Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH TENTANG

IBADAH MAHDHAH DAN IBADAH GHAIRU MAHDHAH

DISUSUN:
O
L
E
H

Muhamad Takdir

105381102219

KATA PENGANTAR
          Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada sang Kholiq yang tak pernah letih ataupun
tidur dalam mengurus semua makhluk-Nya yang berada di langit maupun di bumi. Dialah Allah
SWT, tuhan semesta alam dengan kekuasaan yang meliputi langit beserta isinya dan bumi
beserta isinya pula. Dengan rahmat dan kasih sayang-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan
makalah mengenai Ibadah Mahdhah dan Ibadah Ghairu Mahdhah yang tentunya masih jauh dari
kata sempurna ini.
Shalawat serta salam penulis sanjungkan kepada makhluk paling mulia di muka bumi ini.
Makhluk yang diutus untuk menyempurnakan akhlak seluruh manusia di bumi. Dialah baginda
besar, rasul agung, Rasulullah SAW. Semoga syafaat beliau senantiasa tercurah kepada para
umatnya yang setia mengikuti jejaknya sampai akhir hayat nanti. Serta shalawat untuk keluarga
beliau dan shahabat-shahabat beliau.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah AIK yang telah sabar membimbing
penulis dalam memperoleh materi serta penulis juga harapkan agar kiranya Pak dosen dapat
memberikan masukan-masukan bagi kurangnya kelengkapan dalam makalah yang penulis buat
ini. Penulis juga berharap bahwa apa yang sudah penulis tulis dapat bermanfaat bagi teman-
teman pembaca dalam memperoleh pengetahuan tentang Materi Ibadah Mahdhah dan Ibadah
Ghairu Mahdhah . Dan jika ada masukan, sekiranya tak segan untuk menambahkan supaya
penulis dapat memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini.

Makassar, 3 Juli 2022

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………..................................................………………….. 2
DAFTAR ISI ………………………………………...................................................………………… 3
BAB I PENDAHULUAN ……………………….................................................……………….. 4
Latar Belakang…………………………….................................................................……….. 4

BAB II PEMBAHASAN ………………………….................................................……………… 5


A. Tentang Ibadah…………...........................................................………………………….. 5
B. Pengertian Ibadah mahdhah dan ghairu mhadhah…..................................... 6
C.Perbedaan Ibadah Mahdhah Dan Ibadah Ghairu Mahdhah............................8
D. Hikmah Ibadah Mahdhah……………….......................................................………. 10
E. Hakikat Ibadah……………………………........................................................…………… 11

F. Tujuan Ibadah………………….......................................................………………………….13

G. Pembagian Ibadah………….......................................................................…………14

H. Bentuk-bentuk Ibadah Mahdhah & Ghairu Mhadhah..................................…17

BAB III PENUTUP ………………...................................................…………………………….. 18


Kesimpulan ……………………………..................................................................……………18

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Agama adalah suatu sistem nilai yang diakui dan diyakini kebenarannya dan merupakan jalan
menuju keselamatan hidup. Agama merupakan suatu hakikat eksternal, dapat dikatakan agama
merupakan kumpulan hukum dan ketentuan ideal yang mendiskripsikan sifat-sifat dari kekuatan
Ilahiah itu dan kumpulan kaidah-kaidah praktis yang menggariskan cara beribadah kepada-Nya.
Islam berasal dari kata aslama, yuslimu yang berarti menyerah, tunduk dan damai. Islam dalam
arti terminologi berarti agama yang ajaran- ajarannya diberikan oleh Allah kepada manusia
melalui para Rasul-Nya untuk keselamatan hidup manusia. Dalam al-Quran dikatakan bahwa
agama Allah adalah Islam yang telah diturunkan melalui perantara para Rasul. Agama
merupakan ibadah dan konsekuensi ibadah manusia hanya kepada Allah.
Islam dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai agama. Kata ini merupakan bentuk masdhar dari dana-
yadinu, yang memiliki beberapa arti yaitu: taat atau patuh, wara’, agama, mazhab, keadaan, cara,
atau kebiasaan, raja’, paksaan dan pembalasan atau perhitungan..Apabila makna-makna di atas
dikaitkan dengan arti yang dikandung oleh Islam, maka hubungan yang erat terdapat pada makna
kepatuhan atau ketaatan. Dengan demikian, seorang muslim (pemeluk agama Islam) adalah
orang yang telah menyatakan tunduk dan patuh kepada perintah Allah. Dalam makalah ini akan
dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah yang didasari oleh hadits dan ayat al-Qur’an.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tentang Ibadah

Pilar islam yang pertama yaitu akidah dan pilar Islam yang kedua adalah ibadah. Ibadah berasal
dari kata ‘abada, ya’budu, yang berarti menghamba atau tunduk dan patuh. ‘abdun berarti budak
atau hamba sahaya, alma’bad berarti mulia dan agung, ‘abada bih berarti selalu mengikutinya,
alma’budberarti yang memiliki, yang dipatuhi dan diagungkan. Jika makna kata-kata tersebut
diurutkan akan menjadi susunan kata- kata yang logis, yaitu: “Jika seseorang menghambakan diri
terhadap yang lain, ia akan mengikuti, mengagungkan, memuliakan, mematuhi dan tunduk“.
Pada riwayat Bukhari ini ditemukan 7 [tujuh] sanad namun rangkaian sanad tersebut memiliki
mutabi’ pada tingkatan tabi’in maupun tabi’tabi’in.Dijelaskan dalam fath al-Bari syarh Shahih
Bukhori, bahwa niat merupakan kunci dari semua ibadah dan perbuatan. Bahwa niat menentukan
segala perbuatan yang dilakukan[3] dan melandasi setiap bentuk ibadah baik yang nampak
maupun yang tidak nampak. Akan tetapi dalam tingkatan shahabat tidak memiliki syawahid
karena hanya diriwayatkan oleh an-Nu’man ibn Basyir. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa
do’a adalah ibadah.Secara terminologis, pengertian ibadah terpetak-petak dengan rumusan yang
bervariasi menurut berbagai disiplin ilmu.

B. Pengertian Ibadah Mahdhah Dan Ibadah Ghairu Mahdhah

Pengertian Ibadah Mahdhah Yaitu ibadah yang pelaksanaannya telah dicontohkan langsung oleh
Nabi Muhammad S.A.W, seperti shalat, puasa, haji. Dalam ibadah seperti ini seorang muslim
tidak boleh mengurangi atau menambah-nambah dari apa saja yang telah diperintahkan Allah
dan dicontohkan oleh Rasulullah. Oleh karena itu,

melaksanakan peribadatan yang bersifat khusus ini harus mengikuti contoh rasul yang
diperbolehkan melalui ketentuan yang dimuat dalam hadits-hadits shahih. Satu kaidah yang amat
penting dalam pelaksanaan ibadah ini adalah “semua haram, kecuali yang diperintahkan Allah
dan dicontohkan oleh Rasulullah.”

Pengertian ibadah ghairu mahdhah Secara etomologis,ibadah diambil dari kata ‘ abada, ya’budu,
‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki
apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba
hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Manusia adalah
hamba Allah “‘Ibaadullaah”jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki
miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-
Nya: Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu (QS.
51(alDzariyat ): 56).

C. Perbedaan Ibadah Mahdhah Dan Ibadah Ghairu Mahdhah

Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang murni ibadah, jadi semata- mata tujuannya untuk cari
pahala. Contohnya adalah shalat dan puasa. Ibadah ghoiru mahdhoh adalah ibadah yang tidak
murni ibadah. Satu sisi ibadah ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan bisa tidak
bernilai ibadah jika hanya berniat untuk dunia.
Contohnya adalah:
a. Bekerja untuk mencari nafkah
b.Tersenyum dengan orang lain
c.Tolong menolong sesame
d.Menafkahkan harta di jalan Allah

Para ulama menjelaskan bahwa ibadah mahdhoh jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini
adalah amalan yang sia-sia. Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada malam jumat kliwon, ini
jelas tidak ada tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan
suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak. ” (HR Muslim). Jadi harus
perlu dasar dalam ibadah jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu
terlarang, sampai ada dalil yang menuntunkannya.”
Sedangkan ibadah ghoiru mahdhoh, ini baru jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk
ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan
hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajibn kepala keluarga, maka ini tidak bernilai
pahala. Jadi amalan ini asalnya mubah. Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.
D. Hikmah Ibadah Mahdhah

Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) , dan ibadah mahdhah
itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam
pelaksanaannya diwujudkan dengan:
• Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah
ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula
memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana untuk menyatukan arah pandang,
sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah
kiblatnya (QS. 2: 144).
• Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri
dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i,
arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
• Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati)
itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan
shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian
juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa alQuran yang
membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.

E. Hakikat Ibadah

Ibadah itu pada hakikatnya dalam rangka tiga hal:


• Pertama, membina diri dengan baik. Jika orang beribadah, tapi dirinya tidak terbina,
sebenarnya ia belum mencapai tujuan itu. Misalkan, dia sering datang ke pengajian, tapi sifatnya
tetap saja tidak pernah berubah. Ini berarti, bahwa dia menyimpang dari tujuan ibadah. Mendidik
dirinya itu adalah dalam rangka membina hubungan dengan sesama, dengan lingkungan, dan
dengan Penciptanya. Jadi, kalau kita mendengarkan pengajian, dan pengajian itu adalah ibadah,
maka seharusnya pembinaan diri tersebut menjadi meningkat. Misalkan, kita mengetahui bahwa
minuman yang memabukkan itu diharamkan oleh agama, yang hal tersebut kita ketahui setelah
mendengarkan ceramah agama. Namun setelah itu, ternyata kita tetap mengkonsumsi minuman
yang memabukkan tersebut. Jika seperti ini, berarti kita belum sempurna membina diri kita
dalam rangka mencapai ibadah.
• Kedua, dalam rangka mensucikan diri kita. Mensucikan diri yang dimaksud adalah: Pertama,
mensucikan diri dari sifat-sifat yang kotor. Kedua, mensucikan diri dari perbuatan-perbuatan
kotor. Sifat kotor akan mendorong kita melakukan perbuatanperbuatan kotor. Makanya,
perbuatan kotor itu kita minimalkan, bahkan kita hilangkan dari diri kita sendiri. Ketiga,
membersihkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa. Jika kita pernah melakukan perbuatan dosa,
maka kemudian kita bertobat kepada Allah dan beristighfar. Itulah tujuan dari ibadah yang kita
lakukan.

•Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi
diri dengan perbuatan yang berpahala. Kalau begitu, sasaran ibadah itu pada hakikatnya adalah
untuk membina diri, mensucikan diri, dan mengisi diri. Di dalam kehidupan kita sebagai khalifah
Allah, maka ada dua hal yang
harus kita perhatikan. Pertama, ada yang harus dijaga. Kedua, ada yang harus dihindari. Yang
harus dijaga tersebut ada empat hal: Pertama, menjaga hubungan baik dengan diri sendiri.
Kedua, menjaga hubungan dengan sesama manusia. Ketiga, menjaga hubungan dengan
lingkungan. Keempat, menjaga hubungan dengan Allah. Yang harus dihindari tersebut juga ada
empat hal, yaitu: penzaliman terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia, terhadap
lingkungan, dan terhadap Allah.

F. Tujuan Ibadah

Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah).
Pertama, untuk mencapai kesenangan hidup di dunia. Kedua, untuk mencapai ketenangan
hidup di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan
ketenangan dunia dan akhirat. Berbagai macam kesenangan dunia kita lakukan tak lain
adalah untuk meraih kesenangan dan ketenangan akhirat. Misalkan bekerja. Dengan
bekerja, maka seseorang akan mendapatkan uang. Dengan uangnya tersebut, maka ia
akan mendapatkan kesenangan dunia, dan juga akan semakin memudahkannya untuk
melakukan ibadah mahdhah, misalkan berzakat ataupun menunaikan ibadah haji.

G. Pembagian Ibadah

Ibadah itu sendiri bisa dikelompokkan ke dalam kategori berdasarkan beberapa


klasifikasi:
1. Pembagian ibadah didasarkan pada umum dan khusus (khashashah dan ‘ammah)
• Ibadah ‘ammah, yakni semua pernyataan baik yang dilakukan dengan niat yang baik
dan semata-mata karena Allah, seperti makan, minum, bekerja dan lain sebagainya
dengan niat melaksanakan perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniah dalam
rangka agar dapat beribadah kepada Allah.
• Ibadah khashashah ialah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh nash, seperti
shalat, zakat, puasa dan haji.
2. Pembagian ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan
pelaksanaannya:
• Ibadah jasmaniah, ruhiyah, seperti shalat dan puasa,
• Ibadah ruhiyah dan amaliyah, seperti zakat,
• Ibadah jasmaniah ruhiyah dan amaliyah, seperti mengerjakan haji.

3. Pembagian ibadah dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat:


• Ibadah fardhi, seperti salat dan puasa,
• Ibadah ijtima’i seperti zakat dan haji.

4. Pembagian dari segi bentuk dan sifatnya:


• Ibadah yang berupa perkataan atau ucapan lidah, seperti membaca do’a, membaca
Al Qur’an, membaca dzikir, membaca tahmid dan mendoakan orang yang bersin,
• Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu bentuknya meliputi perkataan dan perbuatan, seperti
shalat, zakat, puasa, dan haji,
• Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang dan memaafkan orang
yang bersalah,
• Ibadah yang pelaksanaannya menahan diri, seperti ihram, puasa dan I’tikaf, dan menahan diri
untuk berhubungan dengan istrinya,
• Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti menolong orang lain,
berjihad, membela diri dari gangguan.

Dalam beribadah, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yakni:


•Sah, maksudnya amal itu dilakukan sesuai dengan kehendak syara’
•Ikhlas, yakni semata-mata karena Allah.Dalam konstruk ahli fiqih, sah ialah lawan batal.
Perbuatan yang dihukumi sah, ila memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Dalam urusan
perkawinan bila tidak terpenuhi rukun, disebut batal dan bila tidak memenuhi syarat-syaratnya
maka fasid.

H.Bentuk-bentuk Ibadah Mahdhah & Ghairu Mhadhah

Ibadah Mahdhah
a.Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah,
b.Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw.
c.Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal)
d.Azasnya “taat”
Ibadah Ghairu Mahdhah
a.Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang
b.Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul,
c.Bersifat rasional,
d.Azasnya “Manfaat

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Berbagai pembagian ibadah di atas telah dijelaskan bahwa ibadah khashasah (dapat dipahami
sebagai ibadah mahdlah) ialah yang ditentukan bentuk ketentuan dan pelaksanannya. Sedang
ibadah ‘ammah (dipahami sebagai ibadah ghairu mahdlah) adalah semua perbuatan yang
mendatangkan kebaikan dan dilaksanakan dengan niat semata-mata karena Allah. Pernyataan
diatas, seakan-akan niat merupakan kriteria pada ibadah ‘ammah dan tidak merupakan kriteria
pada ibadah mahdhah, padahal niatpun ada pada ibadah mahdlah. Sebagian berpendapat niat
adalah rukun, sebagian berpendapat merupakan syarat.
Jika kita sudah menyadari bahwa diri kita sebagai “Khalifah Allah”, kemudian penciptaan kita
itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah, semua ibadah yang kita lakukan dalam rangka
menjaga empat hubungan tadi dan menghindari empat hubungan tadi, maka manusia tersebut
menjadi manusia yang muttaqin sejati. Jadi, kalau kita ingin mendapatkan predikat orang yang
bertaqwa sejati, maka sebenarnya ajaran-ajaran tersebutlah yang harus kita laksanakan. Orang
yang bertakwa secara sejati, maka akan ada keseimbangan di dalam hidupnya. Dia selalu
menjaga hubungannya dengan dirinya, dengan sesamanya, dengan alam, dan dengan Tuhannya.
Kalau manusia sudah seperti itu, pasti dia akan hasanatan fiddunya wa hasanatan fil akhirah. Di
dalam tasawuf, manusia seperti inilah yang dinamakan insanul kamil, yaitu manusia yang sudah
mencapai derajat para Nabi, terutama mencapai derajat Rasulullah Muhammad SAW. Derajat
para Nabi yang dimaksud adalah derajat dalam hal amal ibadah, bukan sebagai Nabinya.

DAFTAR PUSTAKA

http://karyaanakbangsa-helbeh.blogspot.com/2010/10/mahdhah-danghairu-mahdhah.html
http://mintlisim.wordpress.com/2010/11/15/ibadah-mahdhoh-danghairu-mahdhoh/
http://umayonline.wordpress.com/2008/09/15/ibadah-mahdhah-ghairumhadhah
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan. terj. Salim Bahreisy, Surabaya: Bina
Ilmu, 1995.
Rahman Ritonga dkk., Fiqih Ibadah, Jakarta: Gama Media Persada, 2002
Shahih Buchari, terj. Zainuddin Hamidy, Jakarta: Widjaya. 1969
Wahbah Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, Dar al-Fikr, 1989

Anda mungkin juga menyukai