Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“Maqamat & Ahwal Dalam Tasawuf”


Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akhalak Tasawuf

Disusun Oleh:
Kelompok 12
MHD. HABIBI NASUTION 11230530000006
ANNISA AULIA RISDIYANTO 11230530000027
ACHMAD DIPONEGORO 11230530000034
ELSA SABILLAH BAHRI 11230530000039
ISDANDI KAMILI 11230530000041

Dosen Pengampu: Dr. Hamidullah Mahmud,LC,MA.


PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan nikmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam semoga Allah limpah curahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW tidak lupa kepada keluarga, sahabat, serta pengikutnya
yang setia sampai akhir zaman.
Kami ingin mengucapkan terimakasih yang pertama kepada dosen
pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf Bapak Dr. Hamiduallah Mahmud, LC,MA
yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk Menyusun makalah ini,
yang kedua kepada para pembaca yang telah meluangkan waktu untuk membaca
makalah ini. Tujuan kami Menyusun makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Akhlak Tasawuf dimana didalam makalah ini berisikan
tentang maqamat dan ahwal.
Kami menyadari penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna oleh
karena itu kami memohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak dan bisa menambah wawasan untuk para pembaca.

Ciputat, 9 November 2023

Kelompok 12
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Maqamat?
2. Apa yang dimaksud dengan Ahwal?
3. Apa yang dimakasud Maqamat menurut para tokoh sufi?
4. Apa Persamaan Maqamat dan Ahwal?

C. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud dengan Maqamat
2. Mengetahui yang dimaksud dengan Ahwal
3. Mengetahui yang dimakasud Maqamat menurut para tokoh sufi
4. Mengetahui Persamaan Maqamat dan Ahwal
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Pengertian Maqamat
1
Secara etimologi, Maqamat merupakan kosakata Bahasa arab yang berasal dari
kata kerja qama yang berarti berdiri. Dari kata kerja qama, terbentuklah kata maqam
yang berarti tempat berdiri, posisi atau kedudukan, seperti penyebutan maqam
Ibrahim untuk tempat berdiri Nabi Ibrahim. Selain itu, penggunaan kata maqam,
seperti “Seseorang berdiri pada maqam seseorang” yang berarti “Seseorang
mewakili kedudukan seseorang”. Maqam berbentuk Tunggal, sedangkan Maqamat
berbentuk jamak yang berarti beberapa tempat berdiri. Sedangkan secara konotatif
(kiasan), Maqamat berarti tempat berhenti dalam perjalanan Rohani atau tangga-
tangga dalam pendakian Rohani. Seorang hamba perlu menyucikan jiwanya dari
berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela agar memiliki kekuatan Rohani dalam
menempuh perjalanan Rohani yang berat dan berkelok untuk menghampiri Allah.
2
Sedangkan menurut Dr. Ahmad Daudy Maqamat ialah kedudukan atau tahapan
dimasa seseorang sufi berada. Dan kedudukan ini hanya akan dicapai olehnya
berkat usahanya yang sungguh-sungguh, penuh ketekunan dan kesabaran, misalnya
maqam taubat, maqam zuhud, dan sebagainya.
3
Lebih lanjut menurut Abu Nasr al-Sarraj, dalam karya cemerlang nya Al-
Luma’, Maqam adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah azza wa jalla,
dari hasil ibadah, mujahadah (perjuangan spiritual),Riyadhah (Latihan spiritual)
dan konsentrasi diri untuk mencurahkan segala-galanya hanya untuk Allah SWT.
Dapat disimpulkan bahwa maqamat adalah tingkat-tingkat kemajuan spiritual yang
harus diatasi oleh seorang sufi dalam perjalanan menuju Allah.

1
Prof, Dr. H. Asep Usman Ismail, Kuliah Ahlak Tasawuf, (Jakarta: Bumi Aksara ,2023) hal 292
2
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, (Jakarta: PT Bulan Bintang,…) hal 40
3
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma’, terj. Wasmukan & Samson Rahman (Surabaya: Risalah Gusti,
2002) hal 87
2. Pengertian Ahwal
4
Kata Ahwal berasal dari kata ha-wa-la yang membentuk kata tahawul atau
transmutasi diri. Makna dasar dari akar kata ini mengalami perubahan dari satu
situasi kesituasi lain, atau dari satu keadaan ke keadaan lain ; yakni sesuatau yang
terjadi dalam sesaat. Ahwal merupakan kondisi Rohani sementara yang tiba-tiba
turun kepada seorang faqir dan meninggalkannya dengan tiba-tiba juga. Seraya
mengamalkan disiplin di jalan itu, orang bisa saja tiba-tiba mengalami perluasan
(basth), yang menyebabkan kegembiraan atau suka cita tak terlukiskan, atau
mungkin orang mengalami penyempitan (qabdh), seolah-olah Allah telah
meninggalkannya.

Akhwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah
waspada dan mawas diri (muhasabah dan muraqabah), cinta (hubb), rindu (syauq).

1. Waspada dan Mawas Diri (muhasabah dan Muraqabah)

Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat.
Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada
dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam
menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan
nafsu dan amarah.

1. Cinta (Hubb)

Dalam pandangan tasawuf, mahabbah Icintal merupakan pijakan bagai


segenap kemuliaan hal, seperti halnya tobat yang merupakan dasar bagi
kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang
menjadi dasar pijakan bagi segenap hal kaum sufi menyebutnya sebagai
anugerah-anugerah (mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk
memerhatikan keindahan atau kecantikan.5

4
Dr. Zaprulkhan, S.Sos.I., M.S.I. Ilmu Tasawuf sebuah kajian Tematik,(Pangkalpinang : PT
RajaGrafindo, 2015) hal 45.
5
Saikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, ‘Awarif Al-ma’arif, trans. Lima nugrahani Isma’il, Pustaka
Hidayah, Bandung, 1998, him. 185
Berkenaan dengan mahabbah, Suhrawardi pernah mengatakan,
"Sesungguhnya, mahabbah (cinta) adalah suatu mata rantai keselarasan
yang mengikat sang pencinta kepada kekasihnya; suatu ketertarikan kepada
kekasih, yang menarik sang pencinta kepadanya, dan melenyapkan sesuatu
dari wujudnya, sehingga pertama- pertama ia menguasai seluruh sifat dalam
dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggaman Qudrah (Allah).

4. Rindu (Syauq)

Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukseorang sufi d Ungkapan


dialami oleh ka lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni m segera
bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengata maut merupakan bukti cinta
yang benar. Lupa ke C. METODE lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi
yang rin Tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan T Potensi unt hidup
merintangi pertemuan abid dengan Ma'bud, pada manusia. "prasarana atau

Menurut Al-Ghazali, kerinduan kepada Allah dap adalah kesucia melalui


penjelasan tentang keberadaan cinta kepad suci ataukah saat tidak ada,
setiap yang dicintai pasti dirindukan suci, dan hatin mencintainya. Begitu
hadir di hadapannya, ia tidak tidak mustah lagi. Kerinduan berarti menanti
sesuatu yang tidak ada ada, tentunya ia tidak dinanti lagi.6

7
Secara harfiah ahwal berarti keadaan / suasana. Dalam tasawuf ahwal adalah
suasana kalbu yang meliputi perasaan dan kerohaniaan serta emosi dan spiritual
yang datang dan pergi dari kalbu. Ahwal ialah karunia atau pemberian Allah
kepdanya sebagai hasil dari usaha nya.

Dapat disimpulkan bahwa Ahwal adalah kondisi spiritual yang dialami oleh
seorang sufi selama perjalan mereka menuju Allah. Ahwal mengacu pada
pengalaman dan perasaan yang berubah-ubah yang muncul selama perjalanan

6
Al-Ghazali, Mendekati Allah dengan Kecintaan, Kerinduan, dan Keridaan, terj. Rosihon Anwar
dan Asep Suhendar, Pustaka Setia, Bandung, 2004, hlm. 99.
7
Prof, Dr. H. Asep Usman Ismail…,hal 292
Rohani. Ini adalah momen-momen dimana seseorang merasakan kehadiran Allah
secara mendalam.

3. Pengertian Maqamat Menurut Tokoh Sufi

Menurut guru sufi kontemporer, Seyyed Hossein Nasr, magam bagaikan berbagai
dataran tinggi yang dapat dicapai seseorang dalam pendakian gunung, tempat orang
dapat beristirahat dalam perjalanan ke tapi tentu saja ia harus terus berjuang untuk
mencapai puncak. Tercapainya sebuah kedudukan menyiratkan tingkat pencapaian
spiritual yang tinggi. Para sufi berbeda dalam menentukan konsep, jumlah, dan
urutan magāmāt sesuai pengalaman kerohanian masing-masing. Al-Sarraj (wafat 378
H /988 M) menuturkan bahwa maqamat yang dilewati sufi itu adalah tobat, warak,
zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan rida. Abu Bakar al-Kalabadzi (wafat 380 H/990 M)
menyebutkan bahwa magamat yang dilewati sufi itu adalah tobat, zuhud, sabar, fakir,
tawadu, takwa, tawakal, rida, mahabah, dan makrifat. Sementara al-Ghazali (wafat
505 H/1111 M) menyebutkan bahwa maqämät yang dilewati sufi itu adalah tobat,
sabar, fakir, zuhud, tawakal, mahabah, dan makrifat. Adapun al-Qusyairi (376-465
H/998-1086 M) menjelaskan bahwa magamat yang ditempuh sufi adalah tobat,
warak, zuhud, sabar, dan rida.

Berdasarkan paparan di atas, dapat dipahami bahwa magamat dalam tasawuf itu
antara lain apa yang dialami al-Sarraj, al-Kalabadzi, al-Ghazali, dan al-Qusyairi
dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Tobat
Tobat secara bahasa berarti kembali dengan kesadaran, sedangkan tobat dalam Islam
adalah kembali kepada Allah 34 dengan kesadaran meninggal- kan dosa hingga
akarnya. Esensi tobat adalah meninggalkan maksiat karena menyadari busuknya
perbuatan tersebut. Terdapat empat sikap yang jika dilaksanakan, akan terpenuhi
syarat-syarat tobat nasuhah, yaitu menyesali kelalaian hingga terpeleset, tidak
berbuat dosa, bertekad bulat untuk meng. ubah pola hidup yang buruk dengan pola
hidup baik, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.

2. Sabar
Sabar adalah menahan atau mengendalikan diri dari dorongan hawa nafsu sesuai
dengan pertimbangan akal sehat dan tuntunan agama. Dengan demikian, sabar
merupakan kekuatan potensial dalam diri kita yang bisa melahirkan daya tahan,
ketangguhan, dan keuletan dalam menghadapi ber bagai masalah, kesulitan,
rintangan, dan tantangan, bahkan menjadi energi rohani yang bisa mengubah
tantangan menjadi peluang yang membawa ke- baikan dalam hidup. Kesabaran
menurut Al-Qur'an merupakan sesuatu yang sangat penting, berharga, dan bermakna.
Manusia dihadapkan pada dua pilihan, yaitu beriman dan bersabar memegang teguh
ajaran-Nya. meskipun menderita, atau kufur dan meninggalkan ajaran Allah untuk
meraih kesenangan hidup di dunia. Allah 5 membimbing manusia bahwa kesenangan
hidup di dunia ini akan lenyap, sedangkan kenikmatan akhirat itulah. ayang abadi.
Allah membalas kesabaran mereka dengan pahala yang lebih baik dari kenikmatan
hidup dunia, yakni mendapat ampunan dan rida Allah 5e, kenikmatan dan hadiah
surga, serta bonus berjumpa dengan Allah se dan melihat-Nya. Sabar merupakan
sesuatu yang benar-benar sangat berharga, Kesabaran atas landasan iman melahirkan
sikap istikamah dalam beragama, konsisten dalam memegang teguh ajaran Allah se,
tangguh dalam menghadapi tantangan dan rintangan, serta gigih dalam perjuangan.

3. Tawakal
Tawakal (tawakkul) secara bahasa berarti mewakilkan atau mempercaya kan kepada
pihak lain yang diyakini memiliki kompetensi dan integritas. Tawakal kepada Allah
berarti mempercayakan segala urusan, baik urusan dunia maupun urusan akhirat,
kepada Allah dengan kepercayaan penuh kepada-Nya setelah kita merencanakan
hidup dan kehidupan ini dengan perencanaan yang terukur, matang, dan rasional.
Dengan bertawakal ke- pada Allah, beban hidup menjadi ringan, baik pikiran,
perasaan, maupun rohani, sehingga kita bisa menikmati kebahagiaan yang sejati.
3. Zuhud

Kata zuhud di dalam Al-Qur'an hanya disebut satu kali dalam bentuk al zahidin yang
berarti orang-orang yang zuhud yang secara bahasa berarti enggan, menolak, atau
tidak mau. Oleh sebab itu, al-zahidin pada Q.S. Yusuf [12]: 20 diartikan dengan
orang-orang yang tidak tertarik merawat Yusuf. Kafilah dagang enggan merawatnya
dan ingin langsung menjualnya dengan murah karena khawatir dituduh melakukan
penjualan manusia. Zuhud dalam tradisi agama-agama adalah penolakan jiwa
terhadap dunia tanpa tekanan karena zuhud berarti memandang dunia dengan
rendah, hina. dan tak bermakna. Keindahan dunia merupakan keindahan tipuan
seperti fatamorgana. Orang yang zuhud tak berambisi terhadap dunia. Mereka tidak
memiliki harta, barang-barang, perlengkapan, alat, atau fasilitas hi- dup kecuali
pakaian yang melekat pada tubuhnya. Islam tidak membenci harta, tetapi harta yang
dibenci adalah harta haram atau yang diperoleh dengan cara haram. Islam tidak
mencintai harta, tetapi mencintai amal saleh dengan harta. Islam tidak mengajak
manusia meninggalkan dunia dan fokus pada akhirat dan tidak pula mengajak
manusia mencintai akhirat dan me ninggalkan dunia, tetapi Islam mengajak manusia
memadukan kebaikan dunia dan akhirat. Zuhud dalam Islam adalah membenci
kemaksiatan serta menolak berlebihan dalam memenuhi kebutuhan. Orang Islam
yang membayarkan zakat, infak, dan sedekah kepada fakir miskin dan berbagai
kedermawanan lainnya, itulah sejatinya zuhud yang diajarkan Islam.

4. Rida

Rida terjadi dalam relasi manusia dengan Allah dan relasi Allah dengan manusia
sehingga melahirkan dua model keridaan, yaitu rida hamba kepada Allah dan rida
Allah 5 kepada hamba. Rida hamba kepada Allah terwujud ketika seorang hamba
tidak pernah merasa keberatan sedikit pun ter hadap segala ketetapan Allah yang
diberlakukan pada dirinya, sedangkan rida Allah terhadap hamba terwujud ketika
hamba melaksanakan perintah- Nya dan menjauhi larangan-Nya. Menurut al-
Isfahani, keridaan Allah yang melimpah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman
dinamakan ridwan untuk menggambarkan betapa Allah meridai perbuatan mereka.
Menurut al- Ghazali, bagi ahli surga tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kenikmatan memandang Allah. Ketika diberi kesempatan
untuk mengajukan permintaan tambahan, mereka tidak meminta tambahan apa pun
selain berkesinambungan dalam keridaan Allah, sebab dengan keridaan Allah,
mereka mendapatkan kesempatan memandang Allah se lebih lama Rida Allah
kepada hamba tergantung kepada keridaan hamba kepada Allah 4. Orang beriman
dengan rida menjadikan Allah sebagai Tuhan yang mengatur totalitas kehidupan
mereka dan rida atas segala ketetapan Allah yang diberlakukan terhadap dirinya.
Keridaan Allah tercurah kepada orang- orang beriman, tetapi tidak sama sekali
kepada orang kafir. Di dunia, Allah meminta orang-orang beriman agar tidak saling
berkasih sayang dengan orang- orang kafir, yakni musuh Allah dan Rasul-Nya.
Adapun di akhirat, Allah meminta orang-orang kafir agar berpisah dari orang-orang
beriman. Orang beriman berada dalam keridaan Allah e di surga, sedangkan orang-
orang kafir berada dalam kemurkaan Allah di dalam neraka. Orang-orang beriman
bukan hanya mereka yang percaya kepada Allah, tetapi juga mereka yang seluruh
hidupnya didedikasikan untuk mencari keridaan Allah . Bagi orang- orang beriman,
mardatillah (keridaan Allah) menjadi tujuan, bahkan muara dari keseluruhan
kegiatan mereka.

5. Mahabah

Mahabah mengandung beberapa pengertian sesuar dengan asal pengambilan


katanya Pertama mahabah berasal dari kata hibbalt yang berarti benih yang jatuh ke
bumi karena cinta adalah sumber kehidupan sebagaimana bemh menjadi sumber
kehidupan tanaman. Keilua berasal dari kata bubb yang berarti tempayan yang
penuh dengan air yang tenang, sebab apabila cinta telah memenuhi hati, tidak ada
tempat lagi bagi yang lain, selain yang dicintai Ketiga, berasal dari kata Aibh yang
artinya empat keping kayu penyangga poc air, karena seorang pecinta sejati akan
menerima apa saja yang dilakukan kekasihnya dengan suka hati. Keempat, berasal
dari kata habb (bentuk jarak dari habbah), yang berarti relung hati tempat
bersemayamnya cinta. Kelima. istilah mahabah juga berasal dari kata habah, yakni
gelembung gelembung air dan luapan-luapannya yang turun ketika hujan lebat. Hal
ini karena cinta adalah luapan hati yang merindukan persatuan dengan kekasihnya

Anda mungkin juga menyukai