Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AJARAN TASAWUF SUNNI/AKHLAKI


(MAQAMAT DAN AHWAL, PEMBENTUKAN AKHLAK MULIA MELALUI TAKHALLI,TAHALLI, TAJALLI)

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Akhlak Aswaja

Dosen Pengampu :

Dr. Ahmad Idhofi S.pd.i, M.pd

Disusun oleh:

Siti Solihat

PRODI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT UMMUL QURO AL-ISLAMI BOGOR


A. Pendahuluan

Ajaran agama merupakan aspek penting bagi setiap manusia. Makna hidup beragama bagi
pemeluknya adalah mencapai derajat mulia di hadapan Tuhan mereka. Banyak jalan yang ditempuh
untuk mematangkan jiwa manusia menuju derajat sempurna. Dalam Islam derajat manusia berbeda
tingkatan antara satu dengan yang lain, dalam hal dekat tidaknya dengan Sang Pencipta. Pendakian
menemukan Tuhan dalam konsep Islam disebut dengan maqam. Dalam mendapatkan maqam-maqam
tersebut banyak anak tangga yang harus dinaiki. Di sisi lain, dalam dunia sufi dikenal istilah ahwal.
Berbeda dengan maqam, ahwal merupakan anugerah Tuhan kepada seseorang tanpa harus diusahakan.
Sedangkan maqam adalah posisi yang didapat berdasarkan usaha manusia. Semakin tinggi tingkat
pengorbanan seseorang mendaki maqam-maqam yang ada, maka semakin tinggi pula tingkat
kemulyaannya di hadapan Tuhan.

Salah satu tujuan hidup umat manusia menurut Islam adalah mengabdikan diri kepada Allah
Swt. Secara umum yang dikatakan pengabdian mencakup berbagai aktivitas manusia yang sifatnya baik
(positif). Namun secara lebih khusus, sebagian orang melakukan praktek-praktek ibadah yang lebih
maksimal, dan menurut mereka keadaan seperti itu adalah sebaik-baik upaya mendekatkan diri kepada
Allah. Dalam Islam kegiatan dan praktek ibadah secara khusus, dilakukan dalam waktu dan tempat yang
bersahaja. Hal ini dikenal dalam ajaran Islam sebagai ajaran tasawuf. Seseorang yang dianggap telah
memiliki popularitas yang memadai, praktek ibadah mereka diikuti oleh masyarakat awam yang
kemudian dikatakan sebagai sebuah jalan yang mungkinberbeda dengan jalan yang dipakai oleh orang
lain, disebut sebagai jalan (thariqah). Istilah ini kemudian populer dengan istilah tarekat.

Setiap orang memiliki tingkatan yang berbeda dalam aspek keteguhan menjaga kualitas hidup di
hadapan Tuhan mereka. Dalam tasawuf dikenal juga istilah maqam, sebagai sebuah istilah yang
menunjukkan posisi seseorang. Istilah ini menjadi sesuatu yang juga berbeda istilah serta tingkatannya
sehingga menimbulkan jalan-jalan tersendiri. Jalan-jalan tersebut juga diikuti oleh orangorang Islam
lainnya, sehingga menjadi suatu kesatuan. Karena tidak nash Alquran maupun Hadis Nabi tentang
tingkatan ini, para ulama pun berbeda-beda pendapat dalam hal penetapan tingkatan serta sebutan-
sebutannya. Oleh karena itu, artikel ini bermaksud membahas dua istilah tersebut yang terdapat dalam
studi tasawuf yaitu maqam dan ahwal. Fokus pembahasan diarahkan pada makna dan hakikat istilah
tersebut.
B.MAQAMAT DAN AHWAL

A.Maqamat

Pembicaraan tasawuf tidak terlepas juga dengan pembicaraan tentang derajat-derajat


kedekatan seseorang sufi kepada Tuhannya. Tingkatan atau derajat dimaksud dalam kalangan sufi
diistilahkan dengan maqam. Semakin tinggi jenjang kesufian maka semakin dekat pula sufi tersebut
kepada Allah Swt. Namun demikian, para sufi juga memiliki perbedaan pendapat tentang maqam
tersebut, terutama mengenai yang mana maqam yang lebih tinggi dan yang mana maqam yang lebih
rendah. Hal ini terjadi karena tidak didapati dalil yang jelas tentang hal ini, baik dari nash Alquran
maupun Sunnah.

Istilah maqam di kalangan para sufi kadang kala disebut dengan ungkapan jamaknya yaitu
maqamat. Menurut al-Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja
keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha
dan tuntunan dari segala kewajiban.

Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian yang berbeda sebagai berikut :

‫مقام العبد يدى هللا فيما يقام فيه من العبادات والمجاهدات والرايضات والنقطاع ال الل‬
‫ه‬

“Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan
melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata
untuk berbakti kepada-Nya”.

Dari kedua pendapat di atas, dapat dipahami bahwa maqam adalah kedudukan seseorang yang
menunjukkan kedekatannya kepada Allah Swt. Posisi tersebut tidak diperoleh begitu saja, tetapi harus
melalui proses yang sungguh-sungguh. Dengan kata lain, dapat juga dipahami bahwa proses yang dilalui
oleh para sufi untuk mencapai derajat tertinggi harus melalui maqammaqam yang banyak, dari maqam
paling rendah sampai tertinggi.

Para ulama sufi berbeda pendapat tentang jenjang-jenjang dalam tasawuf tersebut. Begitu juga
tentang berapa jumlah maqam. Menurut al-Qusyairi, ada 6 (tujuh) maqam, yang jenjangnya adalah:
Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar, dan terakhir Ridha. Al-Thusi memiliki format lain, yaitu:
Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Shabar, Tawakkal dan Ridha. Sedangkan imam al-Ghazali memiliki urutan
berikut: Taubat, Shabar, Syukur, Raja’, Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas, Ridha.

Dari tiga pendapat di atas, dapat dipahami bahwa tidak ada jenjang yang dapat dikatakan
maqam yang baku. Dengan kata lain, pendapat-pendapat tersebut merupakan pendapat yang bukan
sifatnya jumhur ulama. Menurut Harun Nasution, maqam-maqam yang paling populer terdiri dari:
Taubat, Zuhud, Shabar, Tawakkal dan Ridha.

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa maqam adalah sebuah posisi tertentu yang
memiliki karakteristik yang saling berbeda antara satu tingkatan dan tingkatan lainnya. Karakter maqam
taubat merupakan sikap penyesalan terhadap segala dosa. Maqam ini menunjukkan betapa pentingnya
taubat, karena dengan taubat tersebut, seseorang akan dapat melangkah kepada maqam-maqam
lainnya dala level yang lebih tinggi. Sedangkan ridha adalah level tertinggi, yang dapat dimaknai
tercapainya kondisi ideal bagi seorang Muslim. Hal ini baru dapat tercapai apabila telah melewati
maqam-maqam lainnya seperti zuhud, shabar, dan tawakkal.

B. Ahwal

At-Thusi merumuskan definisi ahwal sebagai berikut:

‫ او حتل ب و القل وب من ص فاء األذك ار وليس احلال من طريق‬,‫م ا حيل ب و القل وب‬

‫اجملاى دات والعب ادات والرياض ات كال دقامات ال ىت ذكرن ا وىي مث ل الدراقب ة والق رب‬

‫ري ذلك‬ ‫اىد واليقني وغ‬ ‫ىوالطمأنينة والدش‬ ‫وق والنس‬ ‫اء والش‬ ‫واحملب واخلوف والرج‬.
ahwal adalah suatu kondisi jiwa yang diperoleh melalui kesucian jiwa. Hal merupakan sebuah
pemberian dari Allah Swt. Bukan sesuatu yang dihasilkan oleh usaha manusia,
berbeda dengan yang disebut dengan maqamat.
Berbeda dengan al-Thusi, al-Qusyairy memberikan makna ahwal adalah
anugerah Allah atau keadaan yang datang tanpa wujud kerja. 11 Seperti halnya
maqamat, dalam ahwal juga terjadi perbedaan di kalangan para ulama sufi
tentang jumlah dan urutannya. Hal ini mengingat Nabi sendiri sejauh ini, tidak
memberikan suatu sinyalemen tentang macam-macam dan tingkatan-tingkatan
ahwal tersebut dalam hadis-hadis Beliau. Dengan kata lain, ahwal secara umum
dapat ditemukan dalam ungkapan ayat Alquran maupun hadis Nabi, namun tidak
dijelaskan secara rinci mana peringkat tertinggi dan terendah dari ahwal
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peringkat ahwal adalah hasil ijtihad dan
pemikiran para ulama sufiDengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara maqamat dan
ahwal
memiliki perbedaan. Jika maqamat merupakan tingkatan seorang hamba di
hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang
dilakukannya, artinya maqamat merupakan hasil usaha manusia, sedangkan
ahwal adalah suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada
seseorang hamba, tanpa harus dilakukan suatu latihan oleh orang tersebut.
Meskipun jika ditelusuri terus bahwa pemberian Tuhan tersebut ada
hubungannya dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh seorang hamba
sebelumnya.12 Sedangkan maqamat adalah keadaan jiwa seorang hamba sebagai
buah usaha latihan jiwa yang dilakukannya.

Seperti halnya maqamat, Ahwal juga memiliki macam-macam


bentuknya. Antara yang satu dengan yang lain, memiliki karakteristik yang
berbeda. Misalnya Muraqabah, memiliki makna yang sama dengan istilah ihsan,
yaitu keyakinan yang mendalam bahwa Allah terus menerus mengamati seluruh
aktivitas baik lahir maupun batin.

Muraqabah juga diartikan di kalangan para sufi sebagai mawas diri.


Artinya meneliti dan merenung apakah tindak tanduk setiap harinya telah sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh Allah atau bahkan menyimpang dari yang
dikehendaki-Nya.

Muraqabah terbagi kepada tiga tingkatan yaitu: 1. Muraqabah al-qalbi,


yaitu kewaspadaan dan peringatan terhadap hati, agar tidak keluar dari pada
kehadirannya dengan Allah. 2. Muraqabah al-ruhi, yaitu kewaspadaan dan
peringatan terhadap ruh, agar selalu merasa dalam pengawasan dan pengintaian
Allah. 3. (Rahasia) agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki
adabnya.
KESIMPULAN

Tasawuf adalah sebuah ilmu yang membicarakan tentang bagaimana


upaya seorang manusia sebagai hamba Allah, berusaha mendekatkan diri
kepada-Nya. Pendekatan diri manusia dalam konteks ini memberi makna bahwa
seseorang dikatakan dekat dengan Tuhannya apabila telah melaksanakan
kewajiban pokok ditambah ibadah-ibadah lainnya yang tidak wajib
dilaksanakan. Dalam tasawuf juga terdapat teori-teori yang digagas oleh para
tokoh sufi sebagai sebuah metode yang dapat dipraktekkan oleh siapa saja yang
ingin dirinya dekat kepada Tuhan mereka. Dalam konteks ini dikatakan dengan
maqam-maqam (maqamat), yang dihasilkan dari latihan spiritual seseorang
hamba. Sedangkan ahwal adalah kondisi seseorang yang menunjukkan
kedekatannya kepada Tuhan mereka tanpa dilalui latihan-latihan spiritual.
Dengan kata lain ahwal adalah kondisi atau status seorang hamba terhadap
Tuhannya yang merupakan anugerah dari Tuhan, tanpa melalui usaha berupa
latihan maupun pembelajaran.
PEMBENTUKAN AKHLAK MULIA MELALUI TAKHALLI, TAHALLI, TAJALLI

PENDAHULUAN

Dari sudut pandang yang dapat diverifikasi, kebangkitan tasawuf dimulai pada abad
ke-1 hijriyah, sebagai bingkai perlawanan terhadap penyimpangan dari pelajaran Islam
yang dianggap telah keluar dari batas syariah. Islam secara teratur digunakan secara
eksklusif sebagai alat keaslian dan jaminan pribadi oleh beberapa kelompok. Mereka
tidak menunda-nunda untuk menampik sudut-sudut ajaran Islam yang tidak sepaham
dengan keinginan jalan hidup mereka. Sejak saat itu, sejarah telah mencatat
kebangkitan perombakan di kalangan Muslim yang sungguh-sungguh dan sejati.
Pemulihan ini dari sana dan seterusnya diperkuat di seluruh dunia Muslim. Mereka
antusias untuk menegakkan kembali amanat dan pesan suci yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. Biasanya pemahaman terprogram dari kesungguhan pribadi umat Islam
untuk mengungkap jalan kenabian yang sejati.

Secara deduktif, tasawuf bisa jadi merupakan ajaran yang tidak terpakai dalam
syariat Islam, sependapat dengan Ibn Khaldun. Apalagi akar tasawuf baginya adalah
pemusatan ketakwaan kepada Allah, membersihkan kemewahan dan keagungan dunia
serta menjauhi binatang. Ketika kehidupan materialistis mulai muncul dalam
kehidupan umat Islam pada saat dan abad ketiga Hijriyah sebagai akibat dari kemajuan
finansial di dunia Islam, orang-orang yang berkonsentrasi pada pemujaan dan
melepaskan diri dari hiruk pikuk kehidupan umum disebut sufi.

PEMBAHASAN

1. TAHKALLI

Takhalli adalah langkah utama yang harus dilakukan oleh seorang sufi. Takhalli
adalah upaya untuk membebaskan diri dari keadaan pikiran dan etika yang mengerikan.
Salah satu etika hina yang menyebabkan sebagian dari etika hina, antara lain, adalah
penghargaan yang berlebihan terhadap usaha bersama. Takhalli juga dapat diartikan
membebaskan diri dari sifat ketergantungan pada kesenangan bersama. Ini akan
dicapai dengan pergi tanpa ketidakpatuhan dalam segala bentuknya dan berusaha
untuk membunuh kekuatan pendorong keinginan jahat.
Bagi Mustafa Zahri berkata kalau penafsiran takhalli merupakan meluangkan diri
dari seluruh sifat-sifat yang tercela. Sebaliknya bagi Muhammad Hamdani Bakran adzDzaky
berkata kalau penafsiran takhalli merupakan tata cara pengosongan diri dari
bekasan kedurhakaan serta pengingkaran (dosa) terhadap Allah swt dengan jalur
melaksanakan pertaubatan yang sebetulnya (nasuha).
Dalam perihal ini manusia tidak dimohon secara total melarikan diri dari
permasalahan dunia serta tidak pula menyuruh melenyapkan hawa nafsu. Namun,
senantiasa menggunakan duniawi hanya selaku kebutuhannya dengan memencet
dorongan nafsu yang bisa mengusik stabilitas ide serta perasaan. Dia tidak menyerah
kepada tiap kemauan, tidak mengumbar nafsu, namun pula tidak mematikannya. Dia
menempatkan seluruh suatu cocok dengan proporsinya, sehingga tidak memburu
dunia serta tidak sangat benci kepada dunia.

2. TAHALLI

Setelah melalui tahap pembersihan diri dari semua kualitas mental dan perilaku
yang tidak bajik dapat dilalui, pengerahan tenaga harus dilanjutkan ke pengaturan saat
yang disebut tahalli. untuk lebih spesifik: mengisi diri sendiri dengan kualitas terpuji,
dengan bersikap hormat secara fisik dan rasional. Tercantum dalam firman Allah swt
dalam Surah An-Nahl Ayat 90, yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah swt menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi bantuan kepada kerabat dan dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran
dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan batin
disebut dengan Tahalli. Hati yang demikian ini dapat menerima pancaran Nurullah
dengan mudah. Oleh karenanya segala perbuatan dan tindakannya selalu berdaskan
dengan niat yang ikhlas (suci dari riya) dan amal ibadahnya itu tidak lain kecuali
mencari ridha Allah swt. Untuk itulah manusia seperti ini bisa mendekatkan diri
kepada yang Maha Kuasa. Maka dari itu, Allah swt senantiasa mencurahkan rahmat
dan perlindungan kepadanya.
Amin Syukur mengemukakan kalau penafsiran tahalli merupakan menghias diri
dengan jalur menyesuikan watak serta perilaku dan perbuatan yang baik. Sedangkan
Mustafa Zahri mengartikan tahalli ialah menghias diri dengan sifat- sifat terpuji. Buat
melaksanakan tahalli langkahnya yakni membina individu, supaya mempunyai akhlak
al- karimah, serta tetap tidak berubah- ubah dengan langkah yang dirintis tadinya(
dalam takhalli). Melaksanakan latihan kejiwaan yang tangguh buat menyesuikan
berperilaku baik yang pada gilirannya hendak menciptakan manusia yang sempurna(
insan kamil).
Dapat dipahami bahwa menurut tasawuf akhlak, jiwa manusia dapat diibaratkan
dengan sebidang tanah yang akan ditanami oleh petani. Sebelum petani menanam
tanaman di tanah tersebut, dia harus terlebih dahulu memberishkan tanah tersebut dari
segala jenis rumput yang tumbuh diatasnya. Proses inilah yang disebut dengan
Takhalli. Setelah tanah bersih dari rumput-rumput, selanjutnya ditanami dengan
tanaman yang bermanfaat. Proses inilah yang disebut dengan Tahalli. Sikap mental
dan kegiatan mulia yang harus ditanamkan dalam hati dalam rangka untuk menjadi
manusia yang dapat berhubungan dengan Tuhan adalah sebagai berikut:
1. Taubat
2. Cemas dan harap
3. Al – juhd
4. Al – faqr
5. Ash – shabru
6. Ridho
7. Al – muqarabah

3. TAJALLI
Bagi Muhammad Hamdani Bakran adz-Dzaky mengatakan bahwa terjemahan tajalli
secara khusus lahir atau berkembangnya kehadiran yang tidak terpakai dari orangorang adalah
aktivitas, perkataan, perilaku dan perkembangan modern; bangsawan dan
status modern, kualitas dan karakteristik modern dan substansi diri yang tidak
digunakan. Karena itu dikatakan dengan kemenangan dari Allah SWT. Kelahiran
seorang individu dari kelahiran modern dan dalam kehidupan dan kehidupan yang
tidak terpakai hanya karena bantuan Allah swt, campur tangan Nabi Muhammad. dan
doa para rasul yang diberkati di sisi-Nya melalui upaya, perjuangan, penebusan dosa
dan disiplin diri yang luar biasa dalam melakukan penghormatan dalam kerangka
menjalankan semua perintah-Nya, menjaga jarak strategis dari larangan-Nya, dan
memahami cobaan-Nya.25
Sebagai sarana untuk memperdalam rasa ketuhanan, terdapat sebagian teori yang
diajarkan sufi, antara lain:
1. Munajat
2. zikrul maut
KESIMPULAN
Sama halnya dengan takhalli dan tahalli yang membutuhkan bimbingan guru atau
mursyid. Begitu juga dengan tajalli, menurut penulis tajalli lebih sulit, karena tidak hanya
mengosongkan sifat-sifat penyakit hati dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji,
melainkan bagaimana seorang salik bisa konsisten dalam menjalankan segala perintahNya dan
menjauhi segala larangan-Nya dengan berusaha semaksimal mungkin. Inilah
yang barangkali dalam pendidikan tasawuf membutuhkan metode atau cara untuk bisa
menyingkap tabir ketuhanan atau nur yang selama ini ghaib dapat terbuka.
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1973.
Zahri , Mustafa. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Jakarta: Bina Ilmu, 1998.
Aqil Said Siraj, 2012. Dialog Tasawuf Kiai Said, Surabaya: Khalista.
Departemen Agama RI, 2009. Alquran dan Terjemahan, Depok: Sabiq.
Hasan Ismail, 2014. Tasawuf : Jalan Rumpil Menuju Tuhan, Madiun : Jurnal An-Nuha
Vol. 1, No. 1.
Husnaini Rovi, 2010. Hati, Diri dan Jiwa (Ruh), Bandung : Jurnal Aqidah dan Filsafat
Islam.
Masyharuddin dan Amin Syukur, 2002. Intelektualisme Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai