Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

(Ruang Lingkup Ibadah)

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata kuliah KeDT-an

Dosen pengampu: Bapak mulyadi Al fadhil M.Sos

Disusun oleh kelompok 1 :

Siti Masitoh : 1211920015

Yofani eka Putra : 1211920017

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGMA ISLAM DAARUT TAUHIID

BANDUNG2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah mengenai “IBADAH”

ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam senantiasa

penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Tak lupa kami ucapkan

terima kasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah dan teman-teman yang telah

memberikan dukungan dalam menyeselesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh

karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga

dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Bandung,17 maret 2020


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ibadah merupakan bentuk penyembahan manusia terhadap Allah

SWT. Dari ibadah dapat dilihat seberapa bersyukurnya seriap hamba, manusia

tidak dapat dipisahkan dengan penciptanya. Di dunia manusia tidak hidup tanpa

manusia yang lain maksudnya adalah manusia adalah makhluk sosial. Sering

kali dan banyak di antara kita yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar

menjalankan rutinitas hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan

puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian

kepada Tauhid terlebih dahulu. Karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa

memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya. Dalam syarah Al-Wajibat

dijelaskan bahwa “ibadah secara bahasa berarti perendahan diri, ketundukan

dan kepatuhan.”(Tannbihaat Mukhtasharah, hal 28)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “Ibadah

adalah suatu istilah yang mencangkup segala sesuatu yang dicintai Allah dan

diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi

(batin) maupun yang nampak (lahir).


B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep ibadah ?

2. Apa saja macam-macam ibadah ?

3. Apa fungsi dan hikmah dari ibadah ?

4. Bagaimana makna spiritual ibadah bagi kehidupan sosial ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui konsep ibadah

2. Untuk mengetahui macam-macam ibadah

3. Untuk mengetahui fungsi dan makna ibadah

4. Untuk mengetahui makna spirirual ibadah dikehidupan sosia


BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Ibadah

1. Pengertian Ibadah

Secara bahasa, kata ibadah berasal dari bahasa arab al-abdiyyah,

al-‘ubudiyyah, dan al-‘ibadah yang berarti ketaatan. Kata al-‘ubudiyyah identik

dengan kata al-khudhu dan adz-dzull yang berarti ketundukan dan kehinaan ( Yusuf

Al Qaradhawi, 2005 ). Oleh karena itu, kata at-ta’bid yang berarti menundukkan diri

sama dengan kata at-tadzlil yang bermakna merendahkan diri dihadapan Allah. Kata

al-‘ibadah juga memiliki persamaan makna dengan kata khudhu, dan tadzallul.

Ibadah merupakan suatu bentuk ketundukan kepada Allah yang memberi nikmat dan

anugerah tertinggi kepada manusia.

Sedangkan menurut terminologi syariat, Muhammad Abduh menafsirkan

ibadah sebagai suatu bentuk ketundukkan dan ketaatan sebagai dampak dari rasa

pengagungan yang bersemai didalam lubuk hati seseorang terhadap siapa yang

menjadi tujuan ketundukannya. Rasa itu lahir akibat adanya keyakinan dalam diri

orang yang bersangkutan bahwa objek tujuan ibadahnya memiliki kekuasaan yang tak

dapat dijangkau oleh sesuatu yang lain.

Perintah Allah dan Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan

penuh kasih dan cinta kepada Allah SWT, bukan karena terpaksa atau karena yang

lain
Para Nabi dan Rasul merupakan hamba Allah yang terbaik dan senantiasa

melaksanakan ibadah dengan penuh kesempurnaan dari setiap arahan Tuhannya.

Mereka patuhi dengan penuh perasaan cinta dan kasih serta mengharap keridhoan

dari Tuhannya. Mereka menjadi contoh tauladan yang paling baik kepada kita semua

dalam setiap pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh Al-Qur’an.

Sebagian ulama mengatakan, ibadah adalah :” Nama yang menerangkan

segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan

yang tampak dan yang tidak tampak, serta membebaskan diri dari segala sesuatu yang

bertentangan dan menyalahinya.”

Ibadah merupakan bagian integral dari syariah, apapun ibadah yang

dilakukan oleh manusia harus bersumber dari syariah Allah. Semua ibadah yang tidak

didasari oleh syariah berarti bid’ah, ibadah semacam ini tidak saja ditolak tapi lebih

dari itu, tindakan tersebut merupaka dosa.

Ibadah tidak hanya sebatas pada menjalankan rukun islam, tetapi ibadah

juga berlaku pada semua aktivitas duniawi yang didasari rasa ikhlas. Oleh karena itu

ibadah terdapat dua klasifikasi yaitu, ibadah khusus ( khas ) dan umum ( ‘amm ).

Ibadah dalam arti khusus adalah ibadah yang berkaitan dengan arkan al-islam, seperti

syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan ibadah dalam arti umum adalah

segala aktivitas yang titik tolaknya ikhlas yang ditunjukkan untuk mencapai ridho

Allah berupa amal saleh.


2. Rukun Ibadah

Berdasarkan dalil-dalil yang ada di Al-Qur’an maupun Hadits ibadah

memiliki rukun-rukun yang ia terbangun diatasnya. Tidaklah suatu amalan yang

diperintahkan menjadi sebuah ibadah bila ia tidak dibangun diatas rukun-rukunnya.

Rukun-rukun ibadah menurut manhaj ( jalan ) Ahlus Sunnah wal Jama’ah ada tiga,

yaitu :

a) Al-Hubb ( Cinta )

Ibadah dari asal maknanya bisa berarti menghinakan diri. Dan ia selain

mengandung makna penghinaan diri dihadapan Allah SWT juga mengandung Al-

Hubb ( cinta ) yang tinggi kepada-Nya. Dengan kecintaan yang tinggi disertai

penghinaan yang sempurna kepada Allah SWT, seorang hamba akan sampai pada

penghambaan diri kepada-Nya SWT, sebab puncak dari Al-Hubb adalah At-

Tayyamum ( penghambaan ). Sehingga tidak akan tebangun penghambaan diri

kepada Allah SWT kecuali dengan terkumpulnya keduanya sekaligus, yaitu cinta dan

penghinaan diri.

b) Al-Khouf ( Takut )

Ia merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang agung yang

mana keikhlasan seseorang dalam beragama bagi Allah SWT. Sebagaimana yang

telah Allah perintahkan kepada hamba-Nya tidak akan lurus kecuali dengan bantuan-

Nya. Khouf ialah kegundahan hati akan terjadinya sesuatu yang tidak disuka berupa

hukuman dan adzab Allah SWT yang mneimbulkan sikap penghambaan dan

ketundukan seorang hamba kepada-Nya.


c) Ar-Roja ( Berharap )

Ia juga merupakan peribadahan hati dan rukun ibadah yang sangat

agung. Ialah harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah

SWT yang menyertai ketundukan dan penghinaan diri kepada-Nya.

Maka, ibadah yang telah Allah fardhukan kepada hamba-Nya harus

terdapat tiga rukun tersebut agar menjadi ibadah yang sempurna. Peribadahan kepada

Allah SWT harus disertai ketundukan dan kecintaan yang sempurna serta rasa takut

dan harapan yang tinggi. Bila ketiganya terdapat dalam sebuah amalan maka ia benar-

benar bermakna ibadah. Didalam Al-Qur’an Allah telah menyebutkan

rukun-rukun ibadah itu ketika menyifati peribadahan para Nabi dengan

firman-Nya yang artinya sebagai berikut :

“...Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam

( mengerjakan ) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada kami

dengan harap ( atas rahmat Allah ) dan cemas ( akan adzab-Nya ). Dan mereka adalah

orang-orang yang khusyu kepada kami.” ( Q.S Al-Anbiya : 90 )


3. Syarat Ibadah

Syarat diterimanya ibadah oleh Allah SWT dalam konsep risalah islam :

1. Ikhlas

Ibadah dilakukan secara ikhlas dengan kesadaran diri sendiri dan

ikhlas semata-mata karena Allah SWT, bukan karena ingin dipuji ataupun dipaksa.

Sebagaimana dalam firman Allah sebagai berikut :

Artinya :

“Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah

dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya, lagi tetap teguhdi atas tauhid; dan supaya

mereka mendirikan shalat serta memberi zakat. Dan yang demikian itulah Agama

yang benar “(QS. Al-Bayyinah:5).

Artinya :

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, Ibadahku, hidup dan matiku hanyalah

untuk Allah Pemelihara alam semesta.” (QS. AL-An’am:162).

2. Ilmu

Ibadah yang dilakukan disertai ilmunya. Sebagaimana dalam firman

Allah SWT sebagai berikut :

Artinya :
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,

semuanya itu akan diminta pertanggungkan jawabnya” (QS. Al-Israa’:36).

3. Sunah

Tata cara Ibadah harus sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya

dan sahabatnya.

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari,

dari Malik bin Al-Huwairits)

“Barang siapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak

ada tuntunan (islam) di dalamnya maka di tolak.” (Muttafaq’alayh).

4. Prinsip Ibadah

Untuk memberikan pedoman ibadah yang bersifat final, Islam memberikan

prinsip-prinsip ibadah sebagai berikut :

a. Prinsip utama dalam ibadah adalah hanya menyembah kepada Allah

semata sebagai wujud hanya mengesakan Allah SWT. Hal ini didasarkan pada firman

Allah SWT :

Artinya :

“Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami minta

pertolongan”. (Q.S Al-Fatihah :


Artinya :

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan

sesuatu apapun...”. ( Q.S An-nisa : 36 )

Lawan tauhid adalah syirik ( mempersekutukan Allah ) yang merupakan dosa

terbesar diantara dosa-dosa besar lainnya.

b. Tanpa perantara. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :

Artinya :

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka

(jawablah), “Sesungguhnya Aku sangatlah dekat.” Aku kabulkan permohonan (do’a)

orang yang berdo’a apabila ia memohon kepadKu. Maka hendaklah mereka itu

memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar

mereka selalu mendapat bimbingan.” ( Q.S Al-Baqarah : 18)

Artinya :

“Dan sungguh benar-benar Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui

apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami sangat dekat daripada urat lehernya.”

( Q.S Qaf : 16)

Oleh karena Allah SWT berada sangat dekat dengan hamba-hambaNya

dan Maha Mengetahui segala apa yang dilakukan oleh hamba-Nya, maka dalam

berdo’a harus langsung dimohonkan kepada Allah dan tidak melalui perantara

siapapun dan apapun juga.

c. Harus ikhlas yakni murni hanya mengharap ridha Allah SWT. Keikhlasan

harus ada dalam seluruh ibadah, karena keikhlasan inilah jiwa dari ibadah. Tanpa
keikhlasan, maka tidak mungkin ada ibadah yang sesungguhnya. Allah SWT

berfirman :

Artinya :

“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada

Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya ( dalam ) menjalankan agama yang

lurus.” ( Q.S Al-Bayyinah : 5 )

d. Harus sesuai dengan tuntutan. Allah SWT berfirman ;

artinya :

“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka

hendaklah mengerjakan amal shaleh dan ia jangan mempersekutukan seorangpun

dalam beribadah kepada Tuhannya”. ( Q.S Al-Kahfi : 110 )

Arti kata shalih adalah baik karena sesuai. Seseorang dikatakan beramal

shaleh bila dalam beribadah kepada Allah sesuai dengan cara yang disyariatkan Allah

melalu para Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh manusia sendiri.

Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan tentang tata cara shalat

secara lengkap melalui hadits-haditsnya yang maqbul, dari sejak niat yang tidak

dihafalkan, bacaan dan gerakan sholat, jumlah raka’at, waktu sholat, dan lain-lain.

Dalam masalah ibadah mahdah ( khusus ) yang jelas-jelas sudah ada keterangan dari

Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi manusia yang boleh masuk

didalamnya.
e. Seimbang antara unsur jasmani dan rohani. Hal ini didasarkan pada

firman Allah SWT :

Artinya :

“Dan carilah apa yang Allah berikan kepadamu berupa ( kebahagiaan ) negeri

akhirat, namun jangan kamu lupa bahagianmu ( nasibmu ) dari ( kenikmatan )

dunia ...”. ( Q.S Al-Qashash : 77 )

f. Mudah dan meringankan. Allah SWT berfirman :

Artinya :

“Allah tidak membebani seorang manusia kecuali sesuai dengan

kemampuannya.” ( Q.S Al-Baqarah : 286 )

Syariat yang diciptakan Allah SWT mesti sudah sesuai dengan porsi

kemanusiaan manusia. Hal ini karena Allah sebagi pencipta alam semesta termasuk

manusia, tentunya paling tahu tentang ciptaan-Nya dan segala keterbatasan yang

dimiliki ciptaan-Nya, sehingga dalam keadaan yang tidak normal yakni :

membahayakan, menyulitkan, atau tidak memungkinkan. Maka selalu ada jalan

keluar berupa keringanan atau ruskhah yang ditawarkan Allah dalam syariat-Nya.
B. Ibadah Mahdah dan Ghairu Mahdah

Secara umum, ibadah terbagi menjadi dua; yakni ibadah mahdhah

(langsung kepada Allah) dan ghairu mahdhah (tidak langsung kepada Allah).

1. Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdhah adalah ibadah yang berupa pengabdian langsung

kepada Allah. Segala bentuk aktifitas ibadah berupa cara, waktu dan kadarnya telah

ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya seperti shalat, puasa, dan haji. Seseorang tidak

akan mengetahui ibadah ini kecuali melalui penjelasan Allah dalam Al-Qur’an atau

penjelasan Rasulullah sebagaimana di dalam Sunnah beliau.

Syarat ibadah mahdhah :

a. Ikhlas

b. Benar / sesuai dengan sunnah Rasulullah

Agar amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT maka amal itu harus

ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah amal yang dilakukan dengan niat murni

untuk mendapat ridha Allah, bukan untuk mendapat ridha atau pamrih dari selain

Allah. Amal yang benar adalah amal yang sesuai dengan sunnah Rasulullah.

Tatacara pelaksanaan ibadah mahdhah harus mengikuti sedemikian rupa

seperti yang diajarkan Nabi, tak boleh menambah dan tak boleh mengurangi. Pada

Shalat Misalkan, Rasulullah telah mengajarkan dan mencontohkan pengerjaan shalat

Maghrib sebanyak tiga rakaat. Maka


umatnya tidak boleh menambah dan juga tidak boleh mengurangi jumlah

bilangan rakaatnya. Demikian juga dengan haji dan puasa.

Ibnu Taimiyah menambahkan bahwa hendaknya suatu ibadah terutama

menyangkut ibadah ghairu mahdhah itu dikerjakan diatas tiga landasan, yakni hubb

(cinta), khauf (takut), serta raja’ (harapan).

Berkenaan dengan hal tersebut, Allah SWT befirman ;

Artinya :

“Orang-orang yang beriman amat sangat cinta kepada Allah. Seandainya

orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada

hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat

berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Q.S al-baqarah [2]: 165)

Menurut Imam Ali, orang yang menyembah Allah terbagi kedalam tiga tipe:

a) Orang yang beribadah karena mengharapkan balasan. Ibadahnya

merupakan investasi masa depan. Semakin banyak ia menjalankan ritual-ritual

keagamaan, semakin banyak pula imbalan yang akan didapatkannya. Imam Ali

menyebutnya sebagai ibadah para pedagang, pebisnis,

b) Orang yang menyembah Allah karena takut terhadap siksa-Nya.

Ibadahnya laksana pengabdian seorang budak terhadap tuannya. Ia melakukan

sesuatu lantaran khawatir akan murka sang tuan. Ia membayangkan Allah ibarat Sang

Pemurka yang siap menghukumi


hamba-Nya yang mengabaikan perintah-Nya. Kata Ali, orang tipe ini biasanya

beribadah semata untuk menggugurkan kewajiban.

c) Orang beribadah karena ia sadar memang seharusnya beribadah.

Imam Ali menyebutnya sebagai ibadahnya orang yang merdeka. Ibadah yang dihiasi

dengan penuh cinta serta ketulusan. Ketulusan cinta itu muncul dari rasa syukur dan

terima kasih yang mendalam. Ibadah benar-benar menjadi penjelmaan dan ungkapan

rasa syukur seorang hamba kepada Allah Sang Pemberi Kehidupan.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah

Ibadah ghairu mahdhah adalah semua perbuatan yang bermanfaat untuk

sesama manusia dan lingkungannya, yang diniatkan untuk beribadah kepada Allah

SWT. Ibadah ghairu mahdhah tata caranya tidak ditentukan oleh Allah. Hal ini

menyangkut segala macam amal kebaikan yang di ridhai Allah baik berupa perkataan

maupun perbuatan. Bahkan sekedar baru berniat saja sudah dianggap ibadah dan

mendapat pahala dari Allah. Ibadah pada aspek ini cakupannya sangat luas. Contoh

ibadah ghairu mahdhah adalah bekerja, belajar, berinfak, menyantuni anak yatim,

membantu orang lain, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua,

menyambung silaturahmi, menepati janji, menyuruh kepada kebaikan seraya

mencegah kemungkaran, menjaga lingkungan dan masih banyak lagi mencakup

seluruh aktifitas manusia yang diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah
SWT selama apa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Allah :

Sabda Nabi Muhammad SAW menjelaskan : Sesungguhnya tidaklah engkau

memberikan nafkah yang dengannya engkau mengharapkan keridhaan Allah, kecuali

engkau akan mendapatkan pahala atasnya. Sampai sesuatu yang engkau berikan pada

mulut istrimu (Shahih Bukhari, 1/56).

Prinsip praktik ibadah ini yaitu tidak ada dalil yang melarangnya serta

pelaksanaannya diniatkan untuk beribadah kepada Allah. Ibadah

ghairu mahdhah membutuhkan dua hal, yakni cinta kepada Allah dan

ketundukan dan taat kepada Allah.

C. Fungsi dan Hikmah Ibadah

1. Fungsi Ibadah

Ada tiga aspek fungsi ibadah dalam Islam :

a) Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mewujudkan

hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui “muqorobah”

dan “khudlu”. Orang yang beriman dirinya akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Ia

akan selalu berupaya menyesuaikan segala perilakunya dengan ketentuan Allah SWT.

Dengan sikap itu seseorang muslim tidak akan melupakan kewajibannya untuk

beribadah, bertaubat, serta menyandarkan segala kebutuhannya pada pertolongan

Allah SWT. Demikianlah ikrar seorang muslim seperti tertera dalam Al-Qur’an surat

Al-Fatihah ayat 5
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami

meminta pertolongan.” Atas landasan itulah manusia akan terbebas dari

penghambaan terhadap manusia, harta benda dan hawa nafsu.

b) Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya.

Dengan sikap ini, setiap manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah anggota

masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima dan memberi

nasihat. Oleh karena itu, banyak ayat Al-Qur’an ketika berbicara tentang fungsi

ibadah menyebutkan juga dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.

Contohnya: ketika Al-Qur’an berbicara tentang shalat, ia menjelaskan fungsinya:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Qur’an dan dirikanlah

shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan

mungkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar keutamannya

dari ibadah-ibadah yang lain, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ketika Al-Qur’an berbicara tentang zakat, Al-Qur’an juga menjelaskan

fungsinya;

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu

membersihkan dan mensucikan mereka serta mendoalah untuk mereka.

Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka, dan Allah Maha

mendengar lagi Maha mengetahui.” Dan masih banyak ibadah-ibadah lain yang

tujuannya tidak hanya baik bagi diri pelakunya tetapi juga membawa dampak sosial

yang baik bagi masyarakat. Karena itu Allah tidak akan menerima semua bentuk
ibadah, kecuali ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain.

Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:

“Barang siapa yang sholatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan

munkar, maka dia hanya akan bertambah jauh dari Allah” (HR. Thabrani)

c) Melatih diri untuk berdisiplin adalah suatu kenyataan bahwa segala

bentuk ibadah menuntut kita untuk berdisiplin. Kenyataan itu dapat dilihat dengan

jelas dalam pelaksanaan shalat, mulai dari wudhu, ketentuan waktunya, berdiri, ruku,

sujud dan aturan-aturan lainnya, mengajarkan kita untuk berdisiplin. Apabila kita

menganiaya sesama muslim, menyakiti manusia baik dengan perkataan maupun

perbuatan, tidak mau membantu kesulitan sesama manusia, menumpuk harta dan

tidak menyalurkannya kepada yang berhak. Tidak mau melakukan “amar ma’ruf nahi

munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa menyelamatkannya dari

siksa Allah SWT.


2. Hikmah Ibadah

a) Tidak syirik

Seorang hamba yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa beribadah

menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia

telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari

segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli-Nya.

b) Memiliki ketakwaaN

Ketakwaan yang di landasi cinta timbul karena ibadah yang di lakukan

manusia setelah merasakan kemurahan dan keindahan Nya muncullah dorongan

untuk beribadah kepada-Nya. Sedangkan ketakwaan yang di landasi rasa takut

timbl karena manusia menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban

bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu

kewajiban ada kalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan akan

balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankan kewajiban.

c) Terhindar dari kemaksiatan

Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi

tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai

jika ibadah yang dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus

selalu dipakai dimanapun manusia berada.

d) Berjiwa sosial, artinya ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih

peka dengan keadaan lingkungan sekitarnya, karena dia mendapat

pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika


melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan

oleh orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut

lebih memperhatikan orang lain.

e) Tidak kikir, harta ang dimiliki manusia pada dasarnya bukan muliknya

tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat.

Tetapi karena kecintaan manusia yang begitu besar terhadap keduniawian

menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang

mencintai Allah SWT, senantiasa menafkahi hartanya di jalan Allah SWT. Ia

menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan

untuk keperluannya semata-mata sebagai bekal di akhirat yang di wujudkan

dalam bentuk pengorbanan harta untuk keperluan umat.

D. Makna Spiritual Ibadah Bagi Kehidupan Sosial

Ibadah memiliki dimensi keakhiratan sekaligus keduniawian. Ibadah

dalam ajaran Islam tidak hanya dimaksudkan dalam kerangka hubungan

dengan Allah semata, tetapi juga mengandung dimensi sosial yang tinggi bagi

para pemeluknya. Semua bentuk ibadah memiliki makna sosialnya masing-

masing sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, ibadah shalat. Kandungan sosial dari ibadah shalat adalah bahwa

shalat mengajarkan makna persaudaraan dan persatuan manusia yang begitu

tinggi. Ketika melaksanakan shalat di masjid lima kali dalam sehari, maka

sesungguhnya ibadah tersebut tengah menghimpun penduduknya lima kali

sehari. Dalam aktivitas tersebut, mereka saling mengenal, saling berkomunikasi,


dan saling menyatukan hati. Mereka shalat dibelakang seorang imam, mengadu

kepada Tuhan yang satu, membaca kitab yang sama, serta menghadap kiblat

yang sama. Mereka juga melakukan amalan yang sama yakni sujud, ruku, dan

sebagainya. Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 10:

Artinya:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu

damaikanlah antara kedua saudaramu ( yang berselisih ) dan bertakwalah

kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” ( Q.S Al-Hujurat:10).

Kedua, ibadah puasa. Puasa mampu menumbuhkan kepekaan sosial bagi

pelakunya. Dengan berpuasa, si kaya merasakan betapa tidak enaknya merasakan

lapar. Puasa mengajarkan kepadanya untuk bisa mengenali serta merasakan

penderitaan orang yang sehari-hari senantiasa berada dalam kekurangan dan

berbalut kemiskinan. Kemudian puasa diakhiri dengan membayar zakat fitrah

yang memaksa seseorang untuk berderma, sekalipun mungkin hatinya belum

sadar ini akan menjadi latihan dan pembinaan tersendiri bagi orang yang

besangkutan untuk menjadi orang yang dermawan dan peduli terhadap orang-

orang yang lemah.

Ketiga, ibadah zakat. Ibadah zakat memiliki fungsi dan hikmah ganda.

Secara individu zakat mengandung hikmah untuk membersihkan dan

menyucikan diri beserta harta bendanya. Dengan begitu, zakat melatih manusia
menghilangkan sifat kikir, rakus, tamak yang melekat pada dirinya. Zakat

menjadi tanda kedermawanan, solidaritas, dan kasih sayang seorang muslim

terhadap saudara-saudaranya agar bisa ikut merasakan rezeki sebagai karunia

Allah SWT.

Keempat, ibadah haji. Dalam ibadah haji terkandung pengalaman nilai-nilai

kemanusiaan yang universal. Ibadah haji dimulai dengan niat sambil

menanggalkan pakaian biasa dan kemudian mengenakan pakaian ihram. Dengan

mengenakan pakaian ihram pada saat haji, manusia diajarkan untuk

menanggalkan perbedaan status sosial yang mereka sandang dan bersatu dalam

persamaan dan persaudaraan. Pada saat melaksanakan ihram, seseorang dilarang

menyakiti binatang, dilarang membunuh, menumpahkan darah, serta dilarang

mencabut pepohonan.

Maknanya manusia harus menerapkan apa yang telah disebutkan dalam Al-

Qur’an dan Hadist ke dalam kehidupan sosial.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Secara bahasa, kata ibadah berasal dari bahasa arab al-abdiyyah,

al-‘ubudiyyah, dan al-‘ibadah yang berarti ketaatan. Kata al-‘ubudiyyah identik

dengan kata al-khudhu dan adz-dzull yang berarti ketundukan dan kehinaan.

2. Sedangkan menurut terminologi syariat, Muhammad Abduh

menafsirkan ibadah sebagai suatu bentuk ketundukkan dan ketaatan sebagai dampak

dari rasa pengagungan yang bersemai didalam lubuk hati seseorang terhadap siapa

yang menjadi tujuan ketundukannya.

3. Rukun ibadah ada tiga yaitu : Al-Hubb ( Cinta ), Al-Khouf ( Takut ),

dan Ar-Roja ( Berharap ).

4. Syarat ibadah ada tiga yaitu : ikhlas, ilmu, dan sunnah.

5. Prinsip dalam beribadah antara lain :

a) Hanya menyembah kepada Allah semata sebagai wujud hanya

mengesakan Allah SWT.

b) Tanpa perantara.

c) Harus ikhlas

d) Harus sesuai dengan tuntutan.

e) Seimbang antara unsur jasmani dan rohani.

f) Mudah dan meringankan


6. Fungsi ibadah :

a) Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Mewujudkan

hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui “muqorobah”

dan “khudlu”.

b) Mendidik mental dan menjadikan manusia ingat akan kewajibannya.

c) Melatih diri untuk berdisiplin adalah suatu kenyataan bahwa segala

bentuk ibadah menuntut kita untuk berdisiplin

7. Dengan beribadah kita akan mendapat hikmah berupa kita tidak

menjadi syirik, tidak kikir, memiliki ketakwaan, terhindar dari kemaksiatan, dan

berjiwa sosial.

8. Kandungan sosial dari ibadah shalat adalah bahwa shalat mengajarkan

makna persaudaraan dan persatuan manusia yang begitu tinggi.

9. Puasa mampu menumbuhkan kepekaan sosial bagi pelakunya. Dengan

berpuasa, si kaya merasakan betapa tidak enaknya merasakan lapar.

10. Ibadah zakat memiliki fungsi dan hikmah ganda. Secara individu zakat

mengandung hikmah untuk membersihkan dan menyucikan diri beserta harta

bendanya.

11. Dalam ibadah haji terkandung pengalaman nilai-nilai kemanusiaan yang

universal. Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan

kemudian mengenakan pakaian ihram.


DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim. 1998. Pengantar Studi Aqidah Islam. Robbani Press : Jakarta

Razak, Yusron, dkk. 2011. Pendidikan Agama. Uhamka Press : Jakarta

Hatta, Ahmad. 2013. Bimbingan Islam untuk Hidup Muslim. Maghfirah

Pustaka : Jakarta

Muhaimin, dkk. 2005. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Kencana : Jakarta

Jamaluddin, Syakir. 2010. Kuliah Fiqih Ibadah. LPPI UMY : Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai