Anda di halaman 1dari 4

PENGERTIAN, RUANG LINGKUP FIQH IBADAH DAN MU’AMALAH

A. PENGERTIAN FIQH

I. Kata fiqih ( ‫ ) قف ه‬secara bahasa terdapat dua makna.


1. Makna pertama adalah al fahmu al mujarrad (‫)الفهم المجرد‬, yang artinya adalah mengerti secara
langsung atau sekedar mengerti saja. (Muhammad bin Mandhur, Lisanul Arab, madah: fiqih Al
Mishbah Al Munir)
disebutkan di dalam ayat Al Quran Al Karim, ketika Allah menceritakan kisah kaum NabiSyu’aib
‘Alaihis Salam yang tidak mengerti ucapannya.
Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.’” (QS.
Hud: 91)
Di ayat lain juga Allah Swt berfirman menceritakan tentang orang-orang munafik yang tidak
memahami pembicaraan.
“Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik)
hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (QS. An Nisa: 78)
2. makna yang kedua adalah al fahmu ad daqiq (‫)الفهم الدقيق‬, yang artinya adalah mengerti atau memahami
secara mendalam dan lebih luas.
bisa temukan di dalam Al Quran Al Karim pada ayat berikut ini:

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya.” (QS At Taubah: 122)

Sabda Rasulullah Saw: “Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang,
merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
II. Menurut istilah, fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan
dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).

Orang yang mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-orang yang
mendalami fiqh.

III. Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’ yang menjadi sifat bagi
perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
IV. Imam Syafii memberikan definisi yang komprehensif, “Al ‘ilmu bi al ahkaam al syar’iyyah al
‘amaliyyah al muktasabah min adillatiha al tafshiliyyah” Yakni mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah yang didapatkan dari dalil-dalil yang terperinci. ‘al ilm’ pada definisi ini bermakna
pengetahuan secara mutlak yang didapatkan secara yakin atau dzanni.

B. PENGERTIAN IBADAH

Kata “Ibadah” menurut bahasa berarti “taat, tunduk, merendahkan diri dan menghambakan diri”

(Basyir, 1984:12). Adapun kata “Ibadah” menurut istilah berarti penghambaan diri yang sepenuh-penuhnya

untuk mencapai keridhoan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat” (Ash-Shiddiqy, 1954:4).1

Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukkan atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan Yang

Maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk kegiatan manusia di dunia ini, yang dilakukan dengan niat

mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah. Jadi, semua tindakan mukmin yang dilandasi oleh niat tulus

untuk mencapai ridha Allah dipandang sebagai ibadah. Makna inilah yang terkandung dalam firman Allah :

‫د‬Tُ‫ ْعب‬T‫س ا َّل ِل َي‬ ‫ ْق ت ال وْا‬Tَ‫و ما َخل‬


.‫ْو ِن‬ ‫ِج َّن َِّل ْن‬
Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia melainkan untu mengabdi kepada-Ku, (al-Dzariyat [51]: 56)

a. Hakikat Ibadah

Hakikat ibadah itu antara lain firman Allah yang berbunyi:

Artinya: “Wahai para manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dan telah
menjadikan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah (2) ;21).

Adapun hakikat ibadah yaitu :

a. Ibadah adalah tujuan hidup kita.


b. Melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai dengan penuh ketundukkan dan perendahan diri kepada
Allah SWT.
c. Ibadah akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah Allah dan meniggalkan larangan-Nya.
d. Cinta, maksudnya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengandung makna mendahulukan kehendak
Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya : mengikuti sunnah Rasulullah saw.
e. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang dicintai Allah).
f. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk
melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.

b. Ruang Lingkup dan Sistematika Ibadah

Ruang lingkup ibadah pada dasarnya digolongkan menjadi dua, yaitu:

1. Ibadah Umum, artinya ibadah yang mencakup segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhoan
Allah. Unsur terpenting agar dalam melaksanakan segala aktivitas kehidupan di dunia ini agar benar-benar
bernilai ibadah adalah “niat” yang ikhlas untuk memenuhi tuntutan agama dengan menempuh jalan yang
halal dan menjauhi jalan yang haram.
2. Ibadah Khusus, artinya ibadah yang macam dan cara pelaksanaannya ditentukan dalam syara’ (ditentukan
oleh Allah dan Nabi Muhammad SAW). ibadah khusus ini bersifat tetap dan mutlak, manusia tinggal
melaksanakan sesuai dengan peraturan dan yuntutan yang ada, tidak boleh mengybah, menambah, dan
mengurangi, seperti tuntutan bersuci (wudhu), salat, puasa ramadhan, ketentuan nisab zakat.
Secara garis besar sistematika ibadah ini sebagaimana dikemukakan Wahbah Zuhayli, sebagai berikut ;

1. Taharah
2. Shalat
3. Penyelenggaraan jenazah
4. Zakat
5. Puasa
6. Haji dan Umroh
7. I’tikaf
8. Sumpah dan Kaffarah
9. Nazar
10. Qurban dan Aqiqah

c. Hubungan Ibadah dengan Iman

Sejatinya, ketundukan dan kepatuhan manusia di hadapan Tuhannya dengan melakukan berbagai

bentuk ibadah merupakan manifestasi iman yang bersifat abstrak ke dalam perbuatan yang konkret,

ketundukan dan kepatuhan yang tidak dilandasi keimanan, seperti ketundukan seseorang kepada

pemimpinnya, tidak termasuk ibadah. Begitu pula kekaguman dan pengabdian seseorang kepada kekasihnya. ,

iman yang bersifat abstrak belum sempurna sebelum direalisasikan dalam bentuk amal nyata, yakni ibadah.
Karena itulah Al-Qur’an selalu menggandengkan kata iman dengan amal shaleh, karena iman tidak

sempurna tanpa amal shaleh. Rasulullah saw. sendiri selalu menegaskan realisasi iman dengan amal shaleh.

Misalnya beliau bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya.” (HR

Bukhari dan Muslim). Ia juga bersabda, “Tidak (sempurna) iman salah seorang kalian hingga ia mencintai

saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, ibadah

merupakan institusi iman. Karena tidak terlihat, keimanan seseorang tak dapat diukur dan diperkirakan.

Namun, kita dapat melihat realitas imannya dari ibadah yang dilakukannya.

d. Tujuan Ibadah

Dalam buku Murtadha Muthahhari, Energi Ibadah, (Jakarta: Serambi, 2007). Hal. 16-17.

Ada lima tujuan yang dicapai melalui pelaksanaan ibadah:2

1. Memuji Allah dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya yang mutlak, seperti ilmu, kekuasaan, dan kehendak-
Nya. Artinya, kesempurnaan sifat-sifat Allah tak terbatas, tak terikat syarat, dan meniscayakan-Nya tanpa
membutuhkan yang lain.
2. Menyucikan Allah dari segala cela dan kekurangan, seperti kemungkinan untuk binasa, terbatas, bodoh,
lemah, kikir, semena-mena, dan sifat-sifat tercela lainnya,
3. Bersyukur kepada Allah sebagai sumber segala kebaikan yang kita dapatkan berasal dari-Nya, sedangkan
segala sesuatu selain kebaikan hanyalah perantara yang Dia ciptakan.
4. Menyerahkan diri secara tulus kepada Allah dan menaati-Nya secara mutlak. Mengakui bahwa Dialah
yang layak ditaati dan dijadikan tempat berserah diri. Dialah yang yang berhak memerintah dan melarang
kita, karena Dialah Tuhan kita.
Kita semua wajib taat dan menyerahkan diri kepada-Nya, sebab kita adalah hamba-Nya.
5. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam masalah apapun yang kami sebutkan di atas, dialah satu-satunya yang
Mahasempura. Dialah satu-satunya yang Mahasuci dari segala cela dan kekurangan. Dan dialah satu-
satunya pemberi nikmat yang sebenarnya, serta pencipta segala kenikmatan. Karena itu, segala bentuk
syukur layak dipanjatkan hanya kepada-Nya. Dialah satu-satunya yang layak ditaati dan dijadikan tempat
berserah diri secara tulus. Ketaatan kita kepada Nabi, imam, pemimpin, agama, ayah, ibu, atau guru harus
kita lakukan dalam bingkai ketaatan kita kepada-Nya. Inilah sikap yang layak bagi seorang hamba di
hadapan Penciptanya Yang Mahaagung. Sikap semacam itu hanya boleh dilakukan kepada Dia yang
betul- betul nyat keagungan dan kebesaran-Nya.

e. Syarat diterimanya Ibadah

Tidak semua tindakan manusia dianggap ibadah kecuali jika memenuhi dua syarat berikut ini.

Pertama, niat yang ikhlas, suatu perbuatan dinilai ibadah kalau diniatkan sebagai ibadah.

Kedua, tidak bertentangan dengan syariat.

f. Macam-macam Ibadah ditinjau dari berbagai segi

1. Dilihat dari segi umum dan khusus, maka ibadah dibagi dua macam:3
a. Ibadah Khoshoh adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan dalam nash (dalil/dasar hukum)
yang jelas, yaitu sholat, zakat, puasa dan haji.
b. Ibadah Ammah adalah semua perilaku baik yang dilakukan semata-mata karena Allah SWT seperti
bekerja, makan, minum dan tidur sebab semua itu untuk menjaga kelangsungan hidup dan
kesehatan jasmani supaya dapat mengabdi kepada-Nya.
2. Ditinjau dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, ibadah ada dua macam:
a. Ibadah wajib (fardhu) seperti sholat dan puasa.
b. Ibadah ijtima’i, seperti zakat dan haji
3. Dilihat dari cara pelaksanaannya, ibadah dibagi menjadi tiga:
a. Ibadah jasmaniyah dan ruhiyah seperti sholat dan puasa
b. Ibadah ruhiyah dan amaliyah seperti zakat.
c. Ibadah jasmaniyah, ruhiyah dan amaliyah seperti pergi haji.
4. Ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya, ibadah dibagi menjadi:
a. Ibadah yang berupa pekerjaan tertentu dengan perkataan dan perbuatan, seperti sholat, zakat, puasa
dan haji.
b. Ibadah yang berupa ucapan, seperti membaca Al-Qur’an, berdo’a dan berdzikir.
c. Ibadah yang berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membela diri, menolong
orang lain, mengurus jenazah dan jihad.
d. Ibadah yang berupa menahan diri, seperti ihrom, berpuasa dan i’tikaf (duduk di masjid); dan
e. Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang atau membebaskan hutang
orang lain.

Anda mungkin juga menyukai