Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


“HAKIKAT IBADAH”
DOSEN PENGAMPU : Drs. AWALUDDIN, M.Pd

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD AZKANNASABI (200901026)
FAKULTAS ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK


TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahhirobbil alamin, untaian syukur tiada tara kami ucapkan
kehadirat illahi robbi. Dimana atas semua rahmat dan karunianya, kamii bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hakikat Ibadah” dengan sebaik baiknya.

Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan keharibaan Nabi Agung Nabiyulloh
Muhammad SAW yang mengubah zaman kegelapan menjadi zaman terang benderang
yang kita nantikan syafaatnya di yaumil akhir.

Ucapan terimakasih kami ucapkan kepada dosen Pendidikan Agama Islam di


Universitas Muhammadiyah Gresik, Bapak Drs. Awaluddin, M.Pd atas bimbingan dan
arahanya telah menuntun kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini.

Ucapan terimakasih tidak lupa kami ucapkan kepada teman teman seperjuangan.
Teman teman Kelas Pagi Progam Studi Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah
Gresik yang telah mensupport dan membantu kami dalam segala hal.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
meminta bantuan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kebaikan kita bersama
dalam makalah ini. Besar harapan penyusun, agar makalah ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi khalayak umum.

Pekalongan, 07 Oktober 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak dulu sudah kita ketahui bahwa ibadah merupakan kewajiban kita sebagai
hamba allah yang lemah. Dan banyak pula yang mengetahui bahwa kita diciptakan dan
hidup di muka bumi ini semata mata hanya untuk beribadah kepada allah. Pendapat ini
tidak salah karena dalam literatur dakwah Islamiyah, secara umum ditegaskan bahwa
tujuan keberadaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. “ Dan aku (Allah)
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(QS.
al-Zariyat /51: 56). Akan tetapi, Maksud ayat tersebut adalah Allah menciptakan manusia
dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh
kepada mereka. Melainkan tafsir ayat tersebut terkandung makna bahwa manusia
membutuhkan “ibadah” untuk eksistensi dirinya.
Tujuan ibadah di atas merupakan nilai normatif. Sementara kandungan atau
manfaat ibadah lainnya adalah mampu memberikan ketenangan jiwa bagi pelakunya.
Dengan menjalankan ibadah secara baik dan sesuai tuntunan, umat Islam akan merasa
hidupnya nyaman. Dengan kenyamanan ini akhirnya mampu mengantarkan dirinya pada
kondisi kesehatan mental yang baik (Supadie, 2011: 184).
Banyak dari kita telah melaksanakan ibadah dengan sebaik baiknya. Akan tetapi,
lebih banyak dari kita yang tidak mengetahui apa hakikat dan tujuan ibadah itu sendiri.
Setiap ibadah sebagaimana yang berlaku pada setiap yang diperintahkan Allah
mengandung maksud tersendiri dan di dalam pelaksanaannya terdapat hikmah. Segala
bentuk dan jenis ibadah yang disyari’atkan Allah kepada manusia dijanjikan pahala dunia
akhirat, juga mengandung hikmah yang sangat luar biasa bagi siapa yang menantinya.
Dalam makalah ini akan dipaparkan hakikat ibadah, hikmah-hikmah ibadah, konsep
ibadah dan macamnya, serta ibadah sosial.
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka rumusan masalah dari


penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Ibadah?
2. Apa Hakikat dan Tujuan Ibadah?
3. Apa Dasar Hukum Beribadah?
4. Apa Saja Macam – Macam Ibadah?
5. Apa Sajakah Hikmah Yang Terkandung Dalam Ibadah?

C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui Pengertian Ibadah dari Berbagai Sudut Pandang.


2. Untuk Mengetahui Apa Hakikat dan Tujuan Sebenarnya dari Ibadah.
3. Menginterplesikan Hakikat Ibadah Untuk Diri Sendiri Yang Lebih Baik.
4. Mengetahui Dasar Hukum Beribadah.
5. Mengetahui Macam – Macam Beribadah.
6. Mengetahui Hikmah – Hikmah Yang Terkandung Dalam Beribadah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IBADAH

Sebelum kita menelusuri apa itu hakikat dari ibadah, mari coba kita kupas arti ibadah
menurut semua kepercayaan agama.

Ibadah menurut Umat Kristiani adalah kata “Ibadah” berasal dari bahasa
Yunani Latreia yang artinya pekerja, upahan, pelayan, dan mengabdi. Ibadah adalah suatu
pelayanan yang dipersembahkan kepada Allah, tidak hanya dalam arti ibadah di bait suci,
tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama

Ibadah menurut Umat Hindu adalah Penyerahan diri kepada Tuhan, selalu ingat /sadar
kepada Tuhan, tekun sepenuhnya dengan keyakinan dan cinta bhakti (cinta bhakti misalnya
dengan hubungan Tuhan sebagai Ayah Alam Semesta), dan menyadari hanya Alam Rohani
Tuhan Yang Abadi / kekal dan sebagai tujuan tertinggi..

Ibadah menurut Umat Budha adalah penghormatan di depan patung Buddha dan
mendaraskan doa-doa suci. Tubuh, bahasa, dan pikiran merupakan unsur integral dalam
ibadah umat Buddha maka meditasi yang hening, ajaran, pemberian persembahan, dan puji-
pujian dilakukan.

Ibadah menurut Umat Khongguchu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, bia
juga diartikan sebagai pola komunikasi antara mahluq dengan tuhannya. Ibadah dalam
Agama Konghucu juga dapat berarti mendekatkan diri kepada tuhan dengan meminta
pertolongan dan perlindungan atau bersyukur atas nikmat tuhan.

Sedangkan dalam Islam Ibadah secara bahasa, kata ibadah adalah bentuk dasar


(mashdar)  dari fi’il (kata kerja) ‘abada-ya’budu yang berarti: taat, tunduk, hina, dan
pengabdian. Berangkat dari arti ibadah secara bahasa, Ibnu Taymiyah mengertikan ibadah
sebagai puncak ketaatan dan kedudukan yang didalamya terdapat unsur cinta (al-
hubb).  Seseorang belum dikatakan beribadah kepada Allah kecuali bila ia mnecintai Allah
lebih dari cintanya kepada apapun dan siapapun juga.

Adapun definisi ibadah menurut Muhammadiyah adalah “mendekatkan diri kepada


Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan oleh-Nya. (Himpunan Putusan Tarjih, 278)
Sementara secara terminologis, Hasbi- Al Shiddieqy dalam kuliah ibadahnya,
mengungkapkan :

Menurut ulama’ Tauhid ibadah adalah : “pengesaan Allah dan pengagungan-Nya


dengan segala kepatuhan dan kerendahan diri kepada- Nya.”

Menurut ulama’ Akhlak, ibadah adalah: “Pengamalan segala kepatuhan kepada Allah
secara badaniah, dengan menegakkan syariah- Nya.”

Menurut ulama’ Tasawuf, ibadah adalah: “Perbuatan mukalaf yang berlawanan


dengan hawa nafsunya untuk mengagungkan Tuhan- Nya.”

Sedangkan menurut ulama’ Fikih, ibadah adalah: “Segala kepatuhan yang dilakukan
untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”

Menurut jumhur ulama’: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang
disukai Allah dan yang diridlai- Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-
terangan maupun diam- diam.”

Dengan berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah bentuk
ketaatan diri kita sendiri dengan bentuk pengabdian atau pengesaan dengan disertai kecintaan
yang luar biasa dan kehinaan dihadapanya.disamping merupakan sikap diri yang pada
mulanya hanya ada dalam hati juga diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan,
sekaligus cermin ketaatan kepada Allah disertai dengan bentuk kecintaan.

B. HAKIKAT DAN TUJUAN IBADAH

Dalam syariat Islam ibadah mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan
yang paling dalam kepada Allah SWT. Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan
kecintaan merupakan implementsi dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga
mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang paling rendah di hadapan Allah SWT.
Pada mulanya ibadah merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati,
kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan
kepada Allah SWT.

Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak
dinamakan ‘abid (orang yang beribadah), begitu juga orang yang cinta kepada sesuatu tetapi
tidak tunduk kepadanya, seperti orang yang mencintai anaknya atau temannya. Kecintaan
yang sempurna adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap
selain Allah SWT adalah batil.

Dengan melihat hakikat dan pengertiannya Yusuf Qardhawi mengemukakan bahwa


ibadah merupakan kewajiban dari apa yang disyariatkan Allah SWT yang disampaikan oleh
para rasul-Nya dalam benyuk perintah dan larangan. Kewajiban itu muncul dari lubuk hati
orang yang mencintai Allah SWT

Manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan akal dari makhluk
lainnya (Q.S At Tiin). Kenyataannya, manusia tidak selalu menggunakan akal sehatnya,
bahkan ia lebih sering dikuasai nafsunya, sehingga ia sering terjerumus ke dalam apa yang
disebut dehumanisasi,yaitu proses yang menyebabkan kerusakan, hilang, atau merosotnya
nilai – nilai kemanusiaan. Disinilah perlunya agama bagi manusia.

Dengan adanya ibadah dalam agama,  hidup manusia menjadi bermakna. Makna


agama terletak pada fungsinya sebagai kontrol moral manusia. Melalui ajaran – ajarannya,
agama menyuruh manusia agar selalu dalam keadaan sadar dan menguasai diri. Keadaan
sadar dan menguasai diri pada manusia itulah yang merupakan hakikat agama, atau hakikat
ibadah. Melalui ibadah (pengabdian) kepada Allah kita kembali mengingat siapa diri kita di
hadapan allah sehingga kita merasa rendah dan hina dihadapanya lalu hidup manusia
terkontrol. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun, manusia dituntut untuk selalu dalam
keadaan sadar sebagai hamba Allah dan mampu menguasai dirinya, sehingga segala sikap,
ucapan, dan tindakannya selalu dalam kontrol Ilahi

Selain itu, Ibadah juga diartikan sebagai perbuatan baik yang akan kembali pada diri
sendiri. Kita memang diwajibkan untuk semata mata bberibadah pada Allah. Tapi, apakah
Allah membutuhkan amal ibadah kita? Jawabanya Tidak, sebab yang membutuhkannya
adalah diri kita sendiri karena kebaikan itu akan kembali pada diri kita sendiri.

Sebagai contoh, kita berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, kebaikannya
akan kembali kepada diri kita sendiri, keutamaan yang kita dapatkan akan kembali kepada
diri kita, bukan kepada Allah apalagi sesama manusia.
Kita menjalankan salat tahajud setiap hari di sepertiga malam terakhir, dengan penuh
pengorbanan harus bangun saat orang-orang yang lain tengah terlelap dibalut selimut.

Lantas, siapa yang akan mendapatkan kebaikan, kita yang menjalankan salat tahajud
atau mereka yang terlelap dalam mimpi? Tentu saja kita yang menjalankan shalat tahajud lah
yang akan mendapatkan keutamaan dari Allah, doa-doanya tidak hanya didengar Allah,
melainkan dikabulkan oleh Allah SWT.

Sebagaimana dalam surat Ar-Rahman ayat 60 disebutkan; “bahwa tidak ada balasan
kebaikan, kecuali kebaikan pula.”

Oleh karena itu, kita ketahui secara bersama bahwa hakikat ibadah selain untuk
mengingat dan mengabdi kepada Allah tuhan semesta alam ibadah juga sebagai bentuk amal
baik yang akan kembali pada diri kita sendiri.

Meskipun tujuan beribadah adalah untuk mengingat dan memuliakan Allah SWT,
namun perlu ditekankan bahwa kemuliaan dan keagungan Allah tidak bergantung sedikitpun
pada pemuliaan dan pengakuan makhluk-Nya, karena Dia tidak bergantung pada ciptaan-Nya
dan bebas dari segala kebutuhan, tetapi manusia membutuhkan bentuk-bentuk peribadatan
yang berulang untuk menjaga hubungan dengan Tuhannya.

C. DASAR HUKUM BERIBADAH

Ada banyak dasar hukum yang mengatur tentang pelaksanaan ibadah. Yakni Al Quran
sebagai dasar hukum utama pelaksanaan ibadah, lalu dikuatkan dengan al hadist, dan juga di
Negara Indonesia dijamin dengan undang undang.

1. Al Qur’an Sebagai Dasar Utama.


Ibadah yang diterima harus didasarkan pada ketauhidan, keihklasan
dan sesuai dengan syariat Islam. Sumber syariah Islam yang utama adalah Al-
Qur’an. Oleh karena itu, dasar hukum beribadah yang pertama adalah ayat-
ayat Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah dalil pertama dan utama dalam perujukan dan
penetapan hukum Islam. Al-Qur’a adalah pokok agama, dasar aqidah, sumber
syariat dan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Oleh karena itu, Dasar
hukum pelaksanaan ibadah yang utama tentu saja al-Qur’an. Di dalam Al-
Qur’an terdapat dalam beberapa surat yang mengatur tentang ibadah, antara
lain:

a. Dalam Surat Al-Fatihah ayat 5, Allah SWT berfirman:

٥ ُ‫ك ن َۡست َِعين‬


َ ‫ك ن َۡعبُ ُد َوإِيَّا‬
َ ‫إِيَّا‬

Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan

Na’budu´ diambil dari kata ‘ibadat: kepatuhan dan ketundukan yang


ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang
disembah karena berkeyakiinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadapnya.

b. Dalam Surat Az-Zariyat ayat 56, Allah SWT berfirman:

َ ِ ‫ت ۡٱل ِج َّن َوٱإۡل‬


٥٦ ‫نس ِإاَّل لِيَ ۡعبُ_________________________________________________دُو ِن‬ ُ ‫َو َم_________________________________________________ا خَ لَ ۡق‬
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku

Pada ayat tersebut, ibadah diartikan sebagai tujuan kehidupan manusia


sebagai bentuk dan cara manusia berterima kasih kepada Pencipta.

c. Dalam Surat An-Nisa ayat 36, Allah SWT berfirman:

۞٣٦.… ‫وا بِ ِهۦ َش_______________________________ ٗۡ‍ٔي ۖا‬


ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َواَل تُ ۡش________________________________ ِر ُك‬
ْ ‫ٱعبُ________________________________د‬
ۡ ‫َو‬

Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatupun.
Dalam ayat ini ibadah diartikan sebagai upaya menjauhkan diri dari
perbuatan syirik.

Ayat-ayat tersebut di atas merupakan dasar hukum atau dalil yang


menjadi pedoman dalam beribadah. Beribadah artinya menolak kemusyrikan.
Semua bentuk menyekutukan Allah menciptakan penolakan Allah terhadap
ibadah manusia. Ayat ini melarang hamba Allah berbuat syirik.
Dasar hukum ibadah adalah dalil yang menjadi pijakan umat Islam
melaksanakan ibadah. Semua bentuk peribadatan dipersembahkan hanya
kepada Allah. Oleh karena itu, jika ada yang mempersembahkan pujaan dan
pujian kepada selain Allah, ia dinyatakan sebagai orang yang syirik.

2. Hadist Sebagai Dasar Hukum Kedua


Dasar hukum kedua adalah melaksanakan ibadah kepada Allah SWT,
adalah As-Sunnah atau al-Hadits. unah merupakan sumber hukum yang kedua
setelah al-qur’an. Adapun pengertian hadis menurut ahli hadis adalah semua
yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw baik berupa ucapan,
perbuatan, persetujuan, dan sifat Kedudukan hadis sebagai sumber hukum
islam adalah sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Penegas terhadap ayat-ayat
al-Qur’an, menentukan hokum baru yang tidak ada pada al-Qur’an dan
menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur’an.
Hadis-hadis yang memerintahkan manusia untuk beribadah kepada
Allah adalah sebagai berikut.

a. Hadis dari Ibnu Mas’ud sebagai berikut:

“Barang siapa mati dalam keadaan menyeru (berdoa atau beribadah) kepada
selainAllah maka ia akan masuk neraka.” (H.R. Imam Bukhari)

b. Dalam kitab Shahih Muslim Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:

“Barang siapa mengucapkan ‘la ilaha illallah’ dan ia mengingatkan semua


penyembahan kepada selain Allah maka haramlah harta dan darahnya serta
perhitungannya nanti ada pada Allah ‘Azza wajalla semata.”

Hadis diatas berisi seruan kepada seluruh hamba Allah untuk


beribadah hanya kepada Allah dan haram hukumnya melakukan segala
bentukperbuatan syirik yang mengakibatkan manusia masuk kedalam api
neraka.
3. Penjaminan Keamanan Beribadah Dalam UU

Dasar hukum kita beribadah sudah diatur oleh agama masing – masing.
Dalam islam dasar hukum beribadah diatur oleh Al Qu’an dan Hadist. Pada
dasarnya, Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap
orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini
tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut
ini:
 

1.    Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)


 

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut


agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”

2.    Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)


 

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk


agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.”

D. MACAM – MACAM IBADAH

Pada dasarnya yang sering orang ketahui bahwa ibadah hanya berupa salat,
zakat, puasa dan haji dan lain lain. Akan etapi sebenarnya Ibadah terbagi menjadi dua
yakni terdiri dari ibadah khusus atau ibadah mahdah dan ibadah umum atau gairu
mahdah. Ibadah dalam pengertian umum adalah bentuk hubungan manusia dengan
manusia atau manusia dengan dengan alam yang memiliki makna ibadah. menjalani
kehidupan untuk memperoleh keridaan Allah, dengan mentaati syariah-Nya. Syariat
Islam tidak menentukan bentuk dan macam ibadah ini, karena itu apa saja kegiatan
seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan ibadah tersebut bukan perbuatan yang
dilarang Allah dan Rosul-Nya serta diniatkan karena Allah. Dengan demikian, semua
perbuatan yang diizinkan Allah bila dikerjakan dengan tujuan memperoleh keridaan
Allah merupakan ibadah dalam arti yang umum.

a. IBADAH MAHDHAH

Ibadah Mahdhah artinya penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan


antara hamba dengan Allah secara langsung. segala jenis peribadatan kepada Allah
yang keseluruhan tatacaranya telah ditetapkan oleh Allah, Manusia tidak berhak
mencipta/merekayasa bentuk ibadah jenis ini. para ulama menetapkan qaidah iaitu
‘Asalnya ibadah itu haram, terlarang’ (kecuali dengan perintah Allah dan petunjuk
Muhammad saw). Ibadah jenis ini diistilahkan oleh para fuqaha dengan perkataan Al
Ibadah atau Al Ubudiyyah. Ibadah jenis ini seperti shalat, puasa, zakat, aqiqah dan
qurban.
Ibadah ini antara lain yakni, Sholat, Puasa, Zakat, Haji, Wudhu, membaca Al
Qur’an, Umroh dan lainya.

Ibadah jenis ini memiliki prinspip yakni:

 Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-


Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh
ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.

 Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasul saw.

Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi
contoh: Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati
dengan izin Allah (QS. 4: 64). Dan apa saja yang dibawakan Rasul
kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka
tinggalkanlah( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya sudah
dicontohkan oleh nabi dalam hadist – hadistnya.
 Azasnya “Taat”

Yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah


kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan
kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama
diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
b. IBADAH GHAIRU MAHDHAH

Ibadah Ghairu Mahhah (tidak murni semata hubungan dengan Allah)


yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga
merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .
Ibadah Ghoiru Mahdhah yaitu segala jenis peribadatan kepada Allah
dalam pengertian yang luas seperti kenegaraan, ekonomi, pendidikan, sosial,
hubungan luar negeri, kebudayaan, undang-undang kemasyarakatan, dan
teknologi dan sebagainya. Ibadah jenis ini diistilahkan oleh para fuqaha
dengan perkataan 'Al-Muamalah' (iaitu hubungan antara manusia dengan
manusia). Peranan syara' dalam hal ini adalah memperbaiki sesuatu yang telah
diadakan oleh manusia dan manusia dibenarkan mengada-adakan sesuatu yang
selaras dengan hukum-hukum/ peraturan Allah (di dalam Al Quran dan As
Sunnah).
Ibadah ghairu mahdhah memiliki banyak sekali contoh. Contohnya
seperti makan. Aktivitas makan pada asalnya bukanlah ibadah khusus. Orang
bebas mau makan kapan saja, baik ketika lapar ataupun tidak lapar, dan
dengan menu apa saja, kecuali yang Allah Ta’ala haramkan. Bisa jadi orang
makan karena lapar, atau hanya sekadar ingin mencicipi makanan. Akan
tetapi, aktivitas makan tersebut bisa berpahala ketika pelakunya meniatkan
agar memiliki kekuatan (tidak lemas) untuk sholat atau berjalan menuju
masjid. Dengan kata lain segala Sesuatu yang kita niatkan dengan baik bisa
menjadi suatu ibadah.
Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:

a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang.


Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh
diseleng garakan.

b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul.

c. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-


ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.
Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka
tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu
boleh dilakukan. Ada juga sesetengah dari ulamak menambahkan ibadah ini
kepada beberapa lagi jenis ibadah.Lain-lain jenis ibadah itu ialah: Ibadah
Badaniah: tubuh badan seperti sembahyang, menolong orang dalam kesusahan
dan lain-lain. Ibadah Maliyah : harta benda seperti zakat, memberi sedekah,
derma dan lain-lain. Ibadah Qalbiyah: hati seperti sangka baik, ikhlas, tidak
hasad dengki dan lain-lain. Rumusan Ibadah Ghairu Mahdhah “BB + KA”
(Berbuat Baik + Karena Allah)

Dari pembagian ini kita ketahui bahwa ibadah sejatinya bukan hanya kita
berhubungan dengan Yang Maha Kusa dengan kata lain setiap tingkah laku dan
perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik
tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai
garis amal. Maka kegiatn kita bisa dikatakan ibadah dan kebaikan trsebut akan
kembali kepada diri kita sendiri.

E. HIKMAH DALAM BERIBADAH

Pada dasarnya ibadah membawa seseorang untuk memenuhi perintah Allah,


bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah dan melaksanakan hak sesama manusia.
Oleh karena itu, tidak mesti ibadah itu memberikan hasil dan manfaat kepada manusia
yang bersifat material, tidak pula merupakan hal yang mudah mengetahui hikmah
ibadah melalui kemampuan akal yang terbatas. Adapun hikmah ibadah adalah sebagai
berikut:

 Tidak Syirik.

Seorang hamba yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa


beribadah menyembah kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala
bentuk syirik. Ia telah mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya
adalah lebih besar dari segala yang ada, sehingga tidak ada wujud lain
yang dapat mengungguli Nya.

 Memiliki ketakwaan,

“Hai manusia, sembahlah Tuhan mu yang telah menjadikan kamu dan


juga orang-orang sebelummu supaya kamu bertakwa” [Al Baqarah
2:21]. Ada dua hal yang melandasi manusia menjadi bertakwa, yaitu
karena cinta atau karena takut. Ketakwaan yang dilandasi cinta timbul
karena ibadah yang dilakukan manusia setelah merasakan kemurahan
dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan
keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya.
Sedangkan ketakwaan yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia
menjalankan ibadah dianggap sebagai suatu kewajiban bukan sebagai
kebutuhan. Ketika manusia menjalankan ibadah sebagai suatu
kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan ketakutan
akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankan kewajiban.

 Terhindar dari kemaksiatan.

“Sesungguhnya shalat mencegah orang dari kekejian dan kejahatan


yang nyata” [Al Ankabut 29:45]. Ibadah memiliki daya pensucian yang
kuat sehingga dapat menjadi tameng dari pengaruh kemaksiatan, tetapi
keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang dilakukan berkualitas.
Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selalu dipakai dimanapun manusia
berada.
 Berjiwa sosial

Ibadah menjadikan seorang hamba menjadi lebih peka dengan


keadaan lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat pengalaman
langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika melakukan
ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan orang-
orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih
memperhatikan orang-orang dalam kondisi ini.

 Tidak kikir.

“dan karena cinta kepada Nya memberikan harta benda kepada ahli
kerabat, dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, dan kaum musafir,
dan mereka yang meminta sedekah dan untuk memerdekakan sahaya.” [Al
Baqarah 2:177]. Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan
miliknya tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk
kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan manusia yang begita besar
terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya.
Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam
menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa miliknya
adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya
semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk
pengorbanan harta untuk keperluan umat.

 Terkabul Doa-doanya

“Aku mengabulkan doa orang yang memohon apabila ia mendoa


kepada Ku. Maka hendaklah mereka menyambut seruan Ku dan beriman
kepada Ku supaya mereka mengikuti jalan yang benar”[Al Baqarah
2:186]. Hamba yang didengar dan dikabulkan doa-doanya hanyalah
mereka yang dekat dengan Nya melalui ibadah untuk selalu menyeru
kepada Nya.

 Menambah Saudara.
Ibadah selayaknya dikerjakan secara berjamaah, karena setiap
individu pasti memerlukan individu yang lain dan ibadah yang dikerjakan
secara berjamaah memiliki derajat yang lebih tinggi dari berbagai seginya
terutama terciptanya jalinan tali silaturahim. Dampak dari ibadah tidak
hanya untuk individu tetapi untuk kemajuan semua manusia, jangan
pernah putus asa untuk mengajak orang lain untuk beribadah, karena ia
sedang memperluas lingkungan ibadah dan memperpanjang masanya.

 Memiliki kejujuran.

“Dan apabila kamu telah selesai mengerjakan shalat, maka ingat lah
kepada Allah sambil berdiri, sambil duduk dan sambil berbaring atas rusuk
kamu” [An Nisa 4:103]. Ibadah berarti berdzikir (ingat) kepada Allah
SWT, hamba yang menjalankan ibadah berarti ia selalu ingat Allah SWT
dan merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya sehingga tidak ada
kesempatan untuk berbohong. Kejujuran mengantarkan orang kepada
kebaikan dan kebaikan mengantarkan orang ke urge [HR Bukhari &
Muslim].

 Berhati ikhlas.

“Dan mereka tidak diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada


Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan kepada Nya dengan lurus.” [Al
Bayyinah 98:5]. Allah SWT menilai amal ibadah hambanya dari apa yang
diniatkan, lakukanlah dengan ikhlas dan berkwalitas. Jangan berlebihan
karena Allah SWT tidak menyukainya. Binasalah orang yang keterlaluan
dalam beribadah, beliau ulang hingga tiga kali. [HR Muslim].
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari paparan semua yang sudah dijelaskan diatas, kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa,
1. Ibadah adalah bentuk ketaatan diri kita sendiri dengan bentuk pengabdian atau
pengesaan dengan disertai kecintaan yang luar biasa dan kehinaan
dihadapanya.disamping merupakan sikap diri yang pada mulanya hanya ada
dalam hati juga diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan, sekaligus
cermin ketaatan kepada Allah disertai dengan bentuk kecintaan.
2. Hakikat ibadah yaitu melalui ibadah (pengabdian) kepada Allah kita kembali
mengingat siapa diri kita di hadapan allah sehingga kita merasa rendah dan
hina dihadapanya lalu hidup manusia terkontrol. Selain itu, Ibadah juga
diartikan sebagai perbuatan baik yang akan kembali pada diri sendiri. Kita
memang diwajibkan untuk semata mata bberibadah pada Allah. Tapi,
sebenarnya yang membutuhkannya adalah diri kita sendiri karena kebaikan itu
akan kembali pada diri kita sendiri.
3. Tujuan beribadah memang untuk mengingat dan memuliakan Allah SWT,
namun perlu ditekankan bahwa kemuliaan dan keagungan Allah tidak
bergantung sedikitpun pada pemuliaan dan pengakuan makhluk-Nya, karena
Dia tidak bergantung pada ciptaan-Nya dan bebas dari segala kebutuhan,
tetapi manusia membutuhkan bentuk-bentuk peribadatan yang berulang untuk
menjaga hubungan dengan Tuhannya.
4. Dasar Hukum Beribadah alam Islam sudah diatur oleh dasar hukum utama
agama Islam yakni Al Qur’an dan dikukuhkan oleh Hadist yang memberikan
penjelasan lebih rinci dan di jamin pelaksanaanya oleh Undang Undang
Negara Republik Indonesia.
5. Pembagian macam – macam ibadah mejelaskan kepada kita bahwa ibadah
sejatinya bukan hanya ritual – ritual kita berhubungan dengan Yang Maha
Kusa dengan kata lain setiap tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga
tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan
Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal. Maka
kegiatn kita bisa dikatakan ibadah dan kebaikan tersebut akan kembali kepada
diri kita sendiri.
6. Hikmah dalam beribadah banyak sekali dan sudah dijelaskan oleh Al Quran,
dan dapat kita rasakan kebaikanya kembali kepada diri kita masing – masing.

B. SARAN
Dari makalah in penulis menyadari jauh dari kata kesempurnaan dan banyak
terdapat kesalahan. Oleh karena itu, penulis memohon kepada seluruh pembaca baik
teman – teman ataupun bapak/ibu dosen untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun yang menunjang makalah ini untuk menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
Besar harapan kami makalah ini dapat dipergunakan khalayak umum sebagai
bahan pengetahuan dan pengkajian ulang sehingga makalah ini bermanfaat bagi kta
semua.
DAFTAR PUSTAKA

H. E Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2008), hal 3-5
J.L. Ch. Abineno, Manusia dan sesamanya dalam dunia, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004, Hlm. 235.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2014. Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul majid An-Nur, Jilid 2. Cetakan
Kedua. Edisi Kedua. (Semarang: Pustaka Rizki Putra).
Al-Qardhawi, Yusuf. Al-Ibadah fil-Islam. Beirut: Muassasah Risalah. 1993.
https://yuliarrifadah.wordpress.com/photos/michael-and-his-children (Diakses
pada Selasa, 6 Oktober 2020 pukul 20.30)
https://yuliarrifadah.wordpress.com/photos/ibadah-dalam-agama-konghucu/
(Diakses pada Selasa, 6 Oktober 2020 pukul 20.45)
http://salman210.blogspot.com/2014/11/hakikat-ibadah.html?m=1 (Diakses pada
Rabu, 7 Oktober 2020 pukul 15.30)
https://hudhanewblog.blogspot.com/2015/09/makalah-hakekat-ibadah.html
(Diakses pada Rabu, 7 Oktober 2020 pukul 16.43)

Anda mungkin juga menyukai