DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD AZKANNASABI (200901026)
FAKULTAS ILMU HUKUM
Sholawat serta salam tidak lupa kita haturkan keharibaan Nabi Agung Nabiyulloh
Muhammad SAW yang mengubah zaman kegelapan menjadi zaman terang benderang
yang kita nantikan syafaatnya di yaumil akhir.
Ucapan terimakasih tidak lupa kami ucapkan kepada teman teman seperjuangan.
Teman teman Kelas Pagi Progam Studi Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah
Gresik yang telah mensupport dan membantu kami dalam segala hal.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kami
meminta bantuan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kebaikan kita bersama
dalam makalah ini. Besar harapan penyusun, agar makalah ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi khalayak umum.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak dulu sudah kita ketahui bahwa ibadah merupakan kewajiban kita sebagai
hamba allah yang lemah. Dan banyak pula yang mengetahui bahwa kita diciptakan dan
hidup di muka bumi ini semata mata hanya untuk beribadah kepada allah. Pendapat ini
tidak salah karena dalam literatur dakwah Islamiyah, secara umum ditegaskan bahwa
tujuan keberadaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. “ Dan aku (Allah)
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(QS.
al-Zariyat /51: 56). Akan tetapi, Maksud ayat tersebut adalah Allah menciptakan manusia
dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh
kepada mereka. Melainkan tafsir ayat tersebut terkandung makna bahwa manusia
membutuhkan “ibadah” untuk eksistensi dirinya.
Tujuan ibadah di atas merupakan nilai normatif. Sementara kandungan atau
manfaat ibadah lainnya adalah mampu memberikan ketenangan jiwa bagi pelakunya.
Dengan menjalankan ibadah secara baik dan sesuai tuntunan, umat Islam akan merasa
hidupnya nyaman. Dengan kenyamanan ini akhirnya mampu mengantarkan dirinya pada
kondisi kesehatan mental yang baik (Supadie, 2011: 184).
Banyak dari kita telah melaksanakan ibadah dengan sebaik baiknya. Akan tetapi,
lebih banyak dari kita yang tidak mengetahui apa hakikat dan tujuan ibadah itu sendiri.
Setiap ibadah sebagaimana yang berlaku pada setiap yang diperintahkan Allah
mengandung maksud tersendiri dan di dalam pelaksanaannya terdapat hikmah. Segala
bentuk dan jenis ibadah yang disyari’atkan Allah kepada manusia dijanjikan pahala dunia
akhirat, juga mengandung hikmah yang sangat luar biasa bagi siapa yang menantinya.
Dalam makalah ini akan dipaparkan hakikat ibadah, hikmah-hikmah ibadah, konsep
ibadah dan macamnya, serta ibadah sosial.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
A. PENGERTIAN IBADAH
Sebelum kita menelusuri apa itu hakikat dari ibadah, mari coba kita kupas arti ibadah
menurut semua kepercayaan agama.
Ibadah menurut Umat Kristiani adalah kata “Ibadah” berasal dari bahasa
Yunani Latreia yang artinya pekerja, upahan, pelayan, dan mengabdi. Ibadah adalah suatu
pelayanan yang dipersembahkan kepada Allah, tidak hanya dalam arti ibadah di bait suci,
tetapi juga dalam arti pelayanan kepada sesama
Ibadah menurut Umat Hindu adalah Penyerahan diri kepada Tuhan, selalu ingat /sadar
kepada Tuhan, tekun sepenuhnya dengan keyakinan dan cinta bhakti (cinta bhakti misalnya
dengan hubungan Tuhan sebagai Ayah Alam Semesta), dan menyadari hanya Alam Rohani
Tuhan Yang Abadi / kekal dan sebagai tujuan tertinggi..
Ibadah menurut Umat Budha adalah penghormatan di depan patung Buddha dan
mendaraskan doa-doa suci. Tubuh, bahasa, dan pikiran merupakan unsur integral dalam
ibadah umat Buddha maka meditasi yang hening, ajaran, pemberian persembahan, dan puji-
pujian dilakukan.
Ibadah menurut Umat Khongguchu menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa, bia
juga diartikan sebagai pola komunikasi antara mahluq dengan tuhannya. Ibadah dalam
Agama Konghucu juga dapat berarti mendekatkan diri kepada tuhan dengan meminta
pertolongan dan perlindungan atau bersyukur atas nikmat tuhan.
Menurut ulama’ Akhlak, ibadah adalah: “Pengamalan segala kepatuhan kepada Allah
secara badaniah, dengan menegakkan syariah- Nya.”
Sedangkan menurut ulama’ Fikih, ibadah adalah: “Segala kepatuhan yang dilakukan
untuk mencapai rida Allah, dengan mengharapkan pahala-Nya di akhirat.”
Menurut jumhur ulama’: “Ibadah adalah nama yang mencakup segala sesuatu yang
disukai Allah dan yang diridlai- Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik terang-
terangan maupun diam- diam.”
Dengan berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa ibadah adalah bentuk
ketaatan diri kita sendiri dengan bentuk pengabdian atau pengesaan dengan disertai kecintaan
yang luar biasa dan kehinaan dihadapanya.disamping merupakan sikap diri yang pada
mulanya hanya ada dalam hati juga diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan,
sekaligus cermin ketaatan kepada Allah disertai dengan bentuk kecintaan.
Dalam syariat Islam ibadah mempunyai dua unsur, yaitu ketundukan dan kecintaan
yang paling dalam kepada Allah SWT. Unsur yang tertinggi adalah ketundukan, sedangkan
kecintaan merupakan implementsi dari ibadah tersebut. Disamping itu ibadah juga
mengandung unsur kehinaan, yaitu kehinaan yang paling rendah di hadapan Allah SWT.
Pada mulanya ibadah merupakan “hubungan” hati dengan yang dicintai, menuangkan isi hati,
kemudian tenggelam dan merasakan keasyikan, akhirnya sampai kepada puncak kecintaan
kepada Allah SWT.
Orang yang tunduk kepada orang lain serta mempunyai unsur kebencian tidak
dinamakan ‘abid (orang yang beribadah), begitu juga orang yang cinta kepada sesuatu tetapi
tidak tunduk kepadanya, seperti orang yang mencintai anaknya atau temannya. Kecintaan
yang sempurna adalah kepada Allah SWT. Setiap kecintaan yang bersifat sempurna terhadap
selain Allah SWT adalah batil.
Manusia ditakdirkan sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan akal dari makhluk
lainnya (Q.S At Tiin). Kenyataannya, manusia tidak selalu menggunakan akal sehatnya,
bahkan ia lebih sering dikuasai nafsunya, sehingga ia sering terjerumus ke dalam apa yang
disebut dehumanisasi,yaitu proses yang menyebabkan kerusakan, hilang, atau merosotnya
nilai – nilai kemanusiaan. Disinilah perlunya agama bagi manusia.
Selain itu, Ibadah juga diartikan sebagai perbuatan baik yang akan kembali pada diri
sendiri. Kita memang diwajibkan untuk semata mata bberibadah pada Allah. Tapi, apakah
Allah membutuhkan amal ibadah kita? Jawabanya Tidak, sebab yang membutuhkannya
adalah diri kita sendiri karena kebaikan itu akan kembali pada diri kita sendiri.
Sebagai contoh, kita berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, kebaikannya
akan kembali kepada diri kita sendiri, keutamaan yang kita dapatkan akan kembali kepada
diri kita, bukan kepada Allah apalagi sesama manusia.
Kita menjalankan salat tahajud setiap hari di sepertiga malam terakhir, dengan penuh
pengorbanan harus bangun saat orang-orang yang lain tengah terlelap dibalut selimut.
Lantas, siapa yang akan mendapatkan kebaikan, kita yang menjalankan salat tahajud
atau mereka yang terlelap dalam mimpi? Tentu saja kita yang menjalankan shalat tahajud lah
yang akan mendapatkan keutamaan dari Allah, doa-doanya tidak hanya didengar Allah,
melainkan dikabulkan oleh Allah SWT.
Sebagaimana dalam surat Ar-Rahman ayat 60 disebutkan; “bahwa tidak ada balasan
kebaikan, kecuali kebaikan pula.”
Oleh karena itu, kita ketahui secara bersama bahwa hakikat ibadah selain untuk
mengingat dan mengabdi kepada Allah tuhan semesta alam ibadah juga sebagai bentuk amal
baik yang akan kembali pada diri kita sendiri.
Meskipun tujuan beribadah adalah untuk mengingat dan memuliakan Allah SWT,
namun perlu ditekankan bahwa kemuliaan dan keagungan Allah tidak bergantung sedikitpun
pada pemuliaan dan pengakuan makhluk-Nya, karena Dia tidak bergantung pada ciptaan-Nya
dan bebas dari segala kebutuhan, tetapi manusia membutuhkan bentuk-bentuk peribadatan
yang berulang untuk menjaga hubungan dengan Tuhannya.
Ada banyak dasar hukum yang mengatur tentang pelaksanaan ibadah. Yakni Al Quran
sebagai dasar hukum utama pelaksanaan ibadah, lalu dikuatkan dengan al hadist, dan juga di
Negara Indonesia dijamin dengan undang undang.
Artinya: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah
kami meminta pertolongan
“Barang siapa mati dalam keadaan menyeru (berdoa atau beribadah) kepada
selainAllah maka ia akan masuk neraka.” (H.R. Imam Bukhari)
Dasar hukum kita beribadah sudah diatur oleh agama masing – masing.
Dalam islam dasar hukum beribadah diatur oleh Al Qu’an dan Hadist. Pada
dasarnya, Negara Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap
orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini
tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut
ini:
Pada dasarnya yang sering orang ketahui bahwa ibadah hanya berupa salat,
zakat, puasa dan haji dan lain lain. Akan etapi sebenarnya Ibadah terbagi menjadi dua
yakni terdiri dari ibadah khusus atau ibadah mahdah dan ibadah umum atau gairu
mahdah. Ibadah dalam pengertian umum adalah bentuk hubungan manusia dengan
manusia atau manusia dengan dengan alam yang memiliki makna ibadah. menjalani
kehidupan untuk memperoleh keridaan Allah, dengan mentaati syariah-Nya. Syariat
Islam tidak menentukan bentuk dan macam ibadah ini, karena itu apa saja kegiatan
seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan ibadah tersebut bukan perbuatan yang
dilarang Allah dan Rosul-Nya serta diniatkan karena Allah. Dengan demikian, semua
perbuatan yang diizinkan Allah bila dikerjakan dengan tujuan memperoleh keridaan
Allah merupakan ibadah dalam arti yang umum.
a. IBADAH MAHDHAH
Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi
contoh: Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati
dengan izin Allah (QS. 4: 64). Dan apa saja yang dibawakan Rasul
kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka
tinggalkanlah( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya sudah
dicontohkan oleh nabi dalam hadist – hadistnya.
Azasnya “Taat”
Dari pembagian ini kita ketahui bahwa ibadah sejatinya bukan hanya kita
berhubungan dengan Yang Maha Kusa dengan kata lain setiap tingkah laku dan
perbuatan yang mempunyai tiga tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik
tolak, kedua keridhoan Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai
garis amal. Maka kegiatn kita bisa dikatakan ibadah dan kebaikan trsebut akan
kembali kepada diri kita sendiri.
Tidak Syirik.
Memiliki ketakwaan,
Tidak kikir.
“dan karena cinta kepada Nya memberikan harta benda kepada ahli
kerabat, dan anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, dan kaum musafir,
dan mereka yang meminta sedekah dan untuk memerdekakan sahaya.” [Al
Baqarah 2:177]. Harta yang dimiliki manusia pada dasarnya bukan
miliknya tetapi milik Allah SWT yang seharusnya diperuntukan untuk
kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan manusia yang begita besar
terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir akan hartanya.
Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam
menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa miliknya
adalah bukan haknya tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya
semata-mata sebagai bekal di akhirat yang diwujudkan dalam bentuk
pengorbanan harta untuk keperluan umat.
Terkabul Doa-doanya
Menambah Saudara.
Ibadah selayaknya dikerjakan secara berjamaah, karena setiap
individu pasti memerlukan individu yang lain dan ibadah yang dikerjakan
secara berjamaah memiliki derajat yang lebih tinggi dari berbagai seginya
terutama terciptanya jalinan tali silaturahim. Dampak dari ibadah tidak
hanya untuk individu tetapi untuk kemajuan semua manusia, jangan
pernah putus asa untuk mengajak orang lain untuk beribadah, karena ia
sedang memperluas lingkungan ibadah dan memperpanjang masanya.
Memiliki kejujuran.
“Dan apabila kamu telah selesai mengerjakan shalat, maka ingat lah
kepada Allah sambil berdiri, sambil duduk dan sambil berbaring atas rusuk
kamu” [An Nisa 4:103]. Ibadah berarti berdzikir (ingat) kepada Allah
SWT, hamba yang menjalankan ibadah berarti ia selalu ingat Allah SWT
dan merasa bahwa Allah SWT selalu mengawasinya sehingga tidak ada
kesempatan untuk berbohong. Kejujuran mengantarkan orang kepada
kebaikan dan kebaikan mengantarkan orang ke urge [HR Bukhari &
Muslim].
Berhati ikhlas.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari paparan semua yang sudah dijelaskan diatas, kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa,
1. Ibadah adalah bentuk ketaatan diri kita sendiri dengan bentuk pengabdian atau
pengesaan dengan disertai kecintaan yang luar biasa dan kehinaan
dihadapanya.disamping merupakan sikap diri yang pada mulanya hanya ada
dalam hati juga diwujudkan dalam bentuk ucapan dan perbuatan, sekaligus
cermin ketaatan kepada Allah disertai dengan bentuk kecintaan.
2. Hakikat ibadah yaitu melalui ibadah (pengabdian) kepada Allah kita kembali
mengingat siapa diri kita di hadapan allah sehingga kita merasa rendah dan
hina dihadapanya lalu hidup manusia terkontrol. Selain itu, Ibadah juga
diartikan sebagai perbuatan baik yang akan kembali pada diri sendiri. Kita
memang diwajibkan untuk semata mata bberibadah pada Allah. Tapi,
sebenarnya yang membutuhkannya adalah diri kita sendiri karena kebaikan itu
akan kembali pada diri kita sendiri.
3. Tujuan beribadah memang untuk mengingat dan memuliakan Allah SWT,
namun perlu ditekankan bahwa kemuliaan dan keagungan Allah tidak
bergantung sedikitpun pada pemuliaan dan pengakuan makhluk-Nya, karena
Dia tidak bergantung pada ciptaan-Nya dan bebas dari segala kebutuhan,
tetapi manusia membutuhkan bentuk-bentuk peribadatan yang berulang untuk
menjaga hubungan dengan Tuhannya.
4. Dasar Hukum Beribadah alam Islam sudah diatur oleh dasar hukum utama
agama Islam yakni Al Qur’an dan dikukuhkan oleh Hadist yang memberikan
penjelasan lebih rinci dan di jamin pelaksanaanya oleh Undang Undang
Negara Republik Indonesia.
5. Pembagian macam – macam ibadah mejelaskan kepada kita bahwa ibadah
sejatinya bukan hanya ritual – ritual kita berhubungan dengan Yang Maha
Kusa dengan kata lain setiap tingkah laku dan perbuatan yang mempunyai tiga
tanda yaitu: pertama, niat yang ikhas sebagai titik tolak, kedua keridhoan
Allah sebagai titik tujuan, dan ketiga, amal shaleh sebagai garis amal. Maka
kegiatn kita bisa dikatakan ibadah dan kebaikan tersebut akan kembali kepada
diri kita sendiri.
6. Hikmah dalam beribadah banyak sekali dan sudah dijelaskan oleh Al Quran,
dan dapat kita rasakan kebaikanya kembali kepada diri kita masing – masing.
B. SARAN
Dari makalah in penulis menyadari jauh dari kata kesempurnaan dan banyak
terdapat kesalahan. Oleh karena itu, penulis memohon kepada seluruh pembaca baik
teman – teman ataupun bapak/ibu dosen untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun yang menunjang makalah ini untuk menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
Besar harapan kami makalah ini dapat dipergunakan khalayak umum sebagai
bahan pengetahuan dan pengkajian ulang sehingga makalah ini bermanfaat bagi kta
semua.
DAFTAR PUSTAKA
H. E Hassan Saleh, (ed.), Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2008), hal 3-5
J.L. Ch. Abineno, Manusia dan sesamanya dalam dunia, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2004, Hlm. 235.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2014. Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta:
Suara Muhammadiyah.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur’anul majid An-Nur, Jilid 2. Cetakan
Kedua. Edisi Kedua. (Semarang: Pustaka Rizki Putra).
Al-Qardhawi, Yusuf. Al-Ibadah fil-Islam. Beirut: Muassasah Risalah. 1993.
https://yuliarrifadah.wordpress.com/photos/michael-and-his-children (Diakses
pada Selasa, 6 Oktober 2020 pukul 20.30)
https://yuliarrifadah.wordpress.com/photos/ibadah-dalam-agama-konghucu/
(Diakses pada Selasa, 6 Oktober 2020 pukul 20.45)
http://salman210.blogspot.com/2014/11/hakikat-ibadah.html?m=1 (Diakses pada
Rabu, 7 Oktober 2020 pukul 15.30)
https://hudhanewblog.blogspot.com/2015/09/makalah-hakekat-ibadah.html
(Diakses pada Rabu, 7 Oktober 2020 pukul 16.43)