NIM : 105721129420
KELAS : M20G
MATA KULIAH : AIK IX
1. PENGERTIAN IBADAH
Secara etimologis, kata ibadah merupakan bentuk mashdar dari kata kata
abada yang tersusun dari huruf ‘ain, ba, dan dal. Arti dari kata tersebut
mempunyai dua majna pokok yang tampak bertentangan atau bertolak belakang.
Pertama, mengandung pengertian lin wa zull yakni ; kelemahan dan kerendahan.
Kedua, mengandung pengertian syiddat wa qilazh yakni ; kekerasan dan
kekasaran. Terkait dengan kedua makna ini, Prof. Dr. H. Abd, Muin Salim
menjelaskan bahwa, dari makna pertama diperoleh kata ‘abd yang bermakna
mamluk (yang dimiliki) dan mempunyai bentuk jamak ‘abid dan ‘ibad. Bentuk
pertama menunjukkan makna budak-budak dan yang kedua untuk makna “hamba-
hamba Tuhan”. Dari makna terakhir inilah bersumber kata abada, ya’budu,
‘ibadatan yang secara leksikal bermakna ‘tunduk merendak, dan menghinakan diri
kepada dan di hadapan Allah SWT.
Masih dalam pengertian ibadah, ulama tafsir yakni Prof. Dr. H. Abd. Muin
Salim menyatakan bahwa : Ibadah dalam bahasa agama merupakan sebuah
konsep yang berisi pengertian cirnta yang sempurna, ketaatan dan khawatir.
Artinya, dalam ibadah terkandung rasa cinta yang sempurna kepada Sang Pencipta
disertai kepatuhan dan rasa khawatir hamba akan adanya penolakan sang Pencipta
terhadapnya.
3. PRINSIP-PRINSIP IBADAH
1. Ada Perintah dan Ketentuan
Islam tidak memberikan otoritas kepada manusia untuk turut
menentukan ibadah, kecuali Nabi utusan-Nya. Dalam melakukan
ibadah kepada Allah manusia tidak mempunyai kekuasaan
menentukannya, bahkan sebaliknya manusia terikat pada ketentuan-
ketentuan yang diberikan Allah dan Rasul-Nya.
Berbeda halnya dengan mu’amalah (masalah keduniaan), terdapat
kelonggaran yang demikian luas bagi manusia untuk menentukannya
2. Meniadakan Kesukaran dan tidak banyak beban
Keseluruhan ibadah dalam syari’at Islam tidak ada yang menyukarkan
dan memberatkan mukallaf (orang yang terkena beban kewajiban
beribadah). Perintah ibadah itu tidak banyak hanya beberapa saja.
Semua ibadah itu dalam batas kewajiban dan berjalan dengan kadar
kesanggupan manusia.
(QS. Al-BAqarah : 185, 286)
3. Yang berhak Disembah Hanyalah Allah SWT.
Bahwa kerinduan untuk berhubungan dengan Tuhan hamper 2000
tahun yang lalu, Prlutarcus, seorang ahli sejarah bangsa Yunani
mengatakan bahwa mungkun kita menjumpai kota-kota tanpa benteng-
benteng, raja-raja yang kaya, sastra maupun teater-teater. Tetapi tidak
ada satu kota pun tanpa tempat ibadah, atau tidak ada satu pun kota
penduduknya yang tidak melakukan ibadah.
Dari dalam jiwa manusia sendiri, hanya saja dalam kenyataan bahwa
tempat ibadah itu terdapat di mana-mana, menunjukkan
keanekaragaman dalam tatacara pelaksanaan serta bermacam-
macamnya tujuan ibadah tersebut. Hal ini membuktikan bahwa
keanekaragaman itu tidak berasal dari satu sumber. Oleh karena itu,
ajaran Islam yang memperoleh wakyu terakhir pula, menegaskan bahwa
satu hal yang mutlak dalam hhidup beragama, dan memberi pernyataan
bahwa hanya Allah saja yang berhak disembah.
4. Ibadah itu Tanpa Perantara
Praktek beribadah sebagian umat manusia telah banyak mengalami
kekeliruan. Kekeliruan itu sebenarnya atas inisiatif dan konsepsi dari
para tokoh agamanya sendiri, di mana mereka membuat jarak antara
manusia dengan Tuhannya.
Islam sebagai agama lebih mempertegas bahwa hubungan manusia
dengan Tuhan (melalui ibadah) tidak perlu dengan perantara apa-apa,
dan melalui siapa pun. Manusia harus melakukan langsung dengan
Allah SWT.
5. Ikhlas dalam Beribadah
Dalam beribadah harus disadari dengan niat yang tulus, semata-mata
hanya mengharapkan ridha Allah. Niat adalah sikap jiwa, dan
merupakan motivator dalam mewujudkan suatu perbuatan.
Dalam hadis Nabi dinyatakan bahwa segala sesuatu itu tergantung
niatnya (innama al-a amal bi al-niat).
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa orang-orang ahli kitab hanya
diperintah untuk beribadah kepada Allah dengan niat yang tulus dan
murni, taat kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan serta mendirikan
shalat dan menunaikan zakat.