Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dengan
ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada
kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang kami yang berjudul “ Konsep Ibadah
Mahdhoh dan Gairu Mahdloh”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita jalan
yang lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi
seluruh alam semesta.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan dan
pengetahuan kita tentang Konsep Ibadah Mahdhoh dan Gairu Mahdloh. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan
jalan menuju keselamatan hidup. Agama merupakan suatu hakikat eksternal, dapat dikatakan
agama merupakan kumpulan hukum dan ketentuan ideal yang mendiskripsikan sifat-sifat dari
kekuatan Ilahiah itu dan kumpulan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah
kepada-Nya. Islam berasal dari kata aslama yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai.
Islam dalam arti terminologi berarti agama yang ajaran- ajarannya diberikan oleh Allah kepada
manusia melalui para Rasul-Nya untuk keselamatan hidup manusia. Dalam Al-Quran dikatakan
bahwa agama Allah adalah Islam yang telah diturunkan melalui perantara para Rasul.
Agama merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah. Islam
dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai agama. Kata ini merupakan bentuk masdhar dari dana-
yadinu, yang memiliki beberapa arti yaitu: taat atau patuh, wara’, agama, mazhab, keadaan, cara,
atau kebiasaan, raja’, paksaan dan pembalasan atau perhitungan.
Apabila makna-makna di atas dikaitkan dengan arti yang dikandung oleh Islam, maka hubungan
yang erat terdapat pada makna kepatuhan atau ketaatan. Dengan demikian, seorang muslim
adalah orang yang telah menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Dalam makalah ini
akan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah yang didasari oleh hadits dan ayat Al-
Qur’an.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tentang Ibadah
Pilar Islam yang pertama yaitu akidah dan pilar Islam yang kedua adalah ibadah. Ibadah
berasal dari kata ‘abada, ya’budu, yang berarti menghamba atau tunduk dan patuh. ‘abdun berarti
budak atau hamba sahaya, alma’bad berarti mulia dan agung, ‘abada bih berarti selalu
mengikutinya, alma’budi berarti yang memiliki, yang dipatuhi dan diagungkan. Jika makna kata-
kata tersebut diurutkan akan menjadi susunan kata- kata yang logis, yaitu: “Jika seseorang
menghambakan diri terhadap yang lain, ia akan mengikuti, mengagungkan, memuliakan,
mematuhi dan tunduk“.
Pada riwayat Bukhari ini ditemukan 7 sanad namun rangkaian sanad tersebut memiliki
mutabi’ pada tingkatan tabi’in maupun tabi’ tabi’in. Dijelaskan dalam fath al-Bari syarh Shahih
Bukhori, bahwa niat merupakan kunci dari semua ibadah dan perbuatan. Bahwa niat menentukan
segala perbuatan yang dilakukan dan melandasi setiap bentuk ibadah baik yang nampak maupun
yang tidak nampak.
Akan tetapi dalam tingkatan shahabat tidak memiliki syawahid karena hanya
diriwayatkan oleh an-Nu’man ibn Basyir. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa do’a adalah
ibadah. Secara terminologis, pengertian ibadah terpetak-petak dengan rumusan yang bervariasi
menurut berbagai disiplin ilmu.
E. Hakikat Ibadah
Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal :
Jika orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina, sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu.
Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi sifatnya tetap saja tidak pernah berubah.
Ini berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah. Mendidik dirinya itu adalah dalam
rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan dengan Penciptanya.
Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah, maka
seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui
bahwa minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita
ketahui setelah mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata kita tetap
mengkonsumsi minuman yang memabukkan tersebut. Jika seperti ini, berarti kita belum
sempurna membina diri kita dalam rangka mencapai ibadah.
Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama, mensucikan diri dari sifat-sifat yang
kotor. Kedua, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan kotor. Sifat kotor akan
mendorong kita melakukan perbuatan-perbuatan kotor. Makanya, perbuatan kotor itu kita
minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri. Ketiga, membersihkan diri dari
perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa, maka kemudian
kita bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita lakukan.
Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan
mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.
Sasaran ibadah itu pada hakikatnya adalah untuk membina diri, mensucikan diri, dan
mengisi diri. Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah Allah, maka ada dua hal yang
harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari.
Yang harus dijaga tersebut ada empat hal: Pertama, menjaga hubungan baik dengan diri
sendiri. Kedua, menjaga hubungan dengan sesama manusia. Ketiga, menjaga hubungan
dengan lingkungan. Keempat, menjaga hubungan dengan Allah. Yang harus dihindari
tersebut juga ada empat hal, yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama
manusia, terhadap lingkungan, dan terhadap Allah.
F. Tujuan Ibadah
Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah).
Pertama, untuk mencapai kesenangan hidup di dunia. Kedua, untuk mencapai ketenangan hidup
di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia
dan akhirat. Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain adalah untuk meraih
kesenangan dan ketenangan akhirat. Misalkan bekerja. Dengan bekerja, maka seseorang akan
mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia akan mendapatkan kesenangan dunia, dan
juga akan semakin memudahkannya untuk melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat
ataupun menunaikan ibadah haji.
Rasulullah mengatakan, “Orang yang paling gampang masuk surga adalah orang kaya
yang mau bersedekah.”
Mendengar itu, seorang sahabat berkata, “Ya Rasul, bagaimana kalau saya ini tidak
kaya?”
Rasulullah kemudian menanyakan kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu memiliki
kurma?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.
“Kalau kamu memang memiliki kurma, maka bagi dua-lah kurma tersebut. Setengahnya
sedekahkan kepada orang lain, sedangkan setengahnya lagi untukmu. Setengah yang kamu
bagikan kepada orang lain tersebut akan mengantarkan kamu untuk masuk surga bersama orang
kaya yang suka bersedekah,” perjelas Rasulullah kepada sahabat tersebut.
Lalu ada lagi sahabat yang bertanya ketika itu, “Ya Rasul, saya tidak kaya dan tidak
punya kurma. Kalau seperti ini, berarti saya susah masuk surga?”
Lalu Rasulullah bertanya kepada sahabat tersebut, “Apakah kamu mempunyai air satu
gelas?”
“Punya, ya Rasul,” jawab sahabat tersebut.
“Kalau begitu, yang satu gelas tersebut kamu bagi dua. Setengahnya untuk kamu,
sedangkan setengahnya lagi kamu sedekahkan kepada orang lain yang membutuhkan. Maka
setengah yang kamu sedekahkan kepada orang lain itu akan mengantarkan kamu masuk surga
bersama orang yang punya kurma yang dibagi dua tadi, dan juga bersama dengan orang kaya
yang suka bersedekah.”
Lalu ada lagi yang bertanya, “Ya Rasul, saya ini tidak kaya, tidak punya kurma, dan juga
tidak punya air satu gelas. Kalau begitu saya ini akan susah masuk surga?”
Lalu dijawab oleh Rasulullah, “Kalau kamu tidak mempunyai ketiga-tiganya itu, maka
sedekahkanlah kepada saudaramu kalimat-kalimat yang baik, nasihat-nasihat yang baik, serta
ucapan-ucapan yang baik.”
Nabi juga pernah mengatakan, “Hak seorang muslim itu adalah untuk didatangi pada saat
ia sakit.” Jika itu adalah hak seorang muslim, maka muslim yang lainnya berkewajiban untuk
mendatangi muslim yang sedang sakit tersebut. Lalu Nabi juga pernah mengatakan, “Ketika
kalian mendatangi orang yang sedang sakit, coba usap-usaplah dia dengan mengatakan,
bersabarlah, karena ini ujian Allah.” Jadi, kita tidak perlu merasa berat untuk mendatangi dan
menjenguk orang yang sedang sakit jika kita sedang tak memiliki apa-apa. Karena kita
menjenguknya itu dalam rangka “kalimat thayyibah” kepada mereka yang sakit itu. Patut juga
diketahui, kadang kala orang yang sakit itu kemudian menjadi sembuh lebih dikarenakan
motivasi dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Semua kenikmatan itu diberikan oleh Allah
karena kita diberikan kedudukan sebagai khalifatullah. Khalifatullah yang sangat efektif adalah
khalifatullah yang menyadari dirinya, bahwa semua kenikmatan yang ada sekarang ini adalah
kenikmatan yang diberikan oleh Allah, dan kita mensyukurinya hanya dengan jalan beribadah
kepada-Nya.
Ibadah itu sendiri bisa dikelompokkan ke dalam kategori berdasarkan beberapa
klasifikasi:
1. Pembagian ibadah didasarkan pada umum dan khusus (khashashah dan ‘ammah)
Ibadah ‘ammah, yakni semua pernyataan baik yang dilakukan dengan niat yang baik dan
semata-mata karena Allah, seperti makan, minum, bekerja dan lain sebagainya dengan
niat melaksanakan perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniah dalam rangka agar
dapat beribadah kepada Allah.
Ibadah khashashah ialah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti
shalat, zakat, puasa dan haji.
Dalam konstruk ahli fiqih, sah ialah lawan batal. Perbuatan yang dihukumi sah, bila
memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Dalam urusan perkawinan bila tidak terpenuhi rukun,
disebut batal dan bila tidak memenuhi syarat-syaratnya maka fasid.