Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MAHABBAH DAN MA’RIFAH PADA ILMU TASAWUF

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. H. Hafid Rustiawan, M. Ag.

Disusun Oleh:

Muhammad Abdulah 221210118


Sendi Permana 221210120
Nazwa Dwi Anjani 221210145

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA
HASANUDDIN BANTEN
TAHUN AKADEMIK 2024/2025

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Mahabbah dan Ma’rifah pada Ilmu Tasawuf” dengan tepat waktu. Shalawat dan
salam semoga terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga
dan sahabat-Nya. Semoga kelak kita mendapatkan syafa’at di yaumil qiyamah.
Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin.

Dalam proses penyusunan makalah ini tidak akan berjalan dengan baik dan tersusun
rapih tanpa bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Drs. H. Hafid Rustiawan, M. Ag Selaku dosen pengampu yang telah
membimbing dan memberikan ilmu yang bermanfaat bagi kami.
2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi dan doa.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan
guna mengevaluasi kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Demikian semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak.

Serang, 14 Maret 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… 2


DAFTAR ISI …………………………………………………………………... 3
BAB I …………………………………………………………………………... 4
A. Latar Belakang ………………………………………………………... 4
B. Rumusan Masalah …………………………………………………….. 5
C. Tujuan …………………………………………………………………. 5
BAB II ………………………………………………………………………….. 6
PEMBAHASAN ……………………………………………………………….. 6
A. Mahabbah ……………………………………………………………… 6
1. Pengertian Mahabbah ………………………………………… 6
2. Mencapai Mahabbah ………………………………………….. 9
3. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah……………………. 9
4. Mahabbah dalam Pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadist…… 11
B. Ma’rifat ………………………………………………………………... 12
1. Pengertian Ma’rifat …………………………………………... 12
2. Mencapai Ma’rifat ……………………………………………. 12
3. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifat ……………………... 13
4. Ma’rifat dalam Pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadist ……... 14

BAB III ………………………………………………………………………… 16

PENUTUP ……………………………………………………………………... 16

A. Kesimpulan ……………………………………………………………. 16
B. Saran …………………………………………………………………… 16

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan
Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf, agama ini
akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia.
Bahkan para ulama’ telah memberikan putusan hukum wajib ‘ain bagi setiap
muslim. Seperti dalam perkataan ‘Ali Abi Hasan Asy Syadzili yakni :
“Barangsiapa yang tidak menyelami ilmu tasawuf maka tetkala dia meninggal akan
membawa dosa yang besar tetapi dia tidak mengetahuinya”. Demikian karena
dengan tasawuf adalah seorang muslim akan mengatahui kondisi nafsunya dan
sifat-sifatnya yang tercela serta mengetahui cara beradab dengan Allah Swt. di
setiap waktu, tempat dan dalam kondisi apapun.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada
Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Komunikasi
yang harus dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun. Sehingga
pangkat atau maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Tetapi pada
perkembangannya, sebagian mutashowifin memberikan istilah yang berbeda-beda
dalam menamakan puncak maqamat. Seperti Robi’ah al Adawiyyah dengan
teorinya ”al Mahabbah”. Yang berpandangan bahwa beribadah hanyala murni
karena cinta kepada sang Kholiq, bukan karena takut akan siksaan neraka dan bukan
karena merahi janji kenikmatan surga.
Disisi lain, Hujjah al Islam al Imam al Ghazali memberikan istilah al
Ma’rifah bagi salikin yang sudah berada pada maqam tertinggi. Beliau berpendapat
bahwa tidaklah cukup seseorang mengenal Allah dengan akal saja, tetapi harus
dengan perantara intuitif.
Dengan demikian, akan dibahas lebih lanjut tentang 2 teori yang telah
di cetukan oleh 2 ahli tasawuf diatas, sehingga para pembaca memahami dengan
benar tentang gambaran/ penjelasan al mahabbah dan al ma’rifah. Kedua teori ini
termasuk teori aliran tasawuf sunni.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam
penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengertian Mahabah dan Ma’rifah?
2. Siapa yang mengembangkan tokoh mahabbah dan ma’rifah?
3. Bagaimanakah untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah?
4. Bagaimanakah tinjauan Mahabbah dan Ma’rifah dalam Al Qur’an dan
Hadist?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian Mahabah dan Ma’rifah?
2. Untuk mengetahui Siapa yang mengembangkan tokoh mahabbah dan
ma’rifah?
3. Untuk mengetahui bagaimanakah untuk mencapai Mahabbah dan Ma’rifah?
4. Untuk mengetahui bagaimanakah tinjauan Mahabbah dan Ma’rifah dalam
Al Qur’an dan Hadist?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. MAHABBAH
1. Pengertian Mahabbah
Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata
ahabbah-yuhibbu-mahabbatan, yang secara bahasa berarti mencintai secara
mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam. 1 Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi,
Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al-baghd
(benci).2 Al- Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat pengasih
atau penyayang. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada
sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang
bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada
sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu
bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah
pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari
seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan. 3
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh
Al-Qusyairi sebagai berikut: Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang
mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba,
selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya
dan seorang hamba mencintai Allah Swt. 4
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu
selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan
kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah
berbeda dengan al-raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan
harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al-raghbah adalah cinta

1 Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hal. 96.
2 Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978), hal. 439
3 Abuddin Nata, akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002), hal. 208
4 Al-Qusyairi al Naisabury, al Risalah-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al kahir), hal. 318

6
yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun
harus mengorbankan segalanya. 5
Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu
Tuhan. 6
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga
macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq,
dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu
mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah,
dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah. Mahabbah orang
shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya,
kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain.Ia mengadakan dialog
dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini
membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri,
sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-
Nya. Sedangkan mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu
betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai. 7
Ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution
tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal
sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan
leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa)
dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang
ingin dituju oleh mahabbah ini.

5 Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978), hal. 439
6 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983, cet. 3),
hal.70
7 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983, cet. 3),
hal.70-71.

7
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa
mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga
sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya
adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-
kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga
menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental,
seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal
bertalian dengan maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan
karena anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal
bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang
sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al Mahabbah
adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan Ma’rifah,baik dalam
kedudukannya maupun pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan tingkat
pengetahuan Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan
kedekatan dengan tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih
dan cinta kepada Allah. Rasa cinta itu tumbuh karena pengetahuan dan pengenalan
kepada Tuhan sangat jelas dan mendalam,sehingga yang dilihat dan dirasa bukan
lagi cinta,tetapi diri yang dicintai. Oleh karena itu, Imam Al Ghozali, mahabbah itu
manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. 8
Pendapat yang terakhir ini ada juga benarnya jika di hubungkan dengan
Mahabbah sebagai mana di kemukakan di atas. Apa yang di sebut sebagai Ma,rifah
oleh Al-Ghazali itu pada hakekatnya sama dengan Mahabbah tingkat kedua sebagai
di kemukakan al-Sarraj di atas, sedangkan mahabah yang di maksud adalah
mahabbah tingkat ketiga. Dengan demikian kedudukan Mahabbah lebih tinggi dari
Ma’rifah.

8 IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983-1984) hal.125

8
2. Mencapai Mahabbah
Manusia mencapai mahabbah Para ahli tasawuf menjawabnya dengan
menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat
adanya potensi rohaniyah yang ada dalam diri manusia. Harun Nasution dalam
bukunya Falsafah Mistis dalam Islam mengatakan, alat untuk memperoleh
ma’rifah oleh sufi di sebut sirr. Dengan mengutip pendapat al-Qusyairi, Harun
Nasution mengatakan, bahwa dalam diri manusia terdapat tiga alat yang di gunakan
untuk berhubungan dengan Tuhan. Pertama Al-Qalb hati sanubari, sebagai alat
untuk mengetahui sifat sifat Tuhan. Kedua Roh, sebagai alat untuk mencintai
Tuhan. Ketiga Sir sebagai alat untuk melihat Tuhan.. Sir lebih halus dari pada roh,
dan roh lebih halus dari Qalb, kelihatannya sir bertempat di roh, dan roh bertempat
di qalb,dan sirr timbul dan dapat menerima iluminasi dari Allah, kalau qalb dan roh
telah suci sesucinya dan kosong sekosongnga, tidak berisi apapun. 9
Dengan keterangan tersebut, dapat di ketahui bahwa alat untuk
mencintai Tuhan adalah roh, yaitu roh yang sudah di bersihkan dari dosa dan
ma’siat,serta di kosongkan dari kecintaan kepada segala sesuatu,melainkan hanya
di isi cinta kepada Tuhan.
Roh yang di gunakan untuk mencintai Tuhan itu telah di anugerahkan
Tuhan kepada manusia sejak kehidupannya dalam kandungan ketika umur 4bulan.
Dengan demikian untuk mencapai mahabbah itu sbenarnya telah di berikan Tuhan.
Manusia tidak mengetahui hakekat roh itu, yang mengetahui hanyalah Tuhan.
Allah berfirman QS. Al-Isra’ ayat 85
ِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِِ.ِ‫الر ْو ُح ِم ْن ا َ ْم ِر َِربِ ْيِ َو َم ۤا ا ُ ْو ِت ْيتُ ْم ِمنَ ْال ِع ْل ِم ا اَِّل قَِِليْل‬
ُّ ‫حِِۗ ِقُ ِل‬
ِِ ‫الر ْو‬ َ َ‫َويَسْــئَلُ ْونَك‬
ُّ ‫ع ِن‬

“dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk
urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit".10

3. Tokoh yang Mengembangkan Mahabbah


Hampir seluruh literatur bidang Tasawuf menyebutkan bahwa tokoh
yang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini

9 Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 212.
10 Al-Qur’an terjemah, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, (Alhuda, 2005), hal. 291.

9
didasarkan pada ungkapannya yang menggambarkan bahwa ia menganut paham
tersebut.
Rabiah al-Adawiyah adalah seorang zahidah perempuan yang amat
besar dari Basrah, di Irak. Ia hidup antara th 713-801 H. 11
Sumber lain menyebutkan bahwa ia meninggal dunia dalam th
185H/796M. 12
Kelahirannya diliputi bermacam cerita aneh aneh pada malam ketika ia
lahir, di rumah tidak ada apa-apa, bahkan minyak untuk menyalakan lampu pun
tidak ada, juga tidak di temui sepotong gombal pun untuk membungkus bayi yang
baru di lahirkan itu. Rabiah kehilangan kedua orang tuanya waktu iamasih kecil.
Ketiga kakaknya perempuan juga meninggal ketika wabah kelaparan melanda
Basra, Ia sendiri jatuh ketangan orang yang kejam, dan orang ini menjualnya
sebagai budak. Rabiah menghabiskan waktunya dengan melaksanakan segala
perintah majikannya, sedangkan malam harinya ia selalu berdoa. Pada suatu malam
,majikanya melihat tanda kebesaran rohani Rabiah, ketika Rabiah berdoa kepada
Allah: “Ya Rabbi, Engkau telah membuatku menjadi Budak belian seorang manusia
sehingga aku mengabdi kepadanya, seandainya aku bebas pasti akan
persembahkan seluruh waktu dalam hidupku ini untuk berdoa kepadaMu”. Tiba
tiba tampak cahaya di dekat kepalanya,dan melihat itu majikannya sangat
ketakutan,Esok harinya Rabiah di bebaskan. 13
Dalam hidup selanjutnya ia banyak beribadat, bertaubat dan menjaui
hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan material
yang di berikan orang kepadanya. Dalam berbagai do’a yang di panjatkan ia tak
mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul betul hidup dalam
keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak lamaran lamaran
pria shalih,dengan mengatakan: “Akad nikah adalah bagi milik kemaujudan luar
biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud

11 A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, (Bandung: Mizan,1985, Cet 1), hal. 49.
12 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta: Pustaka Panji mas,1984), hal.79
13 Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 247.

10
dan telah lepas naungan firmanNya. Akad nikah mesti di minta dariNya, bukan
dariku. 14
Cinta Rabiah yang tulus tanpa mengharapkan sesuatu pada
Tuhan,terlihat dari ungkapan doa doa yang di sampaikannya. Ia misalnya berdoa
”Ya Tuhanku,bila aku menyembahMu lantaran takut pada neraka,maka bakarlah
diriku dalam neraka,dan bila aku menyambahMu karena mengharap Surga, maka
jauhkanlah aku dari surga, namun jika aku menyembahMu hanya demi engkau,
maka janganlah engkau tutup keindahan AbadiMu”. 15

4. Mahabbah dalam Pandangan Al-Qur’an dan Al-Hadist


Paham mahabbah mendapatkan tempat di dalam Al-Qur’an yang
mengambarkan bahwa antara manusia denagn Tuhan dapat saling cinta.
Allah berfirman QS. Al-Ma’idah ayat 54
ِ‫ّٰللاُ ِبقَ ْو ٍم ي ُِّحبُّ ُه ْم َوي ُِحب ُّْون َۤه‬
‫يَأْتِى ه‬....

“...........Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan merekapun mencintaiNya, ....” 16

Di dalam hadist juga dinyatakan sebagai berikut: Hambaku senantiasa


mendekatkan diri kepada-Ku dengan perbuatan perbuatan hingga aku cinta
kepadaNya. Orang yang ku cintai menjadi telinga,mata dan tangan-Ku.
Kedua ayat dan satu hadist tersebut di atas memberikan petunjuk bahwa
antara manusia dan Tuhan dapat saling mencintai, karena alat untuk mencintai
Tuhan, yaitu roh adalah berasl dari roh Tuhan. Tuhan dan Roh yang ada pada
manusia sebagai anugerah Tuhan bersatu dan terjadilah mahabbah. Ayat dan hadist
tersebut juga menjelaskan bahwa pada saat terjadi mahabbah diri yang di cintai
telah menyatu dengan yang mencintai yang di gambarkan pada telinga, mata dan
tangan Tuhan. Dan untuk mencapai keadaan tersebut di lakukan dengan amal
ibadah yang di lakukan dengan sunggguh-sungguh.

14 Aththahal, Tadzkirat al AuliaI, (Mesir: Al-Ma’arif), hal. 66.


15 Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Qahirah), hal.159.
16 Al-Qur’an terjemah, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, (Alhuda, 2005), hal. 100.

11
B. MA’RIFAH
1. Pengertian Ma’rifah
Istilah Ma’rifah berasal dari kata Al-Ma’arif, yang berarti mengetahui
atau mengenal sesuatu. Dan apabila di hubungkan dengan pengalaman Tasawuf,
maka istilah Ma’arif disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu
maqam dalam Tasawuf. 17 Ma’rifah berasal dari kata ‘Arafa, Ya’rifu, Irfan, ma’rifah
yang artinya pengetahuan atau pengalaman.18 Dan pula berarti pengetahuan tentang
rahasia hakekat agama,yaitu ilmu yang lebih tinggi dari pada ilmu biasa di dapati
oleh orang orang pada umumnya. 19
Ma’rifah adalah Tampak jelasnya rahasia-rahasia ketuhanan dan
pengetahuan, yaitu soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada. 20 Pengetahuan
yang obyeknya bukan pada hal hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam
terhadap batinya dengan mengetahui rahasianya. Hal ini di dasarkan pada
pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan, dan
hakekatitu satu, dan segala yang maujud berasal dari yang satu
Selanjutnya Ma’rifah di gunakan untuk menunjukkan pada salah satu
tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, Ma’rifah di artikan sebagai
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. 21
Selanjutnya dari Literatur yang di berikan tentang ma’rifah sebagai di
katakan Harun Nasution, Ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga
hati sanubari dapat melihat Tuhan.

2. Mencapai Ma’rifah
Untuk mencapai Ma’rifah telah ada dalam diri manusia,Yaitu qalb
(hati), namun artinya tidak sama dengan heart (dalam bahasa Inggris), karena qalb
selain alat untuk merasa adalah juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal
adalah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang
Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika

17 H.A Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hal. 251.
18 IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara,1983), hal.122.
19 Jamil Saliba, Mu’jam al-Falsafi, Jilid 2, (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), hal.72.
20 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu cet. Ke-1, 1995, hal. 227.
21 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal.75.

12
dilimpahi cahaya Tuhan, bisa mengetahui rahasia rahasia Tuhan. 22 Qalb yang telah
di bersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkai dzikir dan wirid secara
teratur akan dapat mengetahui rahasia rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut di
sinari cahaya Tuhan.
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan
konsep Takhalli,Tahlli,Tajalli. Takhalli yaitu mengkosongkan diri dari akhlak yang
tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat, Tahalli yaitu menghiasi diri dengan
ahlak yang mulia dan amal ibadah, Sedangkan Tajalli yaitu terbukanya hijab,
sehingga tampak jelas cahaya Tuhan.

3. Tokoh yang Mengembangkan Ma’rifah


Dalam literatur Tasawuf di jumpai dua orang tokoh yang mengenalkan
paham Ma’rifah, Yaitu Imam al-Ghazali dan Zun-al Nun al- Misri. Al-Ghazali lahir
1095 M di Ghazaleh, suatu kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah
belajar pada imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di madrasah al-Nisamiah
Nisyafur Setelah mempelajari ilmu agama, ia mempelajari ilmu teologi,ilmu
pengetahuan alam,filsafat dan lain lain, akhirnya ia memilih jalan tasawuf sebagai
jalan hidupnya. Setelah bertahun tahun mengembara sebagai sufi ia kembali ke Tus
ditahun 1105M, dan meninggal disana tahun 1111 M.23
Zun al-Msri lahirnya tidak banyak diketahui, yang di ketahui hanya
wafatnya tahun 860M berasal dari Naubah negeri yang terletak Sudan dan Mesir.
Menurut Hamka, beliaulah puncaknya kaum sufi dalam abad ketiga Hijriyah.
Beliaulah yang banyak sekali menambahkan jalan buat menuju Tuhan.Yaitu
mencintai Tuhan, menuruti garis perintah yang di turunkan, dan takut terpaling dari
jalan yang benar.
Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham marifah
dapat di ikuti dari pendapat pendapatnya. Al Ghazali mengatakan marifah adalah
tampak jelas rahasia rahasia ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan
ketuhanan yang mencangkup segala yang ada. Lebih lanjut al Ghazali mengatakan,

22 Abudin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 222.
23 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hal. 43.

13
ma’rifah adalah mengetahui rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan-
Nya mengenai segala yang ada. 24
Seterusnya al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai
marifah tentang Tuhan,Yaitu arif tidak akan mengatakan ya Allah atau Ya Rabb
karena memanggil Tuhan dengan kata kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan
ada di belakang Tabir.
Tetapi bagi al-Ghazali marifah urutannya terlebih dahulu dari pada
mahabah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Al Ghazali lebih lanjut
mengatakan bahwa ma,rifah dan mahabah itulah setinggi tinggi tingkat yang dapat
di capai seorang sufi. Dan pengetahuan yang di peroleh dari marifah lebih tinggi
mutunya dari pengetahuan yang di peroleh dengan akal.

4. Ma’rifah dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadist


Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifah adalah
pengetahuan tentang rahasia rahasia dari Tuhan yang di berikan kepada hambaNya
melalui pancaran cahaya-Nya yang di masukkan Tuhan kedalam hati seorang sufi.
Dengan demikian Ma’rifah berhubungan dengan nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al
Qur’an, di jumpai tidak kurang dari 43 kali kata nur di ulang dan sebagian besar di
hubungkan dengan Tuhan. 25 Yang tiada di beri cahaya. Allah berfirman QS. Az-
Zumar ayat 22-23.
.‫ع ٰلى نُ ْو ٍر ِم ْن َّر ِبه‬ ِ ْ ‫صد َْر ٗه ِل‬
َ ‫ْل س َْْل ِم فَ ُه َو‬ ُ ‫اَفَ َم ْن ش ََر َح ه‬
َ ‫ّٰللا‬

“Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima)


agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang
membatu hatinya)? ..” 26

‫ّٰللاُ فَ َما لَه ِم ْن هَاِ ٍِد‬ ْ ُّ‫ِ َو َم ْن ي‬


‫ض ِل ِل ه‬
(dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia
mempunyai cahaya sedikitpun.

24 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995,
hal. 181
25 Muhammad Fu’ad Abd AlBaqo, al Mujam al Mufahras li afadz al Qur’an al- karim, (Beirut: Dar
al Fikr,1987) hal. 725-726.
26 Al-Qur’an terjemah, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, (Alhuda, 2005), hal. 360

14
Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah akan
mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya
akan mendapatkan kesesatan hidup. Dalam marifah kepada Allah yang di dapat
seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran marifah sangat di
mungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al Quran.
Selanjutnya di dalam hadist kita jumpai sabda Rasulullah yang
berbunyi: Aku (Allah) perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah makhluk. Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka itu mengenal Aku.(Hadist
Qudsi).
Hadist tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat di kenal oleh
manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan
bahwa marifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tasawuf memiliki peran penting dalam perjalan para hamba/ salikin
kepada yang dituju yakni Allah. Tanpa tasawuf para hamba/ salikin tak akan dapat
mengenal dan mencintai Allah Swt.
Dalam maqam ini, para ahli tasawuf memberikan berbagai istilah yang
berbeda-beda sesuai dengan pengalaman rohaninya yang telah dicapai selama
menjadi seorang salik. Seperti istilah al Ma’rifah yang telah digagas oleh Abu
Hamid al Ghazali, dalam istilahnya beliau menyebutkan bahwa, al Ma’rifah adalah
pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya
melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi.
Dengan melalui tahapan Takhalli, Tahalli, Tajalli terlebih dahulu, sehingga mata
hatinya terbuka tanpa ada ta’bir yang dapat menghalangi antara salik dan Tuhan.
Rabi’ah al Adawiyyah juga memberikan nama bagi salik yang sudah
duduk bersanding dengan Allah Swt. Yakni “ al Mahabbah”. Rabi’ah lebih senang
dengan istilah Hubb, sebab menurut beliau, cinta tak memandang apa yang telah
dilarang oleh Mahbub dan tidak pula memandang apa yang telah diperintahNya,
tetapi Muhib hanyalah memandang siapa yang memerintah dan siapa yang
melarangnya. Sehingga dia tidak takut jika dia di masukkan ke dalam neraka, tidak
akan senang jika dia diberi hidangan surga, dia lebih senang bersama Allah. Neraka
dan surga tidaklah menjadi ukurannya dalam beribadah, hanya Allah yang telah
menjadi tujuannya semata.
B. Saran
Tasawuf merupakan salah satu ilmu sekaligus potensi yang harus
dikembangkan pada diri manusia sebagai hamba dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di
masa yang akan datang

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an terjemah, Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran. (Alhuda, 2005).

Al-Qusyairi al Naisabury, al Risalah-Qusyairiyah, (Mesir: Dar al kahir).

Aththahal, Tadzkirat al AuliaI, (Mesir:Al Ma’arif).

Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Qahirah).

A.J.Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf Cet 1, (Bandung: Mizan, 1985).

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaannya, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,


1985).

IAIN, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Sumatera Utara, 1983-1984).

Mustofa, Akhlaq Tasawuf, (Bandung, Pustaka Setia, 2010).

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, cet. 1, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995)

Mustofa,. Akhlaq Tasawuf, (Bandung: Pustaka setia, 2010

Muhammad Fu’ad Abd AlBaqo, al Mujam al Mufahras li afadz al Qur’an al-


karim, (Beirut: Dar al Fikr, 1987).

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1983).

Nata , Abuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012).

Shalih, Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Anam, Khirul, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. Ke-4, 2002).

Shaliba, Jamil ,. Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, (Mesir: Dar al-Kairo, 1978).

Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990).

17

Anda mungkin juga menyukai