Anda di halaman 1dari 33

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

STAIN SULTAN ABDURRAHMAN KEPULAUAN RIAU

TAHUN 2021

PENGANTAR

Penulis ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah, nikmat, rahmat, serta hidayah-Nya
yang telah diberikan kepada penulis, sehingga dengan itu semua penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “DASAR-DASAR DAN PRINSIP IBADAH DALAM ISLAM”. Shalawat dan salam
senantiasa diucapkan buat baginda Rasulullah SAW.

Penulis ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang
berguna bagi pengetahuan penulis dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis telah berusaha sebaik mungkin dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah ini, namun penulis juga
menyadari ada banyak kekurangan pada diri penulis dan itu berdampak pada banyaknya kekurangan
yang ada pada penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran yang bersifat konstruktif bagi kesempurnaan Karya Tulis Ilmiah ini.

Tanjungpinang, 23 Desember 2021

Penulis

MISBAHUL MUNIR

DAFTAR ISI

PENGANTAR ……. i

DAFTAR ISI …….. ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….1

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………..3

BAB III PENUTUP …………………………………………………………..12

Daftar Pustaka…………………………………………………………………13
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Ibadah kepada Allah SWT merupakan sarana utama untuk mencapai Ridho-Nya. Manusia diciptakan
di muka bumi mengembankan tugas untuk beribadah kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam
surat Al-baqarah ayat 21 yang berbunyi: “Hai Manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS Al baqarah ayat 21).
Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah swt dengan segala pemberiannya,
manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya tetapi dengan
anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan Dzat Allah swt yang telah memberikannya. Sebab
itu, manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat
sesuai bimbingan Allah swt atau memanfaatkan anugerah Allah SWT. Hidup yang dibimbing oleh
syari’ah akan melahirkan kesadaran untuk berperilaku yang sesuai dengan tuntuan Allah swt dan
Rasul Nya, salah satu cara untuk mencapai tuntunan tersebut adalah dengan. beribadah. Era
kehidupan yang terus berkembang sangat dinamis, membutuhkan tuntunan yang mengarahkan dan
menyadarkan perilaku manusia untuk lebih dekat dengan kehendak Sang Maha Kuasa.

Rumusan Masalah
Apa saja dasar ibadah dalam islam?
Apa prinsip-prinsip ibadah dalam islam?
Tujuan Pembahasan
Untuk mengetahui dasar ibadah dalam islam
Untuk mengetahui prinsip-prinsip ibadah dalam islam

BAB II
PEMBAHASAN
Dasar-Dasar Ibadah dalam Islam

Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. As-Sunnah Al-Maqbulah
artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis sunnah al-Maqbulah dibagi menjadi dua,
Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Hal ini disandarkan pada hadis Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku
meninggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada keduanya, yakni:
Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunah Nabi.

Banyak sekali ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perintah beribadah, diantaranya surah al-
bayyinah ayat 5. Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Prinsip-Prinsip Ibadah dalam Islam

Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang
dijadikan oleh seseorang kelompok sebagai sebuah berasal dari bahasa arab yakni ‘abada-
ya’budu-‘abdan wa ‘ibadatan yang artinya menyembah, merendah diri, tunduk, patuh, taat,
menghina diri dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Sedangkan secara terminologi islam
(istilah) berarti taat, tunduk, patuh dan merendah diri kepada Allah S.W.T.
Ibnu Taimiyah (syaikhul islam) pernah memberi batasan, “.Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai
Allah“ ‫كل شيء أحبة هللا وارتضاه‬
Ada beberapa prinsip dalam ibadah yaitu sebagai berikut :

Ada perintah

Adanya perintah merupakan syarat sahnya suatu ibadah. tanpa perintah, ibadah merupakan sesuatu
yang terlarang, dalam sebuah kaidah diungkapkan: “Asal mula ibadah itu terlarang, hingga ada
ketentuan yang memerintahkannya”

Tidak mempersulit (Adamul Haraj)

Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya: Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki Kesukaran bagimu.

Menyedikitkan beban (Qilatuttaklif)

Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya : Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Ibadah hanya ditujukan kepada Allah Swt.

Prinsip ini merupakan konsekuensi pengakuan atas kemahaesaan Allah Swt, yang dimanifestasikan
sesorang muslim dengan kata kata (kalimat tauhid) La ilaha Illallah.

Ibadah tanpa perantara

Ibadah harus dilakukan oleh seorang hamba Allah tanpa melalui perantara, baik berupa benda,
binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia. Adanya perantara dalam beribadah bertentangan
dengan prinsip tauhid dan beribadah hanya kepada Allah semata. Hal ini dimaksudkan agar ibadah
jauh dari perbuatan syirik. seseorang hamba benar-benar murni dan jauh dari perbuatan syirik.

Ibadah dilakukan secara ikhlas

Ikhlas artinya murni, tulus, tidak ada maksud dan tujuan lain selain hanya kepada Allah. Ikhlas dalam
beribadah berarti beribadah tanpa merasa terpaksa, melainkan benar-benar murni untuk
menunaikan perintah Allah Swt.

Keseimbangan Jasmani dan Rohani

Sesuai dengan kodratnya bahwa manusia itu makhluk Allah yang terdiri atas jasmani dan rohani,
maka ibadah mempunyai prinsip adanya keseimbangan diantara keduanya, Tidak hanya mengejar
satu hal lalu meninggalkan yang lainnya, atau sebaliknya, akan tetapi keseimbangan antara
keduanyalah yang harus dikerjakan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al Maqbulah. As-Sunnah Al-Maqbulah
artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis sunnah al-Maqbulah dibagi menjadi dua,
Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Hal ini disandarkan pada hadis berikut;

‫أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما كتاباهلل وسنة نبيه‬

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku meninggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak akan
tersesat jika berpegang pada keduanya, yakni: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunah Nabi.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha

Sempurna pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat

menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang

“PRINSIP PRINSIP IBADAH”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan

ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.

Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut

berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar sebagai

makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan

tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –Nya.

Mataram 2 Afril 2014

Klp III

DAFTAR ISI
CAVER
KATA PENGATAR ............................................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB IPENDAHULUAN.................................................................................................... iii
a. Latar belakang .................................................................................................................... 1
b. Rumusan masalah................................................................................................................ 1
c. Tujuan................................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
A. PRINSIP PRINSIP IBADAH ............................................................................................. 2
1. Pengertian prinsip dan ibadah ............................................................................................. 2
2. Dasar Hukum ibadah ........................................................................................................... 4
3. Tujuan Ibadah ..................................................................................................................... 4
4. Macam-macam Ibadah......................................................................................................... 5
B. MAQOSID SYARIAH....................................................................................................... 6
1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah........................................................................................ 6
2. Tujuan tujuan syariat .......................................................................................................... 6
3. Peran Maqashid Al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam..................................... 10
C. BAB III ANALISIS PEMAKALAH.................................................................................. 11
a. Studi kasus.......................................................................................................................... 11
b. Analisis kasus...................................................................................................................... 13
c. Solusi ..................................................................................................................................13
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................ 15
a. Kesimpulan ....................................................................................................................... 15
b. Kritik dan saran ................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 16

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain

menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’ atau maqasid

syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara

kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-

permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan,

maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil. Berikut ini akan

diuraikan pengertian maqasid syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum
menurut pandangan Imam Al-Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, jenis-

jenis Maslahah, dan penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum.

b. Rumusan masalah

1. Apa prinsip prinsip ibadah itu…?

2. Apa yang tujuan tujuan syariat islam ...?

3. Bagimna kontribusi hukum islam dalam kehidupan sehari hari..?

c. Tujuan

1. Mengetahui Apa prinsip prinsip ibadah

2. Mengetahui Apa yang tujuan tujuan syariat islam

3. Mengetahui Bagimna kontribusi hukum islam dalam kehidupan sehari hari

BAB II
PEMBAHASAN

A. PRINSIP PRINSIP IBADAH ISLAM

1. Pengertian prinsip dan ibadah.


Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun
individual yang dijadikan oleh seseorang/ kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir
atau bertindak sedangkan ibadah Secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa arab yakni
'abada-ya'budu-'abdan wa 'ibadatan yang artinya menyembah, merendah diri, tunduk, patuh,
taat, menghina diri dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Sedangkan secara terminologi
islam (istilah) berarti taat, tunduk, patuh dan merendah diri kepada Allah S.W.T. Ibnu
Taimiyah (syaikhul islam) pernah memberi batasan, ‫“ ُك ُّل َش ْي ٍء َاَح َّبُه ُهللا َو اْر َتَض اه‬Segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai Allah.''1[1]
Ada beberapa prinsip dalam ibadah yaitu sebagai berikut :
a. Ada perintah
Adanya perintah merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Tanpa perintah, ibadah
merupakan sesuatu yang terlarang, dalam sebuah kaidah diungkapkan:
1[1] Rahman Ritonga, Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama. 2002. Hal. 1
"Asal mula ibadah itu terlarang, hingga ada ketentuan yang memerintahkannya"
b. Tidak mempersulit (`Adamul Haraj)
Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya :
       
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
c. Menyedikitkan beban (Qilatuttaklif)
Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya :
     
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
d. Ibadah hanya ditujukan kepada Allah Swt
Prinsip ini merupakan konsekuensi pengakuan atas kemahaesaan Allah Swt, yang
dimanifestasikan sesorang muslim dengan kata-kata (kalimat tauhid) La ilaha Illallah.
e. Ibadah tanpa perantara
Ibadah harus dilakukan oleh seorang hamba Allah tanpa melalui perantara, baik
berupa benda, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia. Adanya perantara dalam
beribadah bertentangan dengan prinsip tauhid dan beribadah hanya kepada Allah semata. Hal
ini dimaksudkan agar ibadah seseorang hamba benar-benar murni dan jauh dari perbuatan
syirik.
f. Ibadah dilakukan secara ikhlas
Ikhlas artinya murni, tulus, tidak ada maksud dan tujuan lain selain hanya kepada
Allah. Ikhlas dalam beribadah berarti beribadah tanpa merasa terpaksa, melainkan benar-
benar murni untuk menunaikan perintah Allah Swt.
g. Keseimbangan Jasmani dan Rohani
Sesuai dengan kodratnya bahwa manusia itu makhluk Allah yang terdiri atas jasmani
dan rohani, maka ibadah mempunyai prinsip adanya keseimbangan diantara keduanya, Tidak
hanya mengejar satu hal lalu meninggalkan yang lainnya, atau sebaliknya, akan tetapi
keseimbangan antara keduanyalah yang harus dikerjakan.2[2]

2. Dasar Hukum ibadah

Banyak sekali ayat al-Qur'an yang berbicara tentang perintah beribadah, di antaranya:
)٥:‫َو َم ا ُاِم ُرْو ا ِاَّال ِلَيْعُبُد ْو ا َهللا ُم ْخ ِلِص ْيَن َلُه الِّدْيَن ُح ُنَفاَء َو ُيِقْيُم ْو ا الَّصَالَة َو ُيْؤ ُتْو ا الزَّكَاَة َو َذ اِلَك ِد ْيُن ْالَقِّيَم ِة (البينة‬
Artinya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya

2[2] ibid
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus.”
3. Tujuan Ibadah
Para ulama menyimpulkan dari beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadits, bahwa tujuan
beribadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta. Meskipun cara
seorang hamba taqarrub kepada Sang Khaliq terkadang berbeda. Perbedaan ini muncul
karena proses pencariannya yang berbeda. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim a.s. untuk
menunjukan keta'atan dan kepatuhannya kepada Allah, maka Dia mengujinya dengan cara
memerintahkan anaknya yang tercinta Nabi Islamil a.s. untuk disembelih (al-Shaffat, 37:102).
         
           
          
          
            

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku
menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".
         
    
(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya
Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud
kepadaku."

4. Macam-macam Ibadah
Pada dasarnya akhir tujuan beribadah bermuara kepada al-ma'bud yakni Allah SWT.
Namun, para ulama membagi ibadah menjadi dua jenis, yakni :

a. Ibadah mahdlah.
adalah: ibadah khusus berupa perbuatan yang menghubungkan al-aabid dengan al-
ma'bud dengan aturan yang sudah diatur oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah
SAW.Contohnya shalat, zakat, puasa dan ibadah manasik haji.

b. Ibadah ghair mahhdlah.


adalah: ibadah yang tidak diatur secara khusus oleh Allah dan Rasulullah sehingga
berbentuk umum, berupa hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan
lingkungan. Contohnya gotong royong, menolong orang, menjaga lingkungan dan
sebagainya. 3[3]

B. MAQASHID AL-SYARI’AH

1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah


Secara bahasa maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-
Syari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-
Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju
sumber air ini
dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang
membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan
agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan
Allah yang disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak,
maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid
al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia. .4
[4]

2. Tujuan tujuan syariat.

3[3] http://teh-imas.blogspot.com/2012/07/bab-i-prinsip-prinsip-iibadah-dan.html

4[4] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.196
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam. 5[5] Hal senada
juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam
rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hokum Allah yang tidak
mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la
yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).Dalam rangka mewujudkan
kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan
hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan
dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid
al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi
kepada tiga tingkat, ‫ حاجيات مقاص&د‬,‫ الضروريات مقاصد‬dan ‫ مقاص&د التحس&&ينات‬. Pengelompokan ini
didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat
kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling
bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat menempati peringkat pertama disusul
Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat
esensial bagi kehidupan manusia. Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam
eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya saja
menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan
yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah
Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain
mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat
merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat. 6[6] Ketiga level
ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan
dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas masing-masing.
1) Memelihara Agama (‫)حفظ الدين‬

5[5]Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3.

6[6] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), h. 72.
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat:

a. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan


melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti
melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah
eksistensi Agama.
b. Memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama,
dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi
orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak
akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang
yang melakukannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama
guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan
kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar
shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan
Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak
akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang
melakukannya.
2) Memelihara jiwa ( ‫)حفظ النف‬
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
a. memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa
makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan
berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.

b. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu


binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang
lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam
eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c. memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan
dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika,
sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun
mempersulit kehidupan seseorang.
3) Memelihara Aqal (‫) حفظ العقل‬
Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:

a. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman


keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi aqal.
b. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu
pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan
mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan.
c. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari
menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya
dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
4) Memelihara keturunan ( ‫) حفظ النسل‬
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:

a. memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan


dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan
terancam.
b. memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan
menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak
padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan
mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus
talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya,
padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
c. memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau
walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan
perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan,
dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5) Memelihara Harta (‫)حفظ المال‬
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
a. memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara
pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah,
apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
b. memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan
cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta,
melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
c. memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang
menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan
etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah
tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya
peringkat yang kedua dan pertama.7[7]
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum
Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu
agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi
dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan
hidup.

3. Peranan maqasid syariah dalam pengembangan hukum islam

Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab


Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami
redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat
penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-
Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.8[8]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-
metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas,
misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang
merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus
diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama
ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat
memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis

7[7] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h.128 – 131.

8[8] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.237
(‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri
hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang
sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat
atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas
hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat
meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).9[9]

9[9] Sapiudin shidiq,usul fiqih,jakarta:kencana,) hlm 223.


BAB III
ANALISIS PEMAKALAH
a. Studi kasus

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi
problem nasional pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari sebagian warga masyarakat desa
yang taraf hidupnya masih rendah. Sejak orde baru hingga terjadinya krisis multi-
dimensional pada tahun 1998 sampai sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan
yang terjadi di perkotaan maupun di daerah pedesaan.
Pada umumnya orang memakai istilah kemiskinan atau kemelaratan tidak mengetahui
arti yang sesungguhnya. Bahwa sebenarnya istilah miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu
dimana kebutuhan – kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau
kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang dianggap miskin
juga jelas yaitu gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh harian dan sebagainya
Dalam perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang
relatif memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Sejak dari dulu hingga sekarang umat manusia memiliki sikap yang berlainan
terhadap kemiskinan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam bukunya
“ Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan “bahwa ada beberapa sikap terhadap
kemiskinan diantaranya sikap golongan pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis, sikap
pendukung kemurahan individu, sikap kapitalisme dan sikap sosialisme
Agama dalam hal ini menjadi mempunyai arti penting bagi kehidupan umat
beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah
ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan
dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran
dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin
seseorang. Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina
hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.
Sedangkan menurut Murtadlo Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang
sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu
selain agama yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji.
Fenomena munculnya pengemis disini dapat diindikasikan karena himpitan ekonomi
yang disebabkan sempitnya lapangan pekerjaan, sumber daya alam yang kurang
menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM). Menjamurnya jumlah pengemis
di setiap kota di Indonesia, sehingga sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah
melahirkan sebuah persepsi yang kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi
maupun dari sisi Agama Deskripsi singkat diatas menggambarkan betapa masalah
kemiskinan dan meningkatnya pengemis menjadi masalah sosial yang kompleks, lebih dari
sebuah realitas yang selama ini dipahami masyarakat luas. Sehingga, masalah kemiskinan
dan pengemis diperlukan adanya kesadaran, pemahaman yang komprehensif, baik dalam
tataran konseptual, penyusunan kebijakan sampai kepada implementasi kebijakan dalam
mengentaskan kemiskinan tersebut. Kemiskinan merupakan masalah sosial, pengemis serta
gelandangan disini merupakan salah satu korban dari kemiskinan, sehingga mereka dianggap
telah menyimpang dari nilai dan norma-norma yang berlaku. Menurut Parsudi Suparlan
gelandangan dan pengemis dalam hal ini adalah orang sehat dengan kondisi tubuh yang tidak
kurang apapun.8 Parsudi Suparlan juga berpendapat bahwa, gelandangan dan pengemis
sebagai suatu gejala sosial yang terwujud di perkotaan dan telah menjadi suatu masalah sosial
karena beberapa alasan. Pertama, di satu pihak menyangkut kepentingan orang banyak
( warga kota ) yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari, telah
dikotori oleh para pengemis dan dianggap dapat menimbulkan ketidaknyamanan harta benda.
Kedua, menyangkut kepentingan pemerintah kota, di mana gelandangan dan pengemis
dianggap dapat mengotori jalan-jalan protokol, mempersukar pengendalian keamanan dan
mengganggu ketertiban sosial. Sehingga munculnya asumsi bahwa lahirnya orang mengemis
disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun
apakah hanya kondisi kemiskinan seperti itulah yang dimungkinkan munculnya satu
komunitas warga yang berprofesi dengan cara mengemis atau meminta – minta.
Akhir akhir ini banyak sekali orang oarang yang menjadikan meminta mita sebagi
propesi yang sangat mengutungkan baginya dan bahkan mungkin sebagian keci para peminta
di jalan jalan yang memang benar benar karena tuntutan kebutuhan sehari harinya dan sangat
memungkinkan keberagamaan dikalangan pengemis masih kurang. Hal ini terlihat dalam
keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka yang berprofesi menjadi pengemis
tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini menunaikan sholat 5 waktu, hanya
sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban menjalankan ibadahnya.

b. Analisis kasus

Dilihat dari segi taklifinya maka meminta mita merupakan hal yang di perbolehkan
dalam syariat islam selama mahkumbihnya selaraas dengan wad’inya akan.
Akan tetapi berdasarkan dari studi kasus diatas dapat diketahui bahwa pengemis yang
bekerja dengan cara meminta-minta sampai sampai mengagu orang orang yang
mengunanakan jalanan dan ibadah mahdohnya di lupakan merupakan salah satu perbuatan
yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan tidak dianjurkan oleh agama karena meminta
minta dalam rumusan syariat islam merupakan alternatif terakhir dalam memenuhi kebutuhan
hidup untuk mejaga jwa sesuai dengan rumusan maqosid syariah yang ke dua yaitu HIFZUN
NAFS tetapi bukan berarti islam menganjurkan untuk di jadikan sebagi sebuah propesi yang
menguntungkan.

c. Solusi
Bila kemiskinan dan para pengemis ingin teratasi maka jalailah salusi solusi yang di
berikan islam melalui syariatnya dengan sesungguh sunguhnya yaitu di antaranya:
1. Bekerja.
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari
nafkah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

‫ُهَو اَّلِذ ي َجَعَل َلُك ُم اَأْلْر َض َذ ُلواًل َفاْم ُش وا ِفي َم َناِكِبَها َو ُك ُلوا ِم ْن ِر ْز ِقِه ۖ َو ِإَلْيِه الُّنُش وُر‬

”Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.”

2. Mencukupi Keluarga Yang Lemah


Salah satu konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi
kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di balik itu,
juga harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.
Konsep yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan
antar anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan
mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa Jalla
berfirman, yang artinya, : ”...Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab
Allah
3. Zakat
Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang
ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran
utama zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۖ ‫ِإَّنَم ا الَّصَد َقاُت ِلْلُفَقَر اِء َو اْلَم َس اِكيِن َو اْلَع اِمِليَن َع َلْيَها َو اْلُم َؤ َّلَفِة ُقُلوُبُهْم َوِفي الِّر َقاِب َو اْلَغاِر ِم يَن َوِفي َس ِبيِل ِهَّللا َو اْبِن الَّسِبيِل‬
‫َفِر يَض ًة ِم َن ِهَّللا ۗ َو ُهَّللا َع ِليٌم َحِكيٌم‬

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat,
yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan

Sesunguhnya syariat agama dalam hal ini rahmatallilaalamin bagi kehidupan umat

beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah

ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan

dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran

dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin

seseorang. Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina

hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.

Sedangkan menurut Murtadlo Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang

sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu

selain agama yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji.

b. Kritik dan saran

Penulis menyadari sepenuhnya, makalah ini masih banyak kekurangan dan bahkan

menimbulkan banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Oleh karena itu, kritik, saran

dan masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari berbagai kalangan demi

perbaikannya ke depan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca,

terutama bagi mahasiswa IAIN MATARAM. Bagi penulis, semoga mendapat ridho Allah,

sebagai amal sholeh dan menjadi ilmu yang bermanfaat fid al danya wa al akhirat. Amin..
DAFTAR PUSTAKA

Sapiudin shidiq,usul fiqih,Jakarta,kencana,2011.


Rahman Ritonga, Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama, 2002.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta: Amzah, 2009.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi Jakarta: Logos wacana
Ilmu, 1997.
http://teh-imas.blogspot.com/2012/07/bab-i-prinsip-prinsip-iibadah-dan.html
Pengertian Ibadah Dalam Islam

Ketujuh
PENGERTIAN IBADAH DALAM ISLAM[1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

A. Definisi Ibadah
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’
(terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu
antara lain adalah:

Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling
tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla,
baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi
yang paling lengkap.

Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap),
mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah
qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan
lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan
jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.

Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

‫َو َم ا َخ َلْق ُت اْلِج َّن َو اِإْلنَس ِإاَّل ِلَي ْع ُبُدوِن َم ا ُأِر يُد ِم ْن ُهم ِّمن ِّر ْز ٍق َو َم ا ُأِر يُد َأن ُيْط ِعُموِن ِإَّن َهَّللا ُه َو الَّر َّز اُق ُذ و اْلُقَّو ِة اْلَم ِتيُن‬

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku
tidak menghendaki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka
memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai
kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat/51: 56-58]

Allah Azza wa Jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka
melaksanakan ibadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan
ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka barangsiapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa
yang beribadah kepada-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah
mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang
disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

B. Pilar-Pilar Ubudiyyah yang Benar


Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut), raja’
(harapan).

Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’.
Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat hamba-hamba-
Nya yang mukmin:
‫ُيِحُّبُهْم َو ُيِحُّب وَن ُه‬

“Dia mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” [Al-Maa-idah/5: 54]

‫َو اَّلِذيَن آَم ُنوا َأَشُّد ُح ًّب ا ِهَّلِّل‬

“Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cinta-nya kepada Allah.” [Al-Baqarah/2: 165]

‫ِإَّنُهْم َك اُنوا ُيَس اِر ُعوَن ِفي اْلَخ ْي َر اِت َو َي ْد ُع وَنَن ا َر َغًبا َو َر َه ًبا ۖ َو َك اُنوا َلَن ا َخ اِش ِعيَن‬

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan
dan mereka berdo’a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang
yang khusyu’ kepada Kami.” [Al-Anbiya’/21: 90]

Sebagian Salaf berkata[2], “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia
adalah zindiq[3], siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’[4]. Dan
siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy[5]. Barangsiapa yang
beribadah kepada-Nya dengan hubb, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwahhid.”

C. Syarat Diterimanya Ibadah


Ibadah adalah perkara tauqifiyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali
berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah
yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

‫َم ْن َعِمَل َعَم ًال َلْي َس َع َلْيِه َأْم ُر َن ا َفُهَو َر ٌّد‬.

“Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[6]

Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar
kecuali dengan adanya dua syarat:

Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Baca Juga Iman Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan
syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah
yang diada-adakan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َب َلٰى َم ْن َأْس َلَم َو ْج َه ُه ِهَّلِل َو ُه َو ُمْح ِس ٌن َف َلُه َأْج ُرُه ِع نَد َر ِّبِه َو اَل َخ ْو ٌف َع َلْي ِه ْم َو اَل ُه ْم َي ْح َز ُنوَن‬

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati.” [Al-Baqarah/2: 112]
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahua muhsin
(berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya
kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan
bid’ah.”

Sebagaimana Allah berfirman:

‫َفَم ن َك اَن َي ْر ُجو ِلَقاَء َر ِّبِه َف ْلَي ْع َم ْل َعَم اًل َص اِلًح ا َو اَل ُيْش ِر ْك ِبِعَباَدِة َر ِّبِه َأَح ًد ا‬

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaknya ia mengerjakan amal
shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.” [Al-
Kahfi/18: 110]

Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha
illallaah, Muhammad Rasulullah.

Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwasanya
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka
kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat[7].

Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”

Jawabnya adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka,


beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:

‫َف اْع ُبِد َهَّللا ُم ْخ ِلًصا َّلُه الِّد يَن‬

“Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya.” [Az-Zumar/39: 2]

Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’ (memerintah dan melarang). Hak
Tasyri’ adalah hak Allah semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang
diperintahkan-Nya, maka ia telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
Sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama bagi kita[8]. Maka, orang yang membuat tata
cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa
agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri,
maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka
yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan
dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebabkan perbedaan kehendak dan perasaan,
padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah
dan Rasul-Nya.

D. Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan akhir yang dicintai dan diridhai-Nya. Karenanyalah
Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang
melaksanakannya dipuji dan yang enggan melaksanakannya dicela.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َو َق اَل َر ُّبُك ُم اْد ُعوِني َأْس َت ِج ْب َلُك ْم ۚ ِإَّن اَّلِذيَن َي ْس َت ْك ِبُروَن َع ْن ِع َب اَد ِتي َس َي ْد ُخ ُلوَن َج َه َّن َم َد اِخ ِر يَن‬

“Dan Rabb-mu berfirman, ‘Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk Neraka
Jahannam dalam keadaan hina dina.’” [Al-Mu’min/40: 60]

Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak
pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk
berbagai hikmah yang agung, kemashlahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya.
Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Baca Juga Prinsip Dasar Agama Islam

Di antara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan
mengangkatnya ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi.

Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi
segala-galanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manusia secara tabi’at adalah
lemah, fakir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman,
demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan menghadap kepada Allah. Bahkan kebutuhan
ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan
minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya
tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa
tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketenteraman kecuali dengan dzikir dan beribadah
kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagiaan selain dari Allah, maka
kelezatan dan kebahagiaan tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu
sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiaannya.

Adapun bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagiaan yang tidak
akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagiaan yang
hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagiaan abadi hendaklah ia menekuni ibadah
kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan
manusia paling bahagia dan paling lapang dadanya.

Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan
kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagiaan, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan
bila ia meyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah
saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.[9]

Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan
berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika
dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua
itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya
dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap
dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia
berharap dan takut hanya kepada Allah saja.

Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih
keridhaan Allah l, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.

[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1] Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq
Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan
oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid
[2] Lihat al-‘Ubuudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali
‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah 1416 H
[3] Zindiq adalah orang yang munafik, sesat dan mulhid.
[4] Murji’ adalah orang murji’ah, yaitu golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari
iman, iman hanya dalam hati.
[5] Haruriy adalah orang dari golongan khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kufah,
yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
[6] HR. Muslim (no. 1718 (18)) dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits ‘Aisyah Radhiyallahu
anhuma.
[7] Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid (hal.
221-222).
[8] Lihat surat Al-Maa-idah ayat 3
[9] Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hal. 67), oleh Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul
Hamid.
Referensi : https://almanhaj.or.id/2267-pengertian-ibadah-dalam-islam.html
Dalam syariah Islam, pengertian ibadah yang merupakan ketundukan atau ketaatan seorang
hamba secara khusus kepada Allah diklasifikasikan menjadi beberapa macam ibadah.

Di antaranya berdasarkan jenis perbuatan hamba, kualitasnya, keberadaan 'illah di dalamnya,


dan berdasarkan ruang lingkupnya serta berdasarkan hukum syariahnya.

1. Berdasarkan Pelaksanaannya

- Macam ibadah jasmaniah dan rohaniah (jasmani dan rohani). Contohnya: salat dan puasa.

- Macam ibadah rohaniah dan maliyah (rohani dan harta). Contonya: zakat.

- Macam ibadah jasmaniah, rohaniah, dan maliyah (jasmani, rohani, dan harta). Contohnya:
ibadah haji.

2. Berdasarkan Bentuk dan Sifatnya

- Macam ibadah dalam bentuk perkataan/ lisan. Contohnya: zikir, doa, dan baca Al Quran.

- Macam ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya. Contohnya:
membantu atau menolong orang lain.

- Macam ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya. Contohnya:
sholat, puasa, zakat, ibadah haji.

- Macam ibadah yang tata cara dan pelaksanaannya berbentuk menahan diri. Contohnya:
puasa, iktikaf, dan ihram.

- Macam ibadah yang berbentuk menggugurkan hak. Contohnya: memaafkan kesalahan


orang lain dan membebaskan hutang seseorang.

3. Secara Umum

Konsep ibadah dibagi menjadi dua, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah atau sering
disebut muamalah.

- Ibadah mahdhah adalah macam ibadah yang telah ditentukan dan menjadi syariat bagi umat
Islam. Dalam kata lain, ibadah mahdhah adalah hubungan manusia dengan Tuhan atau
hubungan secara vertikal. Ibadah sholat, zakat, puasa, dan haji dinamakan ibadah mahdhah.

- Ibadah ghairu mahdhah atau umum atau muamalah, merupakan segala perbuatan yang
mendatangkan kebaikan dan dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Ibadah ini
dilakukan antar sesama manusia atau hubungan horizontal.

Ibadah ghairu mahdhah contohnya silaturahmi, menjenguk orang sakit, sedekah, mencari
ilmu, bekerja, membangun masjid, menolong orang, dan perbuatan baik lainnya.
Dalam ajaran Islam, ada jenis ibadah yang paling utama di mata Allah SWT. Rasulullah
SAW menjelaskan ibadah ini dalam hadits yang diceritakan sahabatnya Abdullah Ibnu
Mas'ud RA. Ini hadisnya:

Artinya: "Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , 'Amalan apakah yang
paling dicintai Allah?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Shalat pada
waktunya." Aku (Abdullah bin Mas'ud) mengatakan, 'Kemudian apa lagi?' Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Berbakti kepada dua orang tua." Aku bertanya
lagi, 'Lalu apa lagi?' Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Jihad di jalan Allâh."
(HR Bukhari).

Pentingnya sholat tepat waktu kembali ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya, yang
diceritakan Anas bin Malik RA. Hadits ini dikutip dari buku Yang Disenangi Nabi SAW dan
yang Tak Disukai karya Adnan Tharsyah. Berikut hadisnya:

Artinya: "Telah dijadikan bumi untukku sebagai tempat bersujud dan bersuci. Maka
barangsiapa dari umatku yang mengetahui datangnya waktu sholat, hendaklah dia segera
sholat." (HR Bukhari).

Apa saja syarat diterimanya sebuah ibadah?

Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan
ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya.

Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut
wajibnya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-
ibadah yang diada-adakan. Seperti sabda Allah SWT dalam surat Al Baqarah 2:112, yaitu:

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. [Al-Baqarah/2: 112]
Ibadah secara bahasa adalah ithaa’ah atau ketaatan, sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah
adalah kerendahan hati dan rasa cinta kepada Allah SWT yang timbul dari hati seorang
hamba, sedangkan menurut syekh Yusuf Al-Qardhawi segala hal apapun itu dalam kehidupan
manusia jika didasari dengan niat kebaikan maka akan termasuk sebagai bagian daripada
ibadah.

Adapun sholat, dzikir, puasa dan menunaikan ibadah haji merupakan ritual peribadahan yang
mengantarkan manusia pada pemahaman terhadap kesempurnaan akan hakikat yang kita
lakukan. Dan setiap dari amalan tidak akan terbuang sia-sia dan pasti akan dihisab. Tidak ada
satupun amalan yang tidak di hisab dan dibalas dengan kebaikan nanti di hari pembalasan.

Islam menjawab pertanyaan hati yang bertanya siapa saya ? kemana tujuan perjalanan hidup
ini akan pergi ? dan mengapa di ciptakan sebagai manusia ?.Dibalik setiap penciptaan
seorang makhluk akan muncul dampak – dampak penciptaan, yaitu : Melahirkan pengetahuan
hakikat ilmu, pendidikan, keilmuan-keilmuan, yang berdampak langsung dalam kehidupan
sosial .

baca juga Pengertian Ibadah Dalam Islam

Aspek sosial bisa jadi termasuk dengan aspek ritual yang melibatkan ibadah

‫حب من هللا حب من النااس‬

Adapun makna sempit daripada ibadah adalah Tazkiyatun nafs atau mensucikan diri, dan
beribadah semaunya sendiri, itu adalah termasuk dari kurangnya pengaruh konsep ibadah
pada sosial yang tumbuh pada diri seorang hamba sedangkan manusia diciptakan untuk
beribadah yang aharus menghasilkan pengaruh kebaikan pada masyarakat social.

‫َو َم ا َخ َلْقُت اْلِج َّن َو اِإْل ْنَس ِإاَّل ِلَيْعُبُدوِن‬

Untuk mencapai tingkatan kekhuyusukan dalam beramal ,haruslah seorang hamba merasakan
rasa cinta kepada sang pencipta yang telah melimpahkan nikmatnya,takut terhadap azab yang
telah disiapkannya bagi orang yang melanggar dan berbuat maksiat ataupun dosa serta
berharap sepenuhnya kepada Allah SWT, maka kita akan mencapai tingkatan makrifat.

‫اَّلِذ يَن َيُظُّنوَن َأَّنُهْم ُم اَل ُقو َر ِّبِه ْم َو َأَّنُهْم ِإَلْيِه َر اِج ُعوَن‬

“Yaitu mereka yang yakin bertemu dengan tuhannya dan sesungguhnya mereka akan kembali
kepada-Nya (Al-Baqoroh “46).”

Referensi :

1.Syekh Yusuf Al-Qardhowi, al-ibadah fil islam.


2.M.Kholid Muslih et.al, Worldview islam
3.Prof.Dr. Nasaruddin Umar, Salat Sufistik.

Oleh : Latifah Ainul Qolbi


Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam Semeter 2
Oleh Hatib Rachmawan, S.Pd., S.Th.I.

A. Pengertian Fiqih Ibadah

Secara bahasa kata fiqih dapat diartikan al-Ilm, artinya ilmu, dan al-fahm, artinya
pemahaman. Jadi fiqih dapat diartikan ilmu yang mendalam.

Secara istilah fiqih adalah ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar’i yang
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukalaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Mukalaf adalah orang yang layak dibebani dengan kewajiban. Seorang dianggap
mukalaf setidaknya ada dua ukuran; pertama, aqil, maksudnya berakal. Cirinya adalah
seseorang sudah dapat membedakan antara baik dan buruk, dan antara benar dan salah.
Kedua, baligh, maksudnya sudah sampai pada ukuran-ukuran biologis. Untuk laki-laki sudah
pernah ikhtilam (mimpi basah), sedangkan perempuan sudah haid.

Sementara itu ibadah secara bahasa ada tiga makna; (1) ta’at (‫( ;)الطاعة‬2) tunduk (‫( ;)الخضوع‬3)
hina ( ‫ ;)الذّل‬dan (‫ )التنّسك‬pengabdian. Jadi ibadah itu merupakan bentuk ketaatan, ketundukan,
dan pengabdian kepada Allah.

Adapun pendapat lain mengenai ibadah adalah:

‫التقرب ألى هللا بامتثال أوامره واجتنا ب نواهيه والعمل بما أذن به الشا رع وهي عامة وخاصة‬

Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya


dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Juga yang dikatakan ibadah adalah beramal dengan
yang diizinkan oleh Syari’ Allah Swt.; karena itu ibadah itu mengandung arti umum dan arti
khusus.

Ibadah dalam arti umum adalah segala perbuatan orang Islam yang halal yang dilaksanakan
dengan niat ibadah. Sedangkan ibadah dalam arti yang khusus adalah perbuatan ibadah yang
dilaksanakan dengan tata cara yang telah ditetapkan oleh Rasulullah Saw. Ibadah dalam arti
yang khusus ini meliputi Thaharah, Shalat, Zakat, Shaum, Hajji, Kurban, Aqiqah Nadzar dan
Kifarat.

Dari dua pengertian tersebut jika digabungkan, maka Fiqih Ibadah adalah ilmu yang
menerangkan tentang dasar-dasar hukum-hukum syar’i khususnya dalam ibadah khas seperti
meliputi thaharah, shalat, zakat, shaum, hajji, kurban, aqiqah dan sebagainya yang
kesemuanya itu ditujukan sebagai rasa bentuk ketundukan dan harapan untuk mecapai ridla
Allah.

B. Pengertian Syari’at

Pengertian lain yang mirip dengan fiqih adalah syari’at. Secara bahasa syari’ah artinya jalan
(thariqah). Secara istilah adalah segala bentuk hukum baik perintah dan larangan yang
terdapat dalam Islam, yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadi, secara
praktis antara fiqih dan syari’at tidak jauh berbeda. Perbedaannya fiqih jauh lebih teoritik,
sementara syariat lebih praktis.
Tujuan diciptakannya syari’at di dalam Islam adalah untuk;

1. Memelihara agama (hifzud din)


2. Meliharaan jiwa (hifzun nufus)
3. Memelihara akal (hifzul aql)
4. Memelihara keturunan (hifzun nasl)
5. Memelihara harta (hifzul mal)
6. Memelihara kehormatan (hifzul irdh)
7. Mmelihara lingkungan (hifzul bi’ah)

Tujuh kriteria tersebut dapat dijadikan ukuran apakah syariat (hukum) yang diterapkan itu
benar atau tidak. Jika hukum yang dikerjakan ternyata menabrak dari salah satu kriteria
tersebut, maka keberadaan hukum tersebut perlu ditinjau kembali.

1. C. Dasar Fiqih Ibadah

Dasar ilmu Fiqih Ibadah adalah yakni al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. As-Sunnah Al-
Maqbulah artinya sunnah yang dapat diterima. Dalam kajian hadis sunnah al-Maqbulah
dibagi menjadi dua, Hadis Shahih dan Hadis Hasan. Hal ini disandarkan pada hadis berikut;

‫َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َقاَل َتَر ْكُت ِفيُك ْم َأْمَر ْيِن َلْن َتِض ُّلوا َم ا َتَم َّس ْكُتْم ِبِهَم ا ِكَتاَب ِهَّللا َو ُس َّنَة َنِبِّيِه‬

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Aku meninggalkan untukmu dua perkara, kamu tidak
akan tersesat jika berpegang pada keduanya, yakni: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunah
Nabi.

D. Prinsip Ibadah

Adapun prinsip melaksanakan Ibadah sebagai berikut:

1. Niat lillahi ta’ala (Al-Fatihah/1:5)

( ‫) ِإَّياَك َنْعُبُد َو ِإَّياَك َنْس َتِع يُن‬٤( ‫) َم اِلِك َيْو ِم الِّديِن‬٣( ‫) الَّرْح َمِن الَّر ِح يِم‬٢( ‫) اْلَحْم ُد ِهَّلِل َر ِّب اْلَع اَلِم يَن‬١( ‫ِبْس ِم ِهَّللا الَّرْح َمِن الَّر ِح يِم‬

1. dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 2. segala
puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam. 3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. 4. yang
menguasai di hari Pembalasan. 5. hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah Kami meminta pertolongan.

2. Ikhlas (Al-Bayinah/98:5)

‫َو َم ا ُأِم ُروا ِإال ِلَيْعُبُدوا َهَّللا ُم ْخ ِلِص يَن َلُه الِّد يَن ُحَنَفاَء َو ُيِقيُم وا الَّصالَة َو ُيْؤ ُتوا الَّز َكاَة َو َذ ِلَك ِد يُن اْلَقِّيَم ِة‬

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
(ikhlas) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

3. Tidak menggunakan perantara (washilah) (Al-Baqarah/2: 186)


‫َو ِإَذ ا َس َأَلَك ِع َباِد ي َع ِّني َفِإِّني َقِريٌب ُأِج يُب َد ْع َو َة الَّد اِع ِإَذ ا َدَعاِن َفْلَيْسَتِج يُبوا ِلي َو ْلُيْؤ ِم ُنوا ِبي َلَع َّلُهْم َيْر ُش ُد وَن‬

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah),


bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia
memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

4. Dilakukan sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan sunnah

5. Seimbang antara dunia akherat (Al-Qashash/28:77)

‫َو اْبَتِغ ِفيَم ا آَتاَك ُهَّللا الَّد اَر اآلِخَر َة َو ال َتْنَس َنِص يَبَك ِم َن الُّد ْنَيا َو َأْح ِس ْن َك َم ا َأْح َس َن ُهَّللا ِإَلْي َك َو ال َتْب ِغ اْلَفَس اَد ِفي األْر ِض ِإَّن َهَّللا ال‬
‫ُيِح ُّب اْلُم ْفِسِد يَن‬

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.

6. Tidak berlebih-lebihan (Al-A’raf/7:31)

‫َيا َبِني آَد َم ُخ ُذ وا ِزيَنَتُك ْم ِع ْنَد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َو ال ُتْس ِرُفوا ِإَّنُه ال ُيِح ُّب اْلُم ْس ِرِفيَن‬

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid[534], Makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan[535]. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.

7. Mudah (bukan meremehkan) dan Meringankan Bukan Mempersulit (Al-


Baqarah/2:286)

‫ال ُيَك ِّلُف ُهَّللا َنْفًسا ِإال ُو ْس َعَها َلَها َم ا َك َسَبْت َو َع َلْيَها َم ا اْك َتَسَبْت َر َّبَنا ال ُتَؤاِخ ْذ َنا ِإْن َنِس يَنا َأْو َأْخ َطْأَنا َر َّبَنا َو ال َتْح ِم ْل َع َلْيَن ا ِإْص ًرا‬
‫َك َم ا َح َم ْلَتُه َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلَنا َر َّبَنا َو ال ُتَحِّم ْلَنا َم ا ال َطاَقَة َلَنا ِبِه َو اْع ُف َع َّن ا َو اْغ ِف ْر َلَن ا َو اْر َحْم َن ا َأْنَت َم ْو الَن ا َفاْنُص ْر َنا َع َلى‬
‫اْلَقْو ِم اْلَك اِفِر يَن‬

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat


pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (mereka berdoa): “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika
Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami
memikulnya. beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah
penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir.”

File bisa anda Download di sini

(Penulis adalah Anggota Majelis Tarjih PWM DIY (2011-2012), Anggota MPK PP.
Muhamamdiyah (2011-2015), bekerja sebagai dosen Studi Islam di Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta).
Tags: FIQIH IBADAH DAN PRINSIP IBADAH DALAM ISLAM, islam, khatib,
muhammadiyah, prindip, uad

Anda mungkin juga menyukai