Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
Dosen Pengampu Dr. H. Subaidi, M.Pd.
Kelas 6 PAI A8

Oleh Kelompok 6 :

No. Nama NIM


1. Maulida Wardhani 20131000
2. Ismatul Wahdah 201310004486

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA
2023

1
PRAKATA
Puji syukur pemakalah panjatkan kehadirat Allah atas limpahan rahmat,
hidayah, serta inayah-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF . Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf. Dalam pembuatan karya tulis ini,
pemakalah mengalami berbagai kesulitan, namun dengan bantuan dari banyak
pihak, pemakalah mampu menyelesaikan makalah ini. Terimakasih pemakalah
sampaikan kepada
1. Bapak Dr. H. Subaidi, M.Pd .Dosen Pengampu Mata Kuliah supervisi
pendidikan.
2. Bapak dan ibu pemakalah yang telah memberikan dukungan baik moral
maupun material kepada pemakalah
3. Semua pihak yang tidak dapat pemakalah sebutkan satu persatu.
Dengan keterbatasan pengalaman dan pengetahuan, pemakalah menyadari
bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, pemakalah
mengharapkan kritik dan saran agar makalah ini menjadi lebih sempurna.
Akhir kata, pemakalah berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi
pemakalah dan pembaca, serta dapat menjadi salah satu sumber pembelajaran
mengenai karya tulis bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Jepara, 05 Mei 2023

Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Membicarakan tasawuf berarti memperbincangkan maqamat dan ahwal.
Keduanya dapat dikatakan sebagai rukun atau fondasi tasawuf. Tak mungkin ada
tasawuf, baik ia sebagai ilmu pengetahuan atau sebagai amalan, tanpa kehadiran
maqamat dan ahwal.Dalam menjalani proses maqamat yang maha berat itu, jiwa
seseorang sufi terbang mengembara mencari dan menemukan hakikat hidup,
manusia dan Tuhan Yang Maha agung dan indah. Pada saat yang sama, ia juga
mengalami ahwal,merasakan nikmatnya berada puncak spiritual yang tak
terkatakan dan tak bisa dilukiskan keindahannya. Puncak kenikmatan dan
keindahan ruhani itu- secara terbatas oleh Abu Yazid disebut ijtihad, al-Hallaj
menyebutkan hulul, al-Gazali menamainya ma’rifat, al-Sarraj menyebutnya
musyahadah, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menamainya dengan mahabbah.
Begitulah, setiap sufi memiliki nama-nama atau istilah sendiri untuk melukiskan
nikmat dan indahnya bertemu Sang Kekasih, walaupun kata-kata itu sebenarnya
tidak dapat menggambarkan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-
keterbatasan (bahasa) manusia.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apa pengertian maqamat dan ahwal ?
2. Apa macam-macam maqamat dan ahwal ?
3. Apa perbedaan mendasar maqamat dan ahwal ?
C.Tujuan Masalah

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengertian maqamat dan ahwal

2. Untuk mengetahui macam-macam maqamat dan ahwal


3. Untuk mengetahui perbedaan mendasar maqamat dan ahwal

BAB II

PEMBAHASAN

A.Pengertian Maqamat dan Ahwal


1. Maqamat
Maqamat secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti
sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada
dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris maqamat dikenal dengan istilah
stages yang berarti tangga.1
Maqamat merupakan bentuk jamak dari maqam. Secara etimologi maqam
mengandung arti kedudukan atau tempat berpijak dua telapak kaki.
Sementara itu dalam pengertian terminologi istilah maqam mengandung
pengertian kedudukan, posisi, tingkatan, atau kedudukan tahapan hamba
dalam mendekatakan diri kepada Allah. Jadi, maqam sering dipahami oleh para
sufi sebagai tingkatan, yaitu tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam
hal ibadah dan latihan latihan (riyadah) jiwa yang dilakukannya.
2. Ahwal
Ahwal adalah bentuk jamak dari hal. Seperti halnya maqam, hal digunakan kaum
sufi untuk menunjukkan kondisi spiritual. Kata hal dalam perspektif tasawuf
sering diartikan “keadaan”. Maksudnya keadaan dalam kondisi spiritual. Hal,
sebagai sebuah kondisi yang singgah dalam kalbu, merupakan efek dari
peningkatan maqamat seseorang. Secara teoritis, memang bisa dipahami
bahwa kapanpun seorang hamba mendekat kepada Allah dengan cara berbuat
kebajikan, ibadah, riyadhah, dan mujahadah, maka Allah memanifestasikan
dirinya dalam kalbu hamba tersebut. Secara terminologis yang dimaksud
dengan ahwal ialah keadaan atau keadaan kondisi psikologis yang dirasakan
1
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2014), hlm. 137.
ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Ahwal merupakan sebuah
batasan teknis dalam disiplin tasawuf untuk suatu keadaan tertentu yang
bersifat tidak permanen. Hal masuk kedalam hati sebagai anugrah dan
kerunia Allah yang tidak terbatas pada hamba-Nya. Hal tidak dapat dicapai
melalui usaha, keinginan, atau undangan. Hal datang dan pergi tanpa diduga
duga. Keadaan spiritual banyak jumlahnya dan kedudukan spiritual juga banayak.
Dapat dikatakan bahwa hal merupakan pemberian yang berasal dari Tuhan kepada
hamba-Nya yang dikehendaki. Pemberian itu pada kalanya tanpa melalui
usaha. Tidak semua orang berusaha itu berhasil, namun yang menjadi dambaan
bagi setiap orang yang menjalani tasawuf. Hubungan antara usaha dan hasil
dalam perkara ini tidak bersifat mutlak.
B.Macam-Macam Maqamat dan Ahwal

A. Macam-Macam Maqamat Berkaitan dengan beberapa maqam yang harus


dilalui oleh seorang sufi untuk mencapai Tuhannya, para sufi berbeda pendapat
pada hal ini. Terhadap perbedaan beberapa pendapat tersebut ada beberapa
maqamat yang disepakati oleh para ahli tasawuf, yaitu:

1.Al-Zuhud

Zuhud secara istilah bermakna tidak ingin kepada sesutu yang bersifat
keduniaan. Namun, secara umum zuhud dapat diartikan sebagai sutu sikap
melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan akhirat. Kendatipun didefinisikan dengan redaksi
yang berbeda, inti dan tujuan zuhud sama, yaitu tidak menjadikan kehidupan
dunia sebagai tujuan akhir. Jangan sampai kenikmatan dunuawi menyebabkan
susutnya waktu dan perhatian pada tujuan yang sebenarnya, yaitu
kebahagiaan abadi di “hadirat” Ilahi. Dilihat dari maksudnya zuhud dibagi
mejadi tiga tingkatan. Pertama menjauhkan dunia ini agar terhindar dari
hukuman di akhirat.

Kedua menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga


mengucilkan dunia bukan karna takut atau berharap, tetapi karena cinta karen
Allah. Orang yang berada pada tingkat tertinggi ini akan memandabg segala
sesuatu, kecuali Allah, tidak mempunyai apa-apa.

2.At-Taubah

At-Taubah adalah rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai


permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan
dosa. At-Taubat di bagi menjadi tiga tingkatan yakni ; yang pertama taubat
yang paling rendah yaitu memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan
yang telah dilakukan pada saat yang lampau. yang kedua taubat yang lebih
tinggi tingkatannya yaitu taubat terhadap pangkal dosan seperti taubat dari
sifat dendam, sombong, iri, riya’, pamer, dll. Sedangkan yang ketiga taubat
tertinggi yaitu taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan setan dan
kelalaian dari mengingat Allah.

3.Al-Wara’

Al-Wara’ adalah sikap berhati-hati terhadap ketentuan-ketentuan Allah.


Mereka yang memiliki sifat ini selalu berusaha agar tidak melanggar aturan
Allah meskipun itu hanya kemaksiatan yang tanpak kecil. Seseorang yang
bersifat wara’ adalah mereka yang selalu berhati-hati dalam segala
perilakunya sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak disenangi atau
diridai Allah baik yang hukumnya makruh apalagi haram.

4.Al –Faqr (Fakir)

Al –Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang
telah diterima dan dianugerahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau
meminta sesutu yang bukan haknya. Dengan demikian, seseorang yang faqr selalu
merasa berkecukupan dan merasa puas dalam menjani kehidupan. Sikap ini sangat
penting sehingga manusia dapat terhindar dari sifat serakah dan rakus. Sikap al-
Faqr merupakan kelanjutan sikap zuhud, karena dengan
zuhud terhadap kehidupan dunia dengan tidak terperdaya tipudaya dunia,
sesorang akan merasa puas dan cukup dengan apa yang diperolehnya. Selain itu
sifat al-Faqr akan menghasilkan sifat wara’, karena dengan menerima apa yang
dianugerahkan Allah kepadanya, ia akan bersikap hati-hati dan tidak akan
menuntut yang bukan haknya.

5.As-Shabr (sabar)

As-Shabr adalah salah satu sifat andalan bagi kaum sufi. Sifat sabar
merupakan sifat dasar yang dimiliki oleh para nabi dan rasul. Mereka yang
memiliki yang memiliki kesabaran yang luar biasa dinamakan dengan ulul
al-‘azmi. Jadi sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan
dengan kehendak Allah, demikian juga tenang ketika mendapatkan cobaan
dari-Nya, menampakkan sifat yang berkecukupan sekalipun hidup dalam
kekurangan. Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi menjadi tiga macam, yaitu: a.
Sabar dalam beribadah kepada Allah. b. Sabar dalam menjauhi larangan Allah. c.
Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.

6. Tawakkal

Secara terminologi tawakkal adalah membebaskan diri dari segala


ketergantungan kepada selain Allah Swt. dan menyerahkan keputusan segala
sesuatunya kepada Allah Swt. Jadi, tawakkal adalah sikap pasrah terhadap
Allah dalm menjalani setiap urusan. Tawakkal dapat dimaknai sebagai sikap hati
untuk menyerahkan diri kepada qada’ dan qadar Allah.

7. Rela (Rida’)

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang telah di
anugerahkan Allah Swt. orang yang memiliki sikap rida’ mampu melihat
hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk
sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan,
kebesaran, dan kemaha sempurnaan dzat yang meberikan cobaan kepadanya
sehingga tidak menegeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.
8.Mahabbah

Mahabbah (mencintai) Allah adalah kedudukan yang paling tinggi dan mulia
guna menuju keridaan Allah, karena hanya Allah yang maha Besar, Maha
Penguasa, Maha Suci, Maha Pencipta, dan Maha Pemberi.

9. Ma’rifah

Secara etimologi kata dasar ma’rifat berasal dari kata arafah yang artinya
“mengetahui atau mengenal”. Makrifat berarti juga pengetahuan. Jadi
mak’rifat artinya mengenal Allah dengan mata hati, sekaligus ujung
perjalanan dari segala ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh kaum sufi.
Unsur ma’rifat adalah “cinta” dan hasil dari ma’rifat adalah “pandangan”.

B. Macam-Macam Ahwal.

Ahwal datang dengan sendirinya, datang dan pergi tanpa diketahui


waktunya. Dengan demikian Ahwal adalah pemberian dari Allah ketika sang sufi
menapaki jalan menuju Allah. Dalam ilmu tasawuf dikenal dengan beberapa
Ahwal sebagai berikut:

1.Muhasabah dan Muraqabah (Mawas Diri dan Waspada)

Muhasabah ialah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,


perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut,
dan tunduk kepada-Nya. Sedangkan Muraqabah yaitu adanya kesadaran diri
bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan diawasi-Nya.
Muhasabah dan Muraqabah merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh
karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Kedua sikap itu
merupakan dua sisi dari tugas yang sama dengan menundukkan perasaan jasmani
yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
2.Hubb ( cinta )

Hubb adalah cinta.Maksudnya, cinta seorang hamba kepada tuhan. Dalam


pandangan tasawuf, hubb pada dasarnya anugerah yang menjadi dasar pijakan
ahwal, sama seperti taubat yang menjadi dasar pijakan maqam.

Keterkaitan dengan Allah di wujudkan dengan keadaan hati yang selalu


bersama Allah dalam semua keadaan dan perilaku seseorang. Ini di wujudkan
ketika orang merasa mendapat ke asyikan, kenikmatan ketika ia beribadah
dengan Allah. Sedangkan menjadi budak Allah, ia akan menuruti segala
sesuatu yang mengakibatkan kesenangan dan keridhaan Allah. Di samping
itu, perasaan menjadi budak juga mengakibatkan adanya perasaan merendah atau
hina di hadapan Allah.

2.Raja’ dan Khauf ( Berharap dan Takut)

Menurut kalangan kaum sufi, Raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimis, yaitu persaan senang
hati karena menanti sesuatu yang di inginkan dan di senangi. Raja’
menuntut tiga perkara yaitu: cinta kepada apa yang di harapkannya, takut
apabila harapan yang hilang, berusaha untuk mencapainya. Sedangkan Khauf,
ialah kesaksian hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan
menimpa diri di masa yang akan datang. Khauf dapat mecegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf menyebabkan
seseorang lalai dan berani melakukan maksiat, sedangakan khauf yang
berlebihan akan menjadikan putus asa dan pesimitis. Begitu pila sebaliknya,
apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseoarang menjadi
sombong dan meremehkan amalan- amalanya karena rasa optimisnya yang
berlebihan.

4. Syauq ( Rindu)

Syauq yang dimaksudkan ialah rindu kepada Tuhan. Syauq ialah rasa rindu
yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni dan di sertai dengan
mahabbah. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong kaum sufi agar selalu
berada sedekat mungkin kepada Allah yang menjadi sumber segal kenikmatan dan
keindahan.

5. Uns (intim)

Uns (intim) adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh pada suatu
titik sentrum, yaitu Allah; tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, dan tidak
ada yang diharap kecuali Dia. Uns merupakan keadaan spiritual ketika hati
dipenuhi cinta, keindahan, kelembutan, belas kasih, dan pengampunan Allah.
Keindahan uns tidak dapat terlukiskan. Hal ini dapat dialami oleh pendengar
dalam konser spiritual (sama’) yang menyebabkannya mengalami
kemabukan(wajd) ketika menemukan Allah.

C.Perbedaan Mendasar Maqamat dan Ahwal

Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali
pada abad 1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan kedua terms tersebut
adalah Ali bin Abi Thalib. Hal ini dapat ditelusuri ketika para sahabat
berkonsultasi tentang iman. Ia menjawab bahwa iman itu adalah bersumber
pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil, jihad, yang masing-masing
fondasi tersebut mempunyai tingkatan( maqamat). Para sufi sendiri secara
teliti menegaskan perbedaan maqam dan ahwal. Maqam, menurut mereka,
ditandai oleh kemapanan. Sementara itu, ahwal justru mudah hilang. Maqam
dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Sementara itu,
ahwal dapat diperoleh secara disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya,
baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu,
gelisah, atau harap. Jelasnya, hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh
dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam
diperoleh dengan berupaya. Orang yang meraih maqam tetap dalam tingkatannya,
sementara orang yang meraih ahwal justru akan mudah lepas dirinya.

Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara
mendapatkannya maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-
tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk
memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang untuk melawan hawa nafsu, ego manusia, yang
dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang dimiliki manusia dan hal
itu menjadi kendala menuju Tuhan.Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya
dapat dilihat dari kenyataan bahwa seseorang sufi kadang memerlukan waktu
puluhan taun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun yang lainnya.
Sedangkan “ahwal”yang sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari
Tuhan.
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai