Anda di halaman 1dari 23

Tugas Terstuktur Dosen Pengampu

(Akhlak Tasawuf) (Alamsyah, M.Ag)

Maqamat dan Ahwal

Disusun Oleh:
Zainal Arifin : 230103020106
M. Nabil Attar Kamali : 230103020067

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTARASI BARJARMASIN


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
PROGRAM STUDI ILMU AL QUR`AN DAN TAFSIR
BANJARMASIN
2023
PENDAHULUAN

Akhlak dan tasawuf merupakan cabang ilmu dalam kajian agama Islam
yang memiliki perbedaan di dalamnya, namun memiliki keterkaitan satu sama
lainnya, dalam hal ini akhlak dan tasawuf dapat disatukan menjadi satu studi yaitu
ilmu akhlak tasawuf. Akhlak tasawuf merupakan suatu studi tentang etika atau
perilaku bertindak dalam konteks pemahaman dan praktik tasawuf. di mana etika
dan perilaku ini dapat dipahami sebagai akhlak yang dipegang oleh peneliti dan
praktisi tasawuf.

Akhlak tasawuf berperan sebagai sebuah solusi terhadap problematik yang


tengah melanda masyakat moderan berupa surutnya asupan spiritual yang
berakibat pada kehampaan unsur spiritual pada setiap indivudi. Problem ini
dikhawatirkan akan berdampak pada kerenggangan hubungan antara hamba
dengan Tuhannya, semakin renggang hubungan seseorang terhadap Tuhannya
maka semakin menurun juga nilai peribadatan yang ia lakukan.

Berdasarkan perihal ini seseorang dapat berada dikeadaan hati yang jauh
dengan Allah, bahkan hatinya akan merasa asing dengan penciptannya. Melalui
akhlak tasawuf hati seseorang secara perlahan-lahan akan mulai mengenal
Tuhannya, langkah demi langkah yang ia tuju akan semakin mendekatkan dirinya
kepada Sang Pencipta. Perjalanan spiritual yang dilakukan seseorang akan
menghantarkannya menuju kondisi spiritual diri yang ideal. Semua hal ini
memiliki keterkaitan dengan Maqamat dan Ahwal sebagai aspek penting dan
mendalam di dunia Tasawuf.

Makalah ini akan memberikan pemaparan terhadap dua aspek di atas,


mulai dari pengertian, dan tingkatan-tingkatan yang ada pada keduanya.
Diharapkan para pembaca akan diberikan pemahaman terhadap konsep Maqamat
dan Ahwal dan menjadikannya sebagai suatu hal yang layak dicoba sehingga
dapat memperdalam pandangan di dunia spiritual diri dan juga diharapkan akan
mempengaruhi peribadatan kepada Allah untuk menjadi semakin lebih baik.

1
PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqamat dan Ahwal

Maqamat dan Ahwal jika diibarat kedua hal ini sebagai sisi koin, keduanya
selalu berpasangan satu dengan yang lainnya. Terkait dengan urutan pada
keduanya para sufi memberikan pernyataan yang berbeda-beda. 1 Maqamat dan
Ahwal dua istilah yang berbeda namun saling memiliki keterkaitan satu sama
lainya, di dunia Tasawuf Islam dua hal ini ini merupakan aspek yang krusial dan
merupakan kunci untuk meraih esensi dari sufisme. Dalam menjaga kualitas
keteguhan penghambaan diri kepada Tuhannya setiap insan memiliki tingkatan
yang berbeda-beda. berikut akan dipaparkan pengertiannya.

a. Maqamat
Maqamat atau bentuk jamak dari kata Maqam, para ahli tawawuf
memberikan pengertian yang beragam, namun satu dengan yang lainnya
saling melengkapi. Al-Thusi mengartikan Maqam adalah keadaan seorang
hamba dihadapan sang pencipta yang ia dapatkan dari ketekunan dalam
ibadah, usaha kerohanian dan mengerahkan segenap jiwa dan raga sebagai
bentuk pengabdian dan baktinya kepada Allah. 2 Al-Qusyairi memberikan
pernyataan bahwasannya maqam adalah suatu tahapan beretikanya seorang
hamba dalam rangka wushul3 (sampai) kepada Allah dengan melakukan
berbagai usaha, yang mana perwujudannya dilakukan dengan menetapkan
tujuan dan pengukuran kewajiban.4
Senada dengan Al-Qusyairi, al-Hujwiri berpendapat terkait
pengertian maqamat ini ialah eksistensi seseorang yang berada di jalan
Allah yang dipenuhi dengan berbagai kewajiban/tugas yang memiliki

1
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 84–85.
2
Azmail Azmy, Akhlak Tasawuf Sebuah Pengantar, Cet. 1 (Yogyakarta: K-Media, 2021),
78.
3
Wushul ilaallah artinya kemampuan diri untuk melihat Allah dengan mata hati, di mana
orang yang berada di kondisi ini ia telah benar-benar yakin akan adanya Allah
4
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 84.

2
keterkaitan dengan maqam serta upaya penjagaannya hingga orang
tersebut mencapai suatu kesempurnaan.5 Jika diperhatikan, dari beberapa
pengertian yang diutaran oleh para sufi ini, mereka sepakat memahami
maqamat sebagai kedudukan seorang hamba yang berada di jalan menuju
Tuhannya, yang mana jalan ini ditempuh dengan berbagai amal ibadah
yang dapat ia lakukan yang bertujuan mencapai kesempurnaan.
Secara etimologi Maqamat berasal dari bahasa Arab yang memiliki
arti tempat orang berdiri atau pangkal mulia, secara literal diartikan
sebagai tempat berdiri, stasiun, tempat, lokasi, posisi, atau tingkatan.
Berdasarkan ilmu tasawuf secara istilah Maqamat adalah kedudukan yang
digapai oleh seorang hamba dihadapan Allah, hal ini diperolehnya melalui
berbagai macam peribadatan yang ia lakukan, dibantu dengan latihan
spiritual, serta dengan hubungan yang tidak pernah renggang atau putus
dengan Allah Swt.6
Maqamat dapat juga diartikan sebagai pemberhentian yang harus
dilewati oleh para pejalan spiritual (salik) agar dapat sampai di ujung jalan
ia menuju. Tujuan dari adanya perjalanan yang dilakukan para salik ini
ialah guna mencapai tujuan tertinggi, hasrat yang didamba dambakan para
kaum sufi, yaitu berada di posisi yang sedekat-dekatnya dengan Tuhan.
Meskipun mereka harus melaluinya dengan tahapan-tahapan yang
panjang.7
Imam Ghazali terhadap maqamat ini memberikan penjelasan yaitu,
seorang salik8 yang memiliki keseriusan di mana hatinya telah dipenuhi
dengan pancaran-pancaraan sinar hati, yang berdampak pada perubahan di
dalam berbagai hal dan sifat yang ada pada dirinya. Jika hal yang seperti

5
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 85.
6
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Pekalongan: Penerbit NEM, 2021), 120.
7
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 84.
8
Salik adalah seseorang yang menjalani disiplin dalam hal spiritual, di jalan sufisme yang ia
tempuh sebagai bentuk pembersihan dan pemurnian jiwa(suluk). Seorang salik dapat juga
dikatakan sebagai seorang penempuh jalan suluk.

3
dimiliki oleh seorang hamba bahkan hal ini menjadi perilaku dan jalan
hidupnya, maka ini di sebut dengan maqam.9
Imam Ghazali juga memberikan pengartian maqam ini secara
langsung yaitu Maqam adalah ragam dari interaksi dan perjuangan batin
yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktu. Yang mana jika ia
melaksanakan salah satu dari maqam ini dengan sempurna, maka tingkatan
inilah yang menjadi maqamnya hingga ia mampu berpindah menuju
maqam yang lebih tinggi.10
Maqamat dapat dikaitkan ke dalam Tasawuf ‘amali dalam
pembagian tasawuf, tasawuf ‘amali secara singkat ialah tasawuf yang
bentuknya berupa pratik melalui pengamalan atau perilaku spiritual.
Maqamat atau maqam ini didefinisikan oleh Harun Nasution11 sebagai
pemberhentian-pemberhentian spiritual di dalam perjalanan panjang yang
harus ditempuh oleh para salik agar memiliki keberadaan yang sedekat
mungkin dengan Allah Swt. Maqam dimaknai berdasarkan praktiknya
adalah spiritual level yang dialami oleh para penempuh perbuatan tasawuf
dalam spiritual jurney. 12
Berdasarkan berbagai pengertian maqamat yang telah dipaparkan
di atas dapat dipahami maqamat adalah tingkatan yang dilalui oleh para
salik di dalam perjalanan, di mana disetiap tingkatan ini akan menjadi
persinggahan baginya, ia bisa naik ke persinggahan berikutnya atau
menetap di dalam persinggahan tersebut. Perjalanan ini merupakan
perjalanan dalam bentuk spiritual, yang berarti perjalanan yang dirasakan
di dalam diri pribadi. Tujuan dari melakukan perjalanan ini adalah guna

9
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Cet. 1
(Jakarta: Khalifa, 2005), 107.
10
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Cet. 1
(Jakarta: Khalifa, 2005), 108.
11
Harun Nasution ialah seorang tokoh akademisi, intelektual, pemikir, filsuf muslim di
Indonesia.
12
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 57–58.

4
mencapai tujuan tertinggi, hasrat yang didamba dambakan para kaum sufi,
yaitu berada di posisi yang sedekat-dekatnya dengan Tuhan.
b. Ahwal
Secara linguistik, ahwal merupakan bentuk jamak dari kata hal
yang berarti hakikat dan keadaan batin suatu hal. Yang dimaksud dengan
hal disini adalah keadaan atau kondisi psikologis yang dialami ketika
seorang sufi mencapai maqam tertentu. Namun menurut para sufi hal
merupakan nilai, makna atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis
tanpa adanya unsur paksaan, kesengajaan, upaya, dan latihan. Seperti, rasa
gembira, sedih, rindu, takut, berani dan sebagainya. Keadaan-keadaan ini
merupakan pemberian dari Tuhan sedangkan maqomat itu adalah hasil dari
perjuangan yang dilakukan secara terus-menerus.13
Adapun ahwal menurut imam al-Qusyiri mendefinisikannya yaitu
merupakan makna atau rasa yang muncul didalam hati yang diperoleh
tanpa unsur kesengajaan, penuh perhatian dan usaha, seperti rasa gembira,
sedih, rindu, takut, gelisah, takut, sempit, lapang atau gemetar.14
Al-Qusyairi juga mengatakan bahwa maqam adalah upaya atau
usaha (makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib). Terkadang
ahwal ini datang cukup lama atau membutuhkan waktu yang sebentar.
Menurut al-Qusyairi hal adalah keadaan-keadaan yang tidak tetap, jika
keadaan ini menetap maka ia akan naik menjadi keadaan yang lebih tinggi
yang lebih halus dari sebelumnya.15
Mengesampingkan semua pengertian di atas, mayoritas kalangan
tasawuf mengungkapkan jika dipahami secara lebih mendalam dan
mendasar hal hanya lah sebuah bagian dari perwujudan tecapainya suatu
maqam, yang mana hasilnya ini disesuaikan dengan usaha yang telah

13
Hana Widayani, “Maqamat (Tingkatan Spiritualitas Dalam Proses Bertasawuf),” El-Afkar,
No. 1, Vol. 8 (Januari-Juni): 18.
14
Oo Hanapiah and Wawan, “Filosofi Maqamat Dan Ahwal Dalam Ajaran Tasawuf,”
Ma’rifat: Jurnal Ilmu Tasawuf, No.1, Vol. 1 (2022): 41.
15
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 136.

5
dilakukan dengan bersungguh-sungguh melalui berbagai amalan-amalan
yang baik dan dengan disertai kepasrahan kepada Allah Swt.16
Imam Al-Ghazali terhadap hal ini memberikan tanggapan yaitu,
hal merupakan kedudukan yang diperoleh seorang hamba pada rentan
waktu tertentu, hamba tersebut akan memperoleh kejernihan hati pada saat
berada dalam keadaan hal dan sesudahnya. Ia juga menambahkan hal
adalah suatu waktu di mana seorang hamba berubah dikarenakan ada
sesuatu di dalam hatinya. Seorang hamba di saat tertentu hatinya dalam
keadaan bersih dan di saat waktu lainnya keadaan hatinya mengalami
perubahan.17terkait dengan ini ia juga memberikan gambaran dengan
warna kuning yang dapat dibagi mejadi dua bagian, ada warna kuning
yang menetap seperti warna kuning pada emas, kemudian ada warna
kuning yang berubah seperti warna kuning pada penderita penyakit
kuning.18
Ibnu arabi menyebutkan hal adalah bentuk sifat seorang salik yang
ada pada suatu waktu dan hilang pada suatu waktu seperti kemabukkan
dan fana. Eksisitensinya bergantung pada sebuah kondisi yang akan sirna
jika kondisi tersebut sudah hilang. Hal tidak dapat dilihat dan dipahami
tapi dapat dirasakan oleh orang yang merasakannya, karena itu pula ia sulit
diutarakan dengan rangkaian kata. Ada sebuah buku yang mengatakan
“jika maqam diperoleh melalui usaha, tetapi hal bukan diperoleh dari
usaha melainkan ia datang dari Tuhan sebagai anugerah dan rahmat.
Maqam sifatnya permanen sedangkan hal itu hanya bersifat temporer atau
sementara.19
Macam-macam pengertian telah dijelaskan di atas, maka
berdasarkan hal ini dapat dipahami bahwa hal adalah suatu kondisi hati
yang diperoleh seseorang secara spontan, keterkaitannya dengan maqamat
16
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 137.
17
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Cet. 1
(Jakarta: Khalifa, 2005), 108.
18
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 90.
19
Agung Dwi Harisandi, “Makalah Ahlak Tasawuf Al-Muqomat Dan Al-Ahwal,” 2018.

6
adalah kondisi yang bisa didapat seorang salik berupa sifat hati, ketika ia
tengah berada di tingkat maqamat tertentu, yang mana hal ini berasal dari
Tuhan, dan juga hal ini tidak akan menetap pada diri seseorang, ia akan
mengalami perubahan.

B. Tingkatan maqamat dan ahwal

Berdasarkan pengertian di atas bahwasanya maqamat adalah sebuah


tingkatan-tingkatan yang harus dilalui, maka di sini akan coba kami paparkan
tingkatan-tingkatan tersebut. Berkaitan dengan berapa jumlah tingkatan yang
harus ditempuh oleh para salik, terdapat berbagai perbedaan dikalangan para sufi.
Muhammad al-kalabadzi menyebutkan ada sepuluh tahapan yaitu: al-taubah
(tobat), al-zuhd (zuhud), al-shabr (sabar), al-faqr (kemiskinan), al-tawadhu'
(kerendahan hati), al-taqwa (takwa), al-tawakkal (tawakal), al-ridha (rela), al-
mahabbah (cinta) dan al-ma’ rifah (pengetahuan tentang Tuhan dan hakikat segala
sesuatu). Berbeda halnya dengan Abu Nars al-Sarraj al-Tusi dalam kitabnya al-
Luma’ ia menyebutkan tingkatan ini hanya berjumlah delapan, yaitu: al-taubah,
al-warn', al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal, al-marifah, dan al-ridha.20

Al-Ghazali juga memberikan pernyataan terhadap hal ini, ia memberikan


tujuh jumlah urutan dalam maqam ini di dalam kitab Ihya ,Ulumuddin, yaitu al-
taubah, al-shabr, al-faqr, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridha. Ahli
tasawuf lainya, mereka terkadang menambahkan satu tingkatan dalam urutan
maqam ini, seperti al-warn' (kehati-hatian, untuk tak melanggar perintah Allah),
dan sebagainya. Terhadap berbagai perbedaan ini para sufi telah membuat
kesepakatan dalam menentukan tingkatan maqamat ini, yaitu:21

1. At-Taubah (Taubat)

Taubat ini merupakan tahapan awal yang harus dilalui para penempuh
jalan sufi. Taubat dapat diartikan sebagai bentuk penyesalan diri terhadap semua
perilaku yang tidak baik yang telah dilakukan di masa lalu. Dalam hal ini
20
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 119-
120.
21
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 120.

7
seseorang dituntut untuk mejauhkan dirinya dari segala tindakan yang mengarah
kepada hal yang tidak baik seperti maksiat dan kejahatan dengan melawan hawa
nafsu tidak baik yang ada pada dirinya.22

Taubat atau At-Taubah secara bahasa berasal dari bahasa Arab taaba,
yatuubu, taubatan yang artinya "kembali”. Yang dimaksud dengan taubat pada
tahapan ini oleh para sufi adalah, memohon ampunan atas segala dosa dan
kesalahan yang telah kita lakukan disertai dengan janji yang benar-benar janji,
agar tidak mengulangi kesalahan tersebut dan membuktikannya dengan
melakukan berbagai amal kebaikan. Menurut Harun Nasution yang dimaksud
dengan taubat oleh para sufi ini adalah taubat yang di dalamnya mengandung
tekad untuk tidak mengulangi dosa yang telah diperbuat. Taubat yang
bersungguh-sungguh yang dipahami oleh kaum sufisme adalah lupa kepada segala
hal selain Allah Swt. dan orang yang bertaubat adalah orang yang mencintai Allah
Swt, sebab ia selalu berdzikir dan mendekatkan dirinya kepada Allah Swt.23

Adapun praktik dalam tingkatan ini melalui buku “Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf” karya Mustafa Zuhri adalah dengan mengucapkan istigfar atau
memohon ampunan, dalam buku disebutkan seorang yang masih awam biasanya
hanya cukup dengan mengucapkan astaggirullah wa atubu ilaih (aku memohon
ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari
semalam sebagai wujud dari taubatnya. Untuk khawas24 mereka melakukan
taubatnya dengan melakukan riyadhoh25 dan mujahadah26 sebagai upaya
membuka tabir yang membatasi dirinya dengan Allah Swt.27

22
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Pekalongan: Penerbit NEM, 2021), 123.
23
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 120-
121.
24
Khowas atau khawas menurut KBBI adalah golongan orang mukmin yang melakukan
berbagai amal semata-mata karena Allah Swt.
25
Riyadhoh atau riyadhah disebut juga sebagai latihan kerohanian adalah latihan kejiwaan
melalui usaha untuk membiasakan diri agar meninggalkan apa-apa yang berakibat pada kotornya
jiwa
26
Mujahadah berarti sebuah tindakan untuk bersungguh-sungguh dalam melawan hawa
nafsu
27
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 121.

8
Beberapa dari ahli sufi memandang tingkatan ini adalah awal atau dasat
dari segala tingkatan maqamat yang mana bila maqamat ini diibaratkan sebagai
bangunan taubat ini merupakan pondasi dari bangunan tersebut. Tanpa adanya
pondasi suatu bangunan tidak akan dapat berdiri jikalaupun ada bangunan yang
berdiri tanpa adanya pondasi pastilah bangunan tersebut akan sulit untuk
dibangun, begitu pula dengan sebuah maqamat tanpa adanya taubat seorang salik
akan mengalami ketidak mampuan dalam menyucikan diri dan tidak akan
mendapat kedekatan diri dengan Tuhan yang Maha Suci.28

Imam Ghazali terhadap taubat ini memberikan pernyataan yaitu, bertaubat


dari perihal dosa itu adalah dengan kembali menuju tirai yang dapat membatasi
dosa dan kembali kepada Dzat yang tahu akan alam gaib, ini merupakan prinsif
awal jalanya seorang salik. Taubat merupakan modal utama seorang yang
beruntung, tapak pertama seorang murid, dan kunci keistiqamahannya seorang
yang memiliki kecenderungan hati kepada Allah Swt. 29 Imam Ghazali
memberikan empat syarat dalam bertaubat, yaitu:

1. Meninggalkan perbuatan dosa dengan sekuat jiwa dan raga


2. Meninggalkan perbuatan dosa yang telah dilakukan di masa lalu
3. Keseimbangan dalam meninggalkan perbuatan dosa dengan dengan dosa
yang telah dilakukan, artinya apabila seseorang telah melakukan dua dosa
maka ia harus meninggal dua dosa tersebut.
4. Meninggalkan dosa ini dilakukan semata-mata sebagai pengagungan
kepada Allah Swt. bukan karena hal yang lainnya, semisal meninggal dosa
sebab ingin disanjung dan dipuji oleh orang lain.30

2. Al-Zuhud

28
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 86.
29
Abdul Fattah Sayyid Ahmad, Tasawuf Antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Cet. 1
(Jakarta: Khalifa, 2005), 111.
30
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 121-
122.

9
Setelah selesai pada tingkatan pertama, setelah seorang salik sadar dan
menyesali segala kesalahan dan dosa ditambah dengan berupaya untuk melakukan
ketaatan, maka untuk mengukuhkanya maka diperlukannya zuhud. Zuhud atau
bahasa lainnya aketisme artinya menempatkan diri di kejauhan dari bergantung
kepada dan menjadi budak perihal duniawi.31 Secara harfiah zuhud diartikan
sebagai ketidak inginan kepada perihal yang memiliki sifat keduniawian. Harun
Nasution mengartikan zuhud sebagai kehidupan yang sederhana, sederhanaan
dalam berbakaian, makan, minum dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk
membentuk diri supaya lebih suci dari tingkatan sebelumnya, sehingga akan
diperoleh kedekatan yang lebih dengan-Nya.32

Imam Ghazali mengemukakan makna dari zuhud ini adalah upaya yang
dilakukan untuk mengurangi keinginan pada dunia dan memiliki kesadaran penuh
untuk menjauhinya. Beberapa makna lainnya yang disampaikan oleh para ahli sufi
lainnya yaitu, memalingkan hati dari kesenangan yang terdapat di dunia dan tidak
memiliki keinginan terhadap hal tersebut, sebagai kedudukan yang mulia di mana
ini merupakan dasar dari keadaan yang diridhai oleh-Nya, serta harga diri yang
tinggi merupakan langkah pertama untuk salik yang berkonsentrasi, ridha, dan
tawakal kepada Allah Swt.33

Zuhud bukanlah sikap anti kepada dunia, namun upaya untuk membatasi
apa yang dapat diperoleh di dunia ini, dan bukan membua diri tersiksa oleh
kehidupan duniawi, bukan pula membuang pakaian yang baru dan menggantinya
dengan sebuah pakaian yang jelek. Zuhud itu diartikan sebagai menjahui berbagai
perihal dunia yang dapat memalingkan diri kita dari Allah Swt. Zuhud bukanlah
meniadakan harta, tetapi hal ini adalah kekosongan hati dari keterbudakan pada
duniawi. Orang yang bijak pada zuhudnya ialah orang yang tidak memamerkan

31
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 61.
32
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Pekalongan: Penerbit NEM, 2021), 125.
33
Muhammad Rusydi, dkk, Antologi Kajian Tasawuf, Cet. 1 (Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021), 87.

10
sikap zuhud tersebut. Apabila seseorang memamerkan kezuhudannya kepada
orang lain, maka ia telah menjatuhkan martabat kezuhudan tesebut.34

Al-Qusyairi membagi zuhud menjadi tiga tingkatan, yaitu:

1. Zuhudnya orang awam, ini adalah sikap yang telah banyak dimiliki
oleh orang banyak, pada tingkatan ini seseorang hanya menjaga dari
perbuatan yang diharamkan, yang mana seperti yang kita ketahui
perbuatan yang haram adalah perbuatan yang paling menyenangkan.
2. Zuhudnya orang yang khask35, yakni seorang yang menjauhkan
dirinya dari segala perihal yang dianggap berlebihan-lebihan dalam
agama, perihal halal namun memiliki berlebih-lebihan dalam
melakukannya akan ia tinggalkan, apalagi perihal yang diharamkan.
3. Zuhudnya orang yang bijaksana, yaitu menjauhkan diri dari segala hal
duniawi yang menyibukkan dirinya yang akan melalaikannya dari
kewajibannya kepada Allah Swt, ini berarti ia akan meninggalkan apa
saja perihal duniawi yang dapat menggangu peribadatannya kepada
Allah Swt.36

Tidak hanya zuhud secara lahir seorang, salik juga harus menerapkan
zuhud secara batin. Zuhud secara batin adalah menjahui dan meninggalkan segala
perasaan hati atau sifat hati yang tidak baik atau tidak dibenarkan, seperti
sombong di hadapan orang lain, senang dipuji, syirik, iri hati, dan sebagainya. 37
Zuhud inilah yang menjadi cikal bakal dan dasar dari sistem sufisme38

3. Al-Wara’

34
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 61-62.
35
Khask atau khas adalah sesuatu yang khusus atau sesuatu yang memiliki keistimewaan.
36
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 62.
37
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Pekalongan: Penerbit NEM, 2021), 125-126.
38
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 62.

11
Selanjutnya, setelah meninggalkan segala perihal yang bersangkutan
dengan duniawi, seorang salik akan memasuki tingkatan al-Wara’. Al-Wara’
diartikan secara harfiah yaitu, saleh atau menjauhkan diri dari segala perbuatan
yang mengarah kepada perbuatan dosa. Kata ini juga berarti menjauhkan diri dari
hal-hal yang tidak memiliki kebaikan.39 Wara’ diartikan pula dengan
meninggalkan segala perihal yang di dalamnya terdapat kesamaran. Melalui
pandangan para sufi Wara’ diartikan sebagai meninggalkan segala sesuatu yang
memiliki ketidak jelasan hukum di dalamnya (halal atau haram), yang
bersangkutan dengan perihal keduniawian seperti makanan, pakaian, ataupun
persoalan lainnya.40

Wara’ juga dapat diartikan sebagai upaya untuk meninggalkan segala hal
yang tidak ada gunanya, seperti pembicaraan yang tidak ada kemanfaatan di
dalamnya, dan pergaulan yang tidak ada faedah yang didapatkan. Dalam tingkatan
ini seorang akan meninggalkan hal-hal yang bersifat mubah, yang dikhawatirkan
akan membawa diri menuju hal-hal yang makruh bahkan sampai haram. Wara’ ini
dimaksudkan agar para salik tidak tejerumus ke dalam perbuatan dan tindakan
yang akan menghasilkan kesia-siaan, baik karena keburukannya dan karena
ketiadaan gunanya. Wara’ dewasa ini dapat diartikan sebagai tindakan mencegah
dari hal-hal yang halal dan mubah yang tidak memberikan manfaat jika
dikerjakan, setelah perihal yang makruh dan haram ditinggalkan. Sifat Wara’
dijadikan sebagai sikap kehatian-hatian oleh para kaum sufi.41

4. Al-Fakir

Maqam al-faqir adalah tingkat lanjutan dari tingkatan-tingkatan


sebelumnya. Fakir secara harfiah umumnya diartikan sebagai orang yang
memiliki hajat, membutuhkan atapun orang yang dalam kondisi miskin. Dalam

39
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 127.
40
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Pekalongan: Penerbit NEM, 2021), 126.
41
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 62-63.

12
sufisme fakir adalah tidak meminta sesuatu yang lebih dari apa yang telah ada
pada diri. Terdapat perbedaan dari pengartian fakir ini oleh para sufi, Yahya bin
Mu’adh, memberikan pernyataan bahwa kefakiran ini adalah kondisi seseorang
yang tidak membutuhkan apapun di dunia ini selain Allah Swt. dan hal ini
ditandai dengan tidak adanya sedikitpun harta yang ia miliki. Pernyataan ini
pernyataan secara ekstrim, sedangkan pemaknaan fakir secara moderat adalah
butuh kepada Allah Swt. di sini fakir yang dimaksud adalah kefakiran dalam
aspek spiritual sehingga ia tidak memiliki apa-apa di dalam dirinya, termasuk
dirinya sendiri.42

Para ahli sufi lainnya juga memberikan pendapat terhadap pengertian al-
faqr ini, yaitu Jangan meminta lebih dari yang sudah Anda miliki atau melampaui
kebutuhan dasar Anda. Hal ini juga dapat diartikan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang dimiliki serta tidak dikuasai oleh sesuatu apa pun, selain Allah Swt. Maka
al-Faqr dapat disimpulkan sebagai sebuah kondisi di mana seseorang telah
memalingkan pikiran dan harapan yang berakibat pada renggangnya hubungan
dengan Sang Pencipta yang bahkan akan memisahkannya dan juga penyucian hati
secara menyeluruh kepada segala hal yang membuat diri jauh dari Allah Swt.43

Maqam ini juga dapat diartikan sebagai sikap yang tidak mengharapkan
rizki kecuali apa yang diberikan yang dapat membantu dalam menjalankan
kewajibannya sebagai seorang hamba, dengan tidak meminta secara berlebihan.44

5. Al-Sabar

Sabar berarti tidak mengeluh terhadap kejadian apapun yang tidak


menyenangkan. Kesabaran seseorang diuji melalui berbagai ujian yang diberikan
di dalam hidupnya. Salah satu perwujudan dari sabar ini tidak menunggu-nunggu

42
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 129-
130.
43
Siti Rohmah, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Pekalongan: Penerbit NEM, 2021), 127.
44
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 63.

13
pertolongan dari siapapun selain dari pertolongan Allah Swt. Para sufi
menganggap lebih mudah bersabar dari pada bersyukur dalam pelaksanaanya,
sebab ujian Allah dalam bentuk pemberian nikmat akan lebih sulit dihadapi
dibandingkan dengan ujian dalam bentuk penderitaaan. Tingkatan al-Sabar berarti
ketika keadaan sabar telah mendarah daging dan menetap di dalam diri seorang
salik.45

Secara harfiah, sabar berarti ketabahan yang ada di dalam hati. Menurut
imam Ghazali sabar adalah munculnya dorongan agama (hidayah Allah) apabila
dihadapkan dengan dorongan hawa nafsu. sabar diletakkan setelah maqam al-
Faqir dikarenakan apabila seorang yang telah melewati maqam fakir ia akan
dilanda dengan berbagai macam kesulitan dan penderitaan oleh karena itu sabar
akan menjadi kunci untuk tidak mengeluh sedikitpun terhadap keadaan ini.46

6. Tawakal

Dalam bahasa, kata tawakal berarti menyerahkan diri. Tawakkal pada


dasarnya adalah hasil yang logis dari maqam sabar. Oleh karena itu, berarti
seseorang yang memperoleh derajat Sabar dengan sendirinya adalah orang yang
telah memperoleh derajat Tawakkal. dalam tasawuf maqam tawakal menjadi
tangga untuk memalingkan dan menyucikan hati manusia supaya tidak memiliki
keterikatan dan tidak ingin memikirkan sesuatu yang bersifat keduniaan serta apa
saja selain dari pada Allah Swt, dan melakukan penyerahan segala sesuatu
termasuk jiwa dan raganya hanya kepada Allah Swt. Seseorang yang berada
ditingkatan ini akan merasakan ketenangan serta ketentraman pada hidupnya, ia
akan selalu merasa mantap dan optimis dalam bertindak.47

Tawakal dapat diartikan juga dengan menyerahkan segala urusan kepada


Allah dan memmpercayakan keseluruhan hal itu kepada yang diserahi, serta tidak

45
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 64.
46
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 131-
132.
47
Ali Mas’ud, Akhlak Tasawuf, Cet. 1 (Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya, 2012), 133-
134.

14
mencurigai Allah. Mereka yang bertawakkal berarti sudah tidak terlalu berfokus
kepada apa yang bakalan terjadi. Tawakkal sebagai maqam dimaksudkan sebagai
kondisi hati yang sudah menetap tawakal di dalamnya, dan bukan hanya pada
kasus-kasus tertentu pada hidupnya.48

7. Al-Ridha

Menurut pengertian harfiah ridha artinya rela, senang dan suka. Artinya
menerima dengan rasa puas dengan apa saja yang telah allah anugerahkan
kepadanya. Mereka adalah orang-orang yang rela terhadap apa saja cobaan yang
datang kepada mereka dengan melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan
tersebut.

Ridha menurut Al-Kalabadzi diamnya hati didalam guratan nasib. Juga


menurut Dzun nun al-misri, ridha adalah rasa senang hati dalam menjalani nasib.
Bagi mereka para sufi cobaan dan musibah dianggap sebagai sebuah nikmat
bukan sebagai kepahitan atau kesakitan karena dengan cobaan yang datang
kepada mereka itu adalah tanda allah sayang kepada mereka. Orang yang sudah
ridha tidak akan lagi mersa duka cita karena ia meyakini apapun yang sedang
dijalaninya dan diperolehnya baik maupun buruk semuannya adalah yang terbaik
baginya. Mereka yang telah mencapai maqam ini akan selalu merasa bahagia dan
tidak merasa susah walaupun ia sudah beramal baik dan tetap masuk neraka, dan
tidak begitu bahagia walaupun ia nantinya masuk surga, karena ia tidak lagi
memandang kepada surga atau neraka tapi ia memandang kepada dzat yang
menciptakan surga dan neraka tersebut. Allah berfirman didalam Al-Quran surah
al-maidah ayat 119

‫َرِض َي ُهّٰللا َع ْنُهْم َو َر ُضْو ا َع ْنُهۗ ٰذ ِلَك اْلَفْو ُز اْلَعِظ ْيُم‬


Artinya : “Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah
kemenangan yang agung.”

48
Syamsul Bakri, Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam, Cet. 1
(Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta, 2020), 64.

15
Sebagaimana maqamat, hal juga memmiliki macam-macam bagian namun
konsep pembagiannya berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Abu Nasr al-sarraj iya
mengatakan ada beberapa tingkatan ahwal yaitu muraqabah, mahabbah, khauf,
raja’, shauq, uns, itmi’nan, musyahadah dan yaqin. Drs. Asmail azmy
mengkategorikan ahwal ialah al-khauf,at-tawaddhu, at-taqwa, al-ikhlas, al-uns, al-
wajd, as-syukur.

Sebagaimana maqamat, hal juga memiliki macam-macam bagian namun


konsep pembagiannya berbeda-beda dikalangan ahli sufi. Abu Nasr al-sarraj ia
mengatakan ada beberapa tingkatan ahwal yaitu muraqabah, mahabbah, khauf,
raja’, shauq, uns, itmi’nan, musyahadah dan yaqin. Drs. Asmail azmy
mengkategorikan ahwal ialah al-khauf,at-tawaddhu, at-taqwa, al-ikhlas, al-uns, al-
wajd, as-syukur.

1. Muraqabah

Ialah meneliti diri dengan cermat apakah seluruh perbuatan yang telah
dilakuakan sudah sesuai dengan aturan-aturan tuhan atau bahkan menyimpang
dari ajaran tuhan. Al-qusyairi mengatakan bahwa muraqabah adalah ilmu seorang
untuk melihat kepada allah SWT. Sedangkan yang konsisten dengan ilmu itu
adalah yang merasa dirinya selalu diawasi sehingga membentuk sikap yang selalu
memperhatikan dengan hukum-hukum allah. Sebagaimana disebutkan pada surah
an-nisa diujung ayat 1

ۗ ‫َر ِقْيًبا‬ ‫ِاَّن َهّٰللا َك اَن َع َلْيُك ْم‬


Yang artinya : “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.”

2. Mahabbah

Menurut para sufi adalah anugerah dari tuhan yang menjadi dasar pijakan
bagi segenap hal. Mahabbah ialah kecenderungan hati dalam memperhatikan
keindahan atau kecantikan. Menurut imam Al-Ghazali mahabbah adalah sebuah
kecenderungan jiwa kepada allah SWT karena adanya mahabbah menjadi sebuah
kelezatan baginya. Tapi menurutu Al-qusyairi mendefinisikan bahwa cinta adalah

16
suatu hal yang mulia. Allah yang agung menyaksikan cinta hambanya dan allah
pun memberitahukan cintanya kepada hambanya. Menurutnya kecintaan seorang
hamba tidak mengandung kecenderungan, bagaimana mungkin mengandung
kecenderungan sedangkan hakikat ketinggian allah tidak bisa bertemu dengannya.
Karena itu hamba yang sudah mencintainya akan tenggelam didalam laut cintanya
kepada sang pemilik cinta. Sudah dijelaskan didalam Al-Quran pada surah al-
maidah ayat ke-54

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا َم ْن َّيْر َتَّد ِم ْنُك ْم َع ْن ِد ْيِنٖه َفَس ْو َف َيْأِتى ُهّٰللا ِبَقْو ٍم ُّيِح ُّبُهْم‬
‫َو ُيِح ُّبْو َنٓٗه‬

Yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu


yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan
suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”

3. Raja’ dan khauf

Raja’ dan khauf ini saling berkaitan menurut para sufi berjalan seimbang
dan saling mempengaruhi. Raja’ adalah perasaan senang dari dalam hati yang
datang karena menanti sesuatu yang disenangi dan diinginkan.
‫ٰۤل‬
‫ِاَّن اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا َو اَّلِذ ْيَن َهاَج ُرْو ا َو َج اَهُد ْو ا ِفْي َس ِبْيِل ِۙهّٰللا ُاو ِٕىَك َيْر ُجْو َن‬
‫َر ْح َم َت ِۗهّٰللا َو ُهّٰللا َغ ُفْو ٌر َّر ِح ْيٌم‬
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Orang yang harapan atau raja’ nya benar ia akan didorong untuk
melakukan perbuatan ketaatan dan mencegahnya dari perbuatan maksiat.

Raja’ menuntut kepada 3 perkara : 1. Cinta kepada apa saja yang


diharapkan. 2. Takut bila harapannya sirna atau hilang. 3. Berusaha untuk

17
mencpainya. Jika raja’ tidak dibarengi dengan 3 hal ini maka perakara tersebut
hanyalah hayalan atau halusinasi semata.

Sedangkan khauf adalah gambaran perasaan terhadap sesuatu yang ditakuti


akan menimpa dirinya. Jadi khauf ini akan mencegah seseorang takut melakukan
perbuautan maksiat.

Sikap raja’ dan khauf ini berhubungan jika seseorang terlalu besar rasa
raja’ nya maka akan membuat ia sombong dan meremehkan perkara-perkara yang
lain. Seperti itu juga khauf jika terlalu berlebihan maka akan membuat orang itu
pesimis dan putus asa.

4. Shauq

Menurut Al-Qusyairi adalah kegoncangan hati yang terjadi sebelum


menemui yang dicinta. Kedalaman rindu seseorang tergantung dengan seberapa
dalam cintanya. Rasa rindu seorang sufi ini timbul karena sangat dalam cintanya
kepada tuhannya, bahkan kematian menjadi bukti atas kerinduan mereka.
Sebagaimana disebutkan didalam Al-Quran pada surah al-ankabut ayat 5

‫من َك اَن َيْر ُجْو ا ِلَقۤا َء ِهّٰللا َفِاَّن َاَجَل ِهّٰللا ٰاَل ٍتۗ َو ُهوَ الَّس ِم ْيُع اْلَعِلْيُم‬
Artinya : “Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang menjanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia Yang Maha
Mendengar, Maha Mengetahui.”

oleh karena itu maut diibaratkan sebagai obat rindu mereka kepada sang pencipta.

5. Uns (suka cita)

Adalah sifat merasa selalu berteman dan merasa tidak pernah merasa sepi.
Dalam keadaan seperti ini para sufi tidak merasa apa-apa, tidak mengingat apa-
apa dan tidak mengharapkan kepada siapapun kecuali kepada allah. Sehingga ia
seakan-akan hilang kesadaran sampai tidak merasakan lagi dengan alam
sekitarnya. Ada ungkapan seperti ini “ ada orang yang merasakan sepi
dikeramaian, ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang

18
dimabuk cinta, seperti sepasang pemuda pemudi yang sudah mabuk dengan
cinta.”

Seorang hamba yang merasakan uns dibedakan menjadi 3 kondisi;


peratama, seorang hamba yang selalu berzikir mengngat tuhannya dan merasa
gelisah karena lalainya. Merasa senang ketika berbuat ketaatan dan merasa gelisah
ketika berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan allah dan
menjadi gelisah karena datangnya bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu
apapun yang membuatnya berpaling dari allah. Ketiga, yaitu keadaan yang sudah
tidak lagi melihat kepada sukacita karena adanya wibawa, kemuliaan, kedekatan
dan mengagungkan yang disertai dengan sukacitanya.

6. Thuma’ninah

Adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was bahkan khawatir, tidak ada
yang dapat mengganggu pikiran dan perasaannya karena ia telah mencapai tingkat
kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan
tuma’ninah ia sudah kuat akal, iman dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jika ia
sudah mencapai ketenangan maka ia dapat berkomunikasi dengan allah.
Thuma’ninah dibagi menjadi 3 tingkatan; pertama, ketenangan bagi kaum awam,
ketika mereka berzikir karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa.
Kedua ketenangan bagi orang-orang khusus. Mereka yang berada pada tingkatan
ini merasa tenangan karena rela, senang atas keputusan allah, sabar atas keputusan
dan cobaannya, bahkan ilkhlas dan selalu takwa. Ketiga, ketenangan bagi orag-
orang yang paling khusus. Tingakatan ini mereka dapatkan karena mereka
mengetahui dengan rahasia-rahasia hati mereka yang tidak sanggup tenang dan
tentram karena kewibawaan dan keagungan allah SWT.

7. Musyahadah

19
Secara harfiah artinya menyaksikan dengan mata kepala seseorang. Secara
terminologi tasawuf menyaksikan secara jelas atau sadar dengan yang dicarinya
atau penyaksian terhadap keagungan dan kekuasaan allah SWT. Ketika seorang
sufi telah mencapai musyahadah mereka merasa allah hadir atau berada didalam
hati, mereka sudah tidak merasa lagi apa yang terjadi, semuanya tercurahkan
hanya kepada satu, yaitu allah SWT. Sehingga tebukalah tabir pelindung antara
seorang sufi dengan tuhannya. Pada situasi seperti ini seorang sufi sudah
memasuki tingkatan ma’rifat seakan-akan ia menyaksikan tuhannya dan dengan
pensaksiannya tersebut maka timbullah rasa cinta kepada allah.

8. Yaqin

Adalah perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi
dengan adanya perjumpaan dengan sang pencipta, maka tertanamlah didalam
hatinya perasaan yang mantap tentang allah SWT. Al-yaqin diibaratkan juga
dengan perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta lagi rindu yang mendalam
sehingga tertanamlah perjumpaan langsung dengan tuhannya. Menurut imam Al-
junaid yaqin tetapnya ilmu di dalam hati yang tidak berbalik, tidak berubah dan
tidak berpindah. Maka yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, yang tidak dapat
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.

20
PENUTUP

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa maqamat berarti tingkatan atau kedudukan


seorang hamba dalam pandangan allah yang telah diusahakan, baik secara riydah,
ibadah, atau mujahadah. Sedangkan ahwal adalah kondisi jiwa atau keadaan
seorang sufi yang mengiringi maqam tertentu yang datang tanpa daya dan upaya.

Para sufi telah membuat kesepakatan dalam menentukan tingkatan


maqamat ini, yaitu: At-Taubah, Al-Zuhud, Al-Wara’, Al-Fakir, Al-Sabar,
Tawakal, dan Al-Ridha. Sebagaimana maqamat, hal juga memiliki macam-macam
bagian, yaitu: muraqabah, mahabbah, khauf, raja’, shauq, uns, itmi’nan,
musyahadah dan yaqin.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abdul Fattah Sayyid. Tasawuf Antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah. Cet.
1. Jakarta: Khalifa, 2005.
Azmy, Azmail. Akhlak Tasawuf Sebuah Pengantar. Cet. 1. Yogyakarta: K-Media,
2021.
Bakri, Syamsul. Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual Dalam Kesejarahan Islam.
Cet. 1. Sukoharjo: Efudepress Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN
Surakarta, 2020.
Hanapiah, Oo, and Wawan. “Filosofi Maqamat Dan Ahwal Dalam Ajaran
Tasawuf.” M’ rifat: Jurnal Ilmu Tasawuf, No.1, Vol. 1 (2022).
Harisandi, Agung Dwi. “Makalah Ahlak Tasawuf Al-Muqomat Dan Al-Ahwal,”
2018.
Mas’ud, Ali. Akhlak Tasawuf. Cet. 1. Surabaya: CV. Dwiputra Pustaka Jaya,
2012.
Rohmah, Siti. Akhlak Tasawuf. Cet. 1. Pekalongan: Penerbit NEM, 2021.
Rusydi, Muhammad. Antologi Kajian Tasawuf. Cet. 1. Jakarta: Perum Percetakan
Negara Republik Indonesia, 2021.
Widayani, Hana. “Maqamat (Tingkatan Spiritualitas Dalam Proses Bertasawuf).”
El-Afkar, No. 1, Vol. 8 (Januari-Juni).

22

Anda mungkin juga menyukai