pada
dalil.
Ilham bisa bersumber dari Allah, dan bisa juga dari malaikat-Nya. Darinya dapat dipahami
perintah, larangan, motivasi atau ancaman.
1.      Ilham yang bersumber dari Allah
Allah menceritakan kepada kita dalam al-Qur'an tentang Maryam r.a. ketika beliau
berteduh di bawah pohon kurma pada musim dingin. Kemudian Allah berbicara dengannya
melalui ilham dan wahyu tanpa ada perantara. Allah berkata kepadanya, "Dan goyanglah
pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma
yang masak kepadamu. Maka makan, minum dan bersenanglah." (QS. Maryam: 25-26)
Ketika menafsirkan ayat ini, Fakhruddin ar-Razi berkata, "Sesungguhnya itu terjadi melalui
tiupan ke dalam jiwa, ilham dan bisikan ke dalam hati, sebagaimana yang terjadi pada ibu
Musa a.s. dalam firman-Nya, ‘Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa. (QS. Al-Qashash: 7)
Allah juga memberitahukan kepada kita tentang ibu Musa a.s. ketika dia merasa
bersedih tentang anaknya karena tentara Firaun hendak membunuhnya. Lalu Allah
memberinya ilham dan wahyu tanpa perantara. Allah berfirman, "Dan Kami wahyukan
(ilhamkan) kepada ibu Musa, 'Susuilah dia. Apabila engkau khawatir terhadapnya, maka
lepaskan dia ke sungai. Janganlah engkau khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati,
karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya sebagai
(salah seorang) dari para rasul." (QS. Al-Qashash: 7)

2
Utsman Al-Hujwiri bin Ali, Kasyf Al Mahjub (Terj.), (Bandung, Mizan:1995)
Ibu Musa pun melepaskan anaknya ke sungai. Hatinya sungguh khawatir melihat
gelombang air. Kemanakah akan pergi anak yang mulia ini di antara gelombang air? Dia
pasti akan binasa. Akan tetapi, ibu Musa merasa yakin akan apa yang dia lakukan, karena
dia sudah terbiasa mendengarkan wahyu yang datang kepadanya dari Tuhan tanpa perantara,
baik dalam khalwatnya ataupun dalam kesehariannya. Dia adalah seorang ibu mukminah.
Dan dia adalah seorang wali, bukan nabi.

2.      Ilham yang bersumber dari Malaikat


Malaikat berbicara dengan manusia, sebagaimana dalam sabda Nabi s.a.w.,
"Adapun isyarat malaikat adalah janji dengan kebaikan dan pembenaran atas yang
benar. Barangsiapa mendapatkannya, maka hendaklah dia mengetahui bahwa itu
bersumber dari Allah dan hendaklah dia memuji Allah." (HR. Tirmidzi)
Diriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, "Ada seseorang yang berkunjung
ke rumah saudaranya di desa yang lain. Lalu Allah mengutus seorang malaikat untuk
menjaga jalannya. Ketika dia telah sampai di desa tersebut, malaikat itu bertanya,
'Engkau mau kemana?’ Dia menjawab, 'Aku ingin bertemu dengan saudaraku di desa ini.'
Malaikat itu bertanya lagi, 'Apakah engkau memiliki suatu nikmat untuknya?' Dia
menjawab, 'Tidak, selain bahwa aku mencintainya karena Allah.' Malaikat itu berkata,
'Aku adalah utusan Allah yang diperintahkan untuk memberitahukan kepadamu bahwa
Allah telah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya’. (HR.
Muslim)
Tentang hadis ini, Muhammad ibn Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi'i berkata, "Pada
zahirnya, malaikat tersebut berbicara dengannya secara langsung.
Allah berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami
adalah Allah,' kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan
turun kepada mereka (dengan mengatakan), 'Janganlah kalian merasa takut dan janganlah
kalian merasa sedih. Dan bergembiralah kalian dengan (memperoleh) surga yang telah
dijanjikan Allah kepada kalian. Kamilah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan
dunia dan akhirat'." (QS. Fushshilat: 30-31)
Ketika menafsirkan turunnya malaikat dalam ayat ini, al-Alusi mengatakan,
"Malaikat turun pada saat kematian, di alam kubur dan pada saat pembangkitan.
Dikatakan bahwa malaikat turun kepada mereka, berarti para malaikat membantu mereka
dalam semua urusan dunia dan agama dengan sesuatu yang dapat melapangkan hati dan
menghilangkan rasa takut dan sedih mereka, dengan ilham."
Keberadaan malaikat sebagai pelindung bagi jiwa yang baik dan suci terjadi
dalam berbagai sisi yang diketahui oleh orang-orang yang bisa menguak tabir dan
menyaksikan yang gaib. Mereka mengatakan bahwa sebagaimana perlindungan tersebut
terjadi di dunia, dia juga akan kekal sampai di akhirat. Hubungan tersebut merupakan
sesuatu yang esensial dan tidak bisa hilang. Bahkan dia akan menjadi semakin kuat
setelah mati. Yang demikian itu, karena esensi jiwa berasal dari bangsa malaikat. Dia
ibarat hubungan antara sinar dengan matahari, dan tetesan air dengan laut.

"Kaum sufi telah memberi nama ilmu yang dihasilkan oleh ilham dengan ilmu
ladunm. Ilmu ini murni merupakan karunia Allah dan karamah-Nya, tanpa perantara.
Sebagian mereka berkata,
Kami telah belajar tanpa huruf dan suara
Kami telah membacanya tanpa lupa dan hilang
Yaitu melalui limpahan ilahi dan ilham rabani, tidak melalui perantaraan pendidikan dan
pengajaran. Al-Ghazali ditanya tentang ilham. Katanya, "Ilham merupakan sinar dari
cahaya gaib yang jatuh pada hati yang besih dan peka."
Ini semua menunjukkan kemungkinan terjadinya kasyf dan ilham, jika hati bersih
dan kosong dari semua urusan dunia dan keinginannya, dan dari dosa-dosa yang berkarat
dan kegelapannya. Setan yang kelam tidak akan masuk kecuali ke dalam hati yang busuk,
sebagaimana hinggapnya lalat pada tempat yang kotor. Jika hati telah dimasuki setan,
maka dia akan terhalangi untuk melihat apa-apa yang tersembunyi.

Gangguan setan tersebut dapat dialihkan dengan zikir dan muraqabah kepada
Allah. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya setan itu meletakkan paruhnya pada
hati anak Adam, jika dia berzikir kepada Allah, maka setan akan bersembunyi. Dan jika
dia lupa berzikir, maka setan akan menyantap hatinya." (HR. Ibnu Abu Dunya, Abu Ali
dan Baihaqi)
Sebab, apabila hati terbiasa dengan gangguan dan lalai dari berzikir kepada Allah,
maka dia akan sakit. Sedangkan jika dia terbiasa berzikir, selalu disirami dengan cahaya-
cahayanya, dan terpancar kepadanya matahari keagungan Allah, maka dia akan hidup.
Nabi s.a.w. bersabda,
"Perumpamaan orang yang berzikir kepada Allah dan orang yang tidak berzikir kepada-
Nya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati." (HR. Bukhari)3

D. KARAMAH
Karamah adalah kejadian diluar kebiasaan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada seorang
hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak memiliki pendahuluan
tertentu berupa doa, bacaan, ataupun zikir khusus, yang terjadi pada hamba yang shalih, baik dia
mengetahui terjadinya karamah ataupun tidak, dalam rangka mengokohkan hamba tersebut
dengan agamanya.
1. Karamah Para Wali
Akhir-akhir ini banyak orang yang mempertanyakan tentang karamah. Apakah dia
memang ada dalam syariat? Apakah dia mempunyai dalil dari al-Qur'an dan Sunnah? Apa
hikmah dari diberikannya karamah kepada para wali yang bertakwa? Dan seterusnya.
Gelombang kekafiran dan materialis, serta aliran-aliran keraguan dan kesesatan yang
begitu banyak sekarang ini, menpengaruhi pemikiran anak-anak kita, menyesatkan banyak
orang di antara para pemikir kita dan mendorong mereka untuk mengingkari adanya
karamah, meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Semua ini
disebabkan oleh lemahnya iman mereka kepada Allah dan kepada takdir-Nya, serta
minimnya kepercayaan mereka kepada para wali dan kekasih-Nya.
Permasalahan ini tidak bisa kita biarkan. Kita harus segera menyelesaikannya untuk
menunjukkan yang benar dan untuk menolong syariat Allah.

2. Pembuktian Karamah
Keberadaan karamah para wali telah ditetapkan dalam al-Qur'an, Sunnah Rasulullah
s.a.w., serta atsar sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai zaman kita sekarang ini.
Keberadaannya juga diakui oleh mayoritas ulama Ahli Sunnah yang terdiri dari para ahli
fikih, para ahli hadis, para ahli usul dan para syaikh tasawuf, yang karangan-karangan
mereka banyak berbicara tentangnya. Selain itu, keberadaannya juga telah dibuktikan
3
Syaikh Abdul Qadir Isa,.hakekat tasawuf. (Jakarta: Qisthi Press, 2010) h. 285
dengan kejadian-kejadian nyata di berbagai masa. Dengan demikian, karamah tetap
(terbukti) secara mutawatir maknawi, meskipun rinciannya diriwayatkan secara ahad
(sendiri-sendiri). Karamah tidak diingkari kecuali oleh ahli bid'ah dan kesesatan yang
imannya kepada Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya lemah.

  Dalil Karamah dari al-Qur an


1. Cerita Ashabul Kahfi yang tertidur panjang dalam keadaan hidup dan selamat dari
bencana selama 309 tahun, dan Allah menjaga mereka dari panasnya matahari. Allah
berfirman, "Dan engkau akan melihat ketika matahari terbit, dia condong dari gua
mereka ke sebelah kanan. Dan ketika matahari itu terbenam, dia menjauhi mereka ke
sebelah kiri." (QS. Al-Kahfi: 17)
"Dan engkau mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur. Dan Kami balik-
balikkan mereka ke kanan dan ke kiri. Sedang anjing mereka menjulurkan kedua
lengannya di muka pintu gua." (QS. Al-Kahfi: 18)
"Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi)." (QS. Al-Kahfi: 25)
2. Kisah Maryam yang menggoyang pohon kurma yang kering. Seketika itu juga, pohon
tersebut menjadi rindang dan berjatuhanlah kurma yang sudah masak di luar
musimnya. "Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu
akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu." (QS. Maryam: 25)
3. Cerita Ashif ibn Barkhiya bersama Sulaiman a.s., sebagaimana dikatakan oleh
mayoritas mufasirin, “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab, ‘Aku
akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip'." (QS. An-Naml:
40)
Maka dia pun membawa singgasana ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina sebelum mata
berkedip.

  Dalil Karamah dari Sunnah


1. Kisah Juraij al-Abid yang berbicara dengan bayi yang masih dalam buaian. Ini adalah
hadis sahih yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain.
2. Kisah seorang anak laki-laki yang berbicara ketika masih dalam buaian.
3. Kisah tiga orang laki-laki yang masuk ke dalam gua dan bergesernya batu besar yang
sebelumnya menutupi pintu gua tersebut. Hadis ini yang sepakati kesahihannya.
4. Kisah lembu yang berbicara dengan pemiliknya. Hadis ini adalah hadis sahih yang
masyhur.

  Dalil Karamah dari Atsar Para Sahabat


Diceritakan banyak hal dari para sahabat tentang karamah.
1.   Kisah Abu Bakar r.a. bersama para tamunya tentang bertambah banyak-nya makanan.
Sampai setelah mereka selesai makan, makanan tersebut menjadi lebih banyak dari
sebelumnya. Ini adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari.
2. Kisah Umar r.a. ketika dia berada di atas mimbar di Madinah dan dia memanggil
panglima perangnya yang sedang berada di Persia, "Wahai Sariah, gunung!" Ini adalah
hadis hasan.
3. Kisah Utsman r.a. bersama seorang laki-laki yang datang kepadanya, lalu Utsman
memberi tahu tentang apa yang terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan melihat
seorang perempuan asing.
4. Kisah Ali ibn Abi Thalib yang mampu mendengarkan pembicaraan orang-orang yang
sudah mati, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Baihaqi.
5. Kisah Abbad ibn Basyar dan Asid ibn Hadhir ketika tongkat salah seorang di antara
mereka mengeluarkan cahaya sewaktu mereka keluardari kediaman Rasulullah s.a.w.
pada malam yang gelap. Ini adalah hadis sahih yang dikeluarkan oleh Bukhari.

Sebagian orang barangkali bertanya, "Kenapa karamah yang ada pada sahabat
yang lebih sedikit daripada karamah yang ada pada para wali yang muncul setelah
mereka?" Dalam ath-Thabaqdt, Tajuddin as-Subki menjawab pertanyaan ini dengan
berkata, "Jawabannya adalah jawaban Ahmad ibn Hanbal ketika ditanya tentang hal
tersebut. Dia berkata, 'Para sahabat adalah orang-orang yang telah kuat imannya. Oleh
karena itu, mereka tidak membutuhkan sesuatu untuk menguatkan iman mereka.
Sementara orang-orang selain sahabat, iman mereka masih lemah dan belum sampai pada
tingkat iman para sahabat. Oleh karena itu, iman mereka dikuatkan dengan karamah yang
diberikan kepada mereka'."
3. Hikmah Adanya Karamah pada Diri Para Wali
Di antara hikmah (kebijaksanaan) Allah adalah memuliakan para ke-kasih-Nya dan para
wali-Nya dengan berbagai macam hal yang berada di luar kebiasan manusia, sebagai wujud
penghormatan atas iman dan keikhlasan mereka, sebagai bantuan atas jihad dan pembelaan
mereka terhadap agama Allah, dan juga sebagai pembuktian atas kekuasaan Allah. Tujuan
dari semua itu adalah untuk menambah iman orang-orang yang beriman, dan untuk
menjelaskan kepada manusia bahwa hukum-hukum alam adalah ciptaan Allah dan takdir-
Nya, dan bahwa usaha tidak memiliki pengaruh dengan dirinya sendiri, akan tetapi Allah lah
yang menciptakan hasil pada saat ada sebab (usaha), sebagaimana halnya mazhab Ahli
Sunnah.
Orang yang menolak adanya karamah barangkali berdalih bahwa pembelaan terhadap
yang benar dan penyebaran agama Allah toh tidak dengan hal-hal yang luar biasa, tetapi
dengan dalil yang dapat dicerna dengan akal dan bukti yang logis."
Jawaban kita: Memang benar, penyebaran ajaran Islam dilakukan dengan dukungan akal yang
sehat, logika yang benar, dan dalil yang kuat. Akan tetapi, rasa fanatik dan keras kepala
mengharuskan digunakannya hal-hal yang luar biasa, yaitu karamah. Hal ini sama dengan
kebijaksanaan Allah untuk memperkuat para nabi dan rasul-Nya dengan memberikan
mukjizat kepada mereka, sebagai bukti atas kebenaran mereka dan dukungan bagi dakwah
mereka. Dengan mukjizat tersebut, akal yang keras dan hati yang terkunci dapat terlepas dari
kejumudannya, terbebas dari rasa fanatiknya dan berpikir secara jemih dan sehat, sehingga
dapat sampai pada iman yang kukuh dan keyakinan yang mantap. Dari sini, jelaslah bahwa
karamah dan mukjizat bertemu dalam beberapa hikmah dan tujuan. Hanya saja, perbedaan di
antara keduanya adalah bahwa mukjizat hanya diperuntukkan bagi paranabi, sedangkan
karamah diperuntukkan bagi para wali. Setiap karamah bagi wali adalah mukjizat bagi nabi.

Para pembesar sufi juga tidak menganggap adanya karamah pada diri seorang wali
yang saleh sebagai bukti bahwa dia lebih utama dari orang lain. Al-Yafii berkata, "Tidak
mesti seorang wali yang memiliki karamah lebih utama dari yang tidak memilikinya. Bahkan
bisa jadi yang tidak memiliki karamah lebih utama daripada yang memilikinya. Sebab,
karamah bisa jadi ada untuk menguatkan keyakinan orang yang diberi karamah tersebut, serta
sebagai bukti atas kebenarannya dan kemuliaannya, dan bukan atas keutamaannya. Sebab,
keutamaan diukur dengan kuatnya keyakinan dan kesempurnaan makrifat kepada Allah."
Kaum sufi menganggap bahwa tidak adanya karamah pada wali yang saleh tidak
menunjukkan bahwa dia bukan wali.Al-Qusyairi berkata, "Sekiranya wali tidak memiliki
karamah yang nyata di dunia, itu tidak mengurangi keberadaannya sebagai wali."
Ketika menjelaskan perkataan ini, Zakaria al-Anshari berkata, "Bahkan bisa jadi dia
lebih utama dari orang yang memiliki karamah. Sebab, keutamaan itu diukur dengan
bertambahnya keyakinan, bukan dengan adanya karamah."4

4
Ibid, h. 287
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan isi makalah ini yang berisi tentang Buah Tasawuf. Dapat ditarik
kesimpulan bahwa ada 4 macam buah tasawuf (Mahabbah, Kasyaf, Ilham, Karomah):
1. Mahabbah artinya cinta. Hal ini mengandung maksud cinta kepada Tuhan (Allah
swt).
2. Kasyaf menurut bahasa artinya terbuka atau tidak tertutup. Kasyaf merupakan istilah
paling luas bagi terbukanya hijab (tabir) rahasia mistik.
3. Ilham adalah sesuatu yang dibisikkan ke dalam hati melalui limpahan karunia ilahiah.
4. Karamah adalah kejadian diluar kebiasaan yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada
seorang hamba tanpa disertai pengakuan (pemiliknya) sebagai seorang nabi, tidak
memiliki pendahuluan tertentu berupa doa, bacaan, ataupun zikir khusus, yang terjadi
pada hamba yang shalih, baik dia mengetahui terjadinya karamah ataupun tidak,
dalam rangka mengokohkan hamba tersebut dengan agamanya.

B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami sebagai pemakalah
memerlukan kritikan dan saran yang membangun, guna perbaikan di makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2014)

Qadir Isa ,Syaikh Abdul. 2010.hakekat tasawuf.Jakarta: Qisthi Press.

Utsman Al-Hujwiri bin Ali, Kasyf Al Mahjub (Terj.), (Bandung, Mizan:1995)

Anda mungkin juga menyukai