Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita sering mengenal seseorang dengan citra dirinya. Ketika kita berbicara tentang
kerakusan kita teringat pada Karun, dan kta membicarakan tentang kultus individu dan
pendewaan kita teringat pada Fir’aun. Begitulah seterusnya, citra diri adalah kepribadian.
Kepribadian seorang muslim adalah sifat tertentu dengan ciri yang membedakannya
dengan non muslim. Kepribadian seorang muslim terbentuk dari interaksi antara pembawaan
dan lingkungan, serta bimbingan wahyu yang terdapat dalam Alqur’an dan Hadist.
Kepribadian yang terbimbing oleh wahyu pastilah kepribadian yang kuat dan tahan uji, yang
akan mampu mendatangkan kebahagiaan. Agar kepribadian islami terbentuk pada diri
seseorang, islam memberikan ajaran yang disebut; ikhsan, ikhlas, tawakal, sabar dan
mahabbah. Ihsan merupakan sikap mental yang timbul dari kesadaran bahwa Allah akan terus
mengawasi perbuatan hamba-hambaNya.
Ikhlas adalah sikap memelihara niat suci, batin yang bersih, lurus hati dalam
bertindak, tidak berlaku pamer, berpura-pura dan mengharapkan pamrih. Ikhlas adalah hanya
mengharapkan ridha Allah. Ikhlas bisa membuat seorang muslim tidak mudah tergoda oleh
apapun, sebaliknya ikhlas memperkukuh pertahanan dan ketahanan uji seseorang.
Tawakal identik dengan sikap berserah diri setelah melakukan upaya yang optimal.
Tawakal mendorong seorang muslim untuk terus berupaya dan mempercayakan hasil akhir
upayanya semata-mata hanya kepada Allah SWT. Sabar menunjukan sikap mental yang tidak
suka mengeluh ketika ditimpa bencana dan kesulitan. Dengan mengembangkan sikap sabar,
seorang muslim sanggup menghadapi ujian apapun dalam melaksanakan bakti dan
perjuangan.
Mahabbah adalah cinta kepada sang Pencipta. Dengan menyadari kemuliaan,
kesempurnaan, kemahakuasaan dan kasih sayangNya, terjelmalah hati sanubari seorang
muslim. Dengan memiliki mahabbah, seorang muslim akan menunjukan kesetiaan dalam
menjalankan bakti perjuangan, sekalipun untuk itu ia memberikan pengorbanan.
Manusia diciptakan bukan sekedar hidup mendiami dunia ini dan kemudian
mengalami kematian tanpa adanya pertanggung-jawaban kepada penciptanya, melainkan
manusia itu diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdi kepada-Nya. Sebagaimana
dinyatakan dalam Al Qur’an surah Al Bayyinah ayat 5 :
‫صينََ لَ َهُ الدِينََ ُحنَفَاء َويُ ِقي ُموا‬ ِ ‫ّللا ُم ْخ ِل‬ ََ ‫َو َما أ ُ ِم ُروا ِإ‬
َََ ‫ّل ِل َي ْعبُدُوا‬
‫ِين ْالقَ ِي َم َِة‬
َُ ‫ك د‬ ََ ‫الز َكاَة َ َو َذ ِل‬
َ ‫ص ََلَةَ َويُؤْ تُوا‬ َ ‫ال‬
Artinya : "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.

Dapat kita pahami dari ayat ini bahwa manusia diciptakan bukan sekedar sebagai
unsur pelengkap isi alam saja yang hidupnya tanpa tujuan, tugas dan tanggung-jawab.
Sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna, pada hakikatnya manusia diperintahkan
untuk mengabdi kepada penciptanya, Allah SWT.
Pada prinsipnya pengabdian manusia (ibadah) merupakan sari dari ajaran Islam yang
mempunyai arti penyerahan diri secara total pada kehendak Allah SWT. Dengan demikian,
hal ini akan mewujudkan suatu sikap dan perbuatan dalam bentuk ibadah. Apabila ini dapat
dicapai sebagai nilai dalam sikap dan perilaku manusia, maka akan lahir suatu keyakinan
untuk tetap mengabdikan diri kepada Allah SWT dan tentunya bila keyakinan itu kemudian
diwujudkan dalam bentuk amal keseharian akan menjadikan maslahah dalam kehidupan
sosial.
Sering kita dengar dari kalangan Muslim, orang yang mempertentangkan antara
kesalehan individual dan kesalehan sosial. Mereka memisahkan secara dikotomis antara dua
bentuk kesalehan ini. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan:
“kesalehan individual/ ritual” dan “kesalehan sosial”. Dalam kenyataannya, kita juga melihat
masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.
Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW
mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari,
tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di
neraka.” Kata nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum
cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.
Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang
lain di depan Nabi. Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?" tanya Nabi. Sahabat
itu menjawab, "Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap
saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa." "Lho, lalu siapa yang memberinya
makan dan minum?" tanya Nabi lagi. "Kakaknya," sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi,
"Kakaknya itulah yang layak disebut saleh." Sahabat itu diam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ibadah

Kata Ibadah (‫ ) ِعبَادَة‬adalah berasal dari bahasa arab:- ُ‫ع ْب َد ُ ِعبَا َد ْة‬
َ ُ -‫ يَ ْعبُ ُُد‬yang secara etimologi
berarti; tunduk, patuh, merendahkan diri, dan hina, artinya menurut Yusuf Qarḑawy tunduk,
patuh dan merendahkan diri dihadapan yang Maha Kuasa[1] . Dengan demikian pemakaian
bahasa arab "‫ " ِعبَادَة‬itu lebih ditunjukan kepada Allah, sementara"‫عبْد‬
َ " lebih ditujukan
kepada selain Allah. Identik dengan pengertian Ibadah tersebut Hasbi As-Shiddiqi
mengartikan Ibadah itu dengan: ța’at, menurut, mengikut, tunduk dan juga berarti do’a[2].

Secara terminology para ahli mendefinisikan arti Ibadah ini, dengan melihat dari berbagai
disiplin ilmunya masing-masing[3]; Olehkarenanya maka rumusan-rumusan arti ibadah dapat
dikemukakan sebagai berikut:
Menurut Ahli Tauhid, dan Hadiś Ibadah adalah:

ُ‫غايةَُالت َّ ْع ِظي ِْمُ َم َُعُالتَّ َدلُّ ِلُوال ُخض ُْوعُِلَ ُه‬


َ ُُ‫توحيدُُهللاُوتَ ْع ِظ ْي ُمه‬
ْ

Artinya: Meng-Esakan dan mengagungkan Allah dengan sepenuhnya (menta’zimkannya),


serta menghinakan diri dan menundukan jiwa kepadan-Nya.

Firman Allah dalam Q.S. 4. An-Nisa’: 36 “Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.

Nabi s.a.w bersabda:


ُ‫عأُُ ُم ُّخُا ْل ِعبَا َد ِة‬
َ ُُّ‫ُ الَد‬
Artinya: Do’a itu otaknya Ibadah.

Menurut Ikrimah, salah seorang ahli hadiś mengatakan bahwa, Ibadah itu sama artinya
dengan Tauhid. Lebih tegas lagi Ikrimah mengatakan, bahwa “segala lafaz Ibadah dalam Al-
qur’an diartikan dengan tauhid”
Ulama Akhlak mengartikan Ibadah itu dengan definisi:
‫ُوا ْل ِقيَا ُمُ ِبالش َّرائِ ُِع‬
َ ‫ع ِةُا ْلبَ َدنِيَّ ِة‬
َ ‫ا َ ْل َع َملُُ ِبال ًطا‬

Artinya: Mengerjakan segala bentuk ketaatan badaniyah dan menyelenggarakan segala


syari’atnya (Hukum).
Menyimak definisi di atas, pengertian ini termasuk yang diwajibkan atas pribadi seseorang,
baik yang berhubungan dengan diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat secara keseluruhan
(kelompok atau masyarakat sosial); Termasuk juga dalam pengertian Ibadah ini sebagaimana
sabda Nabi s.a.w:

‫ُرواهُالسيوطي‬.ٌُ‫لىُوا ِل َد ْي ِهُ ُحبًّالَ ُه َماُ ِع َبا َدة‬ َّ ‫قالُالنبيُصلىُهللاُعليهُوسلمُن ْظ ُر‬


َ ‫ُالر ُج ِلُ ِإ‬

Artinya: “Memandang ibu Bapak (kedua orangtua) karena cinta kita kepada mereka berdua,
adalah Ibadah.”

Hadiś Nabi s.a.w yang diriwayatkan oleh As-Suyuthi:

ِ ٌ‫سعَة‬
ِ َ‫ُم ْنهَاُ ِفىُ َطل‬
‫ُرواهُالسيوُطي‬.ُ‫بُا ْل َحالَ ِل‬ ْ ِ‫عش َْرةُُأَجْ َزاءٍ ُت‬
َ ُُ‫قالُالنبيُصلىُهللاُعليهُوسلمُا َ ْل ِعبَا َدة‬

Artinya: Ibadah itu sepuluh bagian, sembilan bagian dari padanya terletak dalam mencari
harta yang halal.
Ulama Tasawuf mendefinisikan Ibadah ini dengan membaginya kepada tiga bentuk sebagai
berikut:
Pertama; Ibadah kepada Allah karena sangat mengharap pahalanya atau karena takut akan
siksanya. Kedua; Ibadah kepada Allah karena memandang bahwa ibadah itu merupakan
perbuatan mulia, dan dilakukan oleh orang yang mulia jiwanya; Ketiga; Ibadah kepada Allah
karena memandang bahwa Allah berhak disembah, tanpa memperhatikan apa yang akan
diterima atau yang akan diperoleh.

Menurut Ahli Fiqh (Fuqahȃ’) ibadah adalah:

ُ‫ىُاآلخ َر ِة‬
ِ ِ‫َماُأ َّديْتُ ُإِبتغا ًءُ ِل َوجْ ِهُهللاُِوطلَبًاُ ِلثَ َوابِ ِهُف‬
Bertolak dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat ditarik
rumusan arti ibadah secara umum sebagai berikut:

Artinya: Segala bentuk ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keriḑaan Allah dan
mengharap pahala-Nya di akhirat.

ُ‫اُكانُأو َخ ِفيًّاُتَ ْع ِظُْي ًماُلهُُوطلًُباُ ِلثَ َوا ِب ِه‬


ْ ‫َام ٌعُ ِل َماُ ُي ِحبُّهُُهللاُُويَ ْرضَا ُهُقَ ْوالًُكَانَ ُأ َ ْوُفِ ْعالًُ َج ِل ًّي‬ ْ ِ‫ا ْل ِعبَا َدةُُ ِه َيُا‬
ِ ‫س ٌمُج‬

Artinya: Ibadah itu nama yang mencakup segala perbuatan yang disukai dan diriḑai Allah,
baik berupa perkataan dan perbuatan, baik terang-terangan maupun yang tersembunyi, dalam
rangka mengagungkan-Nya dan mengharapkan imbalan (pahala) dari-Nya.

Rumusan pengertian Ibadah secara umum tersebut, mencakup segala bentuk hukum, baik
yang dapat dipahami maknanya maupun tidak dapat dipahami maknanya seperti țaharah,
şalat, baik yang berhubungan dengan badan seperti ruku’, maupun yang berhubungan dengan
lidah seperti żikir, bahkan yang berhubungan dengan hati seperti niat.

B. Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah

Membicarakan ruang lingkup ibadah, tentunya tidak dapat melepaskan diri dari pemahaman
terhadap pengertian ruang lingkup itu sendiri. Olehsebab itu menurut Ibnu Taimiyah (661-
728.H/1262-1327.M) yang dikemukakan oleh Ritonga[4] , bahwa ruang lingkup ibadah
mencakup semua bentuk cinta dan kerelaan kepada Allah, baik dalam perkataan maupun
perbuatan, lahir maupun batin; Termasuk dalam pengertian ini adalah şalat, zakat, haji, benar
dalam pembicaraan, menjalankan amanah, berbuat baik kepada orangtua, menjalin
silaturrahmi, memenuhi janji, amar ma’ruf nahi munkar, jihad terhadap orang kafir, berbuat
baik pada tetangga, anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil, berdo’a, zikir, baca Al-qur’an, rela
menerima ketentuan Allah dan lain sebagainya.

Ruang lingkup ibadah yang dikemukakan Ibnu Taimiyah di atas, cakupannya sangat luas,
bahkan menurut Taimiyah semua ajaran agama itu termasuk ibadah; Hanya saja bila
dikelasifikasikan dapat dikelompokan kepada:
Pertama; Kewajiban-kewajiban atau rukun-rukun syari’at seperti: şalat, puasa, zakat dan Haji.
Kedua; yang berhubungan dengan (tambahan dari) kewajiban di atas dalam bentuk ibadah-
ibadah sunnat, seperti: żikir, membaca al-qur’an, do’a dan istighfar; Ketiga; semua bentuk
hubungan social yang baik serta pemenuhan hak-hak manusia, seperti: berbuat baik kepada
orangtua, menjalin silaturrahmi, menyantuni anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil. Keempat;
Akhlak insaniyah (bersifat kemanusiaan), seperti benar dalam berbicara, menjalankan
amanah dan menepati janji. Kelima; Akhlak rabbaniyah (bersifat ketuhanan), seperti
mencintai Allah dan rasul-Nya, takut kepada Allah, ikhlas dan sabar terhadap hukum-Nya.
Kelima kelompok tersebut dapat dikelasifikasikan secara lebih khusus yaitu ibadah umum
dan ibadah khusus; Ibadah umum mempunyai cakupan yang sangat luas, yaitu meliputi
segala amal kebajikan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan sulit untuk mengemukakan
sistematikanya; Akantetapi ibadah khusus ditentukan oleh syara’ (naş) tentang bentuk dan
caranya.
Secara garis besar sistematika ibadah ini sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhayli sebagai
berikut [5]:
1. Țaharah
2. Ṣalat
3. Penyelenggaraan jenazah
4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umrah
7. I’tikȃf
8. Sumpah dan Kaffȃrah
9. Nażar
10. Qurban dan Aqiqah
Kaitan dengan sistematika ibadah tersebut, buku ini akan membagi pembahasan itu kepada:
1. Ibadah
2. Țaharah (Wuḑu’, Mandi dan Tayamum)
3. Ṣalat
4. Puasa
5. Janazah
6. Zakat
7. Haji dan Umrah
8. Udhiyah
9. Aqiqah
10. Sembelihan
11. Buruan
----------------------------------------
Catatan kaki :
[1]. Yusuf Al-Qarḑawy, Al-Ibadah fie al-Islam, Muassasah al-Risalah, cet.6, Beirut, 1979,
h. 27.
[2]. Hasbi As-Ṣiddiqie, Kuliah Ibadah, cet. V, Bulan Bintang, Jakarta, 1985, h. 01
[3]. Ibid, h. 1-6
[4]. A. Rahman Ritonga, dkk, Fiqh Ibadah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997, h. 06
[5]. Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu al-Islamy waadillatuhu,I, Daar Al-Fikr, 1989, h. 11

Anda mungkin juga menyukai