Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“Mahabbah Dan Ma’rifat Rasa Cinta Kepada Allah”


Guna Memenuhi Tugas Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu Luluk Aryani Isusilaningtyas, M.Pd.I

Disusun oleh :

 Mia Fajriati ( 63030190049 )


 Cahya Wahyuningtyas ( 63030190052 )
 Fifi Amylia Yahya ( 63030190061 )

PROGTAM STUDI (S1) AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
TAHUN AJARAN 2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum. Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penyusun mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Akhlak Tasawuf deangan tema
“Mahabbah Dan Ma’rifat Rasa Cinta Kepada Allah “.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi kita
semua terimakasih. Fat
nhsbdhsbhsuh

Salatiga, 28 Oktober 2019

Penyusun
i
DAFTAR ISI

Halaman Judul...............................................................................................................................

Kata Pengantar..............................................................................................................................i

Daftar Isi.......................................................................................................................................ii

Bab I PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................................1
C. Tujuan Masalah.................................................................................................................1

Bab II PEMBAHASAN ...............................................................................................................2


1. Pengertian mahabbah.......................................................................................................2
2. Tingkatan seseorang menuju mahabbah..........................................................................3
3. Pengertiam ma’rifat..........................................................................................................4
4. Tingkatan seseorang menuju ma’rifat...............................................................................6
5. Keutamaan mahabbah & ma’rifat.....................................................................................7
6. Hubungan antara mahabbah dan ma’rifat.........................................................................8

Bab III PENUTUP .......................................................................................................................10


A. Kesimpulan .................................................................................................................10
B. Saran ...........................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


mahabbah dapat diartikan sebagi cinta yang luhur, suci dan abdi kepada Allah.
Mahabbah dapat pula diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh
supaya dapat memperoleh kerohanian yang tinggi, dan kecintaan yang mutlak kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Sedangkan istilah ma’rifat dipergunakan untuk menunjukkan ilmu yang diperoleh dari
proses pemahaman, pemikiran, dan perenungan terhadap sesuatu yang diyakini. Ma’rifat
dapat juga disebut sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubarinya. Secara
istilah, ma’rifah artinya suatu pengetahuan yang didasarkan atas suatu keyakinan yang penuh
terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu keragu-raguan.
Dalam makalah ini kita akan membahas tentang mahabbah dan ma’rifat beserta tingkatan
seseorang menuju mahabbah & ma’rifat, keutamaan, dan hubungan diantara keduannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian mahabbah ?
2. Bagaimana tingkatan seseorang menuju mahabbah ?
3. Apakah pengertiam ma’rifat ?
4. Bagaimana tingkatan seseorang menuju ma’rifat ?
5. Bagaimana keutamaan mahabbah & ma’rifat ?
6. Bagaimana hubungan antara mahabbah dan ma’rifat ?

C. TUJUAN MASALAH
Tujuan ditulisnya makalah ini yaitu :
1. untuk mengetaui secara mendalam tentang pengertian mahabah dan ma’rifat,
2. untuk mengetahui bagaimana tingkatan menuju mahabbah dan ma’rifat,
3. untuk mengetahui keutamaan mahabbah dan ma’rifat, serta
4. mengetahui hubungan antara mahabbah dan ma’rifat,
5. menambah wawasan dan pengetahuan yang bermanfaat untuk diri kita.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. MAHABBAH

1. Pengertian Mahabbah
Istilah mahabbah sering muncul dalam ilmu tasawuf, mahabbah dapat diartikan
sebagi cinta yang luhur, suci dan abdi kepada Allah. Mahabbah dapat pula diterjemahkan
sebagai suatu usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh supaya dapat memperoleh
kerohanian yang tinggi, dan kecintaan yang mutlak kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menurut Harun Nasution mahabbah adalah:
a. Kepatuhan yang mutlak kepada Tuhan dan membenci sikap dan perilaku yang
melawan hukum kepada-Nya.
b. Menyerahkan diri seluruhnya kepada yang dikasihi, dan
c. Mengosongkan hati dari segala yang menodai kepada-Nya.1
Sedangkan menurut Al-Muhasibi mahabbah adalah karunia ilahi yang benihnya
ditanamkan oleh Allah dalam hati hambanya. Mahabbah ini merupakan jalan untuk
membuka tabir rahasia-rahasia yang wujudnya mengenal cinta kepada-Nya.2
Berdasarkan pendapar diatas dapat dijelaskan bahwa mahabbah adalah suatu keadaan
jiwa yang mencintai kepada Allah dengan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai
(Allah) masuk kedalam diri yang dicintai. Dengan tujuan untuk memperoleh kesenangan
bathiniah di dunia dan di akhirat kelak.

 Tokoh Sufi Mahabbah


Aliran sufi mahabbah dipelopori dan dikembangkan oleh seorang sufi wanita
bernama Rabiah al-Adawiah, ia lahir di Basrah pada tahun 714 M. hidupnya bermula
sebagai seorang budak belian yang kemudian mengabdikan hidupnya dengan shalat dan
berzikir sepanjang malam.
Menurut rabi’ah, cinta dan rindu kepada illahi mempunya dua bentuk, yaitu cinta rindu
dan cinta karena ia layak dicintai.3
1 Muhammad Heikal Daudy, Desain Pendidikan Karakter, (Jakarta: Prenada Media, 2015), hlm 290.

2 Djaliel Maman Abdul, dkk. Tasawuf Tematik Membedah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hlm 38.

2
3 Riza Afthoni, Modul Akidah Akhlaq MA, (Demak: Lp Ma’arif NU, 1975), hlm 5.
 Pandangan Al-Qur’an dan Hadist Tentang Mahabbah

‫قل ان كنتم تحبون هللا فاتبعوني يحببكم هللا‬


Artinya: “Jika kamu cinta kepada Allah,maka turutlah aku dan Allah akan mencintai
kamu.” (QS. Ali’Imron, 3: 30).

‫ياءتى هللا بقوم تحبهم و يحبونه‬


Artinya: “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-
Nya.” (QS. al-Maidah, 5: 54).

Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut:

‫وال يزال عبدى يتقرب الي با انوافل حتى احبه ومن احببته كنت له سمعا وبصرا ويدا‬
Artinya: “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan-
perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang Kucintai menjadi
telinga,mata,dan tangan-Ku.”
Kedua ayat dan satu hadist di atas memberikan petunjuk bahwa antara manusia dan
Tuhan dapat saling mencintai. Karena alat untuk mencintai Tuhan,yaitu roh. Roh adalah
berasal dari roh Tuhan.Roh Tuhan dan roh yang ada pada diri manusia sebagai anugrah
Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadist tersebut juga menjelaskan bahwa
pada saat terjadi mahabbah diri yang dicintai telah menyatu dengan yang mencintai yang
digambarkan dalam telinga,mata dan tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan
tersebut dilakukan dengan amal ibadah yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

2. Tingkatan Seseorang Menuju Mahabbah


Tidak ada lagi tingkatan setelah mahabbah kecuali buah dan hasil dari mahabbah
tadi, seperti kerinduan, kelembutan, dan keridhoan. Begitu juga, tidak ada tingkatan
sebelum mahabbah selain pendahuluan-pendahuluannya, seperti taubat, sabar, zuhud, dan
lain-lain.

para ahli sufi juga berbeda-beda pendapat dalam menetapkan cara-cara menuju
mahabbah, dianaranya seperti pendapat Rahmi Damis, yaitu:
a. Taubat, baik taubat dari dosa besar maupun dosa kecil,

3
b. Zuhud, yaitu mengasingkan diri dari orang lain,
c. Wara (sufi), yaitu mencoba meninggalkan segala yang didalamnya terdapat sub yang
tercela,
d. Faqr, yaitu mewarnai hidup seorang fakir,
e. Sabar, yaitu sabar dalam menghadapi segala macam cobaan,
f. Tawaqqal, yaitu menyeru seutuh-utuhnya kepada keputusan Allah,
g. Rida, yaitu merasa senang menerima segala ketentuan Allah.4

Oleh karena itu, tidak seorang pun yang bisa mencapai tingkatan mahabbah
sebagai bukti kebenaran keimanan kecuali setelah berhasil melalui tinkatan sebelumnya.
Juga tidak akan mampu mencapai tingkatan sesudahnya kecuali setelah berhasil
mencapai tingkatan mahabbah tersebut. Jika salah seorang diantara kita hendak menguji
sejauh mana rasa cintanya kepada Allah, atau hendak memperoleh .kunci
mahabbatullâh, atau hendak menaiki tingkatan-tingkatan mahabbatullâh, maka mau
tidak mau ia harus beramal. Jika ia hendak naik dari tingkatan “orang yang mencintai
Allah” (Al-Muhib lillâh) ke tingkatan “orang yang dicintai Allah” (Al-Mahbub minallâh),
maka tidak ada jalan lain selain dengan beramal.5

B. MA’RIFAT

3. Pengertian Ma’rifat
Istilah ma’rifat berasal dari kata ‘arafa ya ‘rifu –‘irfatan, sehingga menjadi
ma’rifatan yang artinya mengetahui dan mengenal sesuatu dengan sungguh sungguh, dan
sempurna. Istilah ma’rifat dipergunakan untuk menunjukkan ilmu yang diperoleh dari
proses pemahaman, pemikiran, dan perenungan terhadap sesuatu yang diyakini.

Ma’rifat dapat juga disebut sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati
sanubarinya. Secara istilah, ma’rifat artinya suatu pengetahuan yang didasarkan atas
suatu keyakinan yang penuh terhadap sesuatu hingga hilanglah suatu keragu-raguan.

4 Danis Rahmi, Al-Mahabbah Dalam Pandangan Islam, (Makasar: Program Pascasarjana, UIN Alaudin, 2010), hal 8.

5 Abdul Aziz Mustifa, 10 Sebab Dicintai Allah, (Jakarta: Qisthi Press, 2016), hal 5.

4
Dengan pengertian yang demikian ini, maka didalam ma’rifat sesungguhnya tidak ada
sedikit pun keragu-raguan. Yang ada dalam ma’rifat hanyalah satu keyakinan.6
Para ahli sufi mengatakan ma’rifat sebagai berikut:
a. Jika mata hati sanubari terbuka maka, kepala akan tertutup, dan ketika itulah ia dapat
melihat Allah SWT,
b. Ma’rifah adalah cermin, jika seseorang yang arif melihat cermin itu, maka dilihatnya
hanya Allah SWT,
c. Apa saja yang dilihat orang arif, baik sewaktu tidur maupun waktu terjaga hanyalah
Allah SWT,
d. Sekiranya ma’rifat mengambil bentuk orang yang melihat padanya akan mati Karena
tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya.
Sedangkan menurut pandangan al-Ghazali ma’rifat, yaitu:
a. Ma’rifat merupakan hal untuk mengetahui rahasia-rahasia Allah, dan segala
peraturan-Nya yang melingkupi segala yang ada,
b. Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat, berarti sudah dekat dengan Allah,
bahkan ia dapat memandang wajah-Nya. Dan
c. Ma’rifat datang sebelum datang rasa cinta (mahabbah) kepada Allah yang mendalam
dan abadi kepada-Nya.7

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ma’rifat merupakan


pengetahuan atau pengenalan tentang-Nya, dan kedekatan dengan-Nya dengan sungguh-
sungguh dan sempurna. Kemudian ma’rifat disebut juga ilmu yang diperoleh melalui
proses pemahaman, pemikiran, dan perenungan tentang Allah SWT sampai pada tingkat
dapat melihat wajah-Nya.

 Pandangan Al-Qur’an dan Hadist tentang Ma’rifat

‫ومن لم يجعل هللا له نورفماله من نور‬

6 Amatullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (Bandung: Mirza, 1996), hal 3.

7 Djaliel Maman Abdul, Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hal 43.

5
Artinya: “Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia
mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. al-Nur, 24: 40).

‫افمن شرح هللا صدره لالسالم فهو على نور من ربه‬


Artinya: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima)
agama islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang
membantu hatinya).” (QS. al-Zumar, 39: 22).

‫اول الد ىن معرىفة هللا‬


Pertama sekali di dalam agama adalah mengenal Allah

‫بنىت فى جوف ابن ادم قصرا وفى القصر صدر وفى الصدر قلبا وفى القلب فؤادا وفى‬
‫الفؤاد شغافا وفى وفى الشغافا لبا وفى لب سرا وفى السرا انا‬
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak adam mahligai dan dalam mahligai itu ada dan
dalam dada itu ada hati (qolbu) namanya dan dalam hati ada mata hati (fuada)
dan di dalam mata hati itu ada penutup mata hati (saghafa) dan di balik
penutup mata hati itu ada nur/cahaya (labban) dan di dalam nur itu ada rahasia
(siri) dan didalam rahasia itu aku kata Allah.”

4. Tingkatan Seseorang Menuju Ma’rifat


Belajar ilmu tasawuf, tidak semua orang bisa sampai ilmunya pada tingkat
ma’rifah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Zum Nun al –Misri, ada beberapa ciri yang
dimiliki oleh seorang sufi untuk sampai pada tingkatan ma’rifat, yaitu:
a. Selalu memancarkan cahaya ma’rifah dalam segala bentuk sikap dan perilakunya,
karena itu sikap wara’ selalu ada padanya,
b. Tidak menjadikan keputusan pada suatu yang berdasarkan fakta yang bersfat nyata
karena hal-hal yang nyata, menurut ajatran tasawuf belum tentu benar,
c. Tidak senang pada nikmat yang banyak untuk dirinya, karena semua itu bisa
membawa kepada perbuatan yang haram.8

Seorang yang ingin belajar ilmu ma’rifat, hal yang harus dipelajari mencakup hal-hal
yaitu:
a. Syariat hukum islam, yaitu semua hukum-hukum yang terdapat dalam al-qur’an dan
sunnah Nabi Muhammad SAW serta semua produk hukum yang terdapat dalam
8 Zahri Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), hal 286.

6
islam, seoerti yang terdapat dalam mazhab-mazhab ilmu fiqih, aqidah, dan berbagai
disiplin ilmu lainya, dan
b. Tariqat adalah jalan atau cara/metode implementasi syariat, sebagai upaya
mendekatkan diri kepada-Nya, mencari kecintaan dan mencari keridaan-Nya di dunia
dan akhirat.

5. Keutamaan Mahabbah & Ma’rifat


a. Keutamaan Mahabbah
Mahabbah dapat mengantarkan hambanya supaya mencintai kepada pemilik
langit dan bumi, seperti malaikat mencintai Allah atas kedekatan dengan-Nya,
sebagaimana sabda Raullullah yang artinya: “Apabila Allah mencintai seorang hamba,
dia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.”
Kemudian Jibril pun mencintainya. Lalu jibril menyerukan kepada seluruh penghuni
langit. Kemudian, penghuni langit itupun mencintainya. Lalu, orang tersebut didudukkan
sebagai orang yang diterima di muka.” (HR. Imam Bukhari).9
Selain itu keutamaan mahabbah untuk memperoleh kesenangan bathiniah yang
sulit dituliskan dengan kata-kata tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Keutamaan
mahabbah dijelaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya: “Diriwayatkan dari Anas bin
Malik r a: Seorang lelaki yang berasal dari pedalaman bertanya kepada Rasulullah SAW:
Bilakah berlakunya Kiamat? Rasulullah SAW bersabda: Apakah persediaan kamu untuk
menghadapinya? Ia menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW
bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang kamu cintai”. Selain itu mahabbah dapat
mengantarkan hamba yang memiliki kecintaan tersebut di antara penghuni langit. Sebab
para malaikat akan selalu mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah atas
kedekatannya dengan-Nya, juga karena mereka selalu memenuhi perintah Allah”.

b. Keutamaan Ma’rifat
Ma’rifat merupakan mengenal hak dan kewajiban dengan sebenar-benarnya pada
asma dan sifat-sifat-Nya. Ma’rifat memiliki keistimewaan yang tertinggi pada hati,
karena seseorang yang sudah memiliki ma’rifat hubungannya dengan-Nya sudah sangat
9 Djamaluddin Ahmad, Menelusuri Taman-Taman Mahabbah Shufiyah, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002), hal 291.

7
dekat dan harmonis, sehingga dirinya selalu menyatu dengan-Nya. Sifat Allah dan semua
aktivitasnya adalah qudrat Allah SWT, sebagaimana sabda Rasulullah “Siapa yang
mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya” (al-Hadist). Kemudian Abu Ali
Addaqah berkata: “Kehidupan orang arif selalu tenang, tidak ada rasa takut atau bersedih
hati dan tingkah lakunya selalu menunjukkan kehebatan Allah SWT.”
Menurut al-Qusyairi, ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan oleh orang sufi
pada saat berhubungan dengan Tuhan, yaitu qalbu untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan,
roh untuk mencintai Tuhan, dan sir. Keutamaan ma’rifat diantaranya yaitu:
a. Terhindar dari kerusakan,
Berdasarkan dawuh Sayyidina Ali Karromallohu Wajhah: “Tidak mengalami
kerusakan orang yang menyadari akan kedudukan dirinya.”
b. Ketika mati akan diberi kebaikan oleh Allah menurut bilangan makhluk,
“Wahai hamba-KU ketika kamu bertemu dengan Aku dan kamu ma’rifah kepada Ku,
maka Ku berikan kebaikan menurut bilangan Makhluk.”

6. Hubungan Antara Mahabbah dan Ma’rifat


Ada yang berpendapat bahwa mahabbah adalah suatu istilah yang hampir selalu
berdampingan dengan ma'rifat, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya.
Mababbah dan mari'fat merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Jika
mahabbah menggambarkan hubungan yang rapat dengan Tuhan dalam bentuk cinta
(roh), ma’rifat menggambarkan hubungan dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan
sanubari atau mata hati (al-qalb), seluruh jiwanya tarisi oleh rasa kasih dan cinta kepada
Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengalaman kepada Tuhan sudah
sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri
yang dicintai.10
Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifat kepada
Tuhan. Hubungan cinta kepada Allah SWT dengan ma’rifat sangatlah erat, seseorang
yang telah ditunjuki kepada jalan ma’rifat akan terlebih dahulu merasakan mahabbah
kepada-Nya. Semakin dekat ia kepada pintu ma’rifat maka semakin kuat perasaan cinta
kepada-Nya, sampai pada akhirnya hilanglah kewujudan diri bersamaan hilangnya

10 Suryana Sudrajat, Kearifan Yang Berserak, (Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 2006), hal 8.

8
perasaan cinta pada dirinya, yang menandakan telah sampainya mereka ke hadirat
daripada-Nya.

9
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

10
DAFTAR PUSTAKA
11

Anda mungkin juga menyukai